Fakta Baru: Anak Menjadi Korban Child Grooming
Pada tahun 2024, tren kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtPA) menunjukkan peningkatan yang tidak bisa diabaikan. Di daerah dan Kabupaten TTU (Nusa Tenggara Timur), pemerintah daerah melaporkan lonjakan kasus KtPA yang mencakup kekerasan seksual, KDRT, hingga pelanggaran hak asuh anak.
Catatan ini menandakan bahwa anak-anak, terutama perempuan, semakin rentan menjadi sasaran kekerasan yang sering kali dilakukan oleh orang terdekat, termasuk dalam bentuk yang tidak selalu mudah dikenali seperti child grooming. Fenomena ini menunjukkan bagaimana kekerasan terhadap anak tidak selalu hadir dalam bentuk fisik yang eksplisit, tetapi sering kali tersembunyi di balik relasi yang tampak akrab, penuh bujuk rayu, dan berlangsung dalam jangka waktu panjang.
Child grooming adalah proses sistematis ketika pelaku membangun hubungan emosional dan kepercayaan dengan seorang anak dan kerap kali juga dengan lingkungannya untuk kemudian mengeksploitasi anak tersebut secara seksual. Fenomena ini kerap terjadi secara diam-diam, terutama melalui ruang digital yang minim pengawasan.
Di Indonesia, mekanisme hukum untuk menindak pelaku child grooming masih berproses, dan belum sepenuhnya mampu merespons kompleksitas relasi yang dibangun oleh pelaku. Sebagian besar kasus tidak langsung teridentifikasi sebagai kekerasan, karena pelaku tidak menggunakan kekerasan fisik, melainkan manipulasi psikologis yang sulit dibuktikan secara hukum.
Menurut pendekatan psikologi perkembangan, anak-anak yang menjadi korban grooming berada dalam posisi kognitif dan emosional yang belum matang untuk membedakan antara afeksi palsu dan niat predatoris. Pelaku sering menyamar sebagai figur yang peduli, memahami kebutuhan emosional anak, atau bahkan menggantikan peran orang tua yang absen secara emosional atau fisik.
Dalam konteks ini, grooming tidak hanya mencederai martabat dan tubuh anak, tetapi juga merampas kepercayaan dasarnya terhadap dunia sosial. Ketika anak mulai merasa nyaman atau bergantung pada perhatian pelaku, maka batas antara relasi sosial yang wajar dan kekerasan yang terselubung menjadi kabur.
Sosiolog anak melihat child grooming sebagai bagian dari ketimpangan relasi kuasa. Anak yang mengalami penelantaran baik dalam bentuk fisik, emosional, maupun ekonomi lebih mudah menjadi sasaran pelaku grooming. Dalam banyak kasus, pelaku bukan hanya hadir sebagai teman, tetapi juga sebagai sosok penyelamat bayangan. Mereka menyediakan akses terhadap perhatian, makanan, hadiah, atau sekadar komunikasi yang konsisten, yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua atau pengasuh utama.
Di titik inilah, penelantaran anak berkontribusi pada kerentanan struktural. Anak yang tidak mendapatkan haknya atas pengasuhan dan perlindungan secara layak memiliki risiko lebih tinggi untuk masuk dalam jerat grooming.
Dari perspektif hukum, child grooming telah mulai diatur dalam beberapa regulasi seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mengakui pentingnya pencegahan kekerasan sejak tahap awal relasi. Pasal-pasal dalam UU ini mulai membuka ruang untuk menindak pelaku yang menggunakan manipulasi dalam tahapan pra-eksploitasi. Namun dalam praktiknya, pembuktian grooming tetap menjadi tantangan. Apalagi ketika konteksnya terjadi di dunia digital, kala komunikasi bisa terhapus, tidak disadari orang tua, dan pelaku menyembunyikan identitasnya.
Penelantaran anak sendiri, sebagai bentuk kekerasan yang lebih jarang diperbincangkan, juga memiliki implikasi besar. Anak yang tidak memperoleh pengasuhan memadai dari orang tua, baik karena ketidakhadiran fisik, kemiskinan, konflik rumah tangga, atau beban kerja orang tua yang berat—cenderung mencari afeksi dan perhatian dari luar rumah. Dalam ruang ini, pelaku grooming dapat dengan mudah masuk.
Sayangnya, penelantaran anak sering dianggap sebagai urusan domestik atau ‘masalah keluarga’ yang tidak perlu campur tangan negara. Padahal, dalam logika perlindungan anak, setiap bentuk pengabaian adalah potensi ancaman terhadap keselamatan anak, termasuk membuka ruang bagi terjadinya grooming.
Oleh karena itu, perlindungan terhadap anak dari grooming tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum yang fokus pada penindakan, tetapi juga memerlukan pendekatan sosial, psikologis, dan struktural. Orang tua perlu mendapatkan dukungan untuk membangun relasi yang hangat dengan anak, sementara sekolah dan institusi pendidikan harus menjadi ruang yang mampu mengedukasi anak tentang batasan tubuh dan relasi aman. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa anak-anak, terutama yang mengalami penelantaran atau hidup dalam kondisi miskin, tidak dibiarkan tumbuh tanpa pengasuhan yang memadai.
Dalam konteks ini, child grooming tidak boleh dilihat sebagai fenomena individu belaka. Ia adalah bagian dari relasi sosial yang timpang, dari struktur keluarga yang rapuh, dari sistem sosial yang masih menempatkan anak-anak di posisi yang lemah. Kesadaran kolektif untuk mengatasi child grooming hanya akan tumbuh bila kita melihat kekerasan bukan sebagai peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi sebagai hasil dari sistem yang gagal menyediakan ruang aman bagi anak untuk tumbuh, belajar, dan merasa berharga.










