Memasak sebagai Simbol Perlawanan Perempuan

Sah sudah Soeharto menjadi Pahlawan Nasional meski banyak masyarakat sipil yang menolaknya. Sebelum ini, saya sudah menulis beberapa “dosa” Orde Baru (baca di sini). Namun, ada satu lagi dosa yang belum dibahas, yaitu dosa ekologis industri ekstraktif.

Jika hari ini kita menyaksikan begitu banyak perusahaan asing yang merusak lingkungan, maka di sana ada dosa jariyah kepemimpinan masa lalu. Di ujung kekuasaan Soekarno yang sudah rapuh, tahun 1967 ia mengeluarkan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kala aturan itu terbit, sebenarnya roda pemerintahan efektif lebih banyak diatur oleh Soeharto yang menjabat sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera. Aturan inilah yang menjadi legitimasi masuknya perusahaan tambang Amerika di Irian Barat.

Harian Kompas, Rabu, 8 Februari 1967 menulis berita berjudul “Surat Keputusan tentang Penanaman Modal Asing”. Di sana tertulis bahwa Ketua Presidium Kabinet Ampera Jenderal Soeharto dalam sebuah Surat Keputusannya menginstruksikan kepada seluruh menteri yang menguasai perusahaan asing berdasarkan Perpres No. 6 Tahun 1964 dan Perpres No. 6 Tahun 1965 menginstruksikan catatan di antaranya terhadap perusahaan asing yang termaksud dalam keputusan, diberikan izin penanaman modal di Indonesia untuk jangka waktu 15-30 tahun dan mengusahakan Indonesianisasi di kalangan direksi dan karyawan pada perusahaan asing.

Aturan tersebut, pada akhirnya berlanjut terus mengundang investor asing hingga puncaknya makin menjadi pasca-reformasi. Hanya di masa Gus Dur saja, Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidak pernah dikeluarkan.

Dapur, Perempuan, dan Ekofeminisme

Waktu berputar begitu cepat dan kita sebagai anak bangsa tak banyak belajar. Kerusakan lingkungan akibat industri ekstraktif tidak lagi berpusat di Papua, tetapi juga merata di seluruh Indonesia. Tak ada pulau yang bersih dari kerakusan manusia. Salah satunya adalah Pulau Kalimantan.

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh Ruang Sastra Kalimantan Timur. Kegiatan itu rutin dilakukan setiap Rabu sore dengan mengangkat satu cerita pendek lokal yang dibahas. Cerpen yang dibincang berjudul “Semangkuk Perpisahan di Meja Makan”.

Bagi feminis liberal, kisah yang diangkat bisa digugat karena mengobjektifikasi pekerjaan perempuan memasak di rumah. Namun, cerpen itu juga dapat dibaca dari sudut pandang lain: eko-feminis. Memasak adalah cara bagi perempuan untuk melanjutkan kehidupan.

Setiap makanan yang hadir di meja makan adalah hasil elaborasi bumbu dapur, resep warisan, dan kelihaian ibu dalam menyajikan hidangan. Sehingga ada celotehan: beda tangan, beda rasa. Sejak dahulu, kesadaran perempuan untuk melaku dalam kehidupan dapur melahirkan generasi yang sehat.

Sayangnya, geliat memasak di dapur kian terasing dengan modernitas. Orang lebih sering membeli makanan dengan ojek online daripada harus berlelah memasak. Pergeseran cara pandang dalam melihat aktivitas memasak ini sebenarnya hanyalah dampak dari satu proses berpikir yang sudah bubrah. Belum lagi kian banyak bumbu instan hasil industri perusahaan yang membuat masakan kehilangan nilai reflektifnya.

Modernitas dan Krisis Spiritualitas

Seyyed Hossein Nasr dalam buku “Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man” menegaskan sedikit yang mau mengakui bahwa masalah sosial paling akut yang dihadapi manusia sekarang bukan berasal dari apa yang disebut keterbelakangan, tetapi dari over-kemajuan dan sikap dominasi alam.

Hal ini menyebabkan over-populasi, kurangnya ruang bernapas, kemacetan kota, kepenatan manusia, habisnya segala macam sumber daya alam, perusakan lingkungan hidup melalui mesin, meningkatnya penyakit mental, dan banyak lagi masalah modernitas. Termasuk kian menjamurnya makanan siap saji yang mengancam kesehatan.

Problem ini juga dirasakan di Kalimantan Timur. Sebagai wilayah yang kaya tambang batu bara, daerah ini sudah keropos dan rapuh. Banyak hutan ditebang, tanah digali dan dikeruk, sungai tercemar limbah industri, kebakaran hutan pun terus terjadi. Ketika sudah demikian, tanah yang rusak pun tak bisa ditanami apa pun kecuali harapan pada kiriman pangan dari daerah atau bahkan negara lain.

Memasak sebagai Politik dan Perlawanan

Sama seperti peperangan, krisis iklim dan kerusakan lingkungan juga berdampak langsung bagi kemanusiaan, terutama perempuan, anak, dan kelompok lemah. Karenanya, dalam konteks saat ini, memasak bukan lagi sebatas aktivitas perempuan di dapur. Memasak adalah sebuah simbol perlawanan.

Perlawanan melawan rezim yang ingin menyeragamkan menu makanan untuk anak sekolah melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ironinya, justru banyak yang keracunan pasca menyantap MBG. Perlawanan melawan eksploitasi alam yang kian mengkhawatirkan. Memasak adalah simbol penolakan terhadap industrialisasi makanan besar-besaran. Bukan hanya tidak baik bagi kesehatan, tetapi juga keberlanjutan alam.

Teringat satu ungkapan menarik dari Raja Joseon dalam serial drama Korea yang belum lama ini viral, Bon Appetit Your Majesty. Katanya, “Memasak itu politik. Politik tak cuma dilakukan dengan pedang, tombak, acara diplomatik, dan dokumen. Menyelesaikan isu politik dengan bertukar makanan dan budaya adalah solusi penuh damai”. Pernyataan tersebut adalah makna dari gastrodiplomasi, ketika makanan tak lagi sebatas dirasa, tetapi menjadi daya tawar sebuah negara.

Kini, gerakan menanam dan memakan hasil kebun sendiri adalah cara untuk melawan kerusakan alam. Itu dimulai dari kehadiran perempuan yang juga manifestasi dari ibu pertiwi yang hari ini menangis dan merintih kesakitan.

Kepastian Hukum bagi Perempuan di Tapak Tambang

Ketika berbicara tentang kemajuan ekonomi, kita sering mendengar kata pertambangan, migas, dan investasi besar. Di atas kertas, semua itu tampak menjanjikan: membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan daerah, dan menopang pembangunan nasional. Namun, di balik gemerlap angka pertumbuhan, ada cerita lain yang jarang terdengar, cerita tentang perempuan yang hidup di wilayah tambang, hutan yang hilang, air yang tercemar, dan tubuh-tubuh yang dipaksa menanggung akibat dari industrialisasi yang maskulin.

Di Banyuwangi, misalnya, perempuan yang menolak tambang emas Tumpang Pitu harus menghadapi intimidasi. Di Kendeng, petani perempuan berhadapan langsung dengan kekerasan fisik dan verbal saat mempertahankan tanahnya. Di Kalimantan Timur, banyak perempuan kehilangan akses air bersih karena lubang-lubang tambang batu bara yang menganga. Cerita-cerita ini memperlihatkan satu pola yang sama, yakni kekerasan terhadap perempuan berjalan beriringan dengan kerusakan lingkungan.

Ada dua hal mendasar yang ingin coba dibahas dalam tulisan ini, yakni  bentuk kekerasan yang dialami perempuan dalam industri ekstraktif, dan sejauh mana hukum Indonesia benar-benar melindungi mereka. Melalui pendekatan ekofeminis politik, tulisan ini mengajak kita memahami bahwa eksploitasi alam dan penindasan terhadap perempuan bukan dua hal terpisah, melainkan dua sisi dari sistem pembangunan yang sama, sistem yang masih sangat bersifat patriarki.

Lapisan Kekerasan yang Diderita Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan di sektor industri ekstraktif bukan hanya soal kekerasan fisik atau seksual. Ia lebih kompleks, berlapis, dan sistemik. Komnas Perempuan (2022) mencatat, di kawasan industri seperti Morowali dan Konawe, kekerasan seksual meningkat drastis. Banyak perempuan mengalami pelecehan dan bahkan pemerkosaan oleh pekerja migran tambang. Ironinya sebagian besar kasus tak pernah sampai ke meja hukum. Tekanan sosial dan ketergantungan ekonomi membuat mereka pada akhirnya memilih diam.

Di sisi lain, kekerasan fisik dan intimidasi terhadap perempuan yang menolak tambang juga sering terjadi. JATAM (2021) mencatat kasus perempuan di Kalimantan Timur yang dipukul aparat saat memprotes penggusuran. Tubuh perempuan dijadikan sebagai simbol penaklukan, yang fungsinya bukan hanya untuk membungkam individu, tapi juga untuk menakuti komunitas.

Fakta selanjutnya, Industri ekstraktif juga melahirkan bentuk kekerasan ekonomi. Ketika lahan pertanian atau hutan dirampas untuk proyek tambang, perempuan kehilangan sumber penghidupan yang selama ini menopang keluarga. Mereka terpaksa bekerja serabutan dengan pendapatan tak menentu, sementara peran domestik tetap menunggu di rumah. Ketergantungan terhadap pendapatan laki-laki semakin memperkuat struktur patriarki yang menekan perempuan.

Kerusakan lingkungan juga menjadi bentuk kekerasan tersendiri. Di Ketapang, Kalimantan Barat, perempuan harus berjalan berkilometer untuk mencari air bersih karena sumur mereka tercemar limbah sawit (WALHI, 2023). Pekerjaan mereka bertambah berat, sementara kesehatan keluarga kian terancam. Vandana Shiva menyebut kondisi ini sebagai “kekerasan ekologis”, sebuah penindasan terhadap perempuan melalui kehancuran sumber kehidupan yang mereka kelola.

Ketika perempuan mencoba bersuara, keberadaan hukum sering kali menjadi alat baru untuk membungkam mereka. Pasal 162 UU Minerba, misalnya, kerap digunakan untuk mempidanakan warga yang menolak kegiatan tambang. Inilah yang terjadi pada petani perempuan Kendeng, dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum ketika mereka hanya ingin mempertahankan sumber air bagi anak-cucu mereka.

Antara Aturan dan Realitas Hukum yang Belum Ramah Gender

Di atas kertas, Indonesia sudah memiliki banyak perangkat hukum yang bisa melindungi perempuan. Kita memiliki UU No. 7 Tahun 1984 yang meratifikasi CEDAW, UUPKDRT, UU Perlindungan Lingkungan Hidup, hingga UUTPKS yang progresif dalam menangani kekerasan seksual.

Bahkan secara global, Indonesia ikut dalam agenda SDGs yang menekankan kesetaraan gender dan keberlanjutan lingkungan. Namun, semua itu baru berhenti pada tataran normatif. Dalam praktiknya, hukum masih netral gender, dan dalam konteks patriarki, netral sering berarti bias terhadap perempuan.

Misalnya, dalam UUPPLH hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan memang diakui, tetapi tidak secara eksplisit menyebut perlindungan perempuan. Akibatnya, suara perempuan jarang sekali dimasukkan dalam analisis AMDAL. Penelitian JATAM (2022) bahkan menemukan hanya dua dari lima puluh dokumen AMDAL tambang yang menyinggung dampak terhadap perempuan.

UUTPKS juga belum memiliki mekanisme konkret yang mewajibkan perusahaan menyediakan sistem pelaporan aman bagi korban kekerasan berbasis gender di wilayah tambang. Banyak kasus akhirnya berhenti di tengah jalan karena korban tidak tahu harus melapor ke mana, atau bahkan diam karena takut kehilangan mata pencaharian keluarganya. LBH APIK mencatat sebagian besar korban kekerasan seksual di kawasan industri ekstraktif memilih bungkam karena tidak adanya jaminan perlindungan maupun pemulihan.

Masalah lain muncul dalam bentuk kriminalisasi. Aktivis perempuan yang memperjuangkan lingkungan sering dituduh melanggar hukum, sementara korporasi justru terlindungi oleh izin resmi. Negara, dalam posisi ini, tampak gamang, di satu sisi mengakui hak perempuan dan lingkungan hidup yang sehat, namun di sisi lain menjadi fasilitator utama bagi proyek-proyek ekstraktif yang merusak keduanya.

Hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru berperan sebagai legitimasi kekuasaan ekonomi. Ia berpihak pada kapital, bukan komunitas; pada maskulinitas pembangunan, bukan keadilan sosial-ekologis.

Menata Ulang Paradigma Pembangunan

Dari sini, jelas bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam industri ekstraktif bukanlah peristiwa acak, melainkan hasil dari struktur yang menormalisasi ketimpangan. Tubuh dan ruang hidup perempuan dijadikan alat tukar-menukar ekonomi dalam logika pembangunan yang menilai keberhasilan dari seberapa banyak sumber daya alam yang bisa diekstraksi, bukan dari seberapa adil kehidupan yang bisa dijamin.

Untuk mengakhiri lingkaran ini, kita membutuhkan perubahan paradigma. Pembangunan tidak bisa lagi dilihat semata dari sisi ekonomi, tetapi harus berorientasi pada perawatan, pada kehidupan makhluk hidup dan bukan sekadar keuntungan. Perspektif feminis ekologis mengingatkan kita bahwa perempuan bukan objek pembangunan, tetapi subjek penting dalam menjaga keberlanjutan bumi.

Dalam hal ini, negara harus berani menegaskan keberpihakannya, dengan memperkuat regulasi yang berperspektif gender, memastikan pelibatan perempuan dalam setiap proses AMDAL, serta menuntut tanggung jawab korporasi terhadap dampak sosial-ekologis kegiatan mereka. Hukum harus berhenti menjadi alat kekuasaan dan mulai berfungsi sebagai alat pembebasan. Sebab pada akhirnya, keadilan bagi perempuan di wilayah industri ekstraktif bukan hanya persoalan kesetaraan. Ia adalah syarat dasar bagi keberlanjutan kehidupan itu sendiri.

Perlawanan Perempuan Batu Kajang Menolak Tumbang

Provinsi Kalimantan Timur menjadi satu wilayah yang banyak menyimpan kisah mengenai dahsyatnya daya rusak industri ekstraktif, terutama pertambangan batu bara. Daya rusak dari pertambangan itu tidak hanya merusak lingkungan fisik, tetapi juga membunuh secara cepat keselamatan hidup masyarakat.

Dapat dikatakan Kalimantan Timur adalah wilayah frontier. Istilah ini merujuk pada pengertian wilayah yang hanya dijadikan tempat penghasil komoditas ekonomi bagi tangan segelintir orang. Bahkan, sejarah memperlihatkan wilayah Kalimantan Timur telah menjadi wilayah frontier, semenjak masa kolonial (Anna Tsing dalam Trihastuti, 2014).

Hal tersebut telah dimulai ketika ditemukan sumber minyak bumi di Balikpapan, kemudian pertambangan batu bara di Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara. Beralih di masa Orde Baru ketika industri kayu menggeliat menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan ke pasar mancanegara. Industri kayu ini pula yang banyak menghabisi hutan di daerah Mahakam Ulu. Setelah Orde Baru tumbang, kemudian era reformasi menyambut, industri batu bara dan kelapa sawit kemudian menggantikan komoditas kayu.

Tercatat bahwa Provinsi Kalimantan Timur hanya memiliki luas daratan 12,7 Juta Hektare. Sementara luas perizinan bagi berbagai industri ekstraktif yang mencaplok daratan Kalimantan Timur seluas 13,83 Juta Hektare. Luas perijinan bahkan 3 kali lipat dari luas Pulau Jawa (GM & Rahmi, 2019).

Izin di sektor kehutanan menduduki urutan pertama yang menguasai lahan di Kaltim yakni seluas 5.619.662 hektare. Kedua ijin pertambangan menguasai lahan di Kaltim yakni seluas 5.137.875,22 hektare. Terakhir adalah izin Perkebunan kelapa sawit seluas 3.095.824 hektare (Maulana, 2019).

Tentu dengan besarnya luas perizinan berbagai industri ekstraktif di Kalimantan Timur, dibandingkan dengan luas daratannya sendiri menyebabkan banyak persoalan yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat sistem ekonomi-politik yang meminggirkan masyarakat atas ruang hidup beserta hak-hak dasar mereka keselamatan dan lingkungan yang baik dan sehat.

Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur menunjukkan sepanjang tahun 2011 hingga 2025, 49 orang meninggal dunia di lubang bekas tambang yang dibiarkan terbuka tanpa tanggung jawab oleh perusahaan maupun tindakan tegas oleh pemerintah. Belum lagi masyarakat yang harus merenggang nyawa oleh aktivitas angkutan batu bara yang menggunakan jalan umum.

Hal serupa terjadi di Desa Batu Kajang, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur. Bagaimana jalan umum dikorbankan demi kepentingan salah satu industri pertambangan batu bara yakni PT. Mantimin Coal Mining (MCM) yang berasal dari wilayah Tabalong Kalimantan Selatan.

Fakta yang cukup mencengangkan adalah PT Mantimin menggunakan jalan umum sepanjang 126 KM dari Kalimantan Selatan untuk membawa batu bara yang melintasi tiga kecamatan Muara Komam, Batu Sopang, hingga ke lokasi penumpukan batu bara di Desa Rangan Kecamatan Kuaro Kabupaten Paser tanpa mengantongi izin, seperti yang dinyatakan oleh Pelaksana Teknik Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional (Kalimantan Riview, 2025).

Jalan umum yang ditumbalkan demi kepentingan industri ini menimbulkan berbagai konflik yang berkepanjangan, sehingga memantik perlawanan dari para perempuan di Desa Batu Kajang.

Cerita perlawanan tersebut dimulai ketika para perempuan telah menyelesaikan berbagai pekerjaan domestiknya. Para perempuan yang didominasi oleh ibu-ibu rumah tangga tersebut segera menuju posko penolakan hauling batu bara yang mereka dirikan secara swadaya dengan masyarakat lainnya.

Setelah berkumpul di posko tersebut, para perempuan Batu Kajang saling bertukar cerita dan pikiran, untuk mengambil langkah yang harus mereka tempuh selanjutnya. Setelahnya, mereka juga mencari upaya untuk mengorganisir perempuan dan masyarakat lainnya untuk menambah kekuatan yang ada.

Posko itu berdiri atas inisiatif perempuan Batu Kajang yang merasa marah dengan aktivitas truk hauling tambang yang merajalela menguasai jalan umum dan membahayakan nyawa mereka. Apalagi para perempuan itu setiap paginya harus mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah.

Waktu pagi yang seharusnya diisi dengan keceriaan berubah dengan ancaman setelah mereka harus bertaruh nyawa dengan truk hauling batu bara yang kerap melintasi jalan umum secara ugal-ugalan. Tak jarang truk yang melintasi jalan umum secara gerombolan itu ingin menyerempet ibu-ibu beserta anaknya yang hendak menuju sekolah.

Kerusakan infrastruktur juga turut menjadi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa Batu Kajang. Sehingga keselamatan di jalan pun menjadi terancam. Selain itu, beberapa ibu kerap mengeluhkan anak mereka yang masih balita terserang penyakit infeksi saluran pernafasan (Ispa) akibat debu yang dihasilkan oleh aktivitas truk hauling tambang batu bara.

Ada pula cerita pilu yang tidak kalah menyedihkan yakni terputusnya usaha ibu-ibu yang harus mencari nafkah dengan berjualan di pasar. Ibu-ibu merasa ketakutan ketika harus berpapasan dengan truk hauling yang sekali melintas sejumlah ratusan unit.

Hal ini menunjukkan mitos kesejahteraan yang sering kali dijanjikan oleh industri pertambangan ketika masuk di suatu wilayah. Realitasnya malah menyebabkan kemiskinan struktural, utamanya terjadi pada perempuan, karena pertambangan memutus hubungan mereka terhadap ruang hidupnya. Mereka diputuskan ikatannya terhadap hutan, tanah, dan air, sehingga menjadi kaum yang terpinggirkan di tanahnya sendiri.

Dalam perspektif ekofeminisme bahwa alam dan perempuan memiliki keterkaitan yang saling terhubung satu sama lain, ketika alam itu dirusak oleh ekspansi industri ekstraktif, maka perempuan menjadi kelompok yang harus menanggung lebih kerugian tersebut. Hal tersebut diakibatkan sistem kapitalisme patriarki yang mendominasi, cenderung destruktif, dan memandang perempuan dan makhluk non-manusia sebagai objek pasif bukan subjek aktif yang memainkan peran (Vandana Shiva dalam Kevin, 2023).

Kemarahan ibu-ibu di Batu Kajang itu ditambah pula oleh abainya pemerintah dan aparat keamanan setempat terhadap keselamatan masyarakat serta hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini menunjukkan bahwa nyawa masyarakat tidak sebanding dengan bisnis pertambangan yang banyak menguasai ruang hidup masyarakat di Kalimantan Timur.

Padahal aturan soal larangan kendaraan pertambangan ini telah diatur dalam Peraturan Daerah Kalimantan Timur Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Jalan Umum dan Khusus untuk Kegiatan Pengangkutan Batu Bara dan Kelapa Sawit dengan tegas dan jelas melarang menggunakan jalan umum dan mewajibkan perusahaan batu bara dan kelapa sawit untuk menggunakan jalan khusus. Bahkan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) Nomor 3 Tahun 2020 juga dengan tegas melarang angkutan batu bara melintas di jalan umum.

Perempuan Batu Kajang di Garis Depan Perlawanan

Tahun 2023 menjadi awal perlawanan ibu-ibu desa Batu Kajang menolak truk hauling batu bara yang berasal dari PT Mantimin Coal Mining melintasi jalan umum. Mereka tidak lagi berharap terhadap pemerintah maupun aparat keamanan setempat, karena permasalahan yang mereka hadapi sudah berlarut-larut. Korban satu-persatu sudah berjatuhan tetapi tetap diabaikan. Mulai dari anak sekolah, ustaz, pendeta, dan masyarakat setempat meregang nyawa akibat aktivitas truk hauling.

Malam berganti malam, ibu-ibu dan masyarakat lainnya secara bergiliran berjaga dari trotoar jalan, posko, hingga pangkalan ojek menjadi tempat perlawanan mereka terhadap truk hauling batu bara yang nekat melintasi jalan umum. Tekad mereka sudah bulat bahwa tidak boleh ada lagi truk hauling yang melintas di desa mereka.

Dewi (bukan nama sebenarnya) salah seorang perempuan yang aktif ikut menolak aktivitas truk hauling di jalan umum menyatakan “Ada sekitar 1000 truk batu bara setiap harinya melintasi desa kami tiada hentinya. Sering kali mobil-mobil itu ugal-ugalan di jalan, bahkan lampu merah juga mereka terobos. Ini kan membahayakan nyawa kami ibu-ibu dan anak-anak yang setiap hari harus kami antarkan ke sekolahnya”.

“Dari situ kami ibu-ibu ini saling memberikan informasi dan bertukar pendapat mengenai persoalan itu. Setelah itu, kami juga mengundang masyarakat lainnya dan lembaga agama seperti Majelis Taklim dan Laskar Salawat untuk sama-sama menghalau truk-truk tambang ini. Padahal ada perjanjian perusahaan dengan masyarakat waktu itu bahwa ada jam khusus untuk mobil angkutan batu bara ini melintas, tetapi tetap saja mereka melanggarnya. Dari situ lah permulaan kami turun ke jalan,” terangnya.

Akhir tahun 2023, tepatnya bulan Desember, ibu-ibu bersama warga lainnya sudah begitu muak dengan truk hauling batu bara yang tetap melanggar perjanjian yang telah disepakati di awal antara perusahaan dan masyarakat. Mereka memutuskan untuk melawan dan turun ke jalan. Bentangan spanduk, kursi plastik yang dijejerkan di tengah jalan, ibu-ibu yang berdiri di garda terdepan, serta teriakan marah dari masyarakat lainnya, meriuhkan suasana pada saat itu, siang yang cerah berubah menjadi teduh, blokade itu mengisyaratkan bahwa ketidakadilan sudah memuncak.

Namun, blokade yang dilakukan pada saat itu juga mendapat perlawanan dari sejumlah oknum sopir truk hauling batu bara. Mereka menerobos barikade yang dibuat oleh masa aksi, kursi-kursi yang dijejerkan di tengah jalan beterbangan ke udara. Ibu-ibu yang berada di barisan depan terpaksa menghindar agar tidak terkena tabrakan dari truk-truk yang menerobos tersebut.

“Setelah aksi yang kami lakukan itu, angkutan batu bara agak mengurangi jumlahnya. Namun, masih tetap saja melintasi jalan umum di desa kami ini. Tapi, setidaknya aksi kemarin itu menunjukkan bahwa kami perempuan ini tidak mau anak-anak kami beserta masyarakat lainnya kembali menjadi korban,” Dewi menambahkan.

Aksi yang dilakukan oleh ibu-ibu di Batu Kajang dengan melakukan blokade di jalan umum terhadap truk batu bara tersebut memperlihatkan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan sosial dan lingkungan terus mereka alami. Perempuan sering kali menjadi barisan terdepan untuk menjaga sumber daya alam dan kelestarian lingkungan. Dalam hal ini, perempuan di Desa Batu Kajang tidak hanya secara eksklusif memperjuangkan keamanan dan keselamatan mereka sendiri, melainkan demi hak-hak masyarakat lainnya (Saputra et al., 2025).

Seperti peristiwa nahas yang dialami oleh Pendeta Pronika yang tewas terlindas truk angkutan batu bara pada Oktober tahun 2024 yang lalu di Dusun Muara Langon, Desa Muara Kate, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser. Peristiwa ini tidak hanya menyayat hati masyarakat di Muara Kate, tetapi juga menyayat hati warga lainnya seperti di desa tetangga mereka yakni Batu Kajang.

Beberapa hari setelah kejadian tersebut, masyarakat Muara Kate mendirikan posko serupa di Batu Kajang yakni untuk menolak adanya angkutan batu bara yang melintasi jalan umum. Masyarakat Batu Kajang terutama ibu-ibu kerap bersolidaritas terhadap perjuangan warga Muara Kate bahkan ikut dalam penjagaan.

Belum sebulan posko itu berdiri, 15 November 2024, posko tersebut diserang oleh orang yang tidak dikenal pada dini hari, sehingga menewaskan satu orang tokoh masyarakat adat Dayak Deah di Muara Kate yang pada saat itu tengah beristirahat di dalam posko. Rusel (60) meregang nyawa dengan luka di leher, sementara rekannya yakni Anson (55) selamat dalam peristiwa tersebut setelah lehernya juga mengalami luka sayatan.

Peristiwa penyerangan dan pembunuhan itu mengejutkan seluruh pihak. Utamanya warga yang aktif menolak aktivitas hauling di jalan umum. Kuat dugaan peristiwa tersebut memiliki keterkaitan dengan aksi penolakan yang warga lakukan. Hal ini juga menunjukkan teror dan intimidasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh aktivitas warga sehingga upaya ini juga sekaligus untuk meredam suara-suara dari masyarakat.

Suara-Suara Itu Menolak Dibungkam

Peristiwa keji yang menimpa dua tokoh masyarakat adat di Desa Muara Kate sama sekali tidak membuat takut masyarakat. Malahan peristiwa pembunuhan tersebut menimbulkan solidaritas dari khalayak luas. Mulai dari dosen, mahasiswa, hingga aktivis organisasi non-pemerintah ikut bersuara terhadap kasus tersebut.

Perempuan Batu Kajang juga semakin memperketat penjagaan mereka terhadap angkutan batu bara di jalan umum. Bulan Februari 2025, aksi ibu-ibu itu viral karena mereka kembali menemukan truk angkutan batu bara ilegal melintasi jalan umum. Mereka mencegat truk tersebut dan naik ke atas truk, mereka membuka terpal yang menutupi batu bara di dalamnya lalu membuang batu bara di tengah jalan.

Dalam video yang berdurasi sekitar 55 detik yang beredar luas di media sosial tampak salah seorang ibu dibantu dengan warga lainnya memanjat truk yang berwarna kuning dan berteriak “Batu bara sudah lewat, batu bara sudah lewat, kami stop, kami stop”.

Setelah dipastikan bahwa truk tersebut berisi batu bara, ibu-ibu tadi mengarak truk tersebut menuju kantor kecamatan Batu Sopang untuk diserahkan ke pihak pemerintah agar bertanggung jawab terhadap truk tersebut dan bukan lagi menjadi tanggung jawab dari masyarakat.

Ketika waktu menunjukkan dini hari, truk yang ibu-ibu tadi antarkan ke kantor camat, tiba-tiba secara misterius dibakar oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Kemudian, setelah beberapa hari peristiwa pembakaran tersebut, muncul teror baru terhadap ibu-ibu, beberapa orang keluar dari mobil mengenakan masker, mengancungkan senjata tajam sejenis parang kepada ibu-ibu dan warga lainnya yang tengah berjaga di posko pada dini hari. Beruntung pada saat kejadian tersebut tidak menimbulkan korban jiwa.

Teror dan intimidasi lainnya hingga kini juga kerap dirasakan oleh ibu-ibu, mulai dari orang tidak dikenal mondar-mandir di depan rumah mereka, ditelepon tanpa henti oleh nomor yang tidak dikenal, dan difitnah di media sosial yang menyatakan mereka telah diberi uang oleh pihak perusahaan.

Bahkan hal teranyar pada bulan Juni lalu, ratusan sopir truk angkutan batu bara asal Kalimantan Selatan melaksanakan demonstrasi  di simpang Tokare, Bajang. Mereka menuntut masyarakat yang menolak aktivitas hauling batu bara di jalan umum untuk memberikan solusi terhadap mereka dan menuntut agar kembali dibolehkan melintasi jalan umum.

Kedatangan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka lima bulan lalu di Desa Muara Kate membawa angin segar terhadap masyarakat di dua desa yakni Batu Kajang dan Muara Kate. Gibran memberi catatan khusus dan memerintahkan kepada pemerintah daerah untuk segera menyelesaikan permasalahan antara masyarakat dan perusahaan, serta adanya jaminan perlindungan hukum terhadap masyarakat (Alfian, 2025).

Namun, janji itu ibarat isapan jempol belaka. Awal bulan November yang lalu masyarakat Desa Muara Kate kembali menemukan aktivitas truk bermuatan batu bara melintasi jalan umum. Truk itu mengarah ke Kalimantan Selatan, masyarakat kembali harus was-was bahkan kecewa dengan sikap aparat keamanan yang dinilai lalai (Salim, 2025).

Bahkan, dua bulan pasca kedatangan Gibran di Muara Kate, Polda Kaltim menetapkan satu tersangka yang berasal dari salah satu warga yang keras menolak aktivitas hauling batu bara yakni Misran Toni. Bahkan Misran Toni dikenal sebagai penggagas aksi dan kerap hadir bersolidaritas. Karenanya keluarga, masyarakat, dan kuasa hukum Misran Toni menganggap bahwa penetapan tersangka terhadapnya hanya merupakan bentuk rekayasa untuk menutupi akar permasalahan sebenarnya (Angelina, 2025).

Dewi secara tegas mengatakan “bahwa kami menolak untuk dibungkam dan kami akan tetap bersuara atas persoalan ini. Kami tidak ingin anak-anak dan masyarakat lainnya menjadi korban akibat truk-truk itu, sudah cukup korban berjatuhan sebelumnya, jangan ditambah lagi.”

Kuat dan tabahnya para perempuan di Desa Batu Kajang ini mengingatkan pada satu sajak puisi dari Widji Thukul. Seorang penyair dan aktivis yang berasal dari Solo, ia diculik pada rezim Orde Baru dan hingga kini belum ditemukan keberadaannya.

Puisinya itu berjudul “Sajak Suara” berikut saya kutip beberapa penggalan puisi tersebut untuk menggambarkan para perempuan di Batu Kajang:

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan

Di sana bersemayam kemerdekaan

Apabila engkau memaksa diam

Aku siapkan untukmu: pemberontakan!

 

Bacaan lebih lanjut

Angelina, D. (2025). Keluarga Tersangka Sebut Misran Toni Tidak Punya Motif Apapun,
Tim Advokasi Yakin Penyidik Tak Mampu Temukan Mens Rea Kasus Muara Kate.
Kaltimpost. https://kaltimpost.jawapos.com/utama/2386803751/keluarga-tersangka-
sebut-misran-toni-tidak-punya-motif-apapun-tim-advokasi-yakin-penyidik-tak-mampu-
temukan-mens-rea-kasus-muara-kate

Alfian, E. (2025). Respons Gibran di Muara Kate: Tegur Pejabat, Janji Tuntaskan Kasus
Russel. IDN TIMES KALTIM. https://kaltim.idntimes.com/news/kalimantan-
timur/respons-gibran-di-muara-kate-tegur-pejabat-janji-tuntaskan-kasus-russel-00-
htmy4-yr2zct

GM, F & Rahmi, I, P. (2019). Detail Perizinan Kaltim yang Lebih Luas dari Daratan
Provinsi dan Membuat Murka Pimpinan KPK. Kaltimkece.
https://kaltimkece.id/warta/lingkungan/detail-perizinan-kaltim-yang-lebih-luas-dari-
daratan-provinsi-dan-membuat-murka-pimpinan-kpk

Jatam Kaltim. (2025). Samarinda Kota Korban Tambang: Korban ke-49 Lubang Tambang
di Kaltim. Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur.
https://jatamkaltim.org/siaran-pers/samarinda-kota-korban-tambang-korban-ke-49-
lubang-tambang-di-kaltim

Kevin, A. (2023). Chipko : Relasionalitas Perempuan “ Liyan ” dalam Etika
Ekofeminisme Berdasarkan Pemikiran Komparatif Vandana Shiva dan Armada
Riyanto. Jurnal Ekologi, Masyarakat Dan Sains, 4.
https://share.google/x6DoCqPMbkYcgGbOQ

Kalimantan Riview. (2025). Masyarakat Muara Kate – Batu Kajang Desak Pemerintahan
Rudy – Seno Lindungi Keselamatan Warga dari Lalu Lintas Truk Tambang Batubara.

Kalimantan Riview. https://kalimantanreview.com/masyarakat-muara-kate-batu-
kajang-desak-pemerintahan-rudy-seno-lindungi-keselamatan-warga-dari-lalu-lintas-
truk-tambang-batubara/2/

Maulana, S. (2019). Siapa Penguasa Tanah Kaltim? Kaltimkece.
https://kaltimkece.id/warta/lingkungan/siapa-penguasa-tanah-kaltim

Saputra, B., Timmerman, B, S, O., Rizki, G, A., Collins, J, S., Destishinta, L, Y., Thohir,
M, A., Niko, N., Jannah, R., Effendi, S, N., & Dakamoli, S, W, A. (2025).
Indonesia Dibangun Rakyat Digusur: Menelusuri Sengkarut Hukum, Sosial,
Ekologis atas Pembangunan Nasional di Indonesia (1st ed.). Penerbit Semut Api & Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.

Salim, N, A. (2025). Buka-Bukaan Ditlantas soal Hauling Muara Kate: Polisi Berdiri,
Semua Patuh. EksposKaltim. https://eksposkaltim.com/berita-15526-bukabukaan-
ditlantas-soal-hauling-muara-kate-polisi-berdiri-semua-patuh.html

Trihastuti, N., Ridwan., & F. (2014). Tanah, Tambang, dan Masyarakat Adat (1st ed.).
Indepth Publishing. https://id.scribd.com/document/882155111/C1-Tanah-Tambang-
Dan-Masyarakat-Adat

Suara yang Tertimbun di Balik Industri Ekstraktif di Sulawesi

Di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, tiap pagi, debu dan asap akan menutupi halaman rumah warga desa sekitar. Kehidupan masyarakat berubah drastis sejak industri tambang nikel mulai dijalankan. Sungai yang awalnya sangat jernih kini berubah warna, dan perempuan yang selama ini menjadi penjaga kehidupan rumah dan ladang mereka, harus berjuang lebih keras untuk tetap memastikan bahwa keluarga mereka punya persediaan air bersih yang cukup. Di Sulawesi, khususnya bagian Morowali dan Konawe, industri pertambangan ini bukan hanya mengubah alam, tapi juga cara masyarakat sekitar untuk hidup.

Tercatat bahwa perempuan adalah kelompok yang paling terdampak karena mereka kehilangan ruang untuk hidup, sumber air bersih, dan waktu untuk dirinya sendiri (AEER 2024). Mereka dulunya bergantung pada alam dan sekarang harus bergantung pada air galon dan bahan pangan pabrik. Ironisnya, di balik kata “kemajuan” yang sering digemparkan orang-orang, banyak perempuan yang justru hidup dalam ketidakstabilan dan kerapuhan.

Fakta bahwa tambang membawa pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipatahkan. Dalam data World Bank, sektor ini menaikkan PDB lokal hingga 8% di beberapa wilayah Sulawesi. Namun, pertumbuhan ekonomi ini tidak berjalan seimbang. Keuntungan lebih banyak mengalir ke perusahaan besar dan investor asing, sementara masyarakat lokal, khususnya perempuan menghadapi dampak sosial dan ekologis yang berat (Bank 2022).

Banyak dari mereka yang harus melepaskan tempat tinggal dan mata pencaharian yang sudah ada sejak lama. Pencemaran air dan tanah membuat aktivitas harian yang dulunya mudah menjadi semakin sulit dan mahal, dari mencuci hingga menanam sayuran di halaman rumah.

Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks ini jarang sekali terlihat dengan mata kepala. Hal ini hadir secara struktural dan sistematik. Mereka sangat jarang dilibat aktifkan saat terjadi pengambilan keputusan terkait perizinan atau pengelolaan tambang. Ketika perusahaan beroperasi, dampaknya langsung mengenai kehidupan sehari-hari mereka.

Perempuan yang berada di area pertambangan di Sulawesi mengalami double burden karena kehilangan mata pencaharian mereka dan meningkatnya tekanan sosial (Dutt et al. 2007). Pekerjaan domestik mereka tidak dianggap sebagai bagian dari “dampak ekonomi” sektor industri.

Banyak perempuan di Morowali yang baru menyadari pengaruh dari aktivitas pertambangan setelah lahan mereka tidak bisa ditanami dan sumur menjadi kering. Padahal, data dari World Bank dengan jelas mengatakan bahwa hanya sekitar 7,1% tenaga kerja di sektor ini adalah perempuan dan sebagian besar berada di posisi informal atau non-teknis dengan upah yang terbilang rendah. Suara mereka hampir tidak terdengar dalam pengambilan tiap kebijakan, baik itu dari tingkat desa maupun perusahaan. Situasi ini menggambarkan bagaimana industri besar bisa mempersempit ruang hidup perempuan.

Selain itu, fakta bahwa kurangnya transparansi atau keterbukaan dari perusahaan pertambangan juga memperparah keadaan ini. Data Informasi tentang limbah, izin operasi, atau efek jangka panjang terhadap kesehatan sulit diakses, sehingga perempuan kehilangan dasar untuk memperjuangkan hak-haknya (Atikah 2024). Ketertutupan ini menjadi salah satu bentuk kekerasan yang tidak terlihat dan sering kali tidak disadari oleh masyarakat umum.

Meski begitu, di beberapa desa terdampak ada perempuan yang mulai berani untuk bersuara dan melawan dengan cara mereka sendiri. Mereka membentuk sebuah komunitas dan mendokumentasikan dampak lingkungan, menulis laporan komunitas, dan menuntut hak atas air bersih. Ada juga mengembangkan pertanian pertanian organik dan usaha pangan lokal. Dari langkah-langkah kecil itu, muncul harapan baru bahwa perubahan bisa dimulai dari tangan mereka.

Kisah perempuan-perempuan ini mengingatkan bahwa kekerasan tidak selamanya berbentuk fisik. Kadang, kekerasan itu hadir karena ada kebijakan yang menyingkirkan suara dari berbagai pihak, atau lewat pembangunan yang tidak berpihak. Ketika air, tanah, dan suara mereka diabaikan, maka lahirlah kekerasan ekologis, luka yang tidak tampak dan akan terus diingat. Perjuangan mereka penting karena menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi juga agen perubahan.

Membangun sektor industri tanpa melibatkan perempuan sama dengan membangun di atas luka. Dalam membangun, seharusnya kita tidak hanya fokus pada keuntungan saja,  tapi juga tentang kehidupan masyarakat daerah sekitarnya. Perempuan bukan hanya sekadar pihak yang terdampak, tapi bagian penting dari sebuah solusi. Memberi mereka ruang berarti memastikan bumi tetap bisa menjadi rumah. Mengangkat isu ini bukan sekadar soal empati semata. Ini tentang keadilan sosial dan ekologis. Perempuan bukan hanya pihak yang terdampak, tetapi juga penjaga terakhir ruang hidup yang sehat dan berkelanjutan.

Memberi mereka hak suara dalam narasi pembangunan berarti membersamai dan memastikan bahwa industri tidak hanya menggerakkan ekonomi, tapi juga menjaga martabat dan hak-hak warga yang terdampak.

 

Referensi:

AEER. 2024. “The Impact of Nickel on the Lives of Women in the Morowali Nickel Smelter Circle.” AEER (Aksi Ekologi Dan Emansipa Rakyat). 2024. https://www.aeer.or.id.

Atikah, Gita Ayu. 2024. “TRANSPARENCY IN CORPORATE REPORTING: Assessment of Mining Companies in Indonesia.”

Bank, World. 2022. “Sulawesi Development Diagnostic : Achieving Shared Prosperity Sulawesi Development Diagnostic.” World Bank Group. Washington, D.C. https://documents.worldbank.org.

Dutt, Lahiri, Kuntala, Mahy, and Petra. 2007. “Impacts of Mining on Women and Youth in Indonesia : Two Mining Locations.” Canberra. https://internationalwim.org.

Ketika Bumi dan Tubuh Perempuan Sama-sama Terluka

Di berbagai wilayah industri ekstraktif yang ada di Indonesia, perempuan menanggung dampak paling berat dari hilangnya ruang hidup atas tanah dan sumber air akibat konsesi tambang yang ada di sekitarnya. Mereka juga yang tentu akan merasakan dan menghadapi tekanan ekonomi, sosial, hingga kekerasan yang sering kali tak terlihat.

Namun di tengah situasi itu, perempuan tidak berhenti pada peran sebagai korban. Kehidupan sehari- hari mereka yang tak lepas dari keberadaan tanah dan air membuat perempuan berada di garis terdepan perlawanan. Mereka semakin sulit untuk mencari air, kehilangan ladang-ladang pertanian akibat alih fungsi lahan, menanggung biaya pangan yang juga kian meningkat, serta harus memastikan keluarga mereka tetap hidup di tengah lingkungan yang kian rusak.

Kekerasan yang dialami oleh perempuan di sekitar kawasan tambang merupakan bentuk kriminalisasi yang tak hanya berwujud pukulan atau ancaman fisik. Ia menyelinap secara halus menembus batas-batas tubuh, ruang serta budaya. Ketika sumber air tercemar limbah industri dan tanah kehilangan kesuburannya, beban kerja domestik perempuan pun secara bersamaan akan semakin bertambah. Ketika lahan pertanian telah berganti menjadi lubang-lubang tambang, perempuan pun akan kehilangan ruang produktifnya. Kemudian, ketika suara mereka sering kali terabaikan dalam musyawarah atas nama pembangunan, di situlah wujud dari kekerasan kultural sedang berlangsung.

Tubuh perempuan dan tubuh bumi sama-sama dieksploitasi dalam logika yang serupa, keduanya dipandang sebagai sumber daya yang bisa diambil, dikendalikan, dan dieksploitasi tanpa batas. Namun di tengah luka dan kehilangan itu, tumbuh pula keberanian, resistensi perempuan dan aksi perlawanan ekologis yang menunjukkan bahwa dalam aktivitas ekstraktif, perempuan tidak berhenti sebagai korban. Mereka justru berdaya membangun solidaritas kolektif, menjadikannya sebagai sumber kekuatan untuk melawan ketidakadilan yang merampas ruang hidup mereka.

Kekerasan perempuan dalam industri ekstraktif dan bagaimana wujud perlawanan perempuan terhadapnya merupakan sebuah fenomena sosial-ekologis yang mengingatkan saya pada sebuah buku yang pernah saya baca. Buku ini menampilkan realitas sosial yang diterbitkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) berjudul Berontak Sebagai Syarat Kehidupan: Kebengisan Industri Tambang di Mata Perempuan Kepulauan (2023).

Membaca buku ini, saya menemukan sebuah pola yang sama di berbagai daerah industri tambang. Perempuan merupakan sosok yang berdiri paling depan ketika ruang hidup mereka terancam. Dari Amungme hingga Wae Sano, dari Sangihe hingga Wadas dan Dairi, mereka menolak logika yang sama bahwa alam dan tubuh perempuan bisa dieksploitasi tanpa batas.

Perlawanan Perempuan terhadap Industri Ekstraktif di Berbagai Daerah

Di Tanah Amungme, Papua Tengah, sosok Yosepha Alomang merupakan sebuah simbol perlawanan terhadap kehadiran PT Freeport sejak akhir 1960-an. Ia menggugat perusahaan hingga ke pengadilan di New Orleans, Amerika Serikat. Yosepha bahkan pernah ditahan dan disiksa, tapi tetap berdiri teguh, menganggap bahwa gunung, sungai, dan tanah sebagai tubuhnya sendiri. Baginya, melindungi tanah berarti melindungi martabat manusia.

Kemudian di Pulau Sangihe, Maria dan kelompok Save Sangihe Island mengorganisir warga untuk menolak tambang emas PT Tambang Mas Sangihe. Mereka tak hanya turun ke jalan, tapi juga menggugat secara hukum hingga Mahkamah Agung dan berhasil memenangkan tuntutan. Di tengah intimidasi dan kriminalisasi, mereka tetap bertahan dengan keyakinan sederhana: menjaga tanah adalah menjaga masa depan anak-anak mereka.

Beralih ke Jawa Tengah, Wadon Wadas menolak penambangan batu andesit untuk proyek Bendungan Bener. Mereka menanam pohon, menganyam besek sebagai simbol ketahanan ekonomi, hingga menggelar doa bersama di jalan untuk menghadang aparat. Solidaritas antarperempuan menjadi tembok yang menjaga desa dari ketakutan, bahkan ketika mereka dilabeli ‘antipembangunan’.

Sementara di Flores, Mathildis Felni dan perempuan-perempuan di Wae Sano menolak proyek panas bumi yang mengancam sumber air mereka. Mereka menolak suap dan janji palsu, menulis surat ke Bank Dunia agar menghentikan pendanaan, dan terus bersuara demi kehidupan yang damai dan aman bersama lingkungan.

Di Sumatera Utara, terdapat Parulian Tambun memimpin perlawanan perempuan di Dairi melalui ritual budaya Mangandung, ratapan yang menjadi ekspresi politik. Ia menyadarkan perempuan di desanya akan bahaya tambang seng yang mencemari air dan tanah. Bagi Parulian, menangis bukan tanda lemah, tapi cara untuk menghidupkan kembali suara perempuan yang terlalu lama dibungkam.

Benang Merah Perjuangan Perempuan

Meski datang dari wilayah dan budaya yang berbeda, tetapi perjuangan mereka terhubung oleh benang merah yang kuat. Mereka sama-sama mempertahankan ruang hidup atas tanah, air, udara, dan budaya dari perampasan industri ekstraktif. Mereka berjuang bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk generasi mendatang agar masih bisa menanam dan minum air bersih.

Mereka menghadapi krisis multidimensi: ekologis, ekonomi, sosial, dan budaya, tapi tetap memilih berdiri di garis depan, bahkan di tengah struktur masyarakat yang patriarkis. Dalam perjuangan itu, kekerasan sering menjadi konsekuensi. Yosepha disiksa dan dipenjara, Imel dari Wadas ditangkap, Maria dan rekan-rekannya diintimidasi, tapi tidak satu pun berhenti melawan. Mereka sadar, diam berarti menyerahkan kehidupan kepada ketidakadilan.

Perlawanan perempuan-perempuan melawan industri ekstraktif ini ibarat sebuah orkestra pertahanan. Setiap tokoh memainkan instrumen yang berbeda, ada yang menempuh jalur hukum, ada yang berorasi dalam bahasa budaya, ada yang menenun solidaritas melalui dapur umum dan doa bersama. Tapi mereka memainkan lagu yang sama yakni menjaga harmoni antara manusia dan bumi. Mereka adalah penjaga kehidupan, menolak membiarkan akar-akar generasi mendatang dicabut oleh mesin tambang.

Perlawanan perempuan terhadap tambang bukan sekadar kisah lokal, melainkan sebuah cermin bahwa di tengah sistem yang eksploitatif, kehidupan selalu mencari jalan untuk bertahan.

 

Bacaan lebih lanjut:

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Berontak Sebagai Syarat Kehidupan: Kebengisan Industri Tambang di Mata Perempuan Kepulauan. Jakarta: JATAM, 2023.

 

Seyyed Hossein Nasr dan Seruan untuk Taubat Ekologis

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-Rum: 41)

Ayat tersebut terdengar seperti gema masa kini. Setiap kali kita membaca berita tentang banjir yang menenggelamkan rumah, kebakaran hutan yang menutupi langit dengan asap, atau laut yang dipenuhi limbah, seolah-olah Al-Qur’an sedang berbicara langsung kepada kita. Bahwa alam memberi tanda, dan manusia diajak untuk menyadari kerusakan yang terjadi bukan tanpa sebab, ia lahir dari tangan kita sendiri, tangan manusia.

Singkatnya, bumi yang rusak adalah cermin dari manusia yang kehilangan arah. Dan di balik krisis ekologis yang kita hadapi, sesungguhnya ada krisis yang lebih dalam yakni krisis spiritual. Filsuf muslim asal Iran, Seyyed Hossein Nasr, sejak lama sudah banyak menulis bahwa akar dari bencana lingkungan bukan sekadar salah urus sumber daya, melainkan perubahan cara pandang manusia terhadap alam. Karena dalam peradaban modern, alam tak lagi dipahami sebagai makhluk hidup, melainkan benda mati yang bisa dieksploitasi. Alam dijadikan objek, sementara manusia menempatkan diri sebagai penguasa.

Manusia telah belajar bagaimana menaklukkan gunung, membendung sungai, membelah bumi untuk tambang, dan mengubah udara menjadi energi. Manusia juga tahu bagaimana memecah atom, tapi lupa bagaimana mendengarkan suara hujan. Menurut Nasr, disitulah letak akar malapetaka modern, ia menyebutnya sebagai “desakralisasi alam” atau hilangnya kesadaran bahwa alam ini suci, bahwa ia adalah tanda-tanda Tuhan yang terbentang.

Menurutnya, ketika alam kehilangan kesuciannya di mata manusia, relasi spiritual yang harusnya terjalin menjadi runtuh. Manusia merasa terpisah dari alam dan karena itu, merasa berhak menguasai dan mengeksploitasinya. Padahal, dalam pandangan Islam, manusia bukan penguasa mutlak. Al-Qur’an menyebut manusia sebagai khalifah fil ardh, sebagai wakil Tuhan di bumi. Tapi sesungguhnya, wakil bukan berarti penguasa, ia justru pemegang amanah untuk menjaga keseimbangan dan keadilan di muka bumi, bukan merusaknya.

Dalam pandangan Islam, alam juga makhluk Tuhan yang hidup. Pohon, air, tanah, bahkan batu, semuanya bertasbih dengan caranya masing-masing. Maka ketika manusia menebang hutan sembarangan, mencemari air, atau menutup tanah dengan beton, sesungguhnya ia sedang menindas makhluk-makhluk yang turut berzikir kepada Tuhan. Dan ketika itu terjadi, keseimbangan kosmis pun turut terganggu.

Jadi krisis lingkungan yang kita lihat hari ini: banjir, kekeringan, pencemaran, perubahan iklim bukan hanya gejala alam, melainkan juga gejala spiritual. Dalam titik tertentu, ia adalah refleksi dari batin manusia yang kehilangan kesadaran tentang tempatnya di alam semesta. Menurut Nasr, manusia modern telah menjadikan dirinya sebagai pusat dari segala hal, fenomena itu ia sebut sebagai antroposentrisme sekuler, ketika dunia dilihat hanya dari kacamata manusia, sementara Tuhan dan alam disingkirkan ke pinggir.

Nasr tidak berhenti pada kritik saja. Ia menawarkan jalan keluar dengan membangun kembali sains dan pengetahuan di atas dasar spiritualitas. Ia menyebutnya sebagai “sains sakral” atau ilmu yang tidak hanya mencari tahu bagaimana alam bekerja, tapi juga mengapa ia ada. Dalam sains sakral, pengetahuan tidak terlepas dari makna dan peneliti bukan pengendali, tetapi penafsir tanda-tanda Tuhan.

Alam tidak dipelajari untuk dieksploitasi, melainkan untuk dikenali dan dihormati.

Melalui pandangan itu, menjaga lingkungan bukan urusan aktivisme belaka, melainkan bagian dari ibadah. Bahkan dalam titik tertentu, merawat bumi adalah cara manusia menegakkan tauhid di dunia fisik. Misalnya, Ketika seseorang menanam pohon, menghemat air, atau menolak keserakahan industri, ia sejatinya sedang menjalankan peran spiritualnya sebagai khalifah.

Bahkan Nasr menyebut bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Jika kiamat datang sementara di tanganmu ada benih, maka tanamlah.” Pesan nabi sederhana, bahkan ketika dunia akan berakhir, manusia tetap diperintahkan menanam, karena menanam adalah bentuk harapan, bentuk cinta, dan bentuk kesetiaan kepada Tuhan.

Nasr juga melihat bahwa tobat ekologis adalah kunci penyembuhan bumi. Bahwa maksud kembali ke jalan yang benar, bukan hanya berarti berhenti merusak lingkungan secara fisik, tetapi juga memulihkan hubungan batin antara manusia, alam, dan Tuhan. Taubat ekologis berarti kembali melihat alam dengan mata yang suci, dengan kesadaran bahwa semua yang ada di bumi ini memiliki ruh dan makna.

Ketika hati manusia dipenuhi rasa cukup, bukan keserakahan, maka pola hidupnya pun berubah. Ia tidak akan mengambil lebih dari yang dibutuhkan dan akan menjaganya karena merasa terhubung. Krisis ekologis, dengan demikian, bukanlah sekadar persoalan lingkungan, tapi panggilan untuk memperbarui iman, untuk menghidupkan kembali kesadaran bahwa segala sesuatu di alam ini adalah tanda kasih Tuhan.

Kita sering mencari Tuhan di tempat-tempat suci, di masjid, mihrab, kitab, dan doa. Tapi mungkin, sebagaimana diingatkan Nasr, Tuhan juga menunggu kita di tempat yang paling dekat: di daun yang gugur, di aliran air sungai, di aroma tanah setelah hujan. Krisis lingkungan bisa menjadi panggilan bagi manusia untuk menemukan Tuhan di balik ciptaan-Nya.

Pada akhirnya, menyelamatkan bumi berarti menyelamatkan diri sendiri dari keterasingan. Karena ketika manusia kehilangan hubungan dengan bumi, ia juga kehilangan hubungan dengan Penciptanya. Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, bumi tidak butuh diselamatkan dari manusia, melainkan manusialah yang butuh diselamatkan dari dirinya sendiri. Bagaimanapun bumi masih berputar, masih menumbuhkan pohon, masih menurunkan hujan. Justru yang perlu disembuhkan adalah cara kita memandangnya.

 

*Tulisan ini merupakan ringkasan dari penelitian skripsi di Program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir berjudul “Konsep Ekologi Islam dalam Q.S Ar-Rum ayat 41 Studi atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr”

Diskursus Fikih Lingkungan di Ma’had Aly

Masih segar dalam ingatan saya, teman-teman Ma’had Aly membuat surat petisi atas kebijakan pengurus pondok pesantren yang mau menebang pohon di depan asrama kami. Saya yakin di balik kebijakan itu ada niat yang baik. Mungkin demi kebersihan. Namun, menebang pohon hanya dengan alasan kebersihan tanpa ada alasan lain yang mendesak tentu tidak dibenarkan oleh Islam. “Hal itu tidak sesuai dengan nusus syari’ah dan maqashidnya”, begitu kira-kira kesimpulan diskusi kami.

Fikih lingkungan mungkin masih jarang dibahas di sebagian pesantren. Meski demikian, ada rasa optimis fikih di pesantren menuju ke sana. Contohnya dalam literasi fikih klasik menebang pohon ketika kondisi perang saja tidak diperbolehkan. Memang pada prinsipnya, Islam melarang merusak lingkungan hidup. Allah SWT berfirman “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya” (QS. al-A’raf: 56).

Mengomentari ayat ini, al-Qurthubi menegaskan bahwa Allah SWT melarang praktik perusakan lingkungan. Baik kerusakan yang ditimbulkan itu ringan atau fatal. Bahkan secara lebih rinci, al-Dhahhak menjelaskan bahwa secara implisit ayat ini melarang perusakan ekosistem air dan penebangan pohon tanpa tujuan yang jelas. Ulama kontemporer, Sayyed Hossen Nasr berpendapat bahwa krisis lingkungan atau ekologi adalah akibat dari krisis spiritual manusia modern.

“Telah nampak kerusakan kerusakan di daratan dan lautan sebab apa yang telah diperbuat oleh tangan-tangan manusia” (QS.ar-Rum:41).

Manusia dianggap telah alpa dari nilai-nilai spiritual khususnya dalam mengelola lingkungan. Oleh karenanya sangat penting merujuk kembali kepada aturan agama mengenai cara menjaga keseimbangan alam semesta, demi menghindari kerusakan-kerusakan yang akan terjadi.

Salah satu yang dapat menjadi solusi adalah menggagas fikih lingkungan. Ma’had Aly, sebagai instansi perguruan tinggi di pesantren memiliki peran yang cukup sentral dalam wacana ini. Sebagai lembaga yang konsen di bidang agama, Ma’had Aly bukan hanya dituntut untuk menyebarkannya dalam bentuk gagasan, akan tetapi juga dalam bentuk praktik yang kongkret.

Dengan fikih lingkungan, pesantren melalui Ma’had Aly sudah seharusnya dituntut melakukan diskusi, konservasi bahkan restorasi. Melalui kajian Maqashid, fikih di pesantren perlu menanyakan kebutuhan menjaga lingkungan, mengambil posisi dari klasemen maslahat: dharuriyah, hajiyah atau tahsiniyah? Apa dan bagaimana arti satu pohon dalam kelangsungan kehidupan manusia selanjutnya? Mengingat Indonesia termasuk sepuluh besar penyumbang emisi karbon terbesar di dunia.

Sesuatu yang pada asalnya adalah makruh atau mubah bisa saja menjadi haram karena keadaan lingkungan dan masyarakat yang berbeda. Berkenaan dengan ini, Ibn Qoyyim al-Jauziyah memperkenalkan adagium penting: taghayyur al-fatwa bi taghayyur al-azman wa al-amkinah, perubahan fatwa karena perubahan waktu dan tempat.

Begitu pun dalam menggagas fikih lingkungan ini, tidak seyogianya kita mendasarkan semuanya pada teks-teks klasik tanpa mengkaji hukum Islam secara empiris. Itu tidak salah, tetapi menjadi tidak seimbang membandingkan problem-problem lingkungan yang terus berkembang dengan ketersediaan hukum dalam literatur-literatur fikih klasik.

Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa para juris Islam selalu memperhatikan realitas lingkungan dan masyarakat dalam mengembangkan pola istinbath hukumnya. Imam as-Syafi’i misalnya telah berani membuat evolusi pemikiran dari old opinion (qaul qadim) menuju new opinion (qaul jadid) yang keduanya tidak lepas dari kajian empiris terhadap realitas lingkungan di Baghdad dan Mesir ketika itu.

Pada fase ini kita tidak sepenuhnya lepas dan bebas dari fatwa para juris Islam dalam teks-teks klasik dan beralih total pada fakta empiris, melainkan mengajak lebih cermat dan dinamis melihat realitas yang ada. Maka semestinya cara kerja fikih yang formal-immutabel tidak lagi terjadi, yang ada seharusnya cara kerja fikih yang bersifat dinamis-adabtability bahkan responsif. Wallahu a’lam.

Rupa Angkuh Pembangunan dan Hak Hewan yang Tersingkirkan

Genap satu abad pasca perayaan perdana yang diinisiasi oleh Heinrich Zimmermann pada 1925, seruan untuk mempertimbangkan keberadaan hewan dalam setiap kebijakan publik harus diorkestrasi lebih nyaring didengungkan dari sebelumnya. Menjelang perayaan Hari Hewan Sedunia pada 4 Oktober tahun ini bukan sekadar seremonial tahunan belaka.

Peringatan itu merupakan alarm keras bahwa kerusakan habitat dan kehancuran ekosistem yang menyingkirkan atau bahkan merampas hak hidup flora dan fauna adalah bagian dari krisis lingkungan yang lebih sistemik dewasa ini. Bagaimana pun, diskursus tentang keadilan lingkungan tidak cukup jika hanya difokuskan pada manusia semata. Hewan juga merupakan salah satu subjek kehidupan yang turut menanggung beban keputusan pembangunan yang diambil manusia dengan segala ambisinya.

Menyikapi kondisi yang tengah terjadi, data global memperlihatkan gambaran yang mengkhawatirkan. Misalnya, laporan Living Planet Report (LPR) 2024 yang dirilis oleh WWF, rata-rata ukuran populasi vertebrata mengalami penurunan sekitar 73% dalam rentan waktu 1970 hingga 2020. Artinya, penurunan siginifikan ini memperlihatkan bahwa bumi tengah mendekati titik kritis akibat hilangnya alam dan perubahan iklim.

Tak selesai di situ, ketika populasi satwa liar anjlok begitu tajam, dampaknya meluas ke hilangnya jasa ekosistem, berkurangnya ketahanan pangan, dan meningkatnya risiko zoonosis. Dalam jangka waktu yang panjang semua ini dapat berimplikasi langsung pada kualitas hidup generasi manusia di masa mendatang.

Ketika hutan diekspoilitasi besar-besaran, lahan dikonversi menjadi perkebunan, petak habitat terfragmentasi untuk infrastruktur dan usaha ekstraktif, hewan kehilangan tempat hidupnya. Kebijakan pembangunan tanpa mempertimbangkan nasib spesies dan habitatnya sama dengan mengambil keputusan yang mengakibatkan penurunan fungsi alam yang pada akhirnya merugikan manusia.

Dominasi Manusia dan Hak Fauna yang Tersisihkan

Mengapa suara hewan dan kebutuhan habitat mereka nyaris tak pernah diikutsertakan dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan? Ada beberapa sebab struktural dan ideologis yang saling terkait.

Pertama, paradigma pembangunan yang mengutamakan GDP sebagai tolok ukur utama. Pembangunan dinilai berhasil ketika ada pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan investasi. Nilai-nilai ini mudah diukur dan dinyatakan dalam angka.

Sementara itu, kualitas habitat, keberlangsungan spesies, dan jasa ekosistem cenderung dinilai sebagai eksternalitas. Eksternalitas itu sering diabaikan ketika keputusan dibuat. Dampaknya, konversi hutan untuk tambang atau perkebunan bisa dilihat sebagai kemenangan ekonomi jangka pendek.

Kedua, kesenjangan normativa tentang hak non-manusia. Sistem hukum modern pada umumnya dibangun untuk subjek hukum manusia dan badan hukum. Hewan dan ekosistem jarang memiliki status hukum yang memberi mereka kepentingan yang wajib dipertimbangkan dalam proses publik.

Akibatnya ketika ada perizinan proyek, kepentingan hewan tidak mendapatkan perlakuan setara dengan kepentingan investor atau pemerintah daerah. Meski ada perkembangan hukum lingkungan dan konservasi, implementasinya sering lemah. Di banyak kasus penegakan hukum lingkungan kalah cepat dibanding kepentingan ekonomi yang mendesak.

Ketiga, ketidaksetaraan politik. Kelompok yang paling terdampak oleh kehancuran habitat sering kali tidak memiliki suara politik yang kuat. Komunitas adat dan masyarakat lokal yang menjaga kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati sering dimarjinalkan.

Mereka tidak diundang atau suaranya diabaikan ketika kebijakan tata ruang atau izin tambang dibuat. Sementara itu aktor korporasi dan pemegang modal punya akses langsung ke birokrasi dan legislatif. Kondisi ini menjadikan proses pengambilan keputusan lebih berpihak pada kepentingan ekonomi tertentu.

Keempat, ketidaktahuan atau penyangkalan tentang hubungan antara kesehatan ekosistem dan kesejahteraan manusia. Banyak pembuat kebijakan belum cukup memahami bahwa habitat sehat berfungsi sebagai sistem penyangga. Hutan menyimpan air dan karbon, dan terumbu karang melindungi pantai dan menopang mata pencaharian nelayan.

Ketika layanan ini runtuh, kerugian ekonomi jangka panjang bisa jauh lebih besar dari keuntungan jangka pendek yang diperoleh oleh pengembang. Kurangnya pemikiran jangka panjang ini menimbulkan kebijakan yang merusak.

Kelima, praktek pembangunan yang berbasis ekstraksi. Model ekonomi yang berorientasi ekstraksi mendorong pemanfaatan sumber daya alam yang berskala besar. Tambang, perkebunan monokultur, dan infrastruktur besar sering membentuk koridor penghancur habitat.

Di banyak kasus izin diberikan tanpa analisis dampak lingkungan yang bermakna. Ketika analisis ada pun, rekomendasi mitigasi sering tidak dilaksanakan secara serius. Akibatnya pembangunan berlangsung sambil menyingkirkan kehidupan lain secara sistematis.

Semua faktor di atas berkontribusi pada satu kenyataan menyakitkan bahwa hewan dan habitatnya dianggap sebagai sumber daya yang bisa diatur kembali untuk tujuan manusia, dan mereka jarang dipandang sebagai subjek yang memiliki kepentingan inheren.

Strategi Kebijakan yang Berpihak Pada Semua Makhluk Hidup

Lalu bagaimana menata ulang proses pengambilan kebijakan agar hak hewan atas habitat dan ekosistem yang asri mendapat tempat?

Pertama, integrasikan nilai jasa ekosistem dalam evaluasi proyek. Ini bukan sekadar jargon semata. Setiap analisis biaya manfaat proyek harus memasukkan nilai jasa ekosistem yang hilang dan nilai ini harus dinilai secara konservatif. Jika kehancuran habitat menimbulkan risiko banjir, erosi, atau hilangnya penopang mata pencaharian lokal, biaya tersebut harus ditimbang saat izin dipertimbangkan.

Kedua, berikan status hukum yang melindungi habitat kritis. Negara bisa menetapkan kawasan khusus dengan dasar hukum yang kuat. Selain itu tingkatkan pengakuan hukum bagi kawasan kelola adat. Bukti global memperlihatkan bahwa wilayah yang dikelola masyarakat adat mempertahankan keanekaragaman hayati lebih baik. Pengakuan ini sekaligus memperkuat suara lokal dalam proses perencanaan.

Ketiga, terapkan prinsip kehati-hatian secara nyata. Ketika proyek berpotensi merusak habitat yang belum sepenuhnya dipahami, sebaiknya ditunda atau ditolak sampai mitigasi yang benar-benar efektif tersedia. Sebagai alternatif, memakai klausa moratorium berdasarkan risiko ekologis adalah pilihan yang bertanggung jawab.

Keempat, libatkan ahli biologi konservasi dan perwakilan masyarakat sipil dalam meja keputusan. Keputusan tata ruang atau perizinan harus melewati mekanisme konsultasi yang bermakna, dan tidak cukup hanya mengumumkan rencana. Harus ada forum yang memberi mandat kepada warga dan ilmuwan untuk mempengaruhi keputusan.

Kelima, reformasi ekonomi agar nilai alam tercerminkan dalam kebijakan fiskal. Insentif fiskal bagi praktik ramah lingkungan dan penalti bagi perusak habitat harus diberlakukan secara konsisten. Skema pembayaran jasa lingkungan, pajak atas deforestasi, atau penilaian risiko lingkungan dalam pinjaman bisa menjadi alat yang efektif.

Dengan strategi dan cara alternatif seperti itu, kita berharap dalam momentum perayaan Hari Hewan Sedunia tahun ini dapat menjadi titik balik khususnya bagi bangsa Indonesia untuk mengubah wajah lama soal pembangunan yang hanya berpihak pada kepentingan oligarki dan pemodal, tanpa melibatkan partisipasi publik, masyarakat adat dan hak-hak hewan dan tumbuhan yang terus menjadi korban dan tersingkirkan dari habitat aslinya menjadi kebijakan yang lebih inklusif, partisipatif, berkelanjutan dan melibatkan hak-hak hewan sebagai subjek penting dalam kehidupan.

Agama, Alam, dan Ilmu yang Lupa Pulang

Betapa pun majunya ilmu dan teknologi pada saat ini, terdapat sisi krusial yang paling mendasar untuk tidak boleh dilepaskan, yaitu sisi spiritualnya. Hal ini, tidak lain agar ilmu pengetahuan tidak terlepas dari cara pandangnya yang seimbang, antara kehidupan dengan tujuan pengetahuan itu sendiri.

Pada masa awal, tidak ada tujuan lain dari ilmu pengetahuan kecuali untuk menemukan kearifan. Dalam sebuah kata pengantar oleh Kyai Ali Yafie, dalam bukunya yang berjudul Merintis Fiqh Lingkungan Hidup (2006), beliau memberikan sebuah pernyataan: bahwa sikap dasar sebuah ilmu adalah bersifat ekologis, dengan segenap persepsi yang harmonis akan tatanan alam dan kehidupan manusia.

Dengan pemahaman yang disampaikan oleh Kyai Ali Yafie, dapat kita artikan bahwa sebuah persepsi atau cara pandang manusia terhadap tatanan alam dan kehidupan liannya adalah faktor utama dalam menghadirkan tujuan ilmu yang akan diaplikasikan oleh manusia sebagai subjek ilmu itu sendiri.

Fitjrof Capra dalam bukunya yang berjudul Titik Balik Peradaban (1999), membeberkan akan cara pandang yang dominan di Eropa dan di sebagian besar peradaban lainnya pada masa pra-abad ke-15, yakni cara pandang yang bersifat organis. Di mana alam dipandang sebagai sesuatu yang bersifat organik, hidup, dan memiliki dimensi spiritual.

Sehingga tidak heran, pada permulaan abad 13 ketika Raja Philip Agustus berkuasa, air sungai Seine terlihat sangat jernih layaknya kristal. Bahkan saking jernihnya, orang-orang dapat melihat ikan dan bebatuan yang terhampar di dasar sungai Seine hanya dari atas jembatan saja (Yafie, 2006).

Dengan cara pandang yang tidak egosentris terhadap alam, pada masa itu ilmu pengetahuan masih difungsikan dengan seimbang, lingkungan dan segenap isinya masih terjaga dan lestari. Sehingga, pembahasan terkait pencemaran lingkungan pun masih kurang diperhatikan.

Sebut saja, karya-karya klasik dalam disiplin fikih (hukum Islam) pada masa lalu, tidak ditemukan adanya satu rumpun bab yang membahas persoalan lingkungan, pembahasan lingkungan dalam fikih lahir pada abad akhir-akhir ini, ketika pencemaran lingkungan melahirkan dampaknya yang begitu luas.

Pencemaran lingkungan mulai terasa dampaknya, yaitu setelah masa Revolusi Industri, ketika orientasi ilmu pengetahuan tidak lagi pada kearifan, melainkan pada pertumbuhan demi pertumbuhan yang akhirnya alam diposisikan sebagai mesin untuk bisa memenuhi kebutuhan manusia secara maksimal.

Revolusi Industri pada abad ke XIX adalah masa titik balik sebuah peradaban, mulai dari cara pandang dominan manusia pada alam, pergeseran orientasi ilmu pengetahuan, hingga munculnya beberapa permasalahan lingkungan hidup, yang mencakup pencemaran air, tanah, gundulnya hutan, dan krisis iklim dalam tingkatan global.

Keterangan lanjut yang disampaikan Kyai Ali Yafie dalam pengantar Merintis Fiqh lingkungan Hidup (2006), membeberkan pula asal muasal terjadinya titik balik peradaban yang telah disebutkan itu. Titik balik tersebut, bermula ketika dimensi spiritual mulai dikesampingkan dari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, para ilmuwan menganggap agama sebagai belenggu akal pikiran dan menjadi batu sandungan dalam menggapai kesempurnaan hidup.

Hal itu, dapat diperkuat dengan beberapa jargon yang dikeluarkan para ilmuwan pada masa itu, seperti Francis Bacon yang hidup pada abad ke-17 yang mengatakan “nam et ipsa scientia potestas est, karena ilmu pengetahuan itu sendiri adalah kekuasaan”. Di lain sisi, jargon “cogito, ergo sum, aku berpikir maka aku ada” yang disampaikan Rene Descartes telah mendukung akan supremasi akal dalam ilmu pengetahuan.

Pada gilirannya, anggapan demikian telah menjadikan ilmu pengetahuan terlepas bebas dari dimensi spiritualnya, dan pada saat yang sama ia memainkan peran penting dalam perkembangan teknologi yang menjadi sarana pertumbuhan. Sehingga, pembangunan demi pembangunan terus digalakkan dengan berbagai cara agar pertumbuhan ekonomi dapat digapai titik klimaksnya.

Mengembalikan Agama dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Melihat pencemaran lingkungan yang terjadi di Indonesia sendiri, perlu bagi kita untuk bisa menyegarkan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menyisipkan nilai-nilai agama di dalamnya. Sebut saja seperti Fikih Lingkungan, ia dapat mengambil perannya yang sangat signifikan atas tindakan manusia dengan alam.

Indonesia dengan mayoritas muslimnya, akan menjadi sangat mungkin untuk menjadikan Fikih Lingkungan sebagai pedoman dalam menghadapi berbagai krisis yang telah menimpa lingkungan hidup. Sebab Fikih adalah sebuah manifestasi pesan suci umat muslim terkait berbagai tindakan manusia di muka bumi, yang tiada lain tujuannya adalah agar kehidupan manusia teratur, bermartabat, adil, dan makmur sampai di akhirat kelak.

Hal itu, dapat kita lihat melalui karya-karya fikih klasik yang sebagian besar di dalamnya membahas tindakan manusia, yang dibagi menjadi empat bab: Ubudiyah (yang membahas hubungan antara manusia dengan tuhannya), Mu’amalah (yang mengatur hubungan manusia dengan manusia), Munakahah (yang menata hubungan manusia dalam lingkup keluarga), dan Jinayah (yang menata tertib pergaulan manusia untuk menjamin keselamatan dan ketenteramannya dalam hidup).

Persoalan lingkungan yang menjadi masalah besar kehidupan saat ini, adalah sebuah persoalan yang mesti dijangkau dalam disiplin fikih. Sebab, tujuan fikih—sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya—adalah untuk menghilangkan segala bentuk bahaya yang menghampiri manusia dan mendatangkan kebahagiaannya.

Proses pertumbuhan yang tidak seimbang dengan segenap dampak buruknya, yang baik secara langsung atau tidak, telah menjadikan manusia dalam keadaan bahaya. Sebut saja, pencemaran air yang diakibatkan eksplorasi tambang di wilayah timur Indonesia, ia telah menyumbang berbagai jenis penyakit, sepeti Ispa yang menyerang kulit masyarakat setempat (Lihat beberapa laporan dari Greenpeace di akun Instagramnya, di Tahun 2025).

Di sinilah agama memerankan perannya untuk bisa mengontrol ilmu pengetahuan dan teknologi dalam wujud Fikih Lingkungan. Sehingga pertumbuhan pembangunan tidak lagi sampai melewati batasnya, yang telah banyak memberikan dampak buruk dalam kehidupan manusia. Karena, norma agama—dalam hal ini Islam—sangat menghargai akan keberlangsungan hidup manusia.

Walhasil, persoalan lingkungan hidup bukan hanya sekadar pencemaran belaka, lebih dari itu meliputi cara pandang yang seimbang terhadap alam dan ilmu pengetahuan yang tidak boleh terlepas dari sisi spiritualnya.

Luka Ekologis Atas Nama Pembangunan

Selama lebih dari satu abad, bumi telah menjadi saksi sejarah bagaimana geliat eksploitasi atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dengan menumbalkan lingkungan hidup terus dilakukan. Penebangan hutan gila-gilaan, gunung dihancurkan dan diratakan, tanah dikeruk dan ditambang habis-habisan, pantai direklamasi, sungai-sungai tercemar limbah industri, tanah adat dirampas paksa, dan biru langit tertutup kabut asap kebakaran hutan. Korporasi, selaku aktor utama yang mendominasi roda ekonomi, menjadi motor utama laju pembangunan berlangsung.

Dalam realitas, glorifikasi atas pembangunan yang dikumandangkan akan membawa kemakmuran itu justru memproduksi luka-luka ekologis dan sosial yang akut, terutama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang lebih dari separuh hidupnya berdampingan dengan alam. Ironisnya, dalam setiap pidato soal pertumbuhan, suara mereka yang termarjinalkan justru diredam, dibiarkan, bahkan dikriminalisasi.

Dengan dalih efisiensi dan profitabilitas, kedudukan hak dasar manusia khususnya atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat ditumbalkan demi meraup keuntungan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Deforestasi, reklamasi, alih fungsi lahan dan kerusakan ekosistem lainnya bukan hanya merusak sendi-sendi keseimbangan alam, tapi juga mengoyak jaring pengaman sosial dan budaya masyarakat adat yang selama berabad-abad telah lebih dulu tinggal dan berdampingan dengan alam, sebelum ekskavator dan mesin-mesin pabrik itu masuk.

Merujuk laporan Earth Commision, enam dari sembilan planetary boundaries kini telah terlampaui. Bencana ekologis, krisis iklim serius hingga hilangnya keanekaragaman hayati adalah sejumlah indikator yang mempengaruhinya. Ini bukan soal peringatan ilmiah, tapi sinyal serius bahwa kompas pembangunan global perlu dikoreksi secara radikal.

Dalam keterlibatannya sebagai aktor pengelola sumber daya alam, korporasi memang mempunyai potensi ekonomi yang besar: membuka lapangan kerja, menaikan penerimaan negara, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, potensi yang diperoleh ini tidak boleh semata-mata menjadi alat legitimasi atas pelanggaran HAM dan eksploitasi lingkungan yang menyertainya.

Sebab, seperti halnya ditegaskan dalam Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights I UNGPs), sektor bisnis mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi sekaligus memenuhi hak asasi manusia, termasuk yang berkelindan langsung dengan keberlanjutan lingkungan.

Beberapa tahun akhir ini, geliat publik internasional dalam menuntut tanggung jawab korporasi atas krisis lingkungan mulai memperlihatkan hasil yang signifikan. Misalnya, Uni Eropa telah meluncurkan EU Deforestation-free Regulation (EUDR), yang akan melarang produk dari lahan deforestasi masuk ke pasar eropa.

Sementara, di Inggris dan Amerika Serikat, kebijakan serupa masih dalam proses penggodokan. Semangat utama dari regulasi ini adalah tanggung jawab lintas batas untuk memproteksi keberlanjutan lingkungan global, sekaligus memastikan bahwa perlindungan terhadap HAM di sepanjang rantai pasok dilaksanakan.

Namun, regulasi ini tidak akan berjalan optimal jika tidak dikelola mulai dari hulu masalah. Tanggung jawab tidak hanya dilekatkan pada konsumen dan negara-negara importir, negara produsen pun mesti berkomitmen untuk mengadopsi kerangka kerja yang menjamin keberlanjutan. Pemerintah selaku regulator, mempunyai tanggung jawab lebih untuk memastikan bahwa kegiatan usaha tidak melampaui pagar pembatas ekologis dan etis.

Kerangka kerja internasional seperti United Nations Global Compact (UNGC) menyediakan pedoman penting. Sejumlah prinsip fundamental soal uji tuntas HAM, akuntabilitas lingkungan, dan kontribusi pemangku kepentingan lokal mesti menjadi standar baku dalam setiap operasi bisnis. Lebih dari itu, keterbukaan dan keterlibatan publik juga perlu dipastikan, agar perusahaan tidak hanya mempertimbangkan akumulasi kapital jangka pendek, tapi juga keberlanjutan jangka panjang.

Di Indonesia, pengimplementasian prinsip bisnis dan HAM masih menghadapi kompleksitas kendala struktural sekaligus kultural. Ketakutan bahwa audit dan uji tuntas yang dilakukan akan membuka dosa dan borok-borok masa lalu membuat sejumlah korporasi enggan mengadopsinya.

Sementara dari aspek lain, aturan hukum yang seringkali tumpang tindih, ditambah dengan paradigma pembangunan yang mengesampingkan eksistensi HAM dan lingkungan, membuat proses ini berjalan di tempat. Kondisi ini kian diperparah dengan minimnya insentif bagi korporasi yang mau melakukan peralihan ke teknologi hijau dan biaya produksi yang rendah.

Kendati demikian, ruang harapan selalu terbuka lebar. Hal ini semakin nampak dari kesadaran konsumen global yang semakin tinggi, tekanan dari investor dan lembaga keuangan internasional, serta kekuatan narasi publik yang kian kritis, lebih banyak telah memaksa sejumlah korporasi untuk memperbaiki jarum kompas kebijakan bisnisnya.

Di tengah arus digitalisasi, citra dan reputasi kini menjadi nyawa perusahaan. Kasus pelanggaran HAM hingga praktik eksploitasi lingkungan yang viral di media sosial dapat berdampak signifikan terhadap kondisi saham dan nilai pasar perusahaan.

Sektor usaha tak bisa lagi acuh dan memilih jalan yang netral. Ia harus memutuskan: menjadi bagian dari solusi, atau ia tetap berada di pihak utama terjadinya kerusakan terus berlanjut. Dalam kondisi bumi yang kian dihadapkan dengan ancaman krisis iklim yang kian nyata di depan muka, hanya korporasi yang berkomitmen pada upaya keberlanjutan dan perlindungan HAM yang akan bertahan. Profitabilitas jangka panjang hanya akan diperoleh melalui etika, keterbukaan dan keberpihakan pada kondisi bumi dan kemanusiaan.

Sementara itu, pihak pemerintah mulai dari level pusat hingga desa, perlu mengambil peran yang lebih tegas sesuai dengan proporsinya. DPR dan Pemerintah harus mendesain produk undang-undang yang mewajibkan uji tuntas HAM dan lingkungan dalam setiap kegiatan usaha. Kebijakan ini bukan hanya imperatif, tapi juga mendesak.

Dalam tataran teknis, instrumen penegakan hukum pun harus senapas dengan insentif kebijakan bagi perusahaan yang patuh dan kooperatif. Selain itu, RUU Masyarakat Adat yang hingga saat ini masih dibahas, mesti mengakomodasi kepentingan mereka, pemetaan dan pengakuan secara utuh hak atas tanah leluhurnya.

Pembangunan ekonomi tak boleh menghapus jejak sosial, budaya dan ekologisnya. Ambisi pertumbuhan yang mengorbankan mata air, udara yang bersih, hutan yang asri dan komunitas lokal yang berdampingan adalah rimba belantara bagi keberlanjutan lingkungan.

Indonesia sebagai negara tropis dan kepulauan yang mempunyai komposisi hutan dan alam yang cukup besar dan kaya atas flora dan fauna, masih memiliki peluang untuk memutar balikkan haluan: dari ekonomi destruktif-eksploratif menuju ekonomi regeneratif. Meski sulit, namun pilihan ini hanya mungkin terlaksana jika keberpihakan pada HAM dan lingkungan dijadikan fondasi utama, bukan sebatas catatan kaki atau penghias narasi nir-implementasi.