Menerka Tujuan Syariat (1/2)*

Oleh: Buya Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A.

 

KETIKA seseorang menyampaikan suatu berita, ia bersumpah bahwa berita itu benar, dan kita tidak perlu menguji apakah berita itu benar atau salah. Di dalam agama, metode untuk menguji berita tersebut benar atau salah adalah tabayyun (klarifikasi). Tetapi, kita perlu tahu apa maksud orang tersebut menyampaikan berita itu kepada kita. Berita yang diterbitkan BBC benar karena didukung data, fakta, dan hasil wawancara. Dan mereka tentu punya maksud tertentu menerbitkan berita tersebut, yaitu membangun opini publik. Lafazh, kata, dan teks al-Qur`an serta hadits tidak punya makna, sebatas simbol-simbol, dan artinya berubah-ubah. Misalnya kata “duduk” saja tidak bisa dipahami, namun bila kalimatnya sempurna, “Hasan duduk di kursi”, maka maknanya adalah bokong Hasan menempel di kursi. Kata “duduk” pada kalimat “Belanda menduduki Indonesia”, “Pengacara bertanya kepada kliennya tentang duduk perkaranya”, itu maknanya berbeda lagi.

Kita belum tentu mengetahui maksud suatu kalimat meski rangkaiannya sempurna karena makna bahasa adalah bayang-bayangnya itu. Pertanyaan “Kapan kamu selesai iddah?” kepada seorang janda oleh seorang petugas KUA dan seorang duda punya makna yang berbeda. Kalimatnya sama, namun otak setiap orang bergerak. Kalau duda yang menanyakan hal itu, si janda mengira bahwa si duda akan melamarnya. Sementara kalau petugas KUA yang menanyakannya, si janda berpikir petugas itu sedang ingin memastikan hukumnya. Terjadi perbedaan pendapat karena otak setiap orang berbeda. Orang yang doyan kawin akan sangat senang dengan ayat “fankihû mâ thâba lakum min al-nisâ` matsnâ wa tsulâsa wa rubâ’” (maka nikahilah dari perempuan-perempuan itu dua, tiga atau empat). Ia menggunakan kesempatan dalam kesempitan.

Sebetulnya ada agenda besar di dalam pikiran Nabi Saw. yang tidak diamati oleh banyak orang. Kita bisa mengamati perbuatan seseorang seperti menyapu, membaca, dan lainnya. Hal yang lebih penting dari itu adalah, apa yang ada di dalam pikirannya sehingga ia terdorong berbuat seperti itu. Saat Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah, hal pertama yang dilakukan adalah membangun Masjid Quba. Apa maksud Nabi melakukannya? Ternyata masjid digunakan sebagai tempat untuk mengobati orang-orang sakit, mendamaikan orang yang bertengkar, mendidik para sahabat, berlatih perang, dan lain sebagainya. Dengan demikian, masjid saat itu adalah gedung serbaguna. Sedangkan masjid sekarang digunakan hanya untuk shalat. Banyak masjid yang pintunya dikunci setelah pelaksanaan shalat. Pengerdilan fungsi masjid saat ini terjadi karena sakralisasi yang berlebihan.

Nabi adalah tokoh pemersatu dan perdamaian. Sejak kecil beliau mendamaikan teman-temannya yang bertengkar, dan orang-orang yang mau bercerai, suku-suku yang mau berperang. Beliau menunjukkan kepiawaiannya dalam kasus siapa yang berhak meletakkan hajar aswad ke tempatnya pada saat renovasi Ka’bah. Peristiwa ini membuatnya semakin terkenal, dan beliau terus berupaya menghindari perpecahan di antara penduduk Makkah.

Saat mulai menyebarkan Islam, Nabi ditindas, diintimidasi, dan diteror oleh orang-orang Makkah. Dan kala itu, suku Aus dan Khazraj, dua suku di Madinah yang kerap berkonflik, meminta beliau untuk datang ke Madinah. Beliau dikenal sebagai tokoh pemersatu, dan kedua suku itu sudah lelah berperang saudara. Jadi, tujuan Nabi hijrah ke Madinah adalah untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang berkonflik, bukan melarikan diri.

Sebagai tokoh pemersatu dan perdamaian, visi dan misi yang dikumandangkan Nabi kepada masyarakatnya adalah kata persatuan (kalimat tauhid), yang kemudian memunculkan kalimat  “Lâ ilâha illâ Allâh”; Kita semua adalah hamba Allah. Karenanya kita semua, laki-laki dan perempuan, sama dan setara. Hanya Allah satu-satunya Tuhan—tempat menghamba, meminta, berharap, dan seterusnya.

Nabi saat itu melihat masyarakat Jahiliyah berada dalam keadaan porak-poranda—penindasan nilai kemanusiaan, perbudakan, jual beli manusia, perang antar suku. Beliau ingin membangun satu peradaban dunia besar yang berdasarkan kesetaraan dan keadilan sosial. Beliau membeli budak dan kemudian membebaskannya. Beliau juga meminta para sahabat yang kaya untuk melakukan hal yang sama. Beliau ingin menghapuskan perbudakan secara gradual—sebagaimana al-Qur`an diturunkan juga secara gradual. Beliau kemudian membuat kebijakan pembebasan budak: siapa saja yang melakukan tindak kriminal atau pelanggaran maka salah satu sanksinya adalah membebaskan budak.

Selanjutnya Nabi membuat kebijakan administratif bahwa budak boleh mengajukan permohonan merdeka kepada majikannya dengan syarat ia mampu menebus harga untuk dirinya. Melalui ayat al-Qur`an, Allah memerintahkan para majikan yang punya budak untuk menerima permohonan merdeka dari budak-budak mereka. Memang tidak ada ayat al-Qur`an atau hadits yang mengharamkan perbudakan. Tetapi kebijakan Nabi dan perintah Allah jelas mengarah kepada upaya penghapusan perbudakan.

Nabi mengatakan “al-ulamâ` waratsah al-anbiyâ`”, ulama adalah penerus ide dan agenda para Nabi. Dan banyak ulama mengabaikan hal ini. Pada 1960, Arab Saudi didesak untuk menghapuskan perbudakan sebagai persyaratan untuk mendapatkan bantuan ekonomi dan militer dari Amerika. Arab Saudi kemudian mendeklarasikan diri sebagai negara yang bebas dari perbudakan dan memerintahkan warganya untuk membebaskan budak-budaknya tanpa ada ganti rugi. Umat Muslim memprotes kebijakan tersebut dan menganggap Arab Saudi sebagai negara kafir. Mereka meyakini Islam sudah sempurna dan final: perbudakan diperbolehkan, perempuan boleh diperjual-belikan, dipoligami, dipaksa kawin, dan seterusnya.

Kita bebas membaca semua kitab, tetapi kita harus tetap berpikir sendiri. Kita mudah melihat dan mengamati orang sedang berbuat apa, tetapi kita tidak mudah mengetahui apa yang ada di dalam pikirannya sehingga ia terdorong melakukan ini dan itu. Pada 1974 lahir UU Perkawinan dan salah satu isinya adalah larangan kawin paksa. UU ini mendapatkan protes keras dari umat Muslim. Mereka beranggapan bahwa kawin paksa tidak dilarang oleh syariat sehingga negara tidak boleh melarangnya. Begitu juga dengan hak cerai yang sewenang-wenang.

Dalam sebuah wawancara di Aljazeera, Yusuf Qaradhawi membolehkan pemukulan istri dengan syarat jangan sampai luka. Padahal luka di muka cepat sembuh sedangkan luka di hati tidak pernah sembuh. Jika istri berselingkuh, ia dimutilasi tiga belas. Sebaliknya kalau suami selingkuh, itu dianggap sunnah rasul. Laki-laki pelaku poligami tidak akan pernah merasa berdosa menyakiti hati istrinya karena ia merasa paling benar. Namun persoalannya, dari mana ia mendapatkan pemahaman itu.

Kita tidak mempersoalkan teks-teks sunnah, tetapi yang perlu kita telusuri adalah agenda besar di dalam pikiran Nabi, di antaranya mengangkat martabat perempuan. Semula perempuan diperjualbelikan, diwariskan, tidak mendapatkan warisan, dikawin tanpa batas, dan seterusnya. Lalu Nabi mengangkat derajatnya secara gradual—memberinya warisan setengah dulu, melarang jual beli dan mewariskan perempuan, membatasi menikahi perempuan, dan lainnya. Pembatasan menikahi perempuan dua, tiga, atau empat belum final dan bersifat gradual. Isyarat finalnya adalah “wa in khiftum allâ ta’dilu fa wâhidah” (Jika kalian khawatir tidak bisa adil, maka cukup satu saja).

Dasar pertimbangan pembagian warisan adalah budaya Arab bahwa anak laki-laki punya peran penting sehingga anak laki-laki mendapatkan satu dan anak perempuan setengah. Sementara dalam budaya Indonesia, anak perempuan justru punya peran penting—mengasuh adik-adiknya, menyapu, pergi ke pasar, mencuci, dan lainnya, sementara anak laki-lakinya bermain saja. Bagaimana mungkin anak perempuan yang berperan penting mendapatkan setengah, sedangkan anak laki-laki yang tidak berperan mendapatkan satu? Kita khawatir anak cucu kita kelak akan lebih memilih murtad karena tidak merasakan keadilan Tuhan. Mereka menganggap hukum fikih sudah final. Ini adalah tembok besar yang harus kita tembus. Tidak bisa sendirian melakukannya, melainkan harus bersama-sama.[]

 

*) Disarikan dari presentasi Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A. dalam Diskusi Pendalaman “Maqashid Syariah Lin Nisa’” yang diselenggaran Rumah KitaB di Pondok Pesantren Ma’had Al-Shighor Al-Islamy Al-Dualy, Gedongan, Cirebon, Sabtu, 17 Desember 2022

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.