Fakta Baru: Anak Menjadi Korban Child Grooming

Pada tahun 2024, tren kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtPA) menunjukkan peningkatan yang tidak bisa diabaikan. Di daerah dan Kabupaten TTU (Nusa Tenggara Timur), pemerintah daerah melaporkan lonjakan kasus KtPA yang mencakup kekerasan seksual, KDRT, hingga pelanggaran hak asuh anak.

Catatan ini menandakan bahwa anak-anak, terutama perempuan, semakin rentan menjadi sasaran kekerasan yang sering kali dilakukan oleh orang terdekat, termasuk dalam bentuk yang tidak selalu mudah dikenali seperti child grooming. Fenomena ini menunjukkan bagaimana kekerasan terhadap anak tidak selalu hadir dalam bentuk fisik yang eksplisit, tetapi sering kali tersembunyi di balik relasi yang tampak akrab, penuh bujuk rayu, dan berlangsung dalam jangka waktu panjang.

Child grooming adalah proses sistematis ketika pelaku membangun hubungan emosional dan kepercayaan dengan seorang anak dan kerap kali juga dengan lingkungannya untuk kemudian mengeksploitasi anak tersebut secara seksual. Fenomena ini kerap terjadi secara diam-diam, terutama melalui ruang digital yang minim pengawasan.

Di Indonesia, mekanisme hukum untuk menindak pelaku child grooming masih berproses, dan belum sepenuhnya mampu merespons kompleksitas relasi yang dibangun oleh pelaku. Sebagian besar kasus tidak langsung teridentifikasi sebagai kekerasan, karena pelaku tidak menggunakan kekerasan fisik, melainkan manipulasi psikologis yang sulit dibuktikan secara hukum.

Menurut pendekatan psikologi perkembangan, anak-anak yang menjadi korban grooming berada dalam posisi kognitif dan emosional yang belum matang untuk membedakan antara afeksi palsu dan niat predatoris. Pelaku sering menyamar sebagai figur yang peduli, memahami kebutuhan emosional anak, atau bahkan menggantikan peran orang tua yang absen secara emosional atau fisik.

Dalam konteks ini, grooming tidak hanya mencederai martabat dan tubuh anak, tetapi juga merampas kepercayaan dasarnya terhadap dunia sosial. Ketika anak mulai merasa nyaman atau bergantung pada perhatian pelaku, maka batas antara relasi sosial yang wajar dan kekerasan yang terselubung menjadi kabur.

Sosiolog anak melihat child grooming sebagai bagian dari ketimpangan relasi kuasa. Anak yang mengalami penelantaran baik dalam bentuk fisik, emosional, maupun ekonomi lebih mudah menjadi sasaran pelaku grooming. Dalam banyak kasus, pelaku bukan hanya hadir sebagai teman, tetapi juga sebagai sosok penyelamat bayangan. Mereka menyediakan akses terhadap perhatian, makanan, hadiah, atau sekadar komunikasi yang konsisten, yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua atau pengasuh utama.

Di titik inilah, penelantaran anak berkontribusi pada kerentanan struktural. Anak yang tidak mendapatkan haknya atas pengasuhan dan perlindungan secara layak memiliki risiko lebih tinggi untuk masuk dalam jerat grooming.

Dari perspektif hukum, child grooming telah mulai diatur dalam beberapa regulasi seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mengakui pentingnya pencegahan kekerasan sejak tahap awal relasi. Pasal-pasal dalam UU ini mulai membuka ruang untuk menindak pelaku yang menggunakan manipulasi dalam tahapan pra-eksploitasi. Namun dalam praktiknya, pembuktian grooming tetap menjadi tantangan. Apalagi ketika konteksnya terjadi di dunia digital, kala komunikasi bisa terhapus, tidak disadari orang tua, dan pelaku menyembunyikan identitasnya.

Penelantaran anak sendiri, sebagai bentuk kekerasan yang lebih jarang diperbincangkan, juga memiliki implikasi besar. Anak yang tidak memperoleh pengasuhan memadai dari orang tua, baik karena ketidakhadiran fisik, kemiskinan, konflik rumah tangga, atau beban kerja orang tua yang berat—cenderung mencari afeksi dan perhatian dari luar rumah. Dalam ruang ini, pelaku grooming dapat dengan mudah masuk.

Sayangnya, penelantaran anak sering dianggap sebagai urusan domestik atau ‘masalah keluarga’ yang tidak perlu campur tangan negara. Padahal, dalam logika perlindungan anak, setiap bentuk pengabaian adalah potensi ancaman terhadap keselamatan anak, termasuk membuka ruang bagi terjadinya grooming.

Oleh karena itu, perlindungan terhadap anak dari grooming tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum yang fokus pada penindakan, tetapi juga memerlukan pendekatan sosial, psikologis, dan struktural. Orang tua perlu mendapatkan dukungan untuk membangun relasi yang hangat dengan anak, sementara sekolah dan institusi pendidikan harus menjadi ruang yang mampu mengedukasi anak tentang batasan tubuh dan relasi aman. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa anak-anak, terutama yang mengalami penelantaran atau hidup dalam kondisi miskin, tidak dibiarkan tumbuh tanpa pengasuhan yang memadai.

Dalam konteks ini, child grooming tidak boleh dilihat sebagai fenomena individu belaka. Ia adalah bagian dari relasi sosial yang timpang, dari struktur keluarga yang rapuh, dari sistem sosial yang masih menempatkan anak-anak di posisi yang lemah. Kesadaran kolektif untuk mengatasi child grooming hanya akan tumbuh bila kita melihat kekerasan bukan sebagai peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi sebagai hasil dari sistem yang gagal menyediakan ruang aman bagi anak untuk tumbuh, belajar, dan merasa berharga.

Darurat Fatherless

UNICEF melaporkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang “kehilangan ayah” (fatherless). Fatherless mengacu pada kondisi saat seorang anak tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah. Fatherless tak sebatas pada anak yang ditinggal mati atau korban perceraian, melainkan juga karena absennya peran seorang ayah dalam pengasuhan dan perkembangan anak.

Salah satu penyebab fatherless adalah masih kuatnya hegemoni budaya patriarki di masyarakat. Dalam konstruksi masyarakat patriarkis, peran dan fungsi jender dibagi dan dibedakan berdasarkan akses terhadap ruang: ruang domestik dan publik. Laki-laki berperan dan menjalankan fungsinya di ruang publik, sementara perempuan berada di ruang domestik. Konstruksi jender ini dipengaruhi oleh norma-norma jender yang berasal dari budaya maupun agama (pemahaman keagamaan).

Dalam budaya Jawa misalnya disebut bahwa seorang istri adalah “konco wingking” (teman belakang). Artinya, peran dan fungsi perempuan berada di belakang, yaitu di sumur, dapur, dan kasur. Dalam bahasa Jawa, wanita dianggap berasal dari “wani ditata” (berani ditata). Ini mengandung dua pengertian.

Pertama, berani bila diatur. Artinya, wanita bersedia diatur, tidak membantah dan tidak melawan. Kedua, berani atau tidak ragu bila diatur atau menurut saja bila diatur. Norma-norma jender ini bertemu dan diperkuat dengan pemahaman keagamaan—dalam hal ini Islam—yang berkembang di masyarakat bahwa suami (laki-laki) adalah “qawwam” (pemimpin) bagi istrinya (QS al-Nisa:34).

Karena itu, suami adalah kepala keluarga sekaligus penanggung jawab perekonomian keluarga. Di Indonesia norma-norma jender ini melembaga dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bahwa suami adalah kepala keluarga dan memiliki kewajiban untuk melindungi istri serta memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya.

Maria Mies (1986), feminisi Marxis dari Jerman, menyebut proses “merumahkan” perempuan ini dengan nama housewifization (pengibu-rumahtanggaan). Ideologi ini bekerja melalui proses kaum perempuan secara sosial didefinisikan sebagai ibu rumah tangga, yang bergantung pada pendapatan suami, tanpa mengindahkan apakah secara de facto ia ibu rumah tangga atau bukan (Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara).

Pembagian tugas berdasarkan norma-norma jender ini berpengaruh langsung terhadap pola pengasuhan anak. Seolah-olah pengasuhan dan perkembangan anak hanyalah kewajiban dan tanggung jawab seorang istri karena tugas suami keluar rumah mencari nafkah. Akhirnya, anak tumbuh dan berkembang tanpa sentuhan seorang ayah, karena ayahnya disibukkan dengan urusan-urusan di luar rumah.

Padahal, kehadiran seorang ayah dalam mengontrol pertumbuhan dan pengasuhan anak sangat penting dan krusial dalam kehidupan rumah tangga dan masa depan anak.  Dalam Islam, pola pengasuhan, pendidikan dan pertumbuhan anak tidak hanya dibebankan pada salah satunya saja. Suami-istri diberi tanggung jawab mendidik dan membesarkan anak-anaknya, baik melalui pendidikan informal, nonformal, maupun pendidikan formal.

Seorang anak, kata Nabi Muhammad SAW, ibarat “selembar kertas putih” (fitrah). Kedua orang tuanyalah yang memberi warna pada kertas tersebut.  “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia seorang Yahudi, Nasrani, maupun Majusi,” ujar Nabi SAW. Meskipun hadis ini berbicara dalam konteks agama (agama keturunan), tetapi pengertian yang lebih luas mengacu pada peran dan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya. Sekali lagi, Islam tak menyebut salah satunya saja melainkan keduanya (dual parenting).

Sentuhan dan kehadiran seorang ayah dibutuhkan ketika anak menginjak usia usia 7-14 tahun. Di usia emas inilah  peran seorang ayah diperkuat, yaitu mencintai (loving), melatih (coaching) dan sebagai panutan atau uswah hasanah (modelling) bagi anak-anaknya. Seorang anak yang kehilangan kasih sayang, pendidikan, dan pengawasan dari ayahnya rentan mengalami depresi, antisosial, terjerumus dalam tindak kriminal dan kekerasan, seks bebas maupun narkoba.

Agar tercipta kesalingan antara suami dan istri dalam pola pengasuhan anak, maka dibutuhkan keterbukaan dalam pola pembagian kerja antara keduanya. Bahwa pembagian peran dan fungsi berdasarkan jender bukanlah sesuatu yang baku dan tak dapat diubah. Itu hanyalah sebuah konstruksi sosial.

Jangan sampai perbedaan itu menimbulkan ketidakadilan dan merugikan salah satu pihak. Pembagian kerja berdasarkan jender sesungguhnya bersifat cair dan bisa dipertukarkan. Mengasuh anak adalah tugas bersama dan harus dilakukan secara bersama-sama (suami-istri).

Memaknai Kembali Kehadiran Anak dalam Keluarga

Anak adalah kehidupan,
Mereka sekadar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri

Kahlil Gibran

~~~

23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Kehadiran anak memang dinanti dalam setiap keluarga. Bahkan ada pandangan dalam masyarakat, bahwa keluarga belum paripurna tanpa kelahiran buah hati. Tak heran banyak orang tua yang rela melakukan berbagai terapi untuk dapat melahirkan kehidupan baru. Meski demikian, tak semua orang tua dapat dengan mudah memeroleh keturunan.

Bagi masyarakat lain, adagium ‘banyak anak, banyak rezeki’ juga menjadi motivasi utama melahirkan banyak anak. Memang dalam banyak keyakinan keagamaan, termasuk Islam, memahami bahwa setiap orang sudah mempunyai rezekinya masing-masing. Dengan demikian, setiap makhluk bernyawa di bumi ini tak akan ditelantarkan oleh Tuhan.

Bergabungnya motivasi keagamaan dan kebudayaan tersebut mendorong peningkatan populasi yang masif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 284,44 juta jiwa, meningkat dari 255,59 juta jiwa pada tahun 2015. Artinya ada kenaikan sampai 30 juta jiwa selama satu dekade terakhir. Kalau dihitung rata-rata, setiap tahun bertambah 3 juta jiwa atau 8.219 jiwa setiap hari.

Dengan peningkatan yang masif itu, banyak kalangan menyebut negara ini pada tahun 2045 akan mencapai bonus demografi. Artinya pada saat itu, usia produktif masyarakat Indonesia surplus. Hal ini yang perlu menjadi perhatian bersama. Apakah benar ini menjadi bonus demografi atau sebaliknya berubah menjadi bencana populasi?

Peningkatan populasi manusia di mana saja, perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemenuhan lapangan kerja. Jika tidak, berkah bisa menjadi musibah. Tak perlu menunggu sampai tahun 2045, hari ini pun kita menyaksikan betapa susah generasi Z memeroleh pekerjaan. Karenanya, terus meningkatnya populasi warga dunia ini perlu mendapat perhatian serius. Terutama berbarengan dengan perayaan Hari Anak Nasional ini. Sepertinya kita perlu mendefinisikan kembali arti kehadiran anak dalam sebuah keluarga. Tulisan sederhana ini mencoba mengulas makna anak terutama dalam kerangka Al-Quran.

Anak Adalah Anugerah Tuhan

Dalam Al-Quran Surat al-Syura ayat 49-50, Allah Swt berfirman:

لِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ ۗيَهَبُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ اِنَاثًا وَّيَهَبُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ الذُّكُوْرَ ۙ اَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَّاِنَاثًا ۚوَيَجْعَلُ مَنْ يَّشَاۤءُ عَقِيْمًا ۗاِنَّهٗ عَلِيْمٌ قَدِيْرٌ

Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan (keturunan) laki-laki dan perempuan, serta menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.

Dalam ayat tersebut, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik. Pertama, anak itu merupakan anugerah Allah. Imam As-Sa’di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa pernikahan sebagai sebab kelahiran anak. Tetapi yang memberikan dan meniupkan ruh kepada anak adalah Allah Swt. Manusia perlu berikhtiar dengan menikah, tetapi tidak semua yang sudah menikah lantas mempunyai anak. Karenanya poin kedua dan lanjutan dari ayat tersebut, kita pun belajar bahwa ada orang-orang yang aqiim, mandul atau tidak dapat memeroleh keturunan.

Menarik untuk melihat redaksi ayat tersebut, sebab Allah tidak membedakan laki-laki atau perempuan. Artinya, siapa pun bisa mandul. Selama ini stereotip yang melekat bahwa kemandulan itu karena istri, padahal suami pun bisa mengalaminya. Berkaitan dengan anugerah ini, maka ada tanggung jawab yang perlu diperhatikan oleh orang tua. Hal ini juga ditegaskan dalam Surat An-Nisa ayat 9:

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).

Anak Penyejuk Hati

Tanggung jawab mempersiapkan generasi penerus yang kuat memang menjadi tugas bagi generasi yang datang sebelumnya. Dengan mempersiapkan generasi yang tangguh, kehadiran anak dapat menjadi penyejuk hati. Sebagaimana yang terekam dalam Al-Quran Surat Al-Qashash ayat 9, dialog antara Fir’aun dan istrinya sebagai berikut:

وَقَالَتِ امْرَاَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّيْ وَلَكَۗ لَا تَقْتُلُوْهُ ۖعَسٰٓى اَنْ يَّنْفَعَنَآ اَوْ نَتَّخِذَهٗ وَلَدًا وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ

Istri Firʻaun berkata (kepadanya), “(Anak ini) adalah penyejuk hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya. Mudah-mudahan dia memberi manfaat bagi kita atau kita mengambilnya sebagai anak.” Mereka tidak menyadari (bahwa anak itulah, Musa, yang kelak menjadi sebab kebinasaan mereka).

Ayat tersebut memberikan sifat yang mulia terhadap kehadiran anak sebagai penyejuk hati. Namun, sering dilupakan dalam proses pendidikan anak, bahwa sebelum mendapatkan anak yang menyejukkan hati, terlebih dahulu orang tua harus menjadi sosok yang menentramkan bagi anak. Hal ini tersurat dalam doa yang sering dilantunkan, “Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrata a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa”. Kalau menggunakan terjemahan bebas, doa tersebut memberikan pesan, sebelum melahirkan keturunan yang qurrata a’yun, kita perlu menjadi teladan kebaikan bagi orang-orang bertakwa dan memilih pasangan yang juga mempunyai karakter kebaikan.

Selain soal qurrata a’yun, kita pun belajar dari kisah istri Fir’aun di atas bahwa anak tidak selalu soal biologis. Ada anak ideologis. Artinya, terutama bagi mereka yang memang tak mampu memiliki anak biologis karena faktor kesehatan, masih banyak cara untuk menghadirkan figur anak dalam keluarga. Salah satunya dengan mengadopsi anak terlantar yang kehilangan sosok orang tua di jalanan atau di panti asuhan.

Jadi, dalam konteks ini, anak tidak hanya dipahami sebagai penerus garis biologis, tetapi yang jauh lebih penting, anak menjadi pelanjut nilai-nilai ideologis yang diwariskan oleh orang tua. Karena jika anak tidak meneruskan perjuangan, justru menentang dan melawan orang tua, di sinilah kehadiran anak tidak lagi menjadi berkah tetapi fitnah.

Anak Menjadi Ujian

Dalam Al-Quran Surat Al-Anfal ayat 28, Allah Swt telah menegaskan:

وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ ࣖ

Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.

Dalam ayat lain yang lebih panjang, Allah menyejajarkan anak dengan kehidupan dunia yang melalaikan, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Hadid ayat 20:

اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya.

Ayat ini dapat menjadi kritik bagi orang tua yang masih mempunyai pandangan ‘banyak anak, banyak rezeki’ sehingga terus menambah anak setiap tahunnya, tetapi abai untuk meningkatkan kualitas pendidikan sang anak. Kehadiran anak tanpa prioritas kasih sayang dari orang tua hanya akan melahirkan generasi trouble-maker. Kehadirannya justru menjadi benalu di masyarakat.

Hal ini dapat dilihat berbagai kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Karenanya pemahaman yang sudah mengakar bahwa banyak anak berbanding lurus dengan rezeki yang diperoleh perlu diubah. Kehadiran anak akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat manakala orang tuanya telah siap dan mapan dalam membesarkan buah hatinya.

Belajar Menjadi Orang Tua

Berdasarkan ayat-ayat yang dihadirkan di atas, dapat dipahami bahwa kehadiran anak haruslah benar-benar dipersiapkan oleh orang tua. Tidak bisa menuntut anak menjadi baik jika ia lahir dan besar di kandang serigala yang beringas. Pendidikan menjadi kata kunci utama bagi orang tua untuk melahirkan generasi emas. Bukan soal kuantitas, tetapi kualitas. Bukan soal biologis, melainkan ideologis.

Salah satu cara menjadi orang tua sebagaimana yang diteladankan oleh generasi emas terdahulu adalah kemauan mendengarkan suara anak. Ada Luqman al-Hakim yang membuka dialog dengan sang anak. Pun teladan Nabi Ibrahim yang berdiskusi dengan Nabi Ismail sebelum memutuskan mengeksekusi dalam pengorbanan. Begitu pula contoh dari Nabi Muhammad Saw. ketika seorang anak sedang pipis dalam pangkuan Nabi, Ummu al-Fadhl segera merenggut dengan kasar anak tersebut sehingga ia menangis, Nabi menegurnya dengan tegas:

“Perlahan-lahanlah, wahai Ummu al-Fadhl! Kencing yang membasahi pakaianku bisa hilang dengan basuhan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan kekeruhan hati anak ini dari renggutan kasarmu itu?”

Karenanya, merayakan Hari Anak Nasional bukan sebatas mengunggah foto anak atau keluarga kecil kita. Kehadiran hari anak ini justru mengingatkan para orang tua untuk merefleksikan kembali: apa arti mempunyai anak dan sudah mampukah kita hadir menjadi orang tua yang memberikan keteladanan?

Islam Melindungi Anak: Jalan Menuju Generasi Rahmatan lil ‘Alamin

Dalam Islam, anak bukan hanya bagian dari keluarga, melainkan amanah langsung dari Allah Swt. Mereka adalah titipan yang harus dijaga kehormatannya, tumbuh kembangnya, dan hak-haknya. Dalam sebuah ayat, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS At-Tin: 4). Ini merupakan fondasi teologis yang menegaskan bahwa anak-anak memiliki martabat dan kehormatan yang harus dijaga sejak awal kehidupan mereka.

Kekerasan terhadap anak, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, verbal, maupun eksploitasi, bukan saja bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariat. Dalam Al-Qur’an, pembunuhan satu jiwa diibaratkan sebagai pembunuhan seluruh umat manusia (QS Al-Maidah: 32). Maka menyakiti dan merampas hak tumbuh-kembang seorang anak adalah kezaliman yang dampaknya bisa meluas hingga mencederai masa depan umat.

Islam memberikan perhatian besar pada pemenuhan hak anak. Nabi Muhammad Saw. menekankan pentingnya memberi nama yang baik, memperlakukan anak dengan kasih sayang, serta memastikan mereka mendapat pendidikan dan perlindungan. Bahkan, dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda: “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati yang tua” (HR. Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa kasih sayang terhadap anak bukan sekadar etika sosial, tetapi bagian dari keimanan.

Kekerasan dan Diskriminasi Bukan Bagian dari Fitrah Islam

Hari ini, pelbagai bentuk kekerasan yang masih menimpa anak, baik dalam rumah tangga, lembaga pendidikan, hingga media daring, adalah manifestasi dari rusaknya tatanan sosial dan lemahnya pemahaman terhadap ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Padahal Islam secara tegas menolak segala bentuk perlakuan yang menjatuhkan martabat anak, termasuk diskriminasi berbasis gender, pekerjaan berat yang membahayakan, maupun pernikahan anak yang dipaksakan.

Prinsip la yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya) (QS Al-Baqarah: 286) menjadi dasar teologis untuk menolak segala bentuk pemaksaan terhadap anak, termasuk dalam praktik perkawinan dini. Begitu pula, praktik-praktik seperti khitan perempuan yang tidak memiliki dasar syariat dan tidak mendatangkan manfaat medis, seharusnya dihentikan karena bertentangan dengan maqashid syariah: yakni menjaga jiwa, akal, dan keturunan.

Mengarusutamakan Perlindungan Anak dalam Syariat dan HAM

Dalam pemartabatan anak dan perempuan, mengambil konsep HAM sudah sesuai dengan syariat Islam. Islam dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia tidaklah bertentangan. Keduanya justru dapat saling menguatkan dalam menjaga harkat dan martabat anak. Hak hidup, hak mendapatkan kasih sayang, pendidikan, kesehatan, dan pengasuhan adalah hak-hak dasar anak yang juga merupakan bagian dari ajaran Islam.

Lebih jauh, dalam konteks kenegaraan, perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi juga tanggung jawab masyarakat dan negara. Hal ini selaras dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mendasarkan prinsip pelindungan anak pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hal demikian mengacu pada konvensi internasional tentang hak anak. Negara telah memiliki regulasi dan instrumen hukum yang lengkap, yang kini tinggal menunggu komitmen kolektif untuk diterapkan dengan serius dan konsisten.

Islam juga melarang segala bentuk kekerasan dalam pendidikan. Dalam pengajaran dan proses pedagogis, pendekatan penuh kasih dan non-kekerasan harus diutamakan. Rasulullah tidak pernah memukul anak-anak, bahkan ketika mereka melakukan kesalahan. Beliau memilih membimbing dengan sabar, menyentuh hati dengan akhlak, dan menunjukkan teladan yang baik.

Urgensi Preventif: Menanamkan Nilai, Memperkuat Sistem

Perlindungan terhadap anak tidak cukup dilakukan setelah kekerasan terjadi. Upaya preventif lebih utama dan sangat dianjurkan dalam Islam. Memberi anak pondasi keimanan, budi pekerti, dan kasih sayang sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi pribadi tangguh, adil, dan mulia.

Dalam hal ini, negara dan masyarakat harus bergandengan tangan menyediakan ruang aman bagi anak. Pemerintah perlu memperkuat kapasitas lembaga perlindungan anak, memperluas akses ke layanan pengaduan, serta meningkatkan literasi masyarakat tentang kekerasan berbasis gender dan anak.

Keluarga, sebagai madrasah pertama, juga harus menjadi tempat yang aman dan nyaman, bukan sumber trauma dan kekerasan. Tugas kita bersama adalah membangun lingkungan yang menghargai hak anak sebagai manusia seutuhnya, bukan sekadar “milik” orang tua, budak atau alat pencitraan sosial.

Menjadi Generasi Penjaga Titipan Ilahi

Anak-anak adalah harapan masa depan, pewaris peradaban, dan cerminan keimanan kita hari ini. Maka, siapa yang menyakiti mereka, sejatinya telah merusak tatanan dunia yang dipercayakan Allah kepada manusia. Islam telah memberikan tuntunan yang sangat lengkap untuk melindungi anak, baik dari segi spiritual, hukum, maupun sosial.

Kini saatnya kita bertanya: sudahkah kita menjadi penjaga titipan Ilahi itu dengan sebaik-baiknya?

Filter Wajah dan Luka Batin: Tubuh Anak Perempuan dalam Tekanan Algoritma

Di sebuah pagi yang biasa, anak perempuan berusia sembilan tahun duduk di depan kamera ponsel, memiringkan wajahnya ke kiri, lalu ke kanan. Ia tak sedang bermain. Ia sedang mencari sudut terbaik dari wajahnya.

Tiga kali ia mencoba tersenyum, dua kali mengerutkan bibir seperti influencer idolanya. Setelah lima belas menit, ia memutuskan: filter nomor tiga membuatnya terlihat paling cantik. Lalu ia unggah fotonya, berharap ada yang bilang, “Kamu glowing banget!”

Ini bukan kisah fiksi. Ini fragmen kecil dari kenyataan banyak anak perempuan hari ini, anak-anak yang mengenal wajah mereka bukan dari cermin, tetapi dari kamera. Anak-anak yang belajar mencintai diri bukan dari pelukan orang tua, tetapi dari like dan komentar di media sosial.

Kita tengah menghadapi era baru luka batin. Luka yang bukan datang dari kekerasan fisik, tetapi dari tekanan algoritma terhadap tubuh. Luka yang tak berdarah, tapi terus mengikis harga diri. Luka yang kian dalam ketika orang tua sendiri tak melihatnya sebagai luka.

Tubuh Anak dalam Cengkeraman Filter

Aplikasi seperti TikTok, Instagram, dan Snapchat tidak hanya menyediakan tempat bermain bagi anak-anak, tapi juga membentuk cara mereka melihat diri. Dengan sekali klik, filter bisa memperbesar mata, menghaluskan kulit, melangsingkan pipi. Wajah anak perempuan yang tadinya polos berubah menjadi versi yang dianggap “lebih pantas untuk dilihat.”

Tak ada yang salah dengan bermain-main dengan filter, kecuali ketika anak-anak mulai membandingkan wajah asli mereka dengan versi digital. Banyak anak yang menolak difoto tanpa filter. Beberapa bahkan merasa jijik melihat wajah mereka sendiri di cermin. Bagi mereka, filter bukan lagi hiburan, melainkan topeng untuk merasa berharga.

Anak-anak perempuan, sejak dini, diajari bahwa tubuh mereka bukan semata tempat tinggal, melainkan etalase. Mereka tumbuh dikelilingi oleh budaya visual yang menekankan bahwa untuk diterima, mereka harus tampil sesuai standar tertentu: cantik, bersih, manis, menggemaskan.

Masalahnya bukan pada keberadaan filter itu sendiri, melainkan pada bagaimana filter telah menjadi ukuran kebenaran visual. Banyak anak perempuan tak mau difoto tanpa filter. Beberapa merasa wajah mereka di cermin tidak pantas dipamerkan. Ini adalah bentuk baru dari gangguan citra tubuh, namun berlangsung dengan senyap dan sistematis. Luka batin ini tumbuh dalam sorotan kamera, tapi tak banyak orang dewasa yang menyadarinya.

Banyak keluarga justru ikut memperkuat luka itu. Sejak bayi, anak perempuan difoto, didandani, di-posting. Pujian demi pujian datang bukan karena karakter, tetapi karena penampilan. Orang tua dengan bangga memamerkan anak mereka di media sosial, tanpa bertanya: untuk siapa semua ini? Siapa yang melihat? Siapa yang menilai?

Anak perempuan pun tumbuh dengan kesadaran bahwa tubuh mereka adalah properti publik. Mereka belajar bahwa ada ekspresi tertentu yang lebih disukai, ada gaya tertentu yang lebih viral. Mereka belajar bahwa tubuh bukan milik mereka sepenuhnya, melainkan milik kamera dan algoritma.

Luka yang Tak Terlihat

Tak mudah mengenali luka ini, sebab ia tidak membiru, tidak berdarah. Tapi ia hidup dalam cara anak-anak mulai menyembunyikan bagian dari diri mereka, dalam keengganan mereka tampil polos, dalam ketakutan menghadapi kamera tanpa ‘polesan’. Anak perempuan mulai menyamakan harga diri dengan validasi eksternal, dan ketika validasi itu tak datang, yang tumbuh adalah kecemasan, keraguan diri, bahkan depresi.

Penelitian menunjukkan bahwa keterpaparan pada media sosial—terutama dengan fitur visual seperti filter—berkorelasi dengan gangguan makan, tekanan citra tubuh, dan rendahnya kepercayaan diri. Anak-anak perempuan mulai mendefinisikan nilai diri mereka bukan dari kasih sayang keluarga, melainkan dari komentar singkat seperti “cakep bgt” atau “ga glowing sih.”

Dan di saat yang sama, orang tua sering kali buta huruf digital. Mereka mengira anak sedang bermain, padahal anak sedang membentuk konsep dirinya. Mereka mengira dengan memberi gadget, anak akan diam dan aman. Padahal gawai itu sedang membisikkan nilai-nilai baru yang tak pernah diajarkan di rumah.

Apakah ini bentuk perlindungan? Ataukah bentuk baru eksploitasi dengan bungkus kekinian?

Menciptakan Ruang Aman

Perlindungan anak di era digital tak cukup dengan fitur pengunci, waktu layar, atau larangan aplikasi. Ia dimulai dari perubahan nilai yang diajarkan di rumah: bahwa tubuh adalah bagian dari martabat, bukan performa. Bahwa wajah tak harus selalu tersenyum, tak harus selalu rapi, dan tak perlu selalu disesuaikan dengan selera publik.

Anak perempuan perlu tahu bahwa mereka cukup, tanpa filter, tanpa likes, tanpa penilaian eksternal. Dan mereka hanya akan tahu itu jika orang tua berhenti memuji penampilan sebagai nilai utama. Jika orang tua mulai bertanya, bukan soal bagaimana anak tampil, tapi bagaimana perasaannya hari ini.

Keluarga seharusnya menjadi ruang aman pertama, tempat anak boleh tampil polos, boleh menangis, boleh salah. Tapi itu tak akan mungkin jika keluarga sendiri terobsesi pada citra, pada unggahan, pada komentar.

Di tengah dunia yang terus menekan anak perempuan untuk tampil sempurna, tugas keluarga adalah sederhana tapi krusial: menjadi tempat anak bisa tampil utuh. Wajah apa adanya. Emosi apa adanya. Hidup apa adanya.

Barangkali luka paling dalam yang dialami anak-anak kita hari ini bukan berasal dari kekurangan, melainkan dari keyakinan bahwa diri mereka tak pernah cukup. Dan luka itu tumbuh pelan-pelan, di balik senyum tipis yang dibentuk oleh filter kamera.

Menjaga Tumbuh Kembang Anak di Era Digital

Dulu, saat kita masih kecil, bermain petak umpet di halaman atau menghabiskan sore dengan menerbangkan layang-layang mungkin jadi aktivitas favorit. Tapi sekarang, anak-anak tumbuh dalam dunia yang jauh berbeda. Dunia mereka sekarang penuh dengan dunia digital dan internet yang tanpa batas. Di satu sisi, ini membuka peluang luar biasa untuk belajar dan berkembang. Namun di sisi lain, dunia digital juga menghadirkan berbagai risiko yang tidak bisa dianggap remeh.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah anak-anak di Indonesia mencapai 79,4 juta jiwa atau sekitar 28,82 persen dari total populasi. Data BPS 2024 menunjukkan bahwa penggunaan gawai dan akses internet di kalangan anak usia dini di Indonesia sangat tinggi. Sebanyak 39,71 persen anak usia dini sudah menggunakan telepon seluler, dan 35,57 persen telah mengakses internet. Bahkan, 5,88 persen anak di bawah usia satu tahun tercatat telah menggunakan gawai, dengan 4,33 persen dari mereka sudah mengakses internet. Persentase ini meningkat drastis pada kelompok usia 1–4 tahun, dengan 37,02 persen menggunakan ponsel dan 33,80 persen online, serta pada usia 5–6 tahun yang mencatatkan angka 58,25 persen pengguna gawai dan 51,19 persen akses internet.

Survei Kementerian PPPA dan UNICEF tahun 2023 menunjukkan bahwa hampir 95 persen anak usia 12–17 tahun di Indonesia mengakses internet minimal dua kali sehari. Meski internet memberi manfaat dalam hal pendidikan, pengembangan diri, dan hiburan, anak-anak dan remaja juga semakin rentan terhadap kejahatan siber. Data dari Kemenko Polhukam mengungkapkan bahwa Indonesia berada dalam status darurat kasus pornografi anak, dengan 5,5 juta konten bermuatan tersebut ditemukan selama 2019–2023. Selain itu, 2 persen dari 4 juta pemain judi online di Indonesia ternyata masih berusia di bawah 10 tahun.

Ancaman nyata terlihat dari laporan National Center for Missing & Exploited Children yang menempatkan Indonesia di peringkat keempat dunia dalam kasus pornografi digital anak, serta peringkat kedua di kawasan ASEAN. Situasi ini mendorong Presiden Prabowo untuk segera menginstruksikan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI agar menerbitkan Peraturan Pemerintah khusus tentang perlindungan anak di ruang digital.

Meskipun begitu, di era digital yang serba cepat, keluarga tetap menjadi tokoh utama dalam tumbuh kembang anak. Perlindungan terhadap anak tidak cukup hanya dengan membatasi akses ke dunia digital, tetapi juga harus disertai dengan pemberian pemahaman yang mendorong anak menjadi pengguna teknologi yang cerdas dan bijak. Orang tua memiliki peran penting untuk memperkenalkan anak pada internet secara sehat, termasuk mengajarkan tentang privasi, memilah konten yang sesuai usia, dan berpikir kritis terhadap informasi yang ditemui secara daring.

Komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak sangat penting dalam membangun hubungan dan kesadaran. Percakapan tentang media sosial, game, dan teknologi perlu dijadikan bagian dari interaksi harian agar anak merasa nyaman untuk berbagi pengalaman, terutama ketika mereka menghadapi masalah di dunia maya. Selain itu, orang tua dapat menggunakan fitur kontrol orang tua dan menetapkan batas waktu penggunaan ponsel agar anak tetap memiliki keseimbangan antara aktivitas digital dan kehidupan nyata.

Menjadi panutan dalam penggunaan teknologi juga merupakan tanggung jawab orang tua. Anak-anak cenderung meniru kebiasaan yang mereka lihat di rumah. Jika orang tua terlalu sibuk dengan ponsel atau media sosial, anak akan menilai hal tersebut sebagai perilaku yang wajar. Oleh karena itu, orang tua perlu memberi contoh penggunaan teknologi secara sehat, produktif, dan bijak untuk menciptakan lingkungan digital yang aman dan mendukung pertumbuhan anak.

Keluarga, terutama orang tua, memiliki peran yang sangat penting sebagai pembimbing, pelindung, dan panutan. Dengan komunikasi yang hangat dan terbuka, edukasi yang tepat, dan pengawasan yang bijak, kita bisa menciptakan lingkungan digital yang aman, menyenangkan, dan mendidik bagi anak-anak. Karena pada akhirnya, teknologi bukanlah musuh. Ia adalah alat. Dan seperti alat lainnya, ia harus digunakan dengan bijak, terutama oleh anak-anak yang sedang belajar mengenal dunia.

Indonesia Darurat Pornografi Anak, Pendidikan Seksual Harus Dimulai dari Rumah

Baru-baru ini, Kepolisian Daerah Jawa Timur telah menangkap laki-laki berinisial ASF, 23 tahun. Ia diduga menjual 2.500 konten pornografi anak sejak Juni 2023. Video-video tersebut dijual oleh pelaku lewat aplikasi Instagram, Telegram dan Potato Chat.

Lebih mengejutkan lagi, ternyata jumlah pelanggan video-video tersebut ada sekitar 1.100 orang. Mereka cukup membayar sebesar Rp. 500 ribu rupiah untuk mengakses ribuan konten porno. Tidak heran, jika “pasar” konten pornografi anak semakin marak dan tumbuh subur.

Dilansir dari tempo.co, Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI menyebutkan bahwa konten pornografi anak ini memang bagai lingkaran setan. Sebab, setiap hari kasusnya makin banyak dan muncul dengan beragam modus. Pasalnya selama bulan Juli 2024 mereka juga menerima 9 kasus prostitusi online yang melibatkan sembilan anak di bawah umur.

Sementara itu, Nahar, Deputi Bidang Pelindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan dan Anak juga mengatakan bahwa aduan terhadap perlindungan anak atas kasus kejahatan digital mencapai 7 ribu laporan sejak Januari-September 2024.

Menurutnya data ini berbanding lurus dengan data konsumsi anak terhadap internet dan digital, yaitu sebanyak 74,85 persen, sisanya baru orang dewasa.

Selain itu, mulai dari Mei hingga November 2024, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri telah mengungkap tindak pidana pornografi anak sebanyak 47 kasus dan 58 tersangka. Dari 58 pelaku, ditemukan 1.058 video porno yang telah diunggah.

Melihat data-data tersebut, tidak heran jika dalam survei lembaga independen National Center for Missing and Exploited Children tahun 2024 Indonesia berada di peringkat keempat dunia untuk kasus peredaran konten pornografi anak. Padahal pada tahun 2022, termasuk peringkat kelima. Kenaikan ini menegaskan bahwa Indonesia berada dalam status darurat pornografi anak.

Upaya Menjaga Anak tetap Aman di Internet

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan dan membuat banyak orang tua khawatir. Pasalnya banyak orang tua yang tidak memahami bahayanya kemajuan teknologi bagi anak-anak. Terutama penggunaan media sosial.

Oleh karena itu, anak-anak harus dibekali literasi digital, terutama interaksi aman di internet. Tujuannya supaya mereka tidak mudah untuk dimanipulasi atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Khususnya hal-hal yang berkaitan dengan soal ketubuhan mereka.

Di sisi lain, orang tua juga bisa berperan aktif dalam mendampingi dan melakukan pengawasan terhadap anak-anak ketika sedang mengakses internet.

Hal ini bisa dilakukan dengan mengawasi penggunaan media sosial anak-anak. Mulai dengan memahami aplikasi yang digunakan, siapa saja yang berinteraksi dengan anak, serta jenis konten apa yang mereka konsumsi secara online.

Pendidikan Seksualitas Komprehensif bagi Anak

Masih dalam satu nafas yang sama, selain melakukan pengawasan terhadap penggunaan internet, orang tua juga penting untuk mengajarkan pendidikan seksualitas yang komprehensif pada anak.

Badan Kesehatan Dunia WHO mendefinisikan pendidikan seksualitas yang kompreherensif sebagai pemberian informasi yang akurat terkait isu seksualitas dan kesehatan reproduksi dengan melihat kesesuaian materi dengan usia (age appropriate).

Mengedukasi anak tentang pendidikan seks yang komprehensif bisa jadi salah satu cara untuk tetap aman berinteraksi di internet. Sebab, dari pendidikan ini, anak dibekali tentang mengenali tubuhnya sendiri.

Orang tua bisa mulai mengenalkan anak pada seluruh anggota tubuh anak dengan menggunakan nama yang sebenarnya. Tidak disamarkan apalagi diganti dengan bahasa-bahasa yang tidak nyambung.

Ini untuk menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas bukan hal yang tabu. Justru dengan mengetahui organ-organ tubuh beserta fungsinya, anak bisa jadi paham bahwa tubuhnya layak untuk dijaga dan dihormati oleh orang lain.

Kemudian hal yang tidak kalah penting, anak-anak juga harus dibekali pengetahuan tentang batasan sentuhan sejak dini. Mereka harus diajarkan untuk melindungi bagian tubuh mereka yang bersifat pribadi, dan tidak membiarkan siapa pun melihat, meraba, atau menyentuh, kecuali mereka dan ibunya sendiri.

Mereka harus diajarkan tentang bagian tubuh mana saja yang tidak boleh dilihat atau disentuh orang lain. Pendekatannya bisa lewat lagu “Sentuhan Boleh, Sentuhan Tidak Boleh” karya Sri Seskya Situmorang, atau juga menggunakan cara lain sesuai dengan usia anaknya. Bagian tubuh yang tidak boleh dilihat atau disentuh orang lain itu dada, perut, sekitar kelamin dan pantat tidak boleh dilihat dan disentuh oleh orang lain.

Kemudian yang terakhir, anak-anak juga perlu diajarkan untuk menolak, berteriak minta tolong, dan lari jauh jika ada seseorang yang memaksa untuk melihat ataupun menyentuh bagian tubuh yang amat pribadi.

Dalam kasus pornografi, orang tua atau orang-orang dewasa di sekitarnya harus belajar menjadi sahabat bagi anak. Hal ini tentu saja penting, supaya anak bisa terbuka saat mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti rayuan atau manipulasi di internet.[]

Perlindungan Anak di Era Disrupsi Informasi Perspektif Maqashid Shariah

Di era digital, anak-anak hidup di dunia yang serba terhubung dan penuh informasi. Mereka mudah mengakses berbagai konten melalui gawai kapan saja dan di mana saja. Kemajuan teknologi ini memang memudahkan proses belajar dan komunikasi, tetapi juga menghadirkan tantangan serius bagi perlindungan anak. Risiko paparan konten negatif seperti kekerasan, pornografi, perundungan daring, hingga kecanduan gadget menjadi ancaman nyata bagi perkembangan fisik, psikologis, dan spiritual mereka.

Data UNICEF Indonesia (2023) menunjukkan bahwa hanya 37,5 persen anak yang memiliki pengetahuan cukup tentang cara menjaga diri di dunia digital. Ironisnya, lebih dari separuh anak pernah terpapar konten yang tidak layak, termasuk gambar atau video seksual. Risiko serupa juga tercatat secara global. Menurut Digital Quotient Institute (2020), 60 persen anak yang aktif di internet menghadapi bahaya seperti cyberbullying, paparan konten dewasa, dan gangguan kesehatan mental akibat kecanduan teknologi.

Di Indonesia, Badan Pusat Statistik bersama NCMEC mencatat bahwa sejak 2019 hingga 2023 ada lebih dari 5,5 juta konten pornografi anak yang tersebar luas. Sekitar 48 persen anak pernah mengalami bullying digital yang berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.

Fenomena ini bukan hanya persoalan teknologi dan aturan, melainkan juga persoalan nilai dan tanggung jawab keluarga sebagai lingkungan utama pendidikan dan perlindungan anak. Di sinilah maqashid al-shariah menjadi pijakan penting. Maqashid al-shariah adalah konsep tujuan utama syariat Islam yang bertujuan menjaga lima hal utama dalam kehidupan manusia, yaitu: agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Dalam konteks perlindungan anak di era digital, kelima aspek ini wajib menjadi panduan holistik bagi keluarga dan masyarakat.

Pertama, hifz al-din atau menjaga agama, menuntut keluarga agar mampu menjaga anak dari pengaruh konten yang dapat merusak keimanan dan nilai-nilai agama mereka. Banyak konten di dunia maya yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan spiritual Islam. Jika anak tidak dibimbing dengan baik, mereka rentan kehilangan pegangan agama sebagai pijakan hidup. Kedua, hifz al-nafs berarti menjaga jiwa dan keselamatan anak, termasuk kesehatan mental dan fisik.

Ketiga, hifz al-‘aql atau menjaga akal adalah aspek yang paling relevan di era informasi. Anak-anak harus dilindungi dari misinformasi, propaganda negatif, serta konten yang mengganggu perkembangan kognitif dan mental mereka. Orang tua perlu menyeleksi dan membimbing anak dalam memilih konten yang bermanfaat, serta mengajarkan literasi digital agar anak mampu berpikir kritis. Keempat, hifz al-nasl menegaskan pentingnya menjaga kelangsungan generasi melalui pendidikan moral dan karakter. Anak harus tumbuh menjadi pribadi yang beradab, bertanggung jawab, dan memiliki integritas.

Kelima, hifz al-mal, menjaga harta, dalam konteks digital berarti anak harus diajarkan tentang etika penggunaan teknologi, keamanan data pribadi, dan tanggung jawab dalam mengelola aset digital. Penggunaan teknologi yang tidak terkontrol dapat berujung pada penyalahgunaan informasi, pencurian data, dan kerugian finansial. Keluarga harus mendidik anak agar memahami nilai kepemilikan dan perlindungan terhadap harta dalam konteks digital.

Kitab klasik Islam seperti Tuhfatul Maudud karya Ibnul Qayyim memberikan landasan penting bagi orang tua dalam menjalankan tugas mendidik anak secara terpadu berdasarkan kelima maqashid tersebut. Di era digital, tantangan pengasuhan menjadi lebih kompleks karena ancaman tidak hanya datang dari lingkungan fisik, tetapi juga dari dunia maya yang terus mengalir tanpa batas.

Jika orang tua gagal menjaga lima aspek maqashid ini, maka risiko kerusakan jiwa, akal, dan moral anak menjadi sangat besar. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin juga menegaskan bahwa pendidikan akhlak harus dimulai sejak dini dan dilakukan secara konsisten melalui interaksi penuh kasih dan teladan orang tua.

Menghadapi kondisi ini, konsep “digital parenting” menjadi sangat penting. UNICEF menekankan pentingnya pengawasan, pendampingan, dan komunikasi terbuka antara orang tua dan anak dalam menghadapi dunia digital. Model pengasuhan “asah–asih–asuh” dapat diadaptasi untuk implementasi maqashid al-shariah. “Asah” berarti mengasah akal anak dengan bimbingan dan konten edukatif. “Asih” berarti memberikan rasa aman dan dukungan emosional agar anak berani berbagi pengalaman dan masalah digitalnya. “Asuh” adalah pengaturan penggunaan teknologi dengan aturan jelas, membatasi durasi, dan menentukan zona bebas gadget agar anak tidak kecanduan.

Selain aspek teknis, internalisasi nilai-nilai Islam dalam keluarga harus terus diperkuat. Pendidikan akhlak digital menjadi kunci agar anak tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tapi juga pribadi yang bertanggung jawab dan beretika. Anak perlu dibiasakan membaca doa sebelum menggunakan gadget, berdiskusi tentang konten yang mereka konsumsi, dan diajari nilai-nilai seperti sopan santun, menghormati privasi orang lain, serta menjaga kehormatan diri sendiri dan keluarga.

Pemerintah Indonesia telah berupaya melalui program literasi digital keluarga dan penyusunan regulasi perlindungan anak daring. Namun, tanpa adanya internalisasi nilai yang kuat, kebijakan ini tidak akan berdampak optimal. Oleh karena itu, para ulama, pendidik, dan komunitas Islam harus aktif merumuskan pedoman pengasuhan digital berbasis maqashid shariah agar perlindungan anak dapat berlangsung secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Kajian akademik juga mendukung pentingnya maqashid sebagai kerangka perlindungan anak. Studi oleh Disemadi, Al-Fatih, dan Yusro (2020) dalam Brawijaya Law Journal menjelaskan bahwa maqashid al-shariah merupakan landasan normatif kuat dalam melindungi anak dari eksploitasi seksual dan kekerasan, termasuk dalam ruang digital. Perlindungan terhadap akal dan keturunan merupakan hak fundamental yang wajib dipenuhi keluarga dan masyarakat, bukan hanya sebagai tambahan moral atau legal.

Dunia digital adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi sarana pembelajaran dan pengembangan kreativitas, namun juga dapat merusak jika tidak diawasi dan diimbangi dengan pendidikan nilai. Keluarga yang memahami maqashid al-shariah akan mampu menjaga anak agar tumbuh menjadi manusia seutuhnya yang sehat secara fisik, mental, dan spiritual. Perlindungan anak di era digital bukanlah opsi, melainkan kewajiban moral dan agama yang harus dijalankan bersama. Bila keluarga gagal menjalankan perannya sebagai madrasah pertama, maka pondasi nilai yang menjadi pijakan generasi mendatang akan goyah.

 

Referensi

UNICEF Indonesia. (2023). Pengetahuan dan kebiasaan daring anak di Indonesia: Sebuah kajian dasar. UNICEF.

Digital Quotient Institute. (2020). Digital safety index for children. DQI.

Disemadi, H. S., Al-Fatih, S., & Yusro, M. A. (2020). Indonesian children protection against commercial sexual exploitation through Siri marriage practices in Maqashid Al-Shariah perspective. Brawijaya Law Journal, 7(2), 195–212. https://doi.org/10.21776/ub.blj.2020.007.02.04

Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.

Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin, Kitab Adab al-Walad.

#BaiknyaBarengBareng Menjadi Ayah yang Hadir: Peran Biasa yang Dianggap Istimewa

Di media sosial, diskusi soal fatherless—ketika anak tumbuh tanpa peran ayah dalam hidupnya kerap kali jadi bahasan di media sosial. Ada yang cerita dengan emosional soal tumbuh tanpa ayah, baik karena meninggal, bercerai, atau karena memang tak hadir secara emosional.

Di lingkungan pertemananku, topik ini malah sering dibawa jadi bahan candaan—semacam coping mechanism karena banyak dari kami tumbuh dengan sosok ayah yang absen. Dari obrolan sehari-hari, kelihatan banget kalau banyak ayah yang enggak terlalu terlibat dalam urusan pengasuhan atau kerja-kerja domestik. Semua itu otomatis jadi tanggung jawab ibu. Sementara ayah lebih difokuskan ke peran sebagai pencari nafkah.

Pola ini enggak muncul begitu saja. Ini bagian dari konstruksi peran gender tradisional yang masih kuat di masyarakat kita. Perempuan dianggap tugasnya merawat dan memberi kasih sayang, sementara laki-laki bertugas bekerja, melindungi, dan jadi kepala rumah tangga. Kalau ada laki-laki yang ikut terlibat dalam kerja perawatan, mereka sering dianggap kurang jantan atau enggak laki banget, karena masuk ke ranah yang secara sosial dianggap “kerjaan perempuan”.

Konstruksi macam ini juga terlihat di laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2015. Disebutkan, keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang berkisar di angka 26,2 persen. Artinya, masih sangat sedikit ayah yang benar-benar hadir dan aktif dalam membesarkan anaknya.

Di sisi lain, standar yang rendah ini justru bikin kehadiran ayah—meskipun cuma melakukan bare minimum—sering diglorifikasi, apalagi kalau ditampilkan di media sosial. Namun hal ini juga bisa dilihat dari sisi positif: Ayah-ayah yang hadir dan terlibat bisa jadi contoh peran mereka bukan cuma soal cari nafkah. Hadir secara emosional dan aktif dalam pengasuhan juga bagian penting dari jadi ayah.

Hal ini juga didukung oleh riset Christine McWayne, Jason T. Downer, dkk. dalam Father Involvement During Early Childhood and Its Association with Children’s Early Learning: A Meta-Analysis (2013). Mereka menjelaskan bahwa pola asuh positif dari ayah bisa meningkatkan kemampuan kognitif, keterampilan prososial, dan kemampuan regulasi diri anak.

Pentingnya Peran Ayah dalam Kerja Perawatan 

Contoh keterlibatan ayah bisa dilihat dari pengalaman Reza, 30. Ia bekerja sebagai karyawan swasta sekaligus kreator konten seputar pengasuhan anak. Selama empat tahun terakhir, Reza punya porsi besar dalam pengasuhan karena istrinya sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Bandung.

Setiap hari sebelum masuk kantor siang, Reza mempersiapkan keperluan anak dan mengantar ke sekolah. Setelah kerja, dia lanjut menemani anak sampai malam. Kalau akhir pekan, giliran anaknya yang lebih banyak waktu bersama sang ibu.

Reza dan istrinya memang sudah punya kesepakatan sejak awal menikah buat berbagi peran. Namun enggak ada sistem yang kaku di antara mereka. Semua dijalankan secara fleksibel dan dinamis, tergantung situasi.

“Harus ada yang mengisi peran (orang tua). Aku juga merasa, ngurus anak berdua itu tanggung jawab berdua. Bukan sesuatu yang wah banget, bahkan bare minimum,” ujar Reza.

Kesadaran Reza buat terlibat lahir juga dari pengalaman pribadi. Waktu kecil, dia lebih dekat sama ibunya karena ayahnya sering dinas. Namun semuanya berubah saat ibu sakit. Ayah Reza sampai keluar dari pekerjaannya untuk merawat istri, membiayai pengobatan, dan tetap menghidupi keluarga meskipun kondisi ekonomi lagi berat.

“Aku mau berusaha melakukan yang udah dicontohkan ayah,” tuturnya.

Reza juga memang dari dulu suka baca buku dan senang berinteraksi sama anak-anak. Jadi, secara personal dia sudah mempersiapkan diri buat jadi orang tua yang hands-on, bukan cuma hadir secara fisik tapi juga secara emosional.

Tumbuh di keluarga yang mencontohkan kerja perawatan juga dialami Nova, lelaki berusia 55 tahun. Waktu kecil, ibunya sering meminta anak-anak membersihkan rumah karena menyukai rumah yang bersih—meski orang tua Nova juga mempekerjakan Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Dari situ, ia terbiasa melakukan tugas domestik sampai menikah. Untuk pembagian tugas rumah tangga, Nova mencuci piring dan mengepel lantai—bergantian dengan istri dan PRT. Pembagian tanggung jawab ini cenderung fleksibel, karena kegiatan Nova setelah pensiun lebih leluasa, selain mengajar di tempat bimbingan belajar. Sedangkan menyetrika pakaian menjadi tanggung jawab masing-masing anggota keluarga.

Dalam pola pengasuhan, Nova enggak secara langsung mendidik anak-anak untuk terlibat dalam pekerjaan rumah tangga. Alasannya, tak ingin membebankan anak-anak dengan tanggung jawab lain, karena beratnya beban di sekolah. Namun, dengan mencontohkan, anak-anak Nova tahu orang tuanya menyukai kebersihan dan keteraturan.

Sebab, bagi Nova, menyelesaikan tugas domestik bersama istri dan anak merupakan sebuah teamwork. Bukan hanya untuk menciptakan tempat tinggal yang nyaman, melainkan mempererat hubungan keluarga. Soalnya, saat membereskan rumah bersama, keluarga Nova sambil mengobrol sehingga aktivitas ini menyenangkan.

Sama halnya dengan Reza. Meski sedang menjalani long-distance marriage, berbagai upaya yang dilakukan memperkuat relasi keluarganya. Contohnya mengusahakan bertemu setiap akhir pekan, video call setiap hari, dan memberikan pengertian pada anak tentang tujuan ibunya sekolah.

“Aku juga enggak pernah menjelekkan pasangan. Ini kelihatannya sepele, tapi berpengaruh dan susah dilakukan,” cerita Reza.

Ingin Ayah Terlibat dalam Kerja Perawatan, Apa yang Bisa Dilakukan? 

Realitasnya, ketika ayah melakukan kerja perawatan, mereka masih distigma masyarakat. Dicap pengangguran misalnya, enggak maskulin, jadi beban keluarga, atau suami yang takut pada istri—seperti disinggung oleh kreator konten Deky Ardwienata lewat video di Instagramnya soal melakukan pekerjaan domestik.

Untuk mendobrak peran gender tradisional dan membuat kerja perawatan menjadi kesalingan dalam rumah tangga, laki-laki juga memerlukan support system. Bagi Reza, dukungan ini diberikan oleh beberapa pihak: Istri, orang tua, PRT, dan perusahaan.

Dengan istri, Reza bisa mengomunikasikan kebutuhan tanpa saling menyalahkan dan membandingkan. Di rumah, Reza bisa mendelegasikan tugas perawatan kepada orang tua dan PRT, jika merasa terlalu banyak yang harus dilakukan ataupun selama ia bekerja. Sementara perusahaan tempatnya bekerja, memberikan fleksibilitas jam kerja sehingga Reza bisa memprioritaskan anak dari pagi ke siang hari.

Sementara bagi Nova, dukungan yang bisa dilakukan adalah mengapresiasi dan memuji ayah setelah melakukan pekerjaan rumah tangga. “Pujian bisa membuat ayah bangga, dan sebagai bentuk terima kasih saja karena ikut berperan dalam tugas domestik,” katanya.

Namun, menurut peneliti Rumah KitaB dan pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Kiai Haji Jamaluddin Mohammad, dukungan ini juga perlu dilakukan secara struktural. Contohnya mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak, supaya ayah mendapatkan cuti ayah selama 40 hari. Atau mendefinisikan kembali peran kepala keluarga yang dipegang oleh suami, dalam Undang-Undang Perkawinan.

“Definisi itu berdampak ke pembagian tugas domestik dan publik,” kata pria yang akrab disapa Gus Jamal itu.

Seharusnya, praktiknya lebih cair karena sekarang situasinya beragam. Perempuan bukan cuma mengatur perekonomian keluarga, melainkan juga bekerja—bahkan di sebagian keluarga menjadi pencari nafkah utama dan suami yang mengurus rumah tangga.

Gus Jamal menambahkan, peran orang tua dan pemuka agama juga diperlukan untuk menyosialisasikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan dalam hubungan suami dan istri. Misalnya lewat pendidikan keluarga yang harus dilakukan calon mempelai sebelum menikah, maupun membangun kebiasaan di keluarga untuk melakukan kerja perawatan bersama.

 Tentang Program #BaiknyaBarengBareng 

#BaiknyaBarengBareng adalah inisiatif dari OCBC yang bertujuan untuk menumbuhkan kepercayaan bahwa kesetaraan membuka peluang bagi semua individu, terlepas dari gender, usia, dan latar belakang. Melalui kampanye ini, OCBC ingin menunjukkan bahwa meritokrasi bukan hanya baik bagi individu, tetapi juga berdampak positif bagi keluarga, bisnis, dan masyarakat secara luas.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini

Menjaga Amanah, Merawat Jiwa: Jalan Sunyi Orang Tua di Zaman Serba Gawai

Delapan juta kanak‑kanak/ menghadapi satu jalan panjang/ tanpa pilihan…

Sajak Sebatang Lisong, karya W.S Rendra

 

Sebaris sajak W.S Rendra di atas menggambarkan nasib pilu anak-anak Indonesia. Mereka menghadapi jalan panjang tanpa pilihan. Kasus kekerasan kepada anak di Indonesia sudah berada pada titik nadir. Hampir tiap hari kita mendengar berita anak menjadi korban kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, maupun yang mati akibat ulah orang dewasa maupun teman sebaya mereka.

Hati dan pikiran kita seolah dibuat was-was setiap hari. Apakah anak anak kita bisa selamat melewati hari-hari berikutnya dalam kehidupan mereka. Kita menghadapi situasi dimana ruang aman untuk anak kita semakin menyempit, bahkan tidak ada. Ancaman terhadap anak-anak kita bisa datang dari sudut mana saja.

Di lingkungan keluarga yang menjadi ruang tumbuh dan berkembangnya mereka, anak juga menghadapi masalah dan ancaman kekerasan. Saya jadi ingat catatan menarik dari M.A.W Brouer yang menulis buku “Bapak, Ibu Dengarlah” (2015). Kehidupan kota, desa (saat ini), makin banyak orangtua sibuk mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan anaknya. Sementara anaknya sendiri justru kurang mendapat kasih sayang di rumahnya sendiri.

Cerita orang tua yang kehilangan waktu untuk anaknya ini mengingatkan kita pada cerita seorang anak yang mau membeli waktu ayahnya. Cerita itu saat ini bukan lagi dongeng, atau mitos tetapi terjadi pada keluarga Indonesia saat ini.

Keluarga Indonesia saat ini seperti keluarga yang terseok-seok mencari pendapatan untuk menghidupi anak-anak mereka. Sementara, waktu untuk anak-anak mereka terbengkalai.

Fenomena ini cukup berdampak pada bergesernya kekerasan terhadap anak dan perempuan yang semula didominasi di ruang publik ke ranah personal atau domestik.

Tahun 2024, Komnas Perempuan mencatat peningkatan signifikan jumlah kekerasan perempuan dan anak, yaitu 330.097 kasus—naik 14,17% dari tahun sebelumnya—dengan dominasi kasus di ranah personal.

Peran Keluarga

Berdasarkan data yang dilaporkan kepada Kemen PPPA di tahun 2024, terdapat 28.789 kasus kekerasan. 17,9% anak mengalami kekerasan fisik dan 76 % menjadi korban kekerasan orang tua atau wali.

Dari ragam penelitian kasus tersebut, orang tua atau keluarga menjadi pelaku kekerasan karena beragam faktor. Faktor ekonomi, faktor pengangguran, kurangnya kesadaran hukum, kurangnya pendidikan dan lain-lain.

Keluarga tetaplah menjadi lingkungan pertama dan utama dalam mencegah kekerasan terhadap anak dan perempuan. Mohammad Said (1955) menulis buku Pendidikan Keluarga Pangkal Keselamatan Negara. Buku itu menerangkan, dengan pendidikan keluarga yang baik, maka negara akan makmur dan tertib. Tanpa pendidikan keluarga yang baik, maka anak-anak dan masa depan mereka akan terhambat, termasuk pembangunan negara.

Keluarga memiliki peran penting dalam menjaga, merawat, dan menumbuhkembangkan cinta kasih di rumah. Cinta kasih, perhatian, dan juga pendidikan dari rumah itulah yang dipegang anak sebelum anak mendapatkan pendidikan di luar rumah seperti sekolah, dan tempat lainnya.

Komunikasi, momen kebersamaan, hingga makan bersama keluarga sangat penting dalam menjaga hubungan, dan juga efektif menyelesaikan masalah dalam keluarga. Momen kebersamaan yang kurang, komunikasi yang gagal, serta memendam dan menyimpan masalah pribadi secara psikologis dapat mempengaruhi hubungan dalam keluarga sendiri.

Anak-anak berhak mendapatkan perhatian, kasih sayang serta kebutuhan psikis dan juga fisik secara sempurna agar kesehatan fisik dan mentalnya terjaga.

Tantangan

Anak-anak saat ini juga menghadapi tantangan baru, yakni tantangan di dunia digital. Sikap orang tua yang melepaskan begitu saja anak untuk memegang smartphone tanpa literasi yang cukup bukan hanya merusak otak anak, tetapi membawa anak pada ancaman kekerasan digital. Salah satu yang signifikan adalah membiarkan data privasi mereka bertebaran di dunia maya.

Kita belum cukup memiliki aturan yang rigit tentang perlindungan data pribadi anak dan pencegahannya. Edukasi di kalangan keluarga penting sekali untuk mencegah terjadinya kekerasan pada anak terhadap data, penyalahgunaan dan juga kekerasan kepada anak.

Anak-anak di era digital juga menghadapi tantangan pornografi. Banyak gambar dan situs-situs pornografi yang tanpa filter muncul dalam pencarian di internet amat berbahaya bagi anak.

Penelitian Haidar (2000) mencatat, konten  pornografi  yang  didapatkan oleh anak dapat bersumber dari, internet/media sosial, iklan, games, film, video klip. Kecanduan pornografi sama bahayanya dengan kecanduan narkoba yang sama-sama merusak otak/PFC anak (Winarti et al., 2020).

Tanpa pendidikan dari lingkungan keluarga yang tepat dan efektif, anak-anak bisa terjerumus dan terjebak dalam bahaya dan ancaman di dunia digital. Membiarkan anak berselancar di dunia digital tanpa pengawasan, pendidikan dan perlindungan dari orangtua sama saja melepas mereka ke hutan yang penuh ancaman.

Di tengah ancaman dari pihak internal maupun eksternal, keluarga perlu menguatkan pendidikan, perhatian, komunikasi dan juga strategi preventif untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan baik di dunia nyata maupun digital.

 

Referensi:

  1. Brouwer, M.A.W. (2015). Bapak, Ibu Dengarlah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  2. Haidar, A. (2000). Dampak Konten Pornografi terhadap Anak. Jakarta: Pusat Studi Anak dan Remaja (PSAR).
  3. Komnas Perempuan. (2024). Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2024. Jakarta: Komnas Perempuan.
  4. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). (2024). Laporan Tahunan Kasus Kekerasan terhadap Anak. Jakarta: Kemen PPPA.
  5. Rendra, W.S. (1978). Sajak Sebatang Lisong, dalam Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Balai Pustaka.
  6. Said, Mohammad. (1955). Pendidikan Keluarga Pangkal Keselamatan Negara. Jakarta: Balai Pustaka.
  7. Winarti, S., dkk. (2020). Efek Paparan Pornografi terhadap Otak Anak. Yogyakarta: Pusat Kajian Kesehatan Anak dan Remaja.
  8. Yudistira, Arif. (2021). Momong: Seni Mendidik Anak. Surakarta : Perisai Pena.