Ancaman Sampah Tekstil Dibalik Tampilan Estetik


Siapa sangka di balik industri fast fashion yang tampak indah ternyata tersimpan fakta mencemaskan mengenai sampah tekstil yang kian menggunung. Data dari earth.org pada Agustus 2023 menyebutkan bahwa 92 juta ton garmen dari 100 juta yang diproduksi setiap tahun berujung pada pembuangan akhir.
Jumlah tersebut setara dengan truk yang penuh sampah baju berakhir di tempat pembuangan akhir setiap detiknya. Apabila tren ini berlanjut, jumlah sampah tekstil bisa melonjak hingga 134 juta ton per tahun hingga akhir dekade ini.
Problem serius tersebut salah satunya didorong oleh budaya baru memakai baju yang semakin cepat berganti. Saat ini, banyak baju yang dipakai hanya tujuh hingga 10 kali sebelum akhirnya dibuang. Fakta ini menunjukkan penurunan lebih dari 35% dalam 15 tahun saja.
Lalu, bagaimana dengan fenomena sampah tekstil di Indonesia? Menurut data sistem informasi KLH pada 2021, limbah sampah tekstil nasional sudah mencapai sekitar 2,3 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya 0,3 juta ton yang berhasil didaur ulang, lalu sisanya? Menumpuk dan tidak dapat diurai.

Peran Penting Industri Tekstil

Baju merupakan kebutuhan pokok manusia selain makanan dan hunian. Sering kita mendengar istilah sandang, pangan, dan papan. Sandang merujuk pada pakaian untuk melindungi kita dari terik matahari dan panas. Pangan tentunya berarti makanan untuk menguatkan fisik dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Papan adalah tempat tinggal, yang bisa berupa rumah tapak, apartemen, hingga kontrakan.
Awalnya, fungsi baju masih sesederhana menutupi badan dan melindunginya dari berbagai jenis cuaca. Seiring perkembangan zaman, pesatnya teknologi, dan kompleksnya selera manusia, baju menjadi industri fashion yang terus berubah.
Tidak mengherankan bahwa baju tidak pernah kehilangan peminat. Industri tekstil sendiri menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar nasional. Berbagai model baju mengarah pada segmennya tersendiri. Ada baju untuk anak-anak, dewasa, hingga orang tua. Belum lagi ada baju untuk kebutuhan pernikahan, upacara adat, hingga pelantikan jabatan di pemerintahan dan kegiatan formal lainnya.
Konteks media sosial saat ini telah menimbulkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, industri tekstil semakin tinggi permintaan. Tentunya ini membuka lapangan kerja baru sehingga menurunkan angka pengangguran.
Mengutip data dari Kementerian Perindustrian, selama triwulan I 2024 industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) sanggup menyumbang 5,84 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor manufaktur. Dari sisi ekspor, industri ini menyumbang USD 11,6 miliar dengan surplus USD 3,2 miliar. Sektor ini menyerap lebih dari 3,98 juta tenaga kerja atau 19,47 persen terhadap keseluruhan tenaga kerja sektor manufaktur pada 2023.
Kita ambil contoh, Kabupaten Karanganyar, termasuk salah satu daerah dengan beberapa pabrik tekstil terkemuka nasional. Jadi, saya menyaksikan banyak tetangga dan teman yang bekerja di sektor tekstil. Dari sektor ini, mereka menghidupi keluarga dan anak-anak mereka.

Baju sebagai Simbol Status Sosial

Media sosial telah mengubah tatanan industri tekstil secara radikal. Baju kini tidak lagi sekadar kebutuhan primer. Tren dunia mode yang dulu hanya bisa disaksikan melalui televisi kini begitu cepat diakses melalui smartphone. Tidak hanya produk fashion dalam negeri, pengaruh fashion luar begitu cepat masuk. Maka dari itu muncullah istilah fast fashion yang diduga menjadi biang kerok membludaknya sampah tekstil.
Fast fashion adalah istilah bagi industri mode yang menawarkan harga murah serta terus mengikuti perkembangan zaman. Baju seperti ini mudah sekali didapatkan baik di toko fisik dan virtual. Inilah tren yang membuat industri TPT bergeliat. Tidak sulit mempromosikan model baju seperti ini. Dukungan media sosial dan e-commerce menjadikan siapa saja bisa mengakses model terbaru dan produsen seringkali menawarkan potongan harga.
Di lain pihak, fashion menawarkan sisi eksklusivisme, namun berharga mahal, dengan penjualan yang terbatas. Sementara fast fashion berharga murah dengan komoditas yang tersedia secara luas di pasar.
Ada fashion yang memberi label tertentu pada pemakainya. Mereka yang menyukai K-Pop biasanya akan membeli busana yang mempertegas kecintaan mereka pada budaya Korea Selatan. Penyuka Anime dan Manga mungkin tidak membeli baju yang kental dengan budaya Jepang sehari-hari. Tetapi, pada suatu waktu mereka akan membeli busana untuk mendukung budaya cosplay mereka.

Mengurangi Sampah Fashion Tanpa Mengurangi Kontribusi Industri TPT

Kita dapat berkontribusi mengurangi sampah fashion tanpa melukai industri TPT. Caranya adalah dengan menerapkan pembelian berkesadaran atau mindful buying.
Pertama, kenali terlebih dahulu pola belanja sandang kita. Apabila selama ini terlalu boros maka sebaiknya sadari bahwa kita lebih sering berbelanja menuruti nafsu dan tanpa pertimbangan matang (impulsive buying). Cobalah untuk mengeremnya agar membeli baju yang memang dibutuhkan.
Kedua, alihkan belanja baru ke produk yang memang berkualitas agar pemakaiannya awet. Cara ini akan tetap menyumbang terhadap permintaan baju. Pabrik tekstil akan lebih berfokus pada pembuatan baju yang bermutu tinggi. Dengan baju yang lebih awet, maka secara otomatis jumlah sampah fashion akan berkurang.
Ketiga, kita bisa membeli produk TPT bekas namun masih bermutu bagus. Di kalangan anak muda, thrift goods atau barang bekas tidak lagi identik dengan barang buangan yang tidak lagi layak pakai. Ini terbukti dari menjamurnya thrift store atau toko barang bekas baik offline maupun online. Mereka tidak lagi merasa malu memakai baju atau benda lain yang pernah dipakai pemilik sebelumnya. Bahkan sudah banyak influencer atau selebgram yang meramaikan tren ini dengan melelang preloved goods atau baju favorit mereka sebelumnya ke pengikut.
Sudah waktunya kita menjadi konsumen cerdas yang mengamati seberapa besar pengaruh tindakan kita terhadap lingkungan. Melalui pembelian fashion yang tepat guna, kita akan dapat menyumbang terhadap sehatnya Bumi yang minim sampah fashion bagi generasi kini dan nanti. []

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.