Pos

Ironi Rendahnya Keterwakilan Perempuan dalam Kabinet Merah Putih

Sebuah potret miris tersaji saat mengamati komposisi Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Hanya 14 perempuan atau 12,5% saja yang menduduki jajaran kabinet yang total berjumlah 112 orang untuk masa tugas 2024 hingga 2029.

Kabinet ini terdiri dari 48 menteri, 56 wakil menteri, lima pejabat setingkat menteri, Panglima TNI, Kapolri, dan Sekretaris Kabinet. Adapun ke-14 menteri dan wakil menteri perempuan tersebut adalah sebagai berikut sebagaimana diambil dari Tempo.co:

  • Veronica Tan – Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
  • Sri Mulyani – Menteri Keuangan
  • Meutya Hafid – Menteri Komunikasi dan Digital
  • Rini Widyantini – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
  • Widiyanti Putri Wardhana – Menteri Pariwisata
  • Arifatul Choiri Fauzi – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
  • Ribka Haluk – Wakil Menteri Dalam Negeri
  • Ni Luh Puspa – Wakil Menteri Pariwisata
  • Christina Aryani – Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran
  • Stella Christie – Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi
  • Dyah Roro Esti Widya Putri – Wakil Menteri Perdagangan
  • Ratu Isyana Bagoes Oka – Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
  • Diana Kusumastuti – Wakil Menteri Pekerjaan Umum
  • Irene Putri – Wakil Menteri Ekonomi Kreatif.

Kalah Kompetensi atau Stigma Patriarki yang Mengakar?

Jika dijabarkan lebih lanjut, dari 14 tersebut, hanya lima orang yang menjabat sebagai menteri, sementara sisanya menduduki posisi sebagai wakil menteri. Pertanyaan besar pun mengemuka mengenai faktor penunjukan yang sangat sedikit tersebut. Sebagaimana kita ketahui, posisi di dalam kabinet memang lebih sarat keputusan politis.

Banyak posisi menteri, wakil menteri, atau yang setara dengan itu diisi oleh tokoh yang berasal dari partai politik pendukung pemerintah. Jikalau pun demikian, seharusnya jumlah pejabat kabinet perempuan tetap lebih banyak dari 14, mengingat ada banyak politisi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat.

Pertanyaan pun tak pelak mengerucut menjadi: apakah jumlah tersebut semata lantaran stigma patriarki yang mendarah daging, bahkan hingga level pemerintahan? Sistem patriarki sendiri adalah sistem sosial yang meletakkan laki-laki sebagai pemegang dominasi dalam organisasi dan struktur di masyarakat.

Keputusan presiden dan wakil presiden di atas tentunya ironis mengingat era emansipasi perempuan sudah melahirkan begitu banyak perempuan berbakat dan cerdas dalam segala bidang. Untuk membawahi bidang level nasional, seharusnya perbandingan kompetensi menjadi metrik yang dipakai, bukan hanya condong kepada salah satu jenis kelamin.

Ambil contoh, untuk memilih Menteri Kebudayaan, standar yang dipakai haruslah mencakup gelar akademis terkait bidang tersebut dan/atau kiprah selama ini di bidang yang sama. Seorang Menteri Kebudayaan juga haruslah orang dengan relasi kuat dengan pegiat seni dan kebudayaan Nusantara. Portofolio yang mencakup kompetensi teknis, pengalaman lapangan, dan relasi inilah yang seharusnya membuat ia masuk ke jajaran kabinet, bukan lantaran faktor gender apalagi titipan partai politik tertentu.

Signifikansi Bertambahnya Jumlah Perempuan di Kabinet

Sangat disayangkan pergantian kabinet masih kurang memberikan ruang ekstra bagi perempuan cerdas nasional. Hingga keputusan semacam ini berubah, kita harus terus menggaungkan pentingnya jumlah keterwakilan perempuan dalam kabinet secara obyektif.

Mengapa ini begitu penting?

Pertama, dengan bertambahnya kepercayaan kepada perempuan Indonesia akan memberikan teladan positif bagi generasi muda perempuan Tanah Air. Ada banyak perempuan hebat di Indonesia yang layak menduduki posisi tertinggi pada bidangnya masing-masing sesuai keahlian mereka. Jika kebiasaan memberikan posisi sepenting menteri atau wakil menteri masih sedikit, dikhawatirkan mengurangi ruang berkarya sekaligus mengabdi perempuan muda hebat di luar sana.

Kedua, kepemimpinan feminis mempunyai keunggulan khas berupa sifatnya yang merangkul siapa saja. Dengan begitu, menteri atau wakil menteri akan lebih berempati pada jajarannya demi menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat. Dalam dunia birokrasi yang selama ini dikenal kaku, kepemimpinan feminis lebih mengutamakan berbaurnya antar eselon. Gebrakan ini akan berdampak pada pelayanan publik yang lebih berkualitas karena dilakukan oleh pegawai yang diakomodir pendapatnya.

Meski susunan kabinet telah ditentukan, tidak seharusnya gaung kesetaraan jumlah perempuan di kabinet berhenti. Dalam kesempatan apa pun, kampanye semacam ini harus dilakukan agar kesempatan berkarier bagi perempuan Indonesia bisa berkibar setinggi-tingginya.

Selama ini, sudah banyak perempuan Indonesia yang menduduki posisi tinggi di perusahaan swasta hingga BUMN. Sekarang, masih menjadi pekerjaan rumah bersama agar hal serupa bisa terwujud pada berbagai kementerian dan lembaga nasional. Sebab jika memang perempuan Indonesia layak dan mampu, kenapa tidak?

Mengapa Perempuan Harus Melek Politik?

Lebih dari 1.400 tahun silam, Islam hadir dan berupaya membangun kesadaran kemanusiaan tanpa memandang jenis kelamin tertentu. Setiap manusia adalah hamba Allah SWT dan mengemban tugas sebagai Khalifah fil ardh, yakni mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi dengan cara-cara yang baik dan benar.

Islam memandang setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki kapasitas dapat menjadi pemimpin dan terjun ke ruang politik. Dalam Q.S. At-Taubah: 71, ditegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak untuk memberi saran, nasihat, atau kritik dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk politik. Politik berperan penting dalam mendekatkan masyarakat pada kemaslahatan yang luas.

Stigma terhadap Perempuan dan Politik

Sering kali kita mendengar kalimat seperti, “Tahu apa kamu soal politik?”, “Jangan berpolitik,” atau “Politik itu kotor.” Pernyataan semacam ini kerap memojokkan dan mendiskriminasi perempuan, seolah-olah perempuan tidak perlu terlibat dalam politik. Padahal, politik memengaruhi hampir semua aspek kehidupan.

Sebagai contoh, keputusan politik dapat berdampak pada pendidikan, kesehatan, harga kebutuhan pokok, hingga lingkungan. Ketika keputusan politik diabaikan, dampaknya dirasakan oleh semua, termasuk perempuan. Satu tanda tangan pejabat lebih efektif mengubah keadaan daripada sekadar retorika moral tanpa kekuasaan. Oleh karena itu, pilihan politik yang tepat dapat mencegah kerusakan lebih lanjut.

Pentingnya Memahami Politik

Leila S. Chudori dalam bukunya Laut Bercerita menulis, “Kamu harus bisa membedakan mereka yang bermulut besar dengan mereka yang serius dalam memperbaiki negeri ini.” Belajar politik membantu kita melihat pemimpin berdasarkan gagasan dan kebijakannya, bukan sekadar pencitraan.

Ketika masyarakat menghindari politik, daya rusak politik justru lebih besar. Karena itu, perempuan perlu ikut serta dalam politik untuk memastikan kebijakan tidak merugikan mereka, terutama yang berkaitan dengan kepentingan perempuan dan anak.

Kesadaran Politik dan Partisipasi Perempuan

Sering kali, indikasi kesadaran politik masyarakat hanya sebatas menjadi “fans” yang terpukau oleh tampilan luar kandidat. Banyak yang mengabaikan integritas pemimpin, termakan pencitraan, dan melupakan tanggung jawab mengawasi janji serta kebijakan.

Mengapa perempuan harus melek politik? Karena keputusan politik berdampak langsung pada kepentingan perempuan, seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya. Misalnya, kerusakan lingkungan akibat salah urus akan memengaruhi ketersediaan air bersih, yang otomatis membebani perempuan sebagai pengelola rumah tangga.

Melawan Stereotip

Kurangnya partisipasi perempuan dalam politik disebabkan oleh stereotip bahwa perempuan tidak memiliki kapabilitas sebagai pemimpin. Stereotip ini keliru. Jika seorang perempuan memiliki integritas dan kualitas, ia berhak memimpin demi kemaslahatan bersama.

Negara yang hebat lahir dari pemimpin berintegritas, yang terbentuk dari pendidikan bermutu. Perempuan, terutama ibu, adalah madrasah pertama bagi generasi mendatang. Mereka memiliki peran sentral dalam membentuk karakter pemimpin bangsa.

Perempuan dan Peran di Ruang Publik

Pengambilan kebijakan publik banyak terjadi di ruang sidang dan rapat. Perempuan harus terlibat dalam proses ini, menjadi penggerak dan penyampai suara masyarakat yang selama ini kurang terdengar.

Setiap orang memiliki pilihan, dan setiap pilihan membawa konsekuensi. Namun, yang terpenting adalah memiliki kesadaran politik untuk turut serta memperbaiki kehidupan bersama.

Mendobrak Patriarki: Perspektif Fikih tentang Kepemimpinan Perempuan di Ranah Politik

  • Judul Buku: Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan: Sejarah, Hukum, dan Tantangan Masa Depan Partisipasi
  • Penulis: Tim Kajian Rumah KitaB (Jamaluddin Mohammad, Roland Gunawan, Achmat Hilmi, dan Nur Hayati Aida)
  • Penerbit: Yayasan Rumah Kita Bersama Indonesia
  • Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Februari 2024
  • Jumlah Halaman: 140 + xxix
  • ISBN: 978-602-17557-8-5

Isu Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

Apa yang terbayang di benak kebanyakan umat Muslim saat mendengar kalimat “perempuan menjadi pemimpin”? Sampai hari ini, meski telah banyak contoh perempuan memimpin dengan sangat baik, persoalan boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin masih sering menjadi isu kontroversial. Dalam pandangan masyarakat patriarki, perempuan sering dianggap lebih tepat sebagai pengikut atau makmum, sementara laki-laki diposisikan sebagai imam atau pemimpin.

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan Sebagai Jawaban atas Perdebatan

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan hadir sebagai jawaban atas banyak perdebatan mengenai peran perempuan dalam politik. Tim Kajian Rumah KitaB mencoba menyajikan eksplorasi komprehensif mengenai perjalanan panjang perempuan dalam ranah politik, baik dari sudut pandang Islam maupun sejarahnya.

Selain mengajak pembaca tenggelam dalam sejarah politik Islam dan peran perempuan di dalamnya, buku ini juga membahas tantangan kontemporer, khususnya di Indonesia, terkait keterwakilan perempuan dalam politik modern.

Pembagian Bab dalam Buku

Buku ini dibagi menjadi empat bab utama, yang masing-masing membahas aspek sejarah, teologi, hingga politik kontemporer. Buku ini dapat menjadi sumber penting untuk memahami bagaimana fikih memandang kepemimpinan perempuan, serta bagaimana perspektif mengenai kepemimpinan perempuan berubah seiring berjalannya waktu.

Bab 1: Sejarah Kepemimpinan Politik dalam Islam

Pada bab pertama, Tim Kajian Rumah KitaB mengajak pembaca untuk meninjau ulang sejarah kepemimpinan politik dalam Islam. Bab ini dimulai dengan mengulas masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Abbasiyah, hingga Kerajaan Bhopal, sebuah wilayah kecil di anak benua India.

Meskipun kerap terabaikan dalam catatan sejarah populer, buku ini berhasil membuka wawasan baru tentang bagaimana perempuan memiliki peran signifikan dalam sejarah politik Islam.

Bab 2: Fikih dan Kepemimpinan Perempuan

Bab kedua membahas secara mendalam konsep kepemimpinan perempuan dalam ruang keagamaan. Perempuan sering kali dianggap sebagai makmum, sementara laki-laki diposisikan sebagai imam. Konsep ini telah berlaku selama berabad-abad dan dianggap sakral, karena diyakini bersumber dari ajaran agama. Sebagai contoh, ayat yang mengandung makna qawwam serta hadis yang menyebutkan bahwa kepemimpinan akan hancur jika dipegang oleh perempuan dalam konteks Kerajaan Kisra.

Bab kedua ini juga menyajikan berbagai pandangan ulama mengenai peran perempuan di ruang publik, khususnya di ranah politik. Salah satu poin penting dalam bab ini adalah perlunya pembaruan pandangan dalam hukum fikih kontemporer terkait kepemimpinan perempuan. Pembaruan ini memerlukan integrasi antara dalil sejarah, dalil naqli (Al-Qur’an dan hadis), dalil aqli (rasional), serta dalil waqi’iy (realitas), yang dapat difasilitasi oleh maqashid syariah lin nisa. Tujuannya agar produk pemikiran yang dihasilkan relevan dengan kebutuhan zaman, tanpa merevisi hukum klasik yang bertentangan dengan realitas kontemporer.

Bab 3: Keterwakilan Perempuan dalam Politik Indonesia

Setelah membahas konsep kepemimpinan dalam ruang keagamaan, bab ketiga membahas keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia. Bab ini mengulas sejarah gerakan politik perempuan di Indonesia, mulai dari perjuangan melawan ketertinggalan pendidikan, penghapusan poligami, kawin paksa, hingga perjuangan untuk mencapai keterwakilan perempuan sebesar 30% di lembaga-lembaga pemerintah.

Organisasi-organisasi perempuan mulai bermunculan membawa agenda emansipasi, di antaranya pembebasan nasional, kesetaraan, hingga perbaikan nasib perempuan melalui pendidikan. Organisasi seperti Putri Mardika, yang berdiri pada tahun 1921 sebagai bagian dari gerakan Budi Utomo, adalah salah satu contohnya. Organisasi lain seperti Jong Java, Aisyiyah, dan Jong Islamieten Bond juga ikut berperan. Pada era 90-an, gerakan feminisme Muslim diperkenalkan oleh tokoh seperti Afsaneh Najmabadi dan Ziba Mir-Hosseini.

Bab ini juga membahas partisipasi dan representasi perempuan dalam politik Indonesia, termasuk regulasi afirmatif. Salah satu penekanan dalam bab ini adalah pentingnya menciptakan atmosfer politik yang memberikan perlindungan bagi perempuan. KPU, Bawaslu, partai politik, pemerintah, DKPP, Komnas Perempuan, dan masyarakat sipil memiliki peran masing-masing. KPU, misalnya, perlu meningkatkan pendidikan politik bagi pemilih dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya kepemimpinan perempuan, sehingga Pemilu 2024 dapat menghasilkan keterwakilan perempuan yang lebih baik.

Bab 4: Tantangan Keterwakilan Perempuan di Politik Indonesia

Bab keempat membahas tantangan yang dihadapi perempuan dalam partisipasi politik di Indonesia. Meskipun kuota 30% telah diterapkan selama lebih dari 20 tahun, target ini belum pernah terpenuhi. Keterwakilan perempuan di parlemen perlu mencapai angka “critical mass,” yaitu 30-40%, agar dapat meloloskan kebijakan dan membawa perubahan positif.

Meskipun ada peningkatan keterwakilan dalam legislatif dan jabatan politik, perempuan masih menghadapi tantangan besar. Ruang publik sebagai arena politik masih kerap bersikap sinis terhadap perempuan. Perempuan yang terjun ke dunia politik, baik sebagai legislator, eksekutif, maupun aktivis, sering kali dihadapkan pada tantangan berat, terutama terkait identitas gender mereka yang terus dipertanyakan.

Hal-hal pribadi seperti status perkawinan, agama, dan penampilan sering kali mendapatkan lebih banyak perhatian daripada gagasan atau pekerjaan yang telah mereka lakukan. Tantangan lain muncul dari budaya yang kerap kali berkelindan dengan tafsir agama. Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, tafsir agama masih memengaruhi pandangan mengenai perempuan sebagai pemimpin. Salah satu hadis yang sering dikutip berbicara mengenai larangan menyerahkan urusan kepada perempuan, dengan konteks yang merujuk pada Ratu Kisra yang memimpin pada usia muda. Bab ini juga menawarkan strategi untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam politik.

Kekuatan dan Kekurangan Buku

Secara keseluruhan, buku ini berhasil menyatukan kajian sejarah, hukum, dan politik dalam satu narasi yang utuh. Salah satu kekuatan utamanya adalah penyajian fakta-fakta sejarah yang jarang diungkap, seperti peran besar perempuan dalam pemerintahan pada masa Islam klasik.

Meski demikian, ada beberapa bagian dalam buku ini yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Salah satu bagian yang kurang tepat adalah narasi pada halaman xiii, yang menyebutkan bahwa salah satu hambatan besar bagi perempuan dalam politik adalah suasana pemilu yang sering diwarnai kekerasan. Paragraf ini seolah menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lebih emosional dan sensitif dibandingkan laki-laki, yang justru bisa melemahkan argumen keseluruhan buku dalam memperkuat posisi perempuan sebagai pemimpin yang tangguh.

Selain itu, ada pengulangan mengenai tokoh Ummu Salamah pada halaman 70 yang seharusnya disajikan lebih koheren jika merujuk pada tokoh yang sama.

Terlepas dari beberapa kekurangan tersebut, buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa pun yang tertarik dengan isu-isu agama, politik, maupun gender. Buku ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana perempuan telah, sedang, dan akan terus berperan dalam dunia politik, baik dalam konteks dunia Islam maupun politik Indonesia modern.