Beragama Tanpa Agama

AGAMA yang semula sebagai keimanan yang sifatnya personal, individu berubah menjadi agama yang mesti diyakini dan dipraktikkan dalam struktur masyarakat dan negara, tidak peduli apa pun bentuk negara itu secara politik maupun secara sosial. Bagi yang berbeda, tentu disebut dengan sebutan kafir, sesat, dan munafik, musuh agama dan musuh Tuhan yang sudah pasti masuk neraka.

Kebenaran telah bergeser dari yang dulunya bersifat relatif dan obyektif, menjadi kebenaran yang sifatnya subyektif. Agama yang dulu hanya sebagai alat keyakinan yang sifatnya individu namun berubah menjadi agama yang menjadi jalan keluar permasalahan sosial dan material.

Agama, surga, neraka, dan dosa menjadi alat klaim individu, bukan klaim yang datang dari Tuhan. Kebenaran telah dipaksa hadir dan tunduk pada keinginan individu dan kelompok, dan mengabaikan aspek relativitas di masyarakat, sehingga kebenaran yang harusnya bersifat positif dan netral menjadi kebenaran yang bersifat negatif dan subyektif yang akhirnya menciptakan disharmoni sosial yang rentan memicu konflik sosial.

Sebutan “kafir”, “sesat”, dan “munafik”, semula merupakan sebutan biasa saja, namun kemudian menjadi sebutan negatif yang merubah konstruksi sosial yang harusnya bersatu dalam kebhinekaan, humble dan dinamis menjadi masyarakat yang terkotak-kotak dibatasi oleh pemahaman ideologi yang kaku dan tidak elitis, kurang memahami realitas pemahaman keagamaan yang humanis, sehingga terjadinya disharmoni di dalam realitas sosial, mengabaikan aspek kerukunan dan kebangsaan. Kebangsaan dipandang dari sudut yang paling sempit menggunakan pemahaman yang sangat klasik, mengabaikan realitas modern yang harusnya menghargai keragaman.

Terjadi kesalahpahaman terhadap sejarah konstruksi dan relasi sosial di masa klasik yang menyebabkan kebenaran subyektif yang dipaksakan hadir dalam praktik sosial keagamaan modern tetap memiliki kelemahan sehingga menampilkan sosok agama yang tidak beragama, mengklaim dirinya sebagai orang yang paling sah sebagai orang beragama, yang lain itu sesat dan tidak beriman meskipun telah memiliki pemahaman yang baik terhadap teks-teks agama.

Pandangan rigid itu lahir dari kebingungan dan kebuntuan saat berusaha langsung memahami dan menafsirkan teks-teks suci, al-Qur`an dan hadits. Dua jenis teks suci itu terlampau tinggi bila dipahami hanya berdasar terjemahan literal. Padahal teks-teks suci itu mengandung pengertian yang kompleks dan butuh media penelitian teks yang komplit, seperti penguasaan bahasa baik secara gramatik maupun filosofis, seperti Nahwu, Sharf, Ushul Fikh, Mantiq, Asbab al-Nuzul, Asbab al-Wurud (untuk hadits), relasi sejarah, tafsir, ulumul Qur’an dan ulumul hadits, menguasai sejarah rawi dan rijal al-hadits (untuk hadits), dan lain sebagainya. Sementara dunia teks memiliki pemahaman yang rumit dan kompleks, pemahaman terhadap terjemahan tidak bisa diklaim sebagai kebenaran, karena teks kitab suci dalam Islam merupakan kitab suci yang tidak mengamini klaim kebenaran yang bersifat tunggal, selalu ada alternatif kebenaran lain yang membumi dan sesuai dengan narasi rasional umat manusia.

Fenomena ideologi negatif yang berkembang dalam masyarakat muslim mulai menyasar banyak individu dalam jumlah yang banyak, dengan landasan dan argumentasi yang tidak terlalu serius dan sangat sederhana mengklaim diri sebagai yang paling otoritatif, menggunakan ayat-ayat Tuhan dan Kalam Nabi untuk menjauhkan umat dari agamanya dengan sebutan sesat, kafir dan tidak beragama.

Ayat-Ayat Tuhan dan Kalam Nabi

Mengerasnya fenomena pandangan keagamaan dimulai sejak ideologi salafisme masuk ke Indonesia di akhir periode Orde Baru seiring dengan populernya al-Qur`an versi terjemah setelah reformasi, lalu hadits-hadits terjemahan di tahun 2003, lalu di tahun 2015 popularitas hadits terjemah yang mudah diakses oleh perangkat HP android dan digital lainnya. Harusnya fenomena itu tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah adalah saat banyak orang menganggap al-Qur`an dan hadits versi terjemah itu sudah layak sebagai perangkat hukum yang memecah berbagai problem keagamaan. Namun masyarakat tidak menyadari bahwa produk-produk terjemahan itu tidak pernah bisa dikatakan setara dengan al-Qur`an dan hadits yang berbahasa Arab.

Kompleksitas pemahaman teks di dalam kitab suci dan Kalam Nabi membuat produk terjemah tidak pernah mampu mewakili makna dan maksud teks-teks al-Qur`an dan hadits. Terlebih jauhnya jarak antara penterjemah dengan teks itu sendiri berkisar lebih dari 13 abad setelah teks-teks agama itu turun.

Independensi seorang penterjemah juga perlu diperhatikan, karena bila penterjemah memiliki kecenderungan ke ideologi negatif, maka hasil terjemahannya pun tidak akan orisinil dan tidak obyektif. Obyektivitas yang tergadai oleh ideologi negatif akan bahaya bila dikonsumsi oleh publik yang belum menguasai perangkat mengkaji hadits. Begitu juga al-Qur`an. Perlu pemahaman yang tidak sederhana dalam memahami al-Qur`an, perlu berbagai perangkat diskursus dan analisis yang mendalam untuk mencapai makna teks-teks di dalamnya.

Pembacaan terhadap makna-makna teks di al-Qur`an dan hadits itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah punya kapasitas dalam melakukan penelitian teks. Produk terjemahan dari kedua kitab suci itu tidak bisa menjadi produk hukum dan mengabaikan peran fikih. Fikih lahir dari kerja keras para pengkaji teks-teks kitab suci al-Qur`an dan hadits dengan berbagai perangkat khusus dalam melakukan istinbat hukum. Memposisikan al-Qur`an dan hadits sebagai produk hukum tentu menurunkan derajat al-Qur`an dan hadits sendiri yang harusnya sebagai sumber hukum yang bisa bermanfaat untuk melahirkan berbagai produk hukum, dan tidak terbatas dalam suatu masa tertentu, menjadikannya sebagai produk hukum sama saja memposisikannya sebagai teks yang terbatas oleh masa tertentu dan tidak bisa berlaku di masa lainnnya, begitulah sifat produk hukum yang senantiasa berubah dan selalu diamandemen sesuai dengan tipologi kasus per kasus.

Bahasa, rasio, kemampuan interpretasi, budaya, relasi sosial, dan relasi spiritual merupakan bagian-bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses dan hasil interpretasi manusia terhadap berbagai hal, terutama teks.
Perbedaan derajat antara manusia dengan Tuhan yang jauh berbeda jelas menentukan kualitas terjemahan. Manusia sebagai makhluk Tuhan, dan Tuhan sebagai pencipta manusia dan alam semesta, manusia manapun tidak mampu menakar obyektivitas makna dari sebuah teks kitab suci. Proses terjemahan yang dilakukan oleh manusia justru akan menundukkan teks al-Qur`an ke dalam proses akulturasi budaya si penterjemah itu sendiri, karena manusia selalu tunduk pada dimensi historisnya, yang akan menurunkan nilai dan makna teks itu sendiri.

Dalam menafsirkan teks-teks non kitab suci, makna obyektivitas itu juga masih rumit untuk diperoleh, namun teks-teks non kitab suci akan selalu tunduk terhadap pemaknaan historisnya, dia selalu bisa dihadirkan makna. Memaknai teks-teks kitab suci dalam sudut pandang historisitas atau sebab turunnya ayat merupakan hal yang keliru. Karena tidak semua ayat itu memiliki asbâb al-nuzûl-nya, dan tidak semua teks kitab suci yang diturunkan itu sesuai dengan konteks historisnya saat diturunkan. Kitab suci tidak berbicara mengenai suatu kejadian dengan detail. Format teks al-Qur`an tidak pernah terikat dengan lokasi dan waktu yang detail.

Misalnya, Allah Swt. berfirman, “[Ingatlah] tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami [ini],” [QS. al-Kahfi: 10]. Dan seterusnya sampai QS. al-Kahfi: 26 al-Qur`an tidak disebutkan secara detail kejadian dalam kisah-kisah yang diunggah di dalam teksnya. Terdapat berbagai versi di mana letak gua tempat singgah Ashabul Kahfi yang dimaksud di dalam al-Qur`an tersebut. Ada versi yang mengatakan bahwa gua al-Kahfi itu terletak di Anatolia, Turki, di mana komunitas Kristen dan Yahudi mengimani keberadaan gua al-Kahfi terletak di sana. Versi lain mengatakan bahwa gua al-Kahfi itu terletak di Syiria, lalu ada yang mengatakan di Yordania.

Tidak jelasnya penyebutan lokasi dan waktu membuat al-Qur`an diposisi bukan teks sejarah, bukan teks yang dihasilkan dari penuturan sejarah. al-Qur`an bebas dari konflik pembacaan sejarah. Berbeda dengan Nasr Hamid Abu Zayd yang mengklaim al-Qur`an sebagai muntaj al-tsaqâfi (produk budaya). Oleh karena itu, proses penafsiran al-Qur`an tidak seperti teks-teks lainnya yang bisa dengan mudah ditemui maknanya.

Badruddin al-Zarkasyi dalam kitab “al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân” menyebutkan tiga pendapat mengenai turunnya al-Qur`an. Pertama, bahwa al-Qur`an turun dengan lafal dan maknanya dari Allah. Kedua, bahwa al-Qur`an turun kepada Jibril hanya maknanya saja, kemudian Jibril membahasakannya dengan bahasa Arab ketika menyampaikannya kepada Muhammad. Ketiga, al-Qur`an turun secara makna kepada Jibril, lalu Jibril menyampaikannya kepada Muhammad juga secara makna, dan Muhammad-lah yang membahasakannya dengan menggunakan medium bahasa Arab.

Klaim Terjemah al-Qur’an dan hadits sebagai sebuah produk hukum yang otoritatif merupakan salah satu penyebab mengerasnya praktik keagamaan saat ini. Mengkaji sumber hukum hanya bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan khusus di bidang tersebut. Sementara publik muslim secara umum lebih baik mengamati hasil-hasil pengkajian terhadap sumber hukum tersebut, seperti fikih, lebih bersifat aman dan terdapat unsur relativitas hukum yang sangat dinamis.[]

1 reply

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.