Sanitasi Pondok Pesantren Selalu Problematik
Ada guyonan yang terkenal di kalangan para alumni pesantren: mereka yang lulus dari pesantren dengan bekas scabies (gudik) dianggap sudah sah menjadi santri. Bekas luka scabies ini seakan menjadi hal yang lumrah bagi para santri yang tinggal di pesantren. Menghabiskan enam tahun di pondok pesantren membuat saya cukup akrab dengan suka-duka kehidupan di dalamnya.
Guyonan di atas sebenarnya menyiratkan kritik terhadap kondisi sanitasi di pesantren. Kita semua tahu, hingga saat ini masih banyak pesantren yang kondisi sanitasinya jauh dari kata ideal. Sanitasi di sini mengacu pada segala upaya yang dilakukan untuk mewujudkan kondisi yang memenuhi persyaratan kesehatan. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat guna meningkatkan kesejahteraan.
Isu sanitasi di pesantren adalah masalah yang sangat krusial, mengingat jumlah pesantren di Indonesia sangat besar. Direktur Jenderal IKMA Kemenperin menyebutkan bahwa ada sekitar 39.167 pesantren yang terdata di Kementerian Agama, dengan jumlah santri mencapai 4,85 juta orang. Jumlah ini tentu tidak sedikit jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mendominasi.
Oleh karena itu, penting bagi pesantren untuk mendapatkan pengawasan ketat, termasuk dalam hal sanitasi. Berdasarkan pengalaman pribadi saya, seringkali ditemukan berbagai masalah, seperti kekurangan air bersih, keterbatasan kamar mandi, kebersihan alat makan yang kurang terjaga, air minum yang terbatas, hingga tempat tidur yang tidak memadai. Masalah-masalah ini hampir selalu ditemukan di banyak pesantren, terutama yang masih tradisional. Meski demikian, beberapa pesantren modern sudah mulai memperhatikan aspek sanitasi, meskipun jumlahnya masih terbatas.
Menurut beberapa penelitian, setidaknya ada lima aspek yang harus diperhatikan dalam sanitasi ideal bagi pesantren, yaitu:
- Manajemen pengelolaan sampah
- Ketersediaan dan kualitas air bersih
- Kualitas udara
- Penyelenggaraan makanan
- Pengendalian vektor
Kelima aspek ini bertujuan untuk mencegah penyakit berbasis lingkungan, seperti scabies dan diare, yang sering terjadi pada santri.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa lima indikator ini belum sepenuhnya terpenuhi oleh pesantren-pesantren di Indonesia. Misalnya, dalam hal manajemen pengelolaan sampah, masih banyak pesantren yang belum memiliki tempat sampah yang memadai, apalagi budaya pemilahan sampah. Padahal, pemilahan sampah adalah kunci dari pengelolaan sampah yang baik.
Selain itu, ketersediaan dan kualitas air bersih di pesantren masih menjadi masalah besar. Banyak pesantren yang menggantungkan airnya pada air sungai atau sumur yang kualitasnya belum terjamin. Pada musim-musim tertentu, air menjadi sangat langka, sehingga santri kesulitan untuk beraktivitas. Ketidakseimbangan antara jumlah santri dan jumlah fasilitas toilet juga menjadi masalah serius. Menurut Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang tercantum dalam Kepmen Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2001, idealnya perbandingan fasilitas toilet dengan jumlah santri adalah 1:9, namun banyak pesantren yang jauh dari standar ini. Selain itu, banyak toilet di pesantren yang kondisinya kurang terawat.
Aspek penyelenggaraan makanan dan pengendalian vektor juga tak kalah penting. Banyak pesantren yang belum memperhatikan kandungan nutrisi dalam makanan yang disajikan kepada santri. Selain itu, kebiasaan santri yang sering berbagi pakaian, alas kaki, handuk, alat makan, hingga alat mandi, membuat mereka rentan tertular penyakit.
Persoalan sanitasi di pesantren memang sangat kompleks dan tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Menurut saya, masalah ini perlu diatasi melalui pendekatan top-down dan bottom-up secara bersamaan.
Pendekatan top-down dapat meliputi:
- Standarisasi fasilitas sanitasi
- Pengawasan ketat terhadap pemeliharaan fasilitas
- Pemberian bantuan (subsidi) untuk memenuhi standar sanitasi
- Pelatihan dan sosialisasi bagi pengelola pesantren
Sementara pendekatan bottom-up bisa dilakukan melalui:
- Pembiasaan perilaku hidup bersih dan sehat bagi santri
- Internalisasi nilai-nilai Islam tentang pentingnya kebersihan dan kesehatan
- Teladan dari para guru di pesantren
- Penerapan aturan sanitasi yang ketat
- Kolaborasi antara pihak-pihak terkait (pengajar, santri, walisantri, kyai, dan pengurus)
Membenahi sanitasi di pesantren membutuhkan konsistensi, tekad, dan kerja sama dari semua pihak. Namun, saya yakin, jika semua elemen bersatu, pesantren dapat menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya unggul secara spiritual, tetapi juga bersih dan sehat. Bukankah Rasulullah SAW sebagai panutan kita mencintai kebersihan dan kesehatan? Mari kita wujudkan pesantren yang sehat dan bersih!