Pos

Dari Pohon ke Pahala: Telaah Hadis Kitab Sittina ‘Adliyah

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى أُمِّ مُبَشِّرٍ الْأَنْصَارِيَّةِ فِي نَخْلٍ لَهَا، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَمُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ؟ قَالَتْ: بَلْ مُسْلِمٌ. فَقَالَ: لَا يَغْرِسُ مُسْلِمٌ غَرْسًا، وَلَا يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ، وَلَا دَابَّةٌ، وَلَا شَيْءٌ، إِلَّا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً. رَوَاهُ مُسْلِمٌ[1]

Dari Jabir r.a, Nabi saw masuk ke perkebunan milik Ummu Mubasyir al-Ansari, lalu beliau bertanya: “Siapa yang menanam pohon kurma ini? Seorang muslim atau kafir?” Ia menjawab: “Seorang muslim ya Rasulullah saw”. Beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam suatu tanaman lalu ada manusia, hewan atau sesuatu yang memanfaatkannya atau memakannya, kecuali menjadi sedekah kepadanya” ( HR. Muslim).[2]

~~~

Hadis ini bersumber dari Shahih Muslim nomor hadis 1556. Berdasarkan redaksi hadisnya, Nabi  saw sedang berkunjung ke sebuah perkebunan milik Ummu Mubasyir, seorang sahabat dari golongan Ansar. Setelah melihat pepohonan di kebun tersebut, beliau bertanya mengenai siapa yang menyiramnya. Kemudian Nabi saw menyampaikan hadis ini sebagai anjuran kepada seluruh umat Islam agar menjaga lingkungan dan melaksanakan reboisasi.[3]

Dilihat dari teks hadis, Islam tidak melarang kepada siapa pun termasuk perempuan untuk beraktivitas di ruang publik. Contohnya sahabat Ummu Mubasyir yang memilih untuk beraktivitas di luar rumah dengan berkebun. Nabi saw tidak melarangnya, bahkan membiarkan perempuan yang beraktivitas di luar rumah selama dalam batasan syariat.

Dalam hadis tersebut, pohon digambarkan sebagai sumber manfaat. Ia tidak hanya menghasilkan buah, tetapi juga memberi keteduhan, menyuburkan tanah, dan menjadi rumah bagi makhluk hidup. Setiap orang yang menanam pohon, sejatinya sedang menanam manfaat untuk banyak pihak. Demikian pula karier seorang perempuan: saat ia bekerja, berkarya, atau membuka peluang usaha, sejatinya ia sedang menanam kebaikan yang dapat dirasakan orang lain.

Hadis ini bisa dikontekstualisasikan pada zaman sekarang bahwa semua orang, laki-laki maupun perempuan berhak memiliki karier dalam hidupnya. Sebab sekarang sudah memilik sistem keamanan yang lebih maju terhadap siapa pun dan sarana transportasi umum yang lebih mudah dan terjangkau.

Seperti halnya menjadi seorang guru, yang mendidik generasi dengan penuh dedikasi, sedang menanam pohon ilmu yang akan berbuah di masa depan. Seorang tenaga kesehatan perempuan, setiap kali membantu pasien sembuh, sedang menanam pohon kebaikan yang kelak pahalanya mengalir. Seseorang menjadi pengusaha yang membuka lapangan kerja, sedang menanam pohon rezeki untuk orang lain. Semuanya adalah bentuk kontribusi yang selaras dengan makna hadis.

Apalagi bagi seseorang yang sudah berkeluarga, hadis ini menjadi rujukan bahwa suami dan istri itu boleh memiliki karier masing-masing untuk memberikan nafkah yang lebih stabil terhadap keluarga, sejalan dengan prinsip maqashid asy-syari’ah untuk menjaga jiwa (hifdzu al-nafs) dan menjaga keturunan (hifdzu an-nasl).[4]

Belajar dari kota Jakarta yang sering digambarkan sebagai kota yang menjanjikan segalanya, ada peluang kerja yang lebih baik, banyak fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lengkap, serta gaya hidup modern yang sulit ditemukan di kota kecil, semua ini menciptakan daya tarik bagi orang-orang dari berbagai daerah untuk datang, meski harus meninggalkan kampung halaman.

Namun, kenyataan di lapangan sering kali lebih keras dari yang dibayangkan. Biaya hidup tinggi membuat banyak orang harus bekerja dari pagi hingga larut malam hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Gaji yang didapat sering kali langsung habis untuk membayar kontrakan, memberi orang tua, dan transportasi.[5]

Oleh karena itu, dengan memiliki karier masing-masing, suami istri akan saling mendukung dalam menjaga ekonomi keluarga, mendukung pendidikan anak, atau bahkan menolong kerabat dan masyarakat, sehingga apa yang mereka lakukan akan bernilai sedekah. Seperti halnya pepohonan yang ditanam, lalu menghasilkan buah dan dimanfaatkan oleh manusia atau hewan, semuanya akan menjadi catatan pahala.

Di dalam hadis ini juga Nabi saw secara jelas menjunjung nilai kesetaraan. Pahala tidak hanya diberikan kepada seorang laki-laki yang menanam pohon, tetapi kepada siapa saja yang berbuat baik. Hal ini menegaskan bahwa dalam Islam, kesempatan untuk beramal baik terbuka luas bagi laki-laki maupun perempuan. Kebaikan tidak diukur  dari jenis kelamin, tetapi dengan niat hati dan manfaat bagi orang lain.

Dengan niat yang lurus, karier seseorang akan bisa bernilai ibadah. Ini bukan hanya tentang mencari nafkah, tetapi juga tentang menebar manfaat dan menjaga keberlangsungan hidup, dan memberi ruang tumbuh terhadap orang lain. Seperti pepohonan yang terus berbuah meski penanamnya sudah tiada, amal dari karier seseorang pun akan terus mengalir sebagai sedekah jariyah.[6]

Hadis ini juga menjadi rujukan bagi perempuan modern yang turut bekerja untuk menopang kebutuhan keluarga. Dengan niat ikhlas, kerja keras ini bukan sekadar rutinitas, melainkan ibadah. Hadis menegaskan bahwa kebaikan apa pun yang memberi manfaat akan bernilai pahala, sehingga kontribusi perempuan dalam nafkah adalah amal yang mulia.

Hadis menanam pohon memberikan pelajaran bahwa setiap amal yang memberi manfaat adalah sedekah. Bagi perempuan modern, berkarier bukan hanya soal kemandirian finansial atau membantu nafkah keluarga, melainkan juga jalan ibadah. Setiap tetes keringat yang diniatkan ikhlas, setiap manfaat yang lahir dari pekerjaan, semuanya adalah pohon kebaikan yang akan terus berbuah di dunia dan akhirat.

Dengan demikian, karier perempuan bukan sekadar rutinitas, melainkan ladang pahala. Seperti pepohonan yang kokoh dan bermanfaat, perempuan berkarier adalah penanam kebaikan yang hasilnya dapat dinikmati banyak orang, dan pahalanya akan mengalir tanpa henti.

 

 

 

[1] Shahih Muslim, hal. 1556.

[2] Sittina Adliyah, hal. 13.

[3] Fathul Mu’in, Syarah Shahih Muslim, hal. 265.

[4] Buku Saku Fikih Perempuan Bekerja, Tim Rumah KitaB Yayasan Rumah KitaB, 2022, hal.  49.

[5] Ananda Stoon, “Jakarta Itu Keras, Masa Iya?”, https://anandastoon.com, diakses tanggal 02 Oktober 2025.

[6] Buku Saku Fikih Perempuan Bekerja, hal. 50.