Pos

Sikap Islam terhadap ‘Syariat’ Agama Lain

MOJOK.CO – Sikap memandang agama Islam “mengungguli” agama-agama lain tidak jadi soal jika merupakan “sikap personal”. Masalah yang terjadi tak seperti itu.

 

Dalam penjelasan al-Ghazali mengenai doktrin kenabian, kita baca penjelasan berikut: “Fa-nasakha bi syari‘atihi al-syara’i‘a illa ma qarrarahu minha” (Tuhan me-nasakh/menghapus melalui syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad syariat-syariat agama lain sebelumnya, kecuali yang masih diakui berlaku).

Inilah yang disebut dengan doktrin “super-sesionisme,” penghapusan atau amandemen terhadap ajaran agama lama oleh agama yang datang belakangan.

Akidah ini sekarang mungkin kurang terlalu “relevan,” tetapi asumsi-asumsi yang ada di baliknya tetap perlu kita diskusikan karena masih mempengaruhi cara berpikir sebagian umat. Asumsi itu, antara lain, ialah: bahwa Islam adalah agama yang paling  “unggul” di atas agama manapun, dan kerena itu syariat-nya me-nasakh atau menghapus syariat agama-agama sebelumnya.

Di sini terselip asumsi yang sering disebut sebagai triumfalisme: sikap yang memandang agama sendiri “mengungguli” agama-agama lain. Asumsi ini tidak menjadi soal jika merupakan “sikap personal” yang hanya disimpan sebagai keyakinan bagi diri-sendiri.

Tetapi ini akan jadi soal jika diterjemahkan secara sosial dalam bentuk “sikap” untuk “menang-menangan” terhadap penganut agama-agama lain—kecenderungan yang secara faktual benar-benar terjadi dalam beberapa kasus riil.

Di zaman ketika politik identitas menjadi trend di seluruh dunia, pandangan teologis yang cenderung triumfalistik yang kita jumpai dalam banyak agama (terutama agama-agama semitik), harus dipahami ulang. Jika tidak, pandangan semacam ini bisa bermasalah.

Tugas kita sebagai Muslim, antara lian, adalah ikut mendorong munculnya peradaban baru yang melintasi sekat-sekat agama, peradaban yang menjunjung persaudaraan kemanusiaan dan dialog lintas-kepercayaan. Teologi yang triumfalistik kurang mendukung usaha ke arah ini.

Ada dua hal yang ingin saya soroti terkait dengan doktrin penghapusan syariat ini. Pertama, Apa persisnya syariat agama sebelum Islam di sini? Agama apakah yang dimaksudkan di sana? Yang kedua: bagaimana memahami doktrin ini secara proporsional agar tidak berujung pada sikap triumfalistik?

 

Mengenai isu yang pertama: tampaknya yang dimaksud syariat agama “sebelum” Islam adalah syariat agama Yahudi, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa agama-agama lain juga termasuk di dalamnya. Kenapa Yahudi? Sebab, di antara seluruh agama yang muncul sebelum Islam dan secara historis ada kaitan dengannya, hanyalah agama Yahudi yang memiliki tradisi hukum syariat yang sangat kuat sebagaimana dalam Islam.

Agama Kristen jelas mengikuti “jalan yang berbeda,” terutama “Pauline Christianity,” yaitu agama Kristen sebagaimana “ditafsir” oleh Paulus. Sebagaimana kita tahu, Kristen secara tegas membedakan diri dengan Yahudi dengan tidak mengikuti lagi apa yang disebut sebagai “Hukum Musa”. Kehadiran “Perjanjan Baru” diangap telah menggantikan (supercede) “Perjanjian Lama.” Kita bisa mengatakan bahwa Kristen adalah kelanjutan dari tradisi keyahudian minus syariat.

Tradisi pembahasan hukum yang “ndakik-dakik” sebagaimana kita kenal dalam fikih Islam, misalnya, juga dikenal, dalam bentuk yang kurang lebih persis sama, dalam tradisi Yahudi – apa yang disebut dengan tradisi rabbinik (Catatan: Yang berminat, bisa membaca studi-studi yang dilakukan oleh Prof. Jacob Neusner yang banyak mengkaji perbandingan antara “fikih” Islam dan “fikih Yahudi”). Karena itu, dari segi tradisi hukum, Islam lebih dekat kepada Yahudi ketimbang Kristen.

Bagi saya, tidak ada yang aneh, bahkan wajar, dalam doktrin penghapusan syariat agama pra-Islam ini. Pengertian doktrin ini menjadi jelas jika kita pahami dalam kerangka berikut: Tentu saja syariat yang diikuti oleh orang-orang Yahudi dengan sendirinya tidak berlaku bagi umat Islam.

Hal serupa sudah dilakukan oleh Kristen sebelumnya dengan cara yang jauh lebih radikal dengan, seperti saya sebutkan sebelumnya, penghapusan Hukum Taurat setelah kedatangan Perjanjian Baru. Hukum-hukum Taurat yang berkaitan dengan hari Sabbath dan kosher (hukum halal-haram dalam makanan), misalnya, dianggap tak berlaku lagi.

 

Yang menarik, syariat Islam tidak menghapus seluruh Hukum Taurat. Beberapa hal di sana masih dipertahankan. Al-Ghazali sendiri menjelaskan dalam kutipan yang sudah saya sebut di awal tulisan ini: “illa ma qarrarahu minha” – kecuali syariat-syariat dari agama sebelum Islam yang masih dianggap berlaku. Contoh Hukum Taurat yang masih dipertahankan dalam Islam adalah: sunat bagi laki-laki, tidak memakan daging babi, bangkai, dan darah.

Dengan mengatakan ini, bukan berarti Hukum Taurat sebagai “tradisi keagamaan yang hidup” dihapuskan seluruhnya oleh kedatangan Islam. Tentu itu tidak mungkin. Hukum Taurat jelas masih berlaku bagi orang-orang Yahudi hingga sekarang. Kanjeng Nabi juga tidak pernah menghalangi orang-orang Yahudi untuk terus mempertahankan Hukum Taurat dalam kehidupan sehari-hari. Islam menghormati doktrin dan syariat agama lain.

Yang perlu kita garis bawahi juga dalam akidah kenabian dalam Islam ialah kepercayaan bahwa kenabian Muhammad adalah kelanjutan dari nabi-nabi sebelumnya. Dari segi pokok ajaran (yaitu tauhid), Islam tidak membawa hal baru, melainkan meneruskan saja apa yang sudah dibawa oleh nabi-nabi sebelum Islam.

Meski ada beberapa elemen dalam syariat sebelum Islam yang dihapus, tetapi ada juga elemen-elemen lain yang tetap dipertahankan. Islam bukanlah agama yang mengajarkan untuk memutus total tradisi-tradisi yang ada, asal masih sesuai dengan spirit ajaran Islam.

Bukankah filosofi ini telah dipraktekkan oleh Wali Sanga di tanah Nusantara?


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/sikap-islam-terhadap-syariat-agama-lain/

Perumahan dan permukiman syariah: Ancaman bagi toleransi dan budaya lokal?

Di sejumlah daerah, mulai Depok, Bekasi, hingga Yogyakarta, atau kota besar lainnya, ditemukan beberapa perumahan atau kluster yang dirancang untuk khusus penghuni Muslim.

Walaupun ditengarai keberadaan perumahan syariah ini sudah lama, namun ada kekhawatiran ada gejala mengalami kenaikan di tengah bangkitnya segregasi dan intoleransi.

Namun, alasan yang sering dimunculkan pengelola atau penghuni perumahan ini adalah kembali kepada kehidupan yang Islami, seperti yang diungkapkan oleh Maria Rihan Fasyir, salah satu penghuni Green Tasneem, sebuah perumahan syariah di Bantul, Yogyakarta.

“Konsep yang ditawarkan awal-awal sih perumahan Islam terpadu. Katanya akan ada musalanya terus nanti kajian di mushola digiatkan, ada TPAnya, jadi kegiatan islaminya hidup,” ujar Maria kepada wartawan BBC News Indonesia, Ayomi Amindoni, Agustus (01/08)

Apalagi, lanjut ibu muda dari satu anak yang baru menghuni perumahan itu selama enam bulan terakhir, dia merasa lebih nyaman tinggal di lingkungan yang homogen.

“Semuanya yang di sini kan harus [beragama] Islam, jadi lebih nyaman aja karena satu keyakinan. Jadi kalau ngapa-ngapain lebih enak,” imbuhnya.

Maria adalah penghuni pertama di perumahan dengan konsep syariah yang berlokasi di desa Bangunjiwo, Bantul. Perumahan ini adalah salah satu dari sekian banyak perumahan bertema serupa yang mulai banyak dikembangkan di provinsi Yogyakarta sejak beberapa tahun silam.

Ketentuan yang lumrah ditemui di perumahan syariah adalah melarang warga non-Islam menjadi penghuninya.

Dalam beberapa kasus ditemukan penghuninya diwajibkan mengenakan hijab dan mensyaratkan tata aturan lainnya disesuaikan dengan hukum Islam, seperti yang diterapkan di Perumahan Kampung Islami Thoyibah di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat.

Green Tasneem

Namun, Moch Harun Zain, juru bicara PT Falah Radian, pengembang perumahan Green Tasneem di Bantul menegaskan keberadaan perumahan homogen itu tidak menyalahi aturan tentang pengembangan perumahan.

Dirinya mengaku, setidaknya sudah ada dua orang non-Muslim yang tertarik untuk membeli unit rumah di perumahan itu, namun ditolak karena beda agama.

“Ya kita jelaskan apa adanya karena konsep kita Muslim saja dan hal-hal seperti itu juga bagi developer yang lain boleh kan, misal, bikin perumahan yang khusus dengan konsep Kristen saja, atau Katolik saja, atau Buddha saja, atau Hindu saja, itu saya kira tidak ada hal yang melarang seperti itu,” ujar Harun.

Namun kemudian, dia menekankan bahwa konsep perumahan yang homogen itu dengan apa yang dia sebut sebagai “bahasa marketing” untuk menggaet calon penghuni yang ingin hidup di lingkungan yang islami.

“Kalau konsep pedagang, endhi sing cepet wae payune (mana yang cepat laku saja). Yang lakunya lebih cepat, yang kita kejar. Kalau trennya baru [perumahan] syariah, ya kita kejar, mana yang cepat aja untungnya,” ungkapnya.

Maria Rihan Fasyi

Maria Rihan Fasyir, salah satu penghuni perumahan syariah Green Tasneem beralasan dirinya memilih tinggal di perumahan syariah karena ingin kembali kepada kehidupan yang Islami.

 

Dia menuturkan, satu unit di perumahan itu dibanderol dengan harga sekitar Rp400 juta. Dari 42 unit yang tersedia, lebih dari 30 unit telah terjual. Sementara hingga kini, baru tiga rumah yang terhuni.

Ketua Real Estat Indonesia (REI) Yogyakarta, Rama Adyaksa Pradipta mengakui tren perumahan syariah mulai berkembang di Yogyakarta sejak lima tahun terakhir.

Dia menuturkan ada dua tipe perumahan syariah, yakni dari sisi kepemilikan syariah dan perumahan yang dikhususkan untuk umat Muslim.

“Kalau yang pemilikannya syariah tentu saja sekarang sudah banyak difasilitasi melalui skema-skema perbankan syariah,” ujar Rama.

Perumahan Kampung Islami Thoyibah di Cibitung

Perumahan Kampung Islami Thoyibah di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat.

 

Namun, menurutnya, semua pihak harus mencermati perumahan syariah sebagai perumahan khusus umat Muslim. Menurutnya, ini tak lebih dari strategi marketing saja.

“Kita melihat perumahan muslim itu sebagai strategi marketing dari developernya saja untuk masuk ke segmen yang belum banyak digarap,” imbuhnya.

Namun, Pengajar Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Mohammad Iqbal Ahnaf, mengungkapkan banyaknya perumahan muslim ini tak terlepas dari “perubahan sosial masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah”.

“Di satu sisi bisa dipahami sebagai wujud dari kecenderungan untuk menciptakan ruang yang eksklusif, namun ini juga ada pertemuan antara aspirasi keagamaan yang bersifat esklusif itu dengan kepentingan pasar,” jelas Iqbal.

Namun demikian, ruang ekslusif dalam kehidupan bermasyarakat bukanlah hal yang baru.

Sebaran perumahan syariah di Indonesia

Kampung santri, kampung homogen organik

Di luar perumahan berkonsep syariah yang dibangun oleh pengembang perumahan modern, di banyak tempat, bermunculan pemukiman yang dengan sendirinya terbentuk menjadi masyarakat homogen.

Seperti yang terjadi di Desa Sawo Glondong, Wirokerten, Banguntapan, Bantul.

Pemandangan kontras tampak sore itu, ketika seorang perempuan muda dengan hanya berkaus tanpa lengan dan celana pendek, sedang merapikan rumah sederhananya.

Di jalan, di depan rumahnya, bocah-bocah perempuan berbaju niqab berwarna gelap sedang asyik bersepeda.

Salah satu ibu dari anak-anak ini, Ummu Hajar, menganggap pemandangan yang kontradiktif itu sebagai hal wajar.

Aktivitas warga di kampung santri.

Aktivitas warga di kampung santri.

 

“Mungkin sana belum paham tentang aurot jadi hal yang wajar. Yang penting kasih pengertian pelan-pelan, itu begini-begini. Nanti Insya Allah kalau kita semakin mendekatkan diri kepada mereka siapa tahu bisa tertarik,” ujar perempuan yang juga mengenakan niqab ini.

Ummu Hajar -begitu kini dia memilih untuk dipanggil sesuai dengan nama anaknya – merupakan salah satu penghuni “kampung santri”, yakni pemukiman yang dihuni oleh orang-orang dari penjuru nusantara yang tinggal di sekitar Pesantren Jamilurrahman As Salafy.

Para perempuan, baik dewasa maupun anak-anak yang tinggal di pemukiman yang disebut sebagai ‘kampung santri” itu mengenakan niqab. Sementara para lelaki bercelana cingkrang dan memelihara jenggot.

Diperkirakan saat ini ada lebih dari seratus orang yang mendiami kampung santri yang terletak di selatan kota Yogyakarta.

Perempuan berusia 28 tahun itu hijrah dari Lampung ke kampung santri sejak 2008, mengikuti kakaknya yang sudah dulu ‘mondok’ di Pesantren Jamilurrahman As Salafy.

Kepada BBC News Indonesia, dia menjelaskan awal mula ketertarikannya tinggal di kampung santri.

“Tadinya penasaran. Penasaran karena ada orang yang pakai begini [niqab). Kita pikirannya gimana nafasnya, tapi begitu dicoba ya biasa aja ternyata,” tuturnya.

“Tadinya kaget juga sih, ya kan kita biasanya terbuka, artinya pakai jilbab aja, nggak pakai tutup muka. Ini kan rapat semuanya. Itu tertariknya di situ,” imbuhnya.

Setelah mencoba mengenakan niqab dia pun betah dan memahami sisi positif dari mengenakan niqab.

Quote

“Kita kan melindungi [dari] segala macam. Karena wanita kan banyak dikelilingi setan, jadi kita menutup aurat kita semuanya, kita jadi terlindungi dari setan. Sedangkan laki-laki itu kan mudah untuk dibisiki. ”

Dia pun menikah dengan sesama santri dan kemudian membina keluarga di kampung santri. Hingga kini, dia sudah memiliki empat anak.

Warga kampung santri yang lain, Ummu Asim yang sudah 17 tahun tinggal di kampung itu pun menampik tudingan bahwa kampung santri yang homogen ini menjadi masyarakat yang eksklusif.

“Kayaknya enggak ada pandangan ekslusif. Wong kita biasa sama bermasyarakat. Nyatanya kita sama pemerintah desa selama ini baik-baik saja,” ujar Ummu Asim

“Mungkin yang seperti itu karena belum tahu kita gimana. Belum pernah ber-muhadatsah (bercakap),” imbuh Ummu Hajar.

Para perempuan, baik dewasa maupun anak-anak yang tinggal di pemukiman yang disebut sebagai 'kampung santri" itu mengenakan niqab.

Para perempuan, baik dewasa maupun anak-anak yang tinggal di pemukiman yang disebut sebagai ‘kampung santri” itu mengenakan niqab.

 

Di seberang jalan kampung santri, tinggal Sumarni dan keluarganya. Sehari-hari, dia membuka warung di depan rumahnya yang menjajakan jajanan untuk mereka yang disebut warga lokal sebagai “orang-orang pondok”, termasuk es kelapa muda.

Dia yang merupakan warga asli dari desa itu mengaku merasa diuntungkan secara ekonomi dengan keberadaan “orang pondok”, namun dia akui banyak warga yang merasa tersisih karena banyak dari “orang pondok” membeli lahan atau rumah warga yang mulanya tinggal di desa itu untuk dijadikan pemukiman mereka.

“Dulu kan cuma berapa orang, lama-lama banyak yang datang, terus beli tanah di sini, terus bikin rumah,” ujar Sumarni.

Tanahnya yang kini dijadikan ladang sawah, juga beberapa kali ditawar oleh para pendatang ini.

“Yang nanyain banyak, tapi aku enggak boleh. Terus terang, karena anaknya banyak, besok untuk anak saya,” ujar perempuan yang memiliki empat anak ini.

Sumarni

Sumarni ketika sedang melayani warga kampung santri di warungnya

 

Bahkan, ketika mereka menawar lahannya dengan harga Rp2 juta per meter, dia tetap enggan. Padalah sebelum kehadiran pesantren ini, harga tanah di wilayah itu hanya Rp 60 ribu per meter.

Dia menambahkan, kedatangan para pendatang ini membuat tradisi yang dipegang warga sekitar kian luntur.

“Sekarang ada ini (kampung santri) kampung marai kendho (menjadi kendor), istilahnya malam takbiran menjelang lebaran enggak boleh. Terus orang kampung biasa kalau ada yang meninggal itu tahlilan, sekarang enggak boleh. Jadi udah ikut-ikut kebiasaan di situ,” ujar nya.

Selain takbiran dan tahlilan, tradisi yang selama ini dilakukan warga seperti puasa sya’ban dan syukuran, juga sudah jarang dilakukan.

Perubahan sosial itu, menurutnya, terjadi setelah orang-orang pendatang mulai merasuk ke kehidupan bemasyarakat dan mulai mengambil alih.

“Masjid aja sudah dikuasai, istilahnya.”

Bahkan, ada beberapa warga yang bergabung dengan komunitas beraliran salafi tersebut.

Mohammad Iqbal Ahnaf dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana (CRCS) Universitas Gadjah Mada menggarisbawahi bahwa model keberagamaan yang mengentalkan identitas dan cenderung terlepas dari budaya lokal semacam ini, menjadi catatan serius dan tantangan dalam membangun masyarakat.

“Padahal budaya lokal di Yogya, seperti halnya di tempat lain kan guyub, rukun, dan kegiatan keagamaan yang dihadiri orang non muslim, itu biasa di Yogya.”

“Tetapi karena ada pemahaman keagamaan yang baru sehingga orang merasa perlu memisahkan diri, merasa aspirasi keagaaman bisa dipenuhi ruang yang homogen,” jelas Iqbal.

Ancaman bagi kultur toleransi?

Apa yang terjadi di Desa Sawo Glondong, menurut Iqbal, adalah sesuatu yang secara sistematis biasa dilakukan oleh komunitas Muslim aliran tertentu.

“Prinsip dari komunitas-komunitas tertentu, termasuk yang bisa saya sebut adalah kelompok salafi, mereka membuat kampung salafi,” ujarnya.

Jika perumahan atau pemukiman syariah ini dibiarkan, ruang perjumpaan sosial untuk mendorong toleransi semakin sempit.

“Bisa dibilang ini sebagai ancaman untuk kultur toleransi di masyarakat kita dan pada tingkat tertentu bahkan sebenarnya kita perlu mengkhawatirkan bahwa perumahan-perumahan ini bisa menjadi safe haven bagi ekstrimisme,” ujar Iqbal.

Tentu saja, tegasnya, hal ini tidak berlaku untuk semua perumahan syariah. Namun, berdasar riset yang dilakukan Iqbal, banyak pengembang yang memang sangat ekslusif secara teologis dan semangatnya menarik diri dari kehidupan sosial.

Iqbal Afnaf

“Pada tingkat tertentu bahkan sebenarnya kita perlu mengkhawatirkan bahwa perumahan-perumahan ini bisa menjadi safe haven bagi ekstrimisme,” ujar Iqbal Afnaf

Namun, Iqbal mengakui bahwa di Yogyakarta ada wilayah-wilayah menjadi homogen sebagai dampak dari proses kebudayaan di Yogya.

Sebab, pada zaman dahulu kala ada konsesi yang diberikan Keraton Ngayogyakarta kepada kelompok keagamaan yang membuat wilayah itu sebagai tempat dakwah bagi kelompok tersebut.

Contohnya, pemukiman muslim yang menempati sekitar empat Masjid Pathok Negoro. Sesuai dengan namanya, Masjid Pathok Negoro adalah masjid-masjid yang dibangun di daerah tapal batas Kraton Ngayogyakarta saat itu.

“Otomatis wilayah di sekitar Masjid Pathok Negoro itu menjadi wilayah yang secara kultur keagamaan homogen, tetapi kemudian itu tidak secara otomatis menutup ruang perjumpaan,” kata Iqbal.

“Tanpa merubah lanskap demografis di situ, namun basis sosialnya sangat inklusif,” imbuhnya.

Perumahan Muslim Djogja Village berada sekitar 300 meter dari Masjid Pathok Negoro Sulthoni yang terletak di arah utara, tepatnya di Desa Plosokuning, Sleman.

Menurut salah satu warganya, Gatot Catur, perumahan muslim ini dibangun sesuai dengan falsafah Masjid Pathok Negoro.

“Jadi Keraton mendirikan [masjid] Pathok Negoro itu tidak hanya sebagai tempat ibadah, dulunya, di radius sekian meter itu ada Mutihan,” jelas Gatot.

Daerah Mutihan mempunyai arti sebagai tempat tinggal orang-orang putih atau santri. Kala itu, Desa Ploso Kuning disebut sebagai kampung santri.

Dia menegaskan, perumahan muslim yang dia tinggali memiliki konsep yang berbeda dengan perumahan bertema syariah yang kini sedang marak.

“Beda, enggak ada kaitannya sama sekali. Bangun mushola ya urunan, dinggo (digunakan) bersama. Saya malah salat di masjid [Pathok Negoro], jadi biar nggak ada gap, ekslusif,” kata dia.

Kehidupan bermasyakat yang inklusif, juga diamalkan oleh Gatot. Dia mencontohkan, ketika ada perayaan natal di gereja, dirinya ikut menjaga pelaksanaan keamanan.

“Teman saya yang Katolik banyak, yang beragama Kristen banyak, ya bisa berbaur,” kata dia.

Hingga kini, lingkungan masjid ini masih melestarikan budaya yang berkembang sejak dulu, seperti Selawat Radat, tradisi yang selalu hadir saat Ramadan dan dilantunkan sambil menunggu waktu berbuka puasa.

labuhan

Tradisi lokal masih kental dalam kehidupan bermasyarakat di Yogyakarta, salah satunya tradisi labuhan yang dilakukan setiap perayaan tahun baru Islam

Betapapun, seharusnya, demikian pengamat mengungkapkan, keberadaan suatu perumahan atau kampung tidak boleh didasarkan kepada latar belakang agama.

“Mestinya ada peraturan soal pengembangan perumahan yang tidak boleh membatasi pembeli secara diskriminatif,” tegas Iqbal.

Namun, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik, menegaskan seharusnya tidak boleh ada perumahan eksklusif yang berhubungan dengan kelompok agama tertentu.

Menurutnya, urusan agama menjadi domain pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat jika ingin mengembangkan perumahan berkonsep syariah di daerahnya.

“Agar jangan tumbuh urusan-urusan perumahan yang dicampuradukkan dengan urusan agama,” tegasnya.

“Jadi jelas kami katakan tidak boleh urusan agama itu dicampuradukkan. Kalau perumahan ya perumahan saja, jangan ada perumahan syariahnya karena itu akan menyinggung urusan agama dan agama bukan urusannya pemerintah daerah, itu urusannya pemerintah pusat,” imbuhnya kemudian.

Ketua Real Estat Indonesia (REI) Yogyakarta, Rama Adyaksa Pradipta mengakui tidak ada aturan khusus yang mengatur soal perumahan yang harus heterogen.

Selama ini, penyediaan perumahan mengacu pada UUD 1945 pasal 28, bahwa setiap warga negara berhak atas perumahan dan lingkungan yang layak.

“Di situ jelas kata-katanya, setiap warga negara tidak membedakan suku, agama, ras dan golongan. Dari situ kita bisa simpulkan bahwa rumah itu kebutuhan pokok,”jelasnya.

“Dan manakala rumah sudah diarahkan menjadi hal yang ekslusif seperti itu, kita juga harus berhati-hati mencermatinya dan mungkin serta merta tidak bisa kita rekomendasikan perumahan eksklusif itu cocok dan baik untuk di setiap lingkungan masyarakat,” imbuhnya.

Laporan ini merupakan seri ketiga liputan khusus menguatnya konservatisme Islam dalam 74 tahun kemerdekaan Indonesia.

 

Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-49353757?ocid=socialflow_facebook&fbclid=IwAR3602ATfGRcfgPEn0_Jh4aWD2UH67e6UMVx5QU9JUQF407WV0rKNNaxdOg

Rumah KitaB Dorong Problem Perkawinan Anak Dibahas di Munas NU

Jakarta,

Tim Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) berkunjung ke kantor Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya Jakarta, Senin lalu. Tujuan dari kedatangan ini adalah untuk melakukan audiensi dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.

Audiensi ini merupakan upaya Rumah KitaB untuk bersinergi dengan PBNU sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang memiliki pengaruh besar di kalangan umat Muslim di Indonesia untuk bergerak bersama secara aktif melakukan pencegahan perkawinan anak.

Kegiatan audiensi ini merupakan tindak lanjut program pencegahan perkawinan anak yang dilakukan Rumah KitaB sejak tahun 2017 hingga 2019 di tiga provinsi; DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2).

Kegiatan audiensi ini bertujuan menjagakeberlanjutanprogram agar usaha pencegahan perkawinan anak dapat terus dilakukan secara aktif melalui peran tokoh nasional.

Tim Rumah KitaB yang hadir di PBNU antara lain Jamal (Staf Kajian), Hilmi (Manager Kajian), Nura (Manajer Operasional), Dilla (Manajer Program), Roland (Manajer Publikasi), dan Seto (Manajer Media dan Desain). Kiai Said menerima kedatangan Tim Rumah KitaB pada pukul 19.00 WIB, di ruang kerjanya di lantai 3, Gedung PBNU.

Dalam Rumah KitaB memaparkan berbagai hasil penelitian Rumah KitaB terkait faktor, aktor, dan dampak buruk perkawinan anak. Di samping itu, timRumahKitaBjugamenyampaikan pentingnya kehadiran NU untuk secara aktif ikut serta dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

Tim Rumah KitaB meminta Kiai Said untuk menghubungkan Rumah KitaB dengan Lembaga Bahtsul Masail PBNU agar mengangkat tema pencegahan perkawinan anak sebagai salah satu agenda bahtsul masail di Munas dan Konbes NU Februari 2019 mendatang.

Kiai said memahami dan sepakat bahwa perkawinan anak merupakan praktik yang membahayakan dan menimbulkan madharat (dampak negatif) terhadap perempuan dan anak-anak.

Kiai Said menyadari bahwa negara tidak bisa bergerak sendiri untuk mengatasi persoalan ini. Karena itu, diperlukan peran aktif masyarakat dan berbagai pihak termasuk organisasi masyarakat berbasis keagamaan dan non-keagamaan.

Kiai Said menawarkan Rumah Kita Bersama untuk mengadakan FGD dengan Lembaga Bahtsul Masail, Ma’arif, dan Lembaga Perguruan Tinggi NU, untuk membangun kesepahaman bersama pentingnya pencegahan perkawinan anak, dan mengikutsertakan peran aktif ketiga lembaga NU tersebut dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

Di akhir pertemuan, Kiai Said menyerukan kepada segenap ulama, tokoh agama, dan komunitas Muslim di Indonesia, untuk secara aktif melakukan pencegahan perkawinan anak.

“Pencegahan perkawinan anak merupakan hal yang sangat penting dilakukan, tujuannya menghindari kemadharatan (dampak negatif) terhadap perempuan dan anak-anak. Perkawinan anak tidak dapat mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah,” ujar Kiai Said.

Pencegahan perkawinan anak, imbuhnya, sangat mendesak agar mengurangi perceraian, menghadirkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah, keluarga yang produktif, keluarga yang dinamis, dan bermartabat, karena keluarga adalah madrasah pertama.

Kiai Said mengutip syair Ahmad Syauqi; seorang penyair asal Mesir yang sangat terkenal di masa modern, “al-ummu madrasatun idzậ a’dadtahậ, a’dadta sya’ban thayyiba al-a’rậqi“.

Kiai Said menjelaskan kalimat ini, ia mengatakan, “Ibu itu madrasah pertama, kalau ibu atau rumah tangga itu ideal maka akan melahirkan bangsa yang baik. Karena bangsa yang baik lahir dari ibu yang baik pula”.

Oleh karena itu, pencegahan perkawinan anak sangat penting dilakukan oleh warga NU dan umat Muslim di seluruh Indonesia untuk membantu anak-anak perempuan mencapai masa depannya yang gemilang dan terbebas dari perkawinan anak.

Perihal Perkawinan Anak

Perkawinan anak merupakan perkawinan yang dilakukan oleh salah satu atau kedua belah pihak di bawah usia 18 tahun. Praktik perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Perkawinan anak merampas hak-hak anak, terutama anak perempuan, untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak, dan hak-hak lainnya.

Indonesia menempati urutan kedua praktik perkawinan anak tertinggi di kawasan Asia Tenggara, dan menempati urutan ketujuh tertinggi di dunia. Berdasarkan data UNICEF, 1 dan 9 anak di Indonesia korban perkawinan anak.

 

Berdasarkan hasil penelitian Rumah KitaB tahun 2014-2016, salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya praktik perkawinan anak yaitu, kelembagaan formal dan nonformal. Kelembagaan formal terdiri dari aparatur pemerintahan dan para pihak yang memiliki otoritas resmi dari negara.

Sementara para pihak di kelembagaan nonformal terdiri dari para tokoh agama, tokoh adat, dan lainnya yang memegang peranan penting di masyarakat.

 

Keberadaan lembaga nonformal memiliki pengaruh besar dalam mempengaruhi pemahamaan masyarakat untuk melakukan perkawinan anak. Oleh karena itu, perlu adanya jalinan kerjasama dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menghentikan praktik perkawinan anak.

Salah satu upaya yang dapatdilakukanadalahdengan mengundang peran serta ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, untuk bekerjasama dalam menyosialisasikan pencegahan praktik perkawinan anak. (Red: Fathoni)

Sumber: https://www.arrahmah.co.id/2019/01/26724/rumah-kitab-dorong-problem-perkawinan-anak-dibahas-di-munas-nu.html

http://www.nu.or.id/post/read/101759/rumah-kitab-dorong-problem-perkawinan-anak-dibahas-di-munas-nu

 

Vedi Hadiz: Kuasa Oligarki Dilanggengkan lewat Populisme Islam

Bahasan mengenai populisme Islam di Indonesia menjadi sebuah pembicaraan hangat dalam mimbar-mimbar akademik pasca-Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid. Aksi ini menyerukan pemenjaraan Ahok, mantan gubernur DKI Jakarta atas dugaan kasus penistaan agama. Diikuti dengan pembentukan Alumni 212, muncul berbagai kelompok Islam yang muncul membawa narasinya masing-masing tentang ummah.

Berangkat dari fenomena-fenomena tersebut, seorang sosiolog yang mumpuni di bidangnya membahas populisme Islam ini dalam kajian dan penelitiannya. Salah satu bukunya yang berjudul Islamic Populism in Indonesia and the Middle East membahas populisme Islam ini dengan komparasi ke negara-negara Timur Tengah. Pada Selasa (17-07), BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancarai Vedi R. Hadiz di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM. Ia bekerja sebagai Professor of Asian Studies di Asia Institute, University of Melbourne, Australia. Selain wawancara langsung, kami juga mewawancarai beliau secara daring melalui surel. Ia memberikan penjelasan tentang mengapa populisme Islam bisa hadir di Indonesia. Selain itu, juga mengenai relasi antara populisme islam dengan kekuasaan oligarki di Indonesia. Berikut hasil wawancara kami.

Apa definisi populisme Islam?

Populisme masih sangat diperdebatkan dalam pergolakan ilmu sosial. Saya memiliki definisi sendiri yang sebenarnya tidak banyak penganutnya. Menurut saya, populisme adalah suatu bentuk aliansi antar kelas yang sifatnya tidak seimbang. Ada elemen-elemen yang sifatnya dominan dan ada yang subordinat. Lalu, keduanya disatukan oleh satu narasi tentang suatu persamaan nasib.

Dikarenakan sifatnya yang lintas kelas, aliansi-aliansi populis sifatnya penuh kontradiksi internal dan rentan. Oleh karena itu, untuk bisa dipelihara dan dijaga kelangsungannya selalu membutuhkan konflik dan kontroversi. Kalau definisi populismenya adalah aliansi lintas kelas yang tidak seimbang dan sifatnya kontemporer, penuh kontradiksi dan memerlukan kontroversi, kita kemudian bisa melihat varian-variannya.

Varian-varian itu ditentukan oleh konstelasi kekuatan sosok spesifik yang ada di setiap masyarakat. Saya menyebutnya sebagai cultural resource pool yang tersedia untuk menciptakan bahasa politik sebagai perekat kelas-kelas berbeda. Ciri khas dari populisme Islam adalah bahasa politiknya dari agama Islam. Singkatnya, beda antara populisme secara konvensional dan populisme Islam adalah konsep dasar yang “The Peoples” sebagai rakyat yang ditindas oleh elite. Sementara, dalam populisme Islam konsep “The Peoples” diganti menjadi ummah yang ditindas dan terpinggirkan.

Suatu kondisi terjadi biasanya berangkat dari keadaan sosial, ekonomi, politik tertentu. Dalam populisme Islam, kondisi materiel seperti apa yang menyebabkan ia bisa hadir di Indonesia dan mengapa kemudian populisme Islam itu menarik kelompok-kelompok prekariat?

Sebagaimana bentuk-bentuk populisme kontemporer lainnya, populisme Islam adalah reaksi terhadap berbagai jenis kontradiksi dan dislokasi sosial baru yang berkaitan dengan proses globalisasi neoliberalisme. Dalam struktur masyarakat yang di dalamnya mayoritas Islam, isu-isu kesenjangan dan ketidakadilan sosial semakin diartikulasikan dengan bahasa dan simbolisme. Seringkali ini dikaitkan dengan agama Islam karena sudah menghilangnya tradisi politik Kiri, dan lemahnya tradisi politik Liberal maupun Sosial Demokrasi.

Konteksnya adalah semakin lebar kesenjangan sosial yang diiringi oleh meningkatnya aspirasi sosial banyak orang, terutama anak muda. Mereka terdidik, tetapi tidak mengalami mobilitas vertikal yang berarti. Fenomena ini umum terjadi di berbagai masyarakat dunia sekarang ini, baik yang maju maupun sedang berkembang. Sebagian anggota masyarakat menjadi tertarik dengan narasi yang menjelaskan bahwa kondisi mereka disebabkan oleh sistem ekonomi dan politik tidak bermoral yang dipimpin orang tidak bermoral pula.

Di Indonesia, solusinya dicari dalam sistem ekonomi dan politik yang lebih bernapaskan moralitas religius dan mengharuskan adanya solidaritas berdasarkan identitas ummah. Identitas tersebut seakan-akan menyatukan berbagai kalangan yang mempunyai kesamaan dalam memandang diri mereka sebagai “korban” sistem yang ada. Namun, dalam kenyataan mereka terdiri dari elemen yang sangat berbeda (misalnya kelas menengah terdidik dan orang miskin kota).

Ditandai dengan adanya 212 Mart (minimarket Koperasi Syariah 212), dsb, apakah agenda neoliberalisasi itu diamini oleh populisme Islam?

Kekuatan yang mengusung narasi populisme Islam tidak harus anti-neoliberalisasi seperti juga kendaraan politik Islam di masa lalucontohnya, Ikhwanul Muslimin di Mesirsebenarnya tidak pernah menentang kapitalisme. Kapitalisme yang tidak bermorallah yang ditentang.  Kapitalisme tidak bermoral ini bukan saja menjual minuman keras, seks atau mendorong praktik riba, tetapi juga menyebabkan tertinggalnya umat Islam secara sosial ekonomihal yang dikaitkan dengan kolonialisme Barat.

Namun, keinginan sebenarnya adalah kapitalisme yang lebih adil dalam arti membuka akses lebih besar kepada ummah. Jadi, di masa sekarang, neoliberalisasi mendapat dukungan apabila dapat menaikkan kondisi sosial ekonomi dan politik mereka yang dianggap bagian dari ummah. Hal ini terlihat di Turki, misalnya, bagaimana Partai Keadilan dan Pembangunan menjalankan kebijaksanaan ekonomi neoliberal dan mengangkat nasib perusahaan-perusahaan orang-orang provinsialyang cenderung lebih religius. Mereka pada masa lalu terpinggirkan oleh elite ekonomi berbasis Istanbul yang cenderung lebih sekuler secara kultural.

Lantas, kondisi sosial atau ekonomi politik seperti apa yang mempertemukan kepentingan oligarki di satu sisi dengan ketidakpuasan masyarakat di bawah terhadap populisme?

Pertama adalah ketimpangan sosial yang secara historis sangat tinggi. Kedua adalah bahwa hal itu disertai oleh peningkatan jumlah penduduk muda yang terdidik dan punya aspirasi tinggi sehingga antara realitas dengan aspirasi itu sangat berjarak. Ketiga tidak ada organisasi yang mampu menyalurkan aspirasi dan kepentingan kelompok-kelompok ini sehingga dalam waktu tegang, sewaktu-waktu bisa dirakit untuk keperluan politik sesaat.

Akumulasi kekecewaan dan persoalan sosial ekonomi tidak bisa diatasi secara mudah. Nah, hubungannya di mana? Narasi keumatan yang menjadi bagian sentral dari politik identitas itu mengandung narasi bahwa ummah itu adalah bagian dari kelompok sosial yang sudah sejak dulu terpinggirkan secara sistematis. Dari zaman kolonial, pascakolonial masa Orde Baru hingga demokrasi ini. Jadi, itu memberikan potensi massa yang sangat besar untuk elite-elite yang saling berkompetisi saat ini. Massa orang yang marah, kecewa dan mungkin juga tingkat kepercayaan terhadap lembaga tidak terlalu tinggi.

Di sinilah bertemu antara perkembangan di arus bawah dan kepentingan di arus atas. Fraksi-fraksi oligarki yang berkompetisi mampu memobilisasi sentimen keagamaan. Ini berhubungan dengan akumulasi kekecewaan sosial ekonomi yang lebih luas untuk memajukan kompetisi kepentingan politik sesama mereka.

Lalu, bagaimana oligarki melanggengkan populisme Islam?

Populisme Islam di Indonesia belakangan ini semakin diserap dalam kompetisi antar faksi oligarki. Gunanya untuk menggalang massa ketika menjelang pemilu berdasarkan identitas ummah, setidaknya untuk sementara dapat menghilangkan sekat-sekat antar golongan masyarakat yang sebetulnya sangat berbeda kepentingannya. Sebagian masyarakat sendiri sudah dikondisikan untuk menerima penggalangan dukungan berdasarkan identitas ummah.

Ini dikarenakan semakin meningkatnya religiusitas di Indonesia sebagaimana banyak masyarakat mayoritas Islam lainnya, sejak tahun 1970-an dan 1980-an.  Pada tahun 1990-an dan 2000-an orang semakin mengkonsumsi produk-produk yang mengukuhkan identitas ummah tersebutlewat media massa misalnya, atau industri mode, perbankan dan bahkan perumahanyang juga ternyata semakin menguntungkan secara ekonomi bagi pemodal.

Apakah dengan populisme Islam, demokrasi di Indonesia dibajak oleh oligarki?

Demokrasi di Indonesia sudah dibajak oleh oligarki jauh sebelum populisme Islam itu kuat. Demokrasi Indonesia sudah dibajak sejak awal demokratisasi karena ketika Orde Baru turun tidak ada kekuatan kekuatan progresif yang mampu untuk menggantikannya. Jadi, kelompok elite lama hanya mengubah dirinya menjadi demokrat dengan membuat partai-partai yang dulu membahas integralisme Orde Baru tiba-tiba jadi prodemokrasi. Namun, pada dasarnya kepentingannya sama, yaitu yang dominan-dominan pada masa Orde Baru juga.

Kepentingan yang mendominasi sekarang dijalankan dengan cara yang berbeda. Dahulu melalui aparat dari negara yang otoriter, kalau sekarang dari kerangka kelembagaan demokrasi. Jadi, oligarki sangat bisa berdampingan dengan demokrasi, contohnya dengan cara-cara menjalankan dominasinya sekarang.

Lantas, bagaimana dampak demokrasi yang telah dibajak oligarki lewat populisme Islam?

Menurut saya bisa mengkhawatirkan karena kecenderungannya adalah mereduksi kepada tingkat yang paling sederhana apa yang menjadi indikator keislaman. Misal, harus percaya pada kaidah-kaidah moralitas Islam, tetapi kaidah itu diinterpretasi dengan cara sesederhana mungkin akibatnya jadi konservatif. Nilai-nilai yang dibawa agak kaku, karena disederhanakan agar bisa dikonsumsi oleh orang sebanyak-banyaknya. Kalau begitu, berarti nilai-nilai yang kaku itu pengarusutamaannya dalam politik Indonesia kuat. Sebagai contoh, partai-partai nasionalis memakai simbol keislaman untuk memajukan kepentingannya dan juga untuk melindungi diri dari kemungkinan diserang.

Jadi, menguatnya politik identitas itu, siapa di baliknya?

Menurut saya kalau cari dalang itu tidak ada, karena ini proses sosial yang panjang. Ini adalah kulminasi dari proses sosial yang panjang serta kompleks dan kebetulan pada saat ini bertemu dengan kepentingan dari elite-elite tertentu. Sarana kendaraan-kendaraan organisasi yang dapat memfasilitasi mobilisasi identitas keumatan untuk elite-elite politik kebetulan memang sudah tersedia karena proses yang panjang itu.

Kalau kaitannya dengan demokrasi tadi apakah mengentalnya politik identitas akan memundurkan demokrasi?

Menurut saya demokrasi Indonesia itu dirugikan oleh perkembangan ini dan juga perkembangan dari reaksi hipernasionalisme. Keduanya cenderung ingin untuk menghomogenisasi masyarakat dan mengabaikan heterogenitas dalam masyarakat. Disitu yang dirugikan adalah kelompok minoritas, kelompok rentan dan perempuan. Dikarenakan mereka adalah bagian yang tidak dominan dan terpinggirkan, maka mereka akan dipaksa untuk ikut kelompok dominan atau akan tersingkir.

Lantas, apakah populisme Islam juga berhubungan dengan kekerasan di Indonesia?

Populisme Islam tidak harus berkaitan dengan kekerasan. Namun, sebagian yang mengusung narasinya adalah kendaraan-kendaraan yang selama ini marjinal dalam sistem politik dan ekonomi. Mereka kurang mempunyai kemampuan untuk memajukan diri lewat mekanisme-mekanisme politik yang rutin. Penggunaan strategi di luar mekanisme tersebut, seperti kekerasan, bermanfaat untuk mempertahankan diri selama ini walaupun berada di pinggiran sistem yang ada. Di beberapa wilayah urban di Indonesia ada irisan antara dunia politik dan dunia kegiatan ekonomi informal yang kerap diwarnai kekerasan dan intimidasi.

Namun, apakah populisme Islam itu sebenarnya dikarenakan absennya gerakan Kiri di Indonesia?

Oh, iya. Itu kan dengan adanya ketimpangan sosial yang tinggi, ada kemunculan perasaan ketidakadilan sosial yang semakin menguat secara konvensional ini adalah lahan dari kekuatan-kekuatan Kiri, untuk dibina dan membangun basis pendukung. Dikarenakan gerakan Kiri vakum, maka kekosongan tersebut diisi oleh sebagian besar kelompok Islam.

Narasi yang banyak berkembang beriringan dengan populisme Islam adalah hyper-nasionalis dengan slogan-slogan nasionalisme, NKRI harga mati, dsb. Apakah ada kemungkinan wacana lain yang mampu memecah wacana populisme Islam dan hyper-nasionalis?

Saat ini belum ada. Misalnya, apakah semacam wacana sosial-demokrasi dapat berkembang di Indonesia dalam waktu dekat? Kelihatannya sulit karena basis sosialnya tidak ada dan di masa lalu tradisi ini juga kurang menonjol. Apalagi secara internasional, wacana ini sudah mengalami banyak kemunduran dengan memudarnya negara kesejahteraan di Eropa.

Namun, secara objektif, menajamnya ketimpangan sosial, konsentrasi kekayaaan di kalangan segelintir orang, tertutupnya akses pada sumber daya ekonomi bagi banyak orang sehingga merintangi mobilisasi sosial mereka, semuanya mestinya bisa memberi nafas bagi suatu wacana sosial demokrasi. Tetapi sekali lagi, kendaraannya apa dan isu-isu macam apa yang dapat merangsang imajinasi orang banyak untuk memahami persoalan-persoalan sosial dalam bahasa politik lain serta mempersatukan mereka dalam suatu proyek politik alternatif?

 

Penulis: Beby Pane
Editor: Luthfian Haekal

 

Sumber: http://www.balairungpress.com/2018/08/19211/

Metodologi Islam Nusantara

Oleh Abdul Moqsith Ghazali
Ide Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Upaya itu dalam ushul fikih disebut tahqiq al-manath yang dalam praktiknya bisa berbentuk mashlahah mursalah, istihsan dan `urf. <>

Dengan merujuk pada dalil, “apa yang dipandang baik oleh kebanyakan manusia, maka itu juga baik menurut Allah” (ma ra’ahu al-muslimuna hasanan fahuwa `inda Allah hasanun), ulama Malikiyah tak ragu menjadikan istihsan sebagai dalil hukum. Dan kita tahu, salah satu bentuh istihsan adalah meninggalkan hukum umum (hukm kulli) dan mengambil hukum pengecualian (hukm juz’i).

Sekiranya istihsan banyak membuat hukum pengecualian, maka `urf sering mengakomodasi kebudayaan lokal. Sebuah kaidah menyatakan, al-tsabitu bil `urfi kats tsabiti bin nash (sesuatu yang ditetapkan berdasar tradisi “sama belaka kedudukannya” dengan sesuatu yang ditetapkan berdasar al-Qur’an-Hadits). Kaidah fikih lain menyatakan, al-`adah muhakkamah (adat bisa dijadikan sumber hukum). Ini menunjukkan, betapa Islam sangat menghargai kreasi-kreasi kebudayaan masyarakat. Sejauh tradisi itu tak menodai prinsip-prinsip kemanusiaan, maka ia bisa tetap dipertahankan. Sebaliknya, jika tradisi itu mengandung unsur yang mencederai martabat kemanusiaan, maka tak ada alasan untuk melestarikan. Dengan demikian, Islam Nusantara tak menghamba pada tradisi karena tradisi memang tak kebal kritik. Sekali lagi, hanya tradisi yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang perlu dipertahankan.

Penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan adalah soko guru hukum Islam. Izzuddin ibn Abdis Salam dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam menyatakan, tercapainya kemaslahatan manusia adalah tujuan dari seluruh pembebanan hukum dalam Islam (innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalihil `ibad). Demikian pentingnya kemaslahatan tersebut, maka kemaslahatan yang tak diafirmasi oleh teks al-Qur’an-Hadits pun bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Tentu dengan catatan, kemaslahatan itu tak dinegasi nash al-Qur’an-Hadits. Itulah mashlahah mursalah.

Dengan demikian, jelas bahwa dalam penerapan al-Qur’an dan Hadits, Islam Nusantara secara metodologis bertumpu pada tiga dalil tersebut, yaitu mashlahah mursalah, istihsan, dan `urf.  Tiga dalil itu dipandang relevan karena sejatinya Islam Nusantara lebih banyak bergerak pada aspek ijtihad tathbiqi ketimbang ijtihad istinbathi. Jika ijtihad istinbathi tercurah pada bagaimana menciptakan hukum (insya’ al-hukm), maka ijtihad tathbiqi berfokus pada aspek penerapan hukum (tathbiq al-hukm). Sekiranya ujian kesahihan ijtihad istinbathi dilihat salah satunya dari segi koherensi dalil-dalilnya, maka ujian ijtihad tathbiqi dilihat dari korespondensinya dengan aspek kemanfaatan di lapangan.

Contoh terang dari ijtihad tathbiqi adalah kebijakan Khalifah Umar ibn Khattab yang tak memotong tangan para pencuri saat krisis, tak membagi tanah hasil rampasan perang, tak memberi zakat pada para muallaf. Ketika Khalifah Umar dihujani kritik karena kesukaannya mengubah-ubah kebijakan, ia menjawab, “dzaka `ala ma qadhaina, wa hadza `ala ma naqdhi” (itu keputusanku yang dulu, dan ini keputusanku yang sekarang). Perubahan kebijakan ini ditempuh Khalifah Umar setelah memperhatikan perubahan situasi dan kondisi di lapangan. Sebuah kaidah fikih menyebutkan, “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-`adat” (perubahan hukum mengikuti perubahan situasi, kondisi, dan tradisi).

Mengambil inspirasi dari kasus Sayyidina Umar ibn Khtattab tersebut, Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah hukum waris al-Qur’an misalnya. Namun, bagaimana hukum waris itu diimplementasikan sekarang. Dalam kaitan implementasi itu, di Indonesia misalnya dikenal harta gono-gini, yaitu harta rumah tangga yang diperoleh suami-istri secara bersama-sama. Harta gono-gini biasanya dipisahkan terlebih dahulu sebelum pembagian waris Islam dilakukan. Penyesuaian hukum ini dijalankan masyarakat secara turun-temurun karena rupanya narasi keluarga Islam di Indonesia berbeda dengan narasi keluarga Islam di Arab sana.

Begitu juga, tak ada yang membantah bahwa menutup aurat adalah perintah syariat. Namun, di kalangan para ulama terjadi perselisihan mengenai batas aurat. Ada ulama yang longgar, tapi ada juga ulama yang ketat dengan menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan bahkan suaranya adalah bagian dari aurat yang harus disembunyikan. Keragaman pandangan ulama mengenai batas aurat tersebut tak ayal lagi berdampak pada keragaman ekspresi perempuan muslimah dalam berpakaian. Beda dengan pakaian istri para ustadz sekarang, istri tokoh-tokoh Islam Indonesia zaman dulu terlihat hanya memakai kain-sampir, baju kebaya, dan kerudung penutup kepala. Pakaian seperti itu hingga sekarang dilestarikan salah satunya oleh istri almarhum Gus Dur, Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid.

Dengan mengatakan ini semua, maka janganlah salah sangka tentang Islam Nusantara. Sebab, ada yang berkata bahwa Islam Nusantara ingin mengubah wahyu. Ketauhilah bahwa kita tak hidup di zaman wahyu. Tugas kita sekarang adalah bagaimana menafsirkan dan mengimplementasikan wahyu tersebut dalam konteks masyarakat yang terus berubah. Dalam kaitan itu, bukan hanya pluralitas penafsiran yang merupakan keniscayaan. Keragaman ekspresi pengamalan Islam pun tak terhindarkan. Itu bukan sebuah kesalahan, asal tetap dilakukan dengan menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. [***]

Lies Marcoes: Aktivis Perempuan Islam yang Peduli Kesetaraan Gender

Cita-cita Islam adalah kesetaraan, termasuk bagi perempuan. Makanya, Lies menilai kaum hawa dan Islam adalah dua elemen yang tak terpisahkan untuk diperjuangkan.

tirto.id – Nama Lies Marcoes Natsir tak pernah absen dari perbincangan soal wacana dan gerakan perempuan Islam. Ia disebut sebagai salah satu ahli Indonesia di bidang gender dan Islam. Lies berperan merintis gerakan kesetaraan gender dengan menjembatani perbedaan antara feminis muslim dan sekuler. Selain itu, ia juga mendorong kaum feminis untuk bekerja mewujudkan kesetaraan gender di bawah Islam.

Lies aktif berkegiatan di Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), lembaga penelitian yang digagas para santri dan tokoh pesantren Cirebon. Organisasi tersebut memiliki sejumlah agenda kegiatan yang berbasiskan pada visinya memproduksi pemikiran kritis tentang keislaman Indonesia dan perubahan sosial yang berpihak pada kaum marjinal. Saat ini, Lies didapuk menjadi direktur eksekutif Rumah KitaB.

Menurut Neng Dara Affiah dalam Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia (2017), Lies Marcoes Natsir termasuk aktor penggerak organisasi Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Hal ini dikarenakan Lies menjadi pencetus lahirnya program fiqh-an-Nisa di LSM yang aktif mempromosikan kesehatan reproduksi perempuan dan wacana Hak Asasi Manusia pada komunitas muslim tersebut.

Fiqh-an-Nisa fokus membahas teologi perempuan dengan mengembangkan isu kesehatan dan hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam. Neng Dara Affiah menjelaskan advokasi hak-hak perempuan dikembangkan melalui fiqh-an-Nisa dengan target kelompok yang disasar meliputi juru dakwah (muballigoh), guru agama (ustadzah), pengasuh pondok pesantren, dan organisasi perempuan Islam. Tapi kalangan pesantren menjadi sasaran utama kegiatan program itu.

Perhatian Lies pada Islam dan gender tak lepas dari latar belakang keluarga dan minatnya pada ilmu sosial. Lies tumbuh di kota Banjar, Jawa Barat bersama orang tua dan sembilan saudaranya. Ibu Lies adalah anggota Aisyiyah, kelompok sayap perempuan Muhammadiyah. Sementara itu, sang ayah datang dari keluarga Islam tradisional tapi kemudian turut berkecimpung di kegiatan Muhammadiyah.

Pada tahun 1978, Lies memutuskan merantau ke Jakarta untuk kuliah di Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Teologi Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah. Ia kemudian melanjutkan studi magisternya di bidang Antropologi Kesehatan di University of Amsterdam. Selama itu, Lies berkenalan dengan peneliti dan aktivis yang turut mendorongnya belajar lebih jauh tentang gender dan feminisme. Sosok-sosok tersebut adalah Martin van Bruinessen (peneliti Indonesia dari Belanda) dan aktivis perempuan seperti Saskia Wieringa, Mies Grijns, dan Julia Suryakusuma.

Islam, Perempuan, dan Kesetaraan Gender

Menurut Lies, perempuan dan Islam adalah dua hal yang tidak dipisahkan. Ia mengatakan bahwa Islam yang tumbuh di dalam tradisi budaya Indonesia berbeda dengan Islam di wilayah lain seperti Afrika atau Afghanistan. “Islam di Indonesia tumbuh dalam dua keping lahan saya kira. Satu, perlawanan terhadap kolonialisme yang Islamnya menjadi Islam kiri karena perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Nah yang kedua, culture Indonesia walaupun dari masyarakat agraris, masyarakat pedagang, masyarakat kelas yang dipengaruhi oleh kolonialisme jadi elite sekuler, itu memberi ruang, tempat, posisi yang bagus pada perempuan dibandingkan di wilayah-wilayah Islam lain,” kata Lies kepada Tirto.

Islam di Indonesia, lanjut Lies, adalah Islam jalan tengah atau moderat yang cukup memberi ruang pada pemahaman yang inklusif. Makanya, kesempatan perempuan untuk eksplorasi dan berkiprah di ruang publik cukup besar. Hal ini didukung pula oleh kultur masyarakat Indonesia yang memberi tempat terutama di sektor informal bagi perempuan.

Di era demokrasi, gabungan antara pengalaman masa lalu, Islam moderat, dan kultur orang Indonesia mampu menjadikan perempuan sebagai penentu arah Islam di masa depan. “Kalau perempuannya terdidik, kalau perempuannya memperoleh ruang-ruang yang baik untuk menginterpretasikan bagaimana mereka memaknai teks suci misalnya itu sebetulnya luar biasa,” ujar Lies.

Tapi, Lies tak memungkiri bahwa agama kerap menjadi pembenaran tindakan kekerasan pada perempuan. Selain itu, posisi mereka terkadang terpinggirkan ketika berhadapan dengan agama. “Kenapa bisa begitu, [karena] perempuan kemudian menjadi elemen yang dikontestasikan sebagai bagian dari demokrasi dan dukungan politik,” katanya.

Lies mencontohkan soal gagasan perempuan tidak boleh memimpin di mana ide itu muncul ketika Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri menjadi presiden Indonesia. Pada waktu itu, semua orang kembali ingat pada pandangan konvensional yang bersumber dari hadis yang mengatakan sebuah negara akan hancur jika dipimpin perempuan. “Faktanya perempuan bisa di ruang publik, memimpin, jadi hakim bisa. Tapi begitu perempuan ada peluang untuk bisa menjadi pemimpin tiba-tiba orang ingat teks dan itu dikuatkan terus,” jelasnya.

Kejadian tersebut tidak hanya terjadi pada saat itu tapi juga masa kini. Lies berkata Indonesia sekarang tengah berhadapan dengan masyarakat teks yang berpedoman pada fikih. “Padahal sebelumnya kan enggak begitu, masyarakat konteks. Nah, masyarakat teks dengan kepentingan politik yang kawin dengan masyarakat teks internasional, transnasional, dan fundamentalisme kemudian melahirkan ide merumahkan perempuan, menganggap perempuan harus dikerudungi, dan ruang publik bukan ruang perempuan,” terangnya.

Menurut Lies, isu paling besar saat ini yang membutuhkan kerja sama di antara para aktivis perempuan Islam adalah penerimaan perempuan secara riil di ruang publik. Selain itu, problem yang dihadapi perempuan akibat kondisi sosiokultural dan perubahan ekonomi juga patut menjadi perhatian. Salah satu persoalan yang harus menjadi agenda bersama adalah naiknya angka perkawinan anak.

Lies berkata masalah perkawinan anak selama ini kerap dibaca menurut kacamata hukum. Padahal, ia menilai aspek hukum hanya puncak persoalan sedangkan problem lain yang justru menjadi penyebab utama tak ditangani.

“Jadi itu kan ada persoalan kultural, perpecahan keluarga ekonomi sejak tanah itu hilang di desa orang migrasi itu perempuan yang paling kena, ada persoalan adat, ada persoalan korupsi, ada persoalan interpretasi agama, ada persoalan hubungan kota dan kampung, itu gede banget isunya. Tapi kemudian direduksi, itu problem. Artinya problemnya adalah problem intelektual dalam membaca realitas,” kata Lies. Permasalahan intelektual tersebut, menurut Lies, dipengaruhi oleh munculnya masyarakat teks tadi.

Upaya memperbaiki kualitas kehidupan perempuan pun wajib diusahakan sebab cita-cita Islam adalah kesetaraan. “Kelas, warna kulit, gender, situasi status sosial, itu kan yang terus diperjuangkan oleh nabi jadi harapannya ke arah sana, menuju ke arah nilai-nilai universal,” ujar Lies.

Lies berkata masyarakat pra-Islam hanya mengenal laki-laki dan tidak merekognisi perempuan. Ketika Islam berkembang, baik Al-Quran maupun hadis meletakkan perempuan secara setara tapi tetap berkiblat pada laki-laki.

“Kita masih berada di sini, kiblatnya masih laki-laki, kadang-kadang laki-laki membesar perempuan mengecil, kadang-kadang bisa setara, tapi tidak bisa sebaliknya. Jadi selalu ruang itu, terutama ruang publik, perempuan kalau dari ruang domestik ke ruang publik itu kayak penumpang gelap, kadang-kadang diterima, kadang-kadang enggak. Tapi apa sebenarnya cita-cita Islam itu menuju ke kesetaraan,” jelas Lies.

Sumber: https://tirto.id/lies-marcoes-aktivis-perempuan-islam-yang-peduli-kesetaraan-gender-cL45

Lebaran di Mata Kolonialis

Pejabat kolonial Belanda memandang perayaan Lebaran dan ritual Syawalan sebagai tindakan boros.

“Tahun Baru Pribumi (Inlands Niewjaar),” demikian orang Eropa dan pejabat Belanda di Hindia Belanda menyebut hari Lebaran. Mereka juga menganggap bulan Syawal selayaknya bulan Januari. Bulan penuh perayaan.

Orang Eropa dan pejabat Belanda di Hindia Belanda merasakan suasana berbeda selama hari Lebaran dan beberapa hari setelahnya dalam bulan Syawal. Sebab orang-orang tempatan berkegiatan dan berpenampilan secara khusus. Saat itulah orang muda dan kaum bawahan memberikan selamat kepada orang tua dan kaum atasannya. Kemudian mereka saling bermaafan atas silap kata dan perilaku, sembari bikin hajatan bareng.

“Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,” tulis Snouck Hurgronje dalam “Surat Kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri”, 20 April 1904, termuat di Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939 Jilid IV.

Snouck mencatat kebiasaan saling berkunjung dan mengenakan pakaian baru pada hari Lebaran mirip dengan perayaan tahun baru di Eropa. “Karena itu perayaan ini di kalangan bangsa Eropa seringkali keliru disebut ‘Tahun Baru Pribumi’,” tulis Snouck dalam Islam di Hindia Belanda.

Pada hari itu orang tempatan yang bekerja pada kantor pemerintah punya waktu luang untuk saling bertandang, sebab pemerintah kolonial menetapkan tanggal 1 Syawal sebagai hari libur.

Orang-orang Eropa dan pejabat Hindia Belanda melihat hari Lebaran dirayakan oleh semua umat Islam. Baik oleh yang taat dan saleh maupun oleh yang praktik ibadahnya jarang-jarang. Dari kelas warga jelata sampai kelas priayi dan pamongpraja bumiputra yang pada hari-hari biasa tak pernah kelihatan ibadah di hadapan khalayak.

Saat tiba hari Lebaran, para priayi dan pamongraja bumiputra merasa perlu turut sembahyang id ke masjid bersama khalayak.

“Juga mereka yang hanya berpuasa satu hari atau lebih pada awal dan akhir bulan puasa, bahkan juga kebanyakan orang Jawa yang sama sekali tidak berpuasa, ikut pula merayakan pesta ini dengan tidak kurang gembiranya daripada orang-orang saleh yang sangat patuh kepada hukum agamanya,” lanjut Snouck.

Saking luasnya perayaan hari Lebaran dan bulan Syawal di segala lapisan orang tempatan, pejabat Hindia Belanda jadi agak keberatan dengan perayaan itu. Menurut sebagian mereka, perayaan Lebaran orang tempatan terlalu makan biaya alias boros. Lebih lagi jika perayaan itu digelar secara resmi oleh pamongpraja bumiputra seperti bupati.

Tuan Steinmetz, residen Semarang, dan De Wolff van Westerrode, pejabat Hindia Belanda, bersurat kepada Snouck yang menjadi penasihat pemerintah kolonial untuk urusan agama Islam, adat, dan orang bumiputra pada 1904.

Steinmetz dan De Wolff mengutarakan ketidaksetujuannya terhadap perayaan Lebaran. Mereka bahkan menulis perayaan Lebaran sebagai sumber bencana ekonomi.

Steinmetz dan De Wolff menganggap para bupati telah menggunakan uang pemerintah kolonial untuk bermacam-ragam perayaan Lebaran dengan mengundang pejabat berbangsa Belanda. Ini sangat merugikan kas pemerintah kolonial dan merendahkan pejabat Belanda jika menghadiri undangan perayaan Lebaran dari bupati.

Steinmetz dan De Wolff menyertakan dasar hukum untuk melarang perayaan resmi Lebaran. Menurut mereka, larangan itu bakal bersesuaian dengan semangat Lembaran Tambahan No. 4043 dan No. 4062. Dua aturan ini memuat perisoal pembatasan pengeluaran pejabat pemerintah kolonial untuk hal kurang penting.

Steinmetz dan De Wolff juga menyinggung perayaan Lebaran di kalangan warga jelata. Mereka kasih usul agar para bupati ikut membantu batasi perayaan Lebaran di kalangan warga jelata. Tujuannya memberantas pemborosan di kalangan warga jelata.

Snouck sepakat dengan Steinmetz dan De Wolff untuk beberapa hal. Antara lain bahwa pemborosan harus dilawan dan diberantas secara sungguh-sungguh. “Hendaknya diingat bahwa kekhidmatan tidak meniadakan kesederhanaan,” tulis Snouck dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939 Jilid IV.

Tapi Snouck bertentangan pendapat dengan Steinmetz dan De Wolff tentang perayaan Lebaran. Menurutnya membatasi perayaan Lebaran di segala lapisan orang tempatan bukan tindakan tepat.

“Lebaran memang sudah menjadi perayaan keagamaan yang istimewa bagi pribumi,” tulis Snouck. Dan karena itu, Snouck justru menganjurkan Steinmetz, De Wolff, atau siapapun saja pejabat berkebangsaan Belanda di Hindia Belanda untuk memberikan penghormatan kepada perayaan tersebut.

Beda pendapat antara Snouck dengan Steinmetz dan De Wolff tentang perayaan Lebaran berakar dari cara pandang orang Belanda terhadap Islam.

Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia menyebut cara pandang Snouck terhadap Islam lebih berpihak pada peningkatan pola hubungan antara pemerintah kolonial dan umat Islam Hindia Belanda. Tak heran jika Snouck cukup berterima dengan perayaan Lebaran.

Di kutub lain, Steinmetz dan De Wolff menjadi representasi cara lama orang Belanda dalam memandang Islam. “Yang sarat dengan sentimen permusuhan,” tulis Jajat. Dari sinilah kerisihan mereka berdua terhadap perayaan Lebaran menjadi mungkin.

Sumber:  https://historia.id/agama/articles/lebaran-di-mata-kolonialis-vqja1

Negara ISIS: Delusi Hidup Berkah di Tanah Khilafah

Sebelum menyesal, alangkah baiknya pikir-pikir lagi bila Anda mendukung ISIS.

 

tirto.id – Dalam konflik Suriah, perlu memahami dua istilah antara deportan dan returnis. Pandangan umum: dua istilah ini kerap diartikan sama, padahal keduanya berbeda.

Deportan adalah mereka yang hendak menyeberang ke Suriah dari Turki secara ilegal dan bergabung ISIS. Namun, di tengah jalan, saat memasuki wilayah perbatasan, pemerintah Turki memergoki mereka. Setelah ditahan beberapa bulan, para deportan ini dipulangkan ke Indonesia. Data Kementerian Luar Negeri menyebut total WNI yang dideportasi dari Turki berjumlah 430 orang. Rinciannya: 193 orang pada 2015, 60 orang (2016), dan 177 orang (2017).

Sementara returnis secara umum adalah WNI yang berhasil masuk ke dalam wilayah Suriah dan kembali pulang ke Indonesia. Data dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) memperkirakan sedikitnya ada 87 returnis ke Indonesia.

Sidney Jones, Direktur IPAC, berkata kepada Tirto bahwa kehadiran returnis WNI di Suriah tak sekadar jadi kombatan, “Tetapi banyak juga yang datang dengan status relawan kemanusiaan.”

Di sisi lain, kehadiran relawan ini pun tak semata bergabung ISIS. Banyak juga yang berafiliasi dengan kelompok milisi Islam seperti Ahrar Al Syam dan Hay’at Tahrir al-Sham (semula bernama Jabhat Al Nusra, cabang Al-Qaeda di Suriah), atau bahkan kelompok pemberontak moderat macam Pasukan Pembebasan Suriah (FSA).

Dalam konteks ISIS, Jones menyebut ada beberapa returnis dalam pemantauan atau ditahan aparat kepolisian Indonesia. Namun, banyak juga yang kooperatif dan sudah dianggap tidak berbahaya, contohnya seperti 18 orang returnis yang dipulangkan ke Indonesia pada medio 2017. Status keluarga-keluarga itu cukup unik karena selama hampir dua tahun mereka pernah tinggal di kota Raqqa, ibukota kekhilafahan Daulah.

 

Sejak Oktober 2017, kami sering berjumpa dan berdiskusi dengan para WNI yang sempat merasakan secara langsung hidup di bawah naungan pemerintahan ISIS. Bagi mereka, masa lalu itu dianggap sebagai kejadian kelam yang mesti dilupakan.

Demi alasan keamanan karena ancaman nyata dari sel tidur simpatisan ISIS, ditambah minimnya perlindungan dari aparat kepolisian, beberapa returnis minta kepada kami agar identitasnya tak disebutkan dalam artikel ini.

Pada beberapa kasus, banyak returnis ISIS yang dimusuhi oleh simpatisan ISIS. Beberapa di antaranya bahkan menerima intimidasi kekerasan, tak peduli di dalam penjara sekalipun. Setidaknya pengalaman ini diterima oleh dua narasumber kami, yang kini ditahan di penjara Polda Metro Jaya. Keduanya kapok membela organisasi yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi. Mereka dikenal kooperatif dan sering membantu polisi membantu menyadarkan simpatisan ISIS lainnya.

 

Memaksa Para Simpatisan ISIS untuk Jadi Kombatan

Satu keluarga besar ini berangkat pada Agustus 2015 atau setahun setelah Abu Bakar al-Baghdadi mendeklarasikan kekhalifahan ISIS di Mosul pada Juni 2014. Seperti para simpatisan ISIS lain, mereka mengamuflase kepergian ke Suriah dengan berdarmawisata via Turki. Setelah dua minggu di negeri Erdogan itu, mereka berpisah dalam kelompok-kelompok kecil di daerah perbatasan provinsi Gaziantep.

Di tengah gelap gulita malam, selama tiga jam, mereka berjalan kaki menyusuri ladang perkebunan semangka milik warga lokal. Setelah berpisah, mereka bertemu pada titik yang sama sesudah melintasi perbatasan.

Di lokasi inilah perwakilan Daulah sudah menunggu. “Paspor, dokumen identitas, dan handphone semua diambil,” kata Salma, bukan nama sebenarnya, yang pergi dengan suami dan dua anaknya.

Lantas mereka dibawa ke kamp yang khusus menampung para pendatang atau lazim disapa kaum muhajirin. Para laki-laki dewasa dipisah dengan perempuan dan anak-anak.

Bagi kaum pria, mereka langsung ditempatkan dalam asrama selama tiga bulan. Program berbeda dijalani tiap bulan. Bulan pertama, proses adaptasi. Bulan kedua, proses indoktrinasi dengan mencekcoki pemahaman agama yang kurikulumnya diatur oleh ISIS. Bulan ketiga, mereka diajak untuk i’dad alias berlatih perang memegang senjata.

Bagi pendatang, i’dad adalah fase terpenting. Usai i’dad, mereka diberi identitas khusus oleh Daulah dan diberi cap sebagai tentara khilafah. Pada fase ini mereka menerima penentuan di katibah (unit) militer mana akan bertugas.

Namun, tak semua kaum pria yang kepincut berhijrah ke wilayah ISIS berambisi jadi kombatan. Ada juga yang hanya ingin tinggal di wilayah ISIS dengan hidup normal, tanpa harus angkat senjata.

Di antaranya adalah keluarga Salma. Kaum pria dewasa pada keluarga ini menolak berlatih militer. Konsekuensinya, beberapa di antara mereka dipenjara.

“Selama di penjara, mereka tetap paksa kami untuk ikut. Tapi tetap kami tolak. Untungnya, kemudian kami dibebaskan. Tapi, konsekuensinya, kami tak punya identitas, jadi tak leluasa untuk pergi keluar,” kata Farhan, bukan nama sebenarnya.

Dari sinilah anggapan positif terhadap Negara Islam ala ISIS mulai perlahan luntur. Status pembangkang yang disematkan terhadap kaum pria dari keluarga ini membuat mereka tak bisa tinggal satu atap dengan istri dan anak-anak mereka; dan di sisi lain, soal urusan papan memang sudah ditanggung oleh ISIS.

Infografik HL Indepth Fans ISIS

 

Dibenci oleh Penduduk Setempat

Lazimnya birokrasi ISIS memang memberi jatah tempat tinggal secara cuma-cuma kepada para tiap muhajir. Rumah atau apartemen ini mereka sita secara paksa dari penduduk sipil lokal. Alih-alih bersikap adil, ISIS seringkali dibenci kaum madani atau penduduk lokal Raqqa. Kata Salma, ISIS lebih eksklusif dan mementingkan kelompoknya sendiri.

“Kalau ada pemboman di sana-sini oleh pesawat jet Sekutu, setelah bom jatuh, aktivitas penduduk lokal itu normal lagi kayak biasa,” kata Salma.

“Harusnya lihat pasar dibom ada ghirah [semangat] untuk bantu mereka. Tapi ini biasa aja. Jadi pertanda bahwa orang lokal juga enggak suka mereka (militan ISIS),” tambahnya.

Ia mengatakan kombatan ISIS sering berlaku kasar dan keras terhadap penduduk lokal, wajar jika mereka tak disukai. “Kalau kata mereka, sebetulnya saat kami bergaul dengan madani itu enggak boleh. Tentu ini kan ngaco. Ini bukti dia enggak jalankan agamanya dengan benar,” kisah Salma.

Ia mencontohkan dalam soal berpakaian. Dewan syariat ISIS membuat aturan penyeragaman berpakaian hitam-hitam bagi kaum perempuan. “Kalau kami sebagai muhajir ya dikasih. Kalau orang madani dipaksa untuk beli. Mau enggak mau harus beli. Kalau tidak, seragam nanti kena razia lalu ditangkap,” kata Salma.

Begitu juga dalam soal fasilitas pelayanan publik. Bagi mereka yang mengabdi dan terdata sebagai pegawai atau kombatan ISIS, ada fasilitas kesehatan secara cuma-cuma. “Saya dulu dapat, tapi cuma pas awal-awal. Setelah itu ya bayar. Kalau penduduk madani, ya bayar. Enggak ada yang gratis.”

Adab Seorang Muslim yang Sering Diabaikan

Dalam hadis memang sering menyebut Syam sebagai tanah yang diberkahi. Syam juga dipercaya sebagai benteng yang aman dari huru-hara dan fitnah akhir zaman. Manaratul baidha’ atau menara putih yang jadi tempat turunnya Imam Mahdi dan Nabi Isa Alahissalam dipercaya berada di Syam.

Narasi inilah yang terkadang mengiming-imingi para simpatisan ISIS agar mau hijrah ke Suriah. Pendakuan ISIS sebagai kekhalifahan yang sesuai manhaj kenabian memperparah itu. Mereka mengklaim sebagai negara yang menerapkan hukum Syariat Islam secara kaffah.

Salma, Farhan, dan returnis ISIS lain semula percaya dan yakin dengan propaganda ini. Faktanya, setelah mengalami dan melihat langsung pesan-pesan ISIS, hal itu kebohongan belaka.

“Ada banyak adab-adab yang mereka abaikan. Dan terkadang terlalu keras dan menambah dalil-dalil sendiri,” ucapnya.

“Aku kadang suka gemes, kalau membicarakan mereka,” kata Salma.

Kombatan ISIS amat jauh dari nilai-nilai keislaman, ujar Farhan. Ia mencontohkan hal sepele. Adab seorang muslim saat bertamu adalah jika tiga kali mengetuk pintu sang pemilik tak membukanya, maka dia harus pergi. “Kalau sama ISIS, tiga kali ketuk enggak dibuka, ya didobrak pintunya,” kata Farhan, sambil terkekeh.

Hidup secara Islami yang mereka rasakan di Raqqa dan masih berkesan mungkin hanya dalam soal salat tepat waktu. Farhan bercerita, saat azan berkumandang, kaum pria langsung menggelar tikar dan salat berjamaah. Namun, katanya, tindakan spontan itu pun sebetulnya didasari karena rasa takut. Karena jika tak menghentikan aktivitas, warga siap-siap saja ditangkap polisi syariat.

Dalam Islam memang membolehkan seorang pria beristri lebih dari seorang. Namun dalil ini acap kali dijadikan kombatan ISIS di Raqqa untuk memuaskan syahwat mereka.

Farhan bercerita, suatu ketika ada seorang kombatan yang menaksir salah seorang saudaranya. Namun, saat dijelaskan bahwa si perempuan sudah bersuami, si kombatan itu malah berharap agar sang suami segera mendapat syahid alias lekas mati.

Nur adalah salah seorang returnis yang ikut dalam rombongan pemulangan pada Agustus 2017. Usai kabur dari Raqqa bersama keluarganya, ia sempat ditahan oleh pasukan Kurdi (SDF) di Kamp Ayn Nissa, Suriah. Kepada BBC, Nur mengakui bahwa topik yang selalu dibicarakan para kombatan dan simpatisan ISIS hanya soal perempuan.

Ia mengaku pernah dikejar-kejar milisi ISIS yang ingin menjadikannya sebagai istri. “Banyak milisi ISIS yang duda, mereka menikah hanya dua bulan atau dua pekan saja. Banyak laki-laki datang ke rumah dan mengatakan ke ayah saya, ‘Saya ingin anakmu,'” kata Nur.

Hal ini dibenarkan oleh Dwi Djoko Wiwoho, ayah Nur. Djoko ikut bersama Nur ke Suriah. Dalam video yang dirilis BNPT, Djoko mengatakan pernah suatu ketika ada kombatan yang bertanya tidak sopan.

“Sampai di sana malah disuruh kawin. Anak saya yang kecil sampai ditanya, ‘Haidnya kapan, cari tahu, ya,’” ujar Djoko.

Melihat delusi yang terjadi di Suriah, Farhan hanya berpesan satu hal bagi simpatisan ISIS di Indonesia yang masih loyal dan percaya pada Daulah: “Untuk apa masih tetap menggebu-gebu dukung Daulah? kalau tahu betul [merasakan] di sana, yang ada hanya rasa kecewa.”

 

Sumber: https://tirto.id/negara-isis-delusi-hidup-berkah-di-tanah-khilafah-cLn5

Membaca Perempuan Pelaku Bom

Oleh Lies Marcoes

aktivis perempuan, peneliti perempuan dalam kelompok radikal

Di antara komentar atas tragedi bom di Surabaya 13-14 Mei 2018 lalu, ungkapan keterkejutan atas fakta bahwa salah satu pelakunya perempuan dengan membawa serta anak-anaknya begitu menonjol. Meski tak selalu eksplisit, tekanan nadanya penuh  penghakiman. Implikasi lain dari absurdnya fakta itu memunculkan spekulasi bahkan tuduhan bahwa ini merupakan rekayasa yang sempurna.

Tak kalah tingkah, awak media pun kerap bertanya soal kenormalan atau keabnormalan pelaku. Media pun cenderung menggiring pada jawaban yang seolah  memberi rasionalitas atas tindakan yang tak masuk akal itu. Misalnya soal isyarat gangguan psikologis, atau penanda adanya gangguan kejiwaan atau hal-hal lain yang intinya menjelaskan tentang prilaku abnormal itu. Namun sebegitu jauh, perangkat studi tentang  konstruksi sosial atas peran gender yang menjelaskan perempuan  bisa menjadi pelaku bom bunuh diri jarang diperhitungkan.

Perempuan, sebagaimana lelaki, dibentuk, dicita-citakan, diharapakan untuk bertingkah laku sesuai harapan masyarakatnya. Meskipun rentang harapan itu tidak ajek, secara umum perempuan diharapkan berwatak halus, lembut, baik, pengasih, penyayang dan seterusnya. Harapan ini dibentuk karena perempuan dianugerahi kemampuan fungsional reproduksi, sehingga melalui rahimnya ia sanggup melahirkan anak. Atas kesanggupan itu, perempuan dikonstruksi secara sosial politik (harus) melanjutan fungsi reproduksi biologisnya ke fungsi reproduksi sosial. Kemampuan kedua itu antara lain menjalani peran perawatan, pemeliharaan, pemberian kasih sayang, melindungi, mengurus dan seterusnya. Karenanya mereka dicitrakan dan dipantas-pantaskan memiliki sifat kelembutan, keibuan, penuh kasih, cinta dan  kasih sayang. Mereka juga diharapkan sedia berkorban sebagai perwujudan lain dari watak feminin itu. Rentang pengorbanan yang dituntut bisa memuai tak terbatas dari keluarga  hingga dunia global. Pengorbanan perempuan demi keluarga, demi kehidupan, demi perjuangan seringkali diglorifikasikan dalam beragam bentuk ekspresi dari puisi hingga petisi, dari ayat suci sampai ayat konstitusi. Narasinya adalah perempuan pemilik mutlak kelembutan, welas asih, rasa kasih sayang dan sederet ekspresi lain yang meneguhkan kepemilikan sifat feminin dan karenanya mustahil melakukan hal yang sebaliknya.

Harapan yang bersifat gender (konstruksi sosal atas jenis kelamin) itu sedemikian rupa dikukuhkan hingga muncul  keyakinan tanpa kesangsian bahwa sifat kelembutan, kesediaan untuk berkorban, kasih sayang yang dimiliki perempuan adalah alamiah dan otomatis adanya. Karenanya tatkala terjadi hal yang tak sesuai dengan harapan, ia dianggap menyimpang atau anomali. Kepadanya kemudian menempel label- label yang menggugurkan femininitasnya bahkan dianggap sebagai orang yang meny impang dari karakter yang seharusnya.

Padahal dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada karakteristik feminin yang permanen dan statis merasuk kepada perempuan, demikian sebaliknya  pada lelaki. Karakter itu lentur dan pragmatis menyesuaikan pada keadaan dan kebutuhannya. Banyak lelaki yang mengambil peran dan fungsi feminin meskipun diharapkan berlaku hanya kepada perempuan, demikian juga sebaliknya pada perempuan. Namun dalam struktur masyarakat biner ini, pemujaan kepada karakter maskulin teramat tinggi dibandingkan feminin akibatnya penghormatan atas peran, posisi, status yang dipadankan kepada maskulinitas juga begitu tinggi.

Pada kenyataannya karakteristik feminin-maskulin itu cair dan timbal balik.  Namun manusia membutuhkan stabilitas keajegan.  Karenanya  elemen-elemen pembentuk karakter seperti budaya, politik, agama dan bahkan ekonomi sedemikian rupa berupaya mematri karakter itu menjadi permanen pada entitas biner lelaki maskulin- perempuan feminin. Rekayasa sosial yang dilakukan itu sesungguhnya beradaptasi  juga kepada kebutuhan. Sebab kebudayaan, tafsir keagamaan, politik dan ekonomi juga lentur terhadap perubahan peran di antara  perempuan dan lelaki itu. Namun pelabelan, pencitraannya atau “ stereotyping” -nya, tetap kokoh membentuk oposisi biner feminin-maskulin sebagai milik mutral perempuan- lelaki seolah-olah merupakan kodrat Ilahiah.

Karenanya ketika perempuan keluar dari pakem pencitraannya, orang terkejut. Terlebih untuk tindakan yang begitu ektrim melibatkan anak dalam pilihan kematiannya. Sebaliknya hampir tak ada pernyataan yang mengutuki bapaknya meskipun ia melakukan hal yang juga keji.  Ini artinya ada permakluman kepada lelaki sebagai menyandang watak maskulin dalam melakukan tindakan bom bunuh diri itu. Tidak adanya pertanyaan yang menghubungkan tindakan bunuh diri dengan bapaknya dalam kasus di Surabaya itu selaras belaka dengan konstruksi dan pencitraan atas lelaki dengan karakter maskulinitasnya. Orang tetap bisa “menerima”  untuk perbuatan yang paling ektrim sekalipun. Melalui citra itu, orang telah memberi ruang “permakluman” bahwa lelaki bisa dan sanggup melakukan tindakan kejam membawa anak istrinya meledakkan diri dengan bom, tapi tidak bagi perempuan.

Pada kenyataannya, kekejaman tak berjenis kelamin, tak berkelas dan tak berwarna kulit. Artinya tindakan itu bisa dilakukan oleh siapapun. Demikian halnya karakter mengasihi, merawat bukan pula secara mutlak domain perempuan. Dalam kehidupan, tindakan kekerasan bisa (sangat mungkin) dilakukan oleh keduanya secara timbal balik.

Dengan memahami bahwa karakter feminin atau maskulin tak terhubung langsung dan permanen dengan jenis kelamin biologis, maka mencari jawaban mengapa perempuan tega berbuat aniaya kepada anaknya sendiri bisa terjawabkan.

Pertanyaannya mengapa mereka sanggup? Ada yang berteori, letaknya  ada pada kerentanan relasi antara perempuan dan lelaki. Lelaki dengan karakter maskulin dianggap  sebagai pemimpin, perempuan dipimpin; lelaki imam perempuan makmum: lelaki penentu perempuan ditentukan; lelaki berkehendak perempuan mengikuti kehendak dan seterusnya. Relasi timpang ini memudahkan penundukkan kepada perempuan karena lelaki memiliki kuasa yang dengan kuasanya dapat menuntut kepatuhan perempuan atau anak yang ada dalam kuasanya.

Teori lain menegaskan bahwa karena karakteristik maskulin secara kultural politik senantiasa menjadi patokan dan karenanya mendapatkan  keuntungan dan keutamaan secara sosial politik, padahal karakter itu bersifat bentukan, pada kasus ekstrim perempuan telah meniru dan mengadopsinya untuk menunjukkan bahwa perempuan pun sanggup. Dalam isu kekerasan ekstrim perempuan kemudian  menjadi pelaku utama seperti bom bunuh diri.

Tuntutan sosial untuk senantiasa berkorban telah cukup  untuk melakukan hal-hal yang diterima sebagai kepantasan seorang perempuan sesuai dengan harapan masyarakatnya. Apalagi jika dorongan itu bersumber dari ideologi yang diindoktrinasikan sedemikian rupa sampai tersedia lagi ruang tanya atau kritis. Ideologi itu bukan hanya memberi penghormatan atas keberaniannya tetapi juga janji kemuliaan yang teramat tinggi yang hanya bisa diraih oleh sang pemberani untuk berkorban. Ketika telah teryakinkan dapat meraih surga dan kemuliaan sebagai istri dan ibu, maka betapapun kejamnya di mata awam, perempuan niscaya sanggup melakukannya. Sedang sehari-hari saja telah begitu banyak pengorbanan  apa lagi yang hendak dinanti untuk  meraih kemuliaan yang dijanjikan dan diidamkannya. []

Sumber: https://indonesiana.tempo.co/read/127051/2018/05/28/lies.marcoes/membaca-perempuan-pelaku-bom

[WAWANCARA] Lies: Seperti Pakai Kacamata yang Salah, Realitas Terorisme pun Tak Terbaca

“Bagaimana menyapa, mengenali bukan dalam arti mencurigai, tetapi menyapa mereka yang siapa tahu membutuhkan dampingan, konseling, dengan kebingungan-kebingungan yang mereka hadapi.”

KBR, Jakarta – Direktur Rumah KitaB–lembaga riset yang fokus pada isu HAM, gender dan Islam, Lies Marcoes menangkap kegagapan penggunaan ilmu pengetahuan dalam menganalisis perkembangan terorisme. Akibatnya, perubahan radikalisasi pun menurutnya telat disadari. Seperti soal, perluasan pelaku teror dari yang semula hanya laki-laki, kemudian ke perempuan lantas melibatkan anak-anak.

Fenomena itu tampak ketika kejadian bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo yang melibatkan tiga keluarga.

“Pengetahuan atau alat analisis kita dalam membaca mereka lumpuh dalam melihat peran si perempuan (dalam terorisme). Atau setidaknya bias, seakan-akan itu tidak penting. Itu persoalannya,” ungkap Lies yang juga ahli kajian Islam dan isu gender ini dalam wawancara dengan KBR.

Kondisi tersebut ia gambarkan dengan metafor, “seperti menggunakan kacamata yang salah sehingga realitas terkait terorisme itu tak terbaca.” Berkali Lies menekankan soal absennya analisis gender dalam kasus terorisme sehingga perubahan pola radikalisasi lamban ditangkap. Pada 2015, Lies telah melakukan riset mengenai perempuan di pusaran kelompok fundamentalis.

Kepada jurnalis KBR Vitri Angreni Gulo, Lies membeberkan apa yang ia temukan dalam kajian tiga tahun lalu. Ia juga bicara soal merembesnya radikalisasi hingga ke ranah keluarga. Berikut wawancara lengkap:

Saat ini perempuan menjadi pelaku aktif bom bunuh diri dan sangat mungkin memanipulasi anak untuk menjadi pelaku. Sebelumnya seperti apa fungsi perempuan dalam gerakan atau jaringan jihad ini?

Ini memperjelas bahwa dari dulu sebetulnya mereka terlibat dalam radikalisasi tapi seringkali ilmu pengetahuan itu tersesat, tidak bisa melihat realitas itu. Saya menggunakan metafora: seperti menggunakan kacamata yang salah sehingga realitas itu tidak terbaca. Jadi kalau ditanya, apakah ini sesuatu yang baru, itu sama sekali tidak. Itu sudah terjadi sejak gerakan itu ditengarai berada di masyarakat.

Mereka memang melakukan seperti umumnya sebuah masyarakat yang melakukan pembagian kerja gender, mereka melakukan pembagian kerja gender dalam pembagian tugas untuk melakukan upaya-upaya atau usaha-usaha mereka dalam “berjihad”, jihad dalam pengertian mereka. Jadi laki-laki yang pergi berperang, perempuan yang memelihara keluarga, anak-anak, yang menguatkan suaminya untuk bekerja itu terjadi.

Jadi seperti konsep dalam keluarga Jawa, itu berlaku pada mereka.

Perbedaannya adalah, si perempuan itu tidak pasif. Mereka melakukan upaya-upaya aktif untuk mengetahui perkembangan dunia internasional terkait gerakan-gerakan yang kita namai sebagai gerakan radikal. Mereka aktif mencari tahu tetapi dengan dulunya mengambil peran yang tradisional tadi, yang berjuang suaminya, yang di dalam keluarga atau di rumah adalah si istrinya.

Masalahnya sekali lagi saya katakan, pengetahuan atau alat analisis kita dalam membaca mereka lumpuh dalam melihat peran si perempuan. Atau setidaknya bias seakan-akan itu tidak penting. Itu persoalannya.
Jadi jihadis perempuan terorganisir atau sekadar mendorong para jihadis laki-laki?

Begini, kenapa saya pada 2015 itu melakukan riset mengenai perempuan-perempuan di kelompok fundamentalisme, sebetulnya secara common sense kita bisa mengetahui hampir atau bahkan tidak ada satu kelompok organisasi apapun yang tidak memanfaatkan perempuan. Atau yang tidak beranggotakan perempuan. Itu artinya dalam kelompok mereka pun mereka mengorganisir diri sebagai wings atau sayap dari organisasi lelaki.

Nah, bahkan menurut saya, dibandingkan misalnya Fatayat di NU atau Aisyah di Muhamadiyah, mereka itu unequal posisinya. Dan itu menjadi hal yang penting karena bagi yang muda, perempuan muda, mereka tidak puas dengan posisi yang unequal itu. Itu sebabnya mendorong perempuan yang muda untuk ikut berjihad, dalam hal ini adalah jihad dalam bahasa mereka qital, jihad melalui peperangan.

Dan sekali lagi, ilmu pengetahuan atau narasi-narasi kita tentang mereka karena tidak menggunakan alat analisis yang kita sebut analisis gender, tidak mampu melihat perubahan-perubahan itu. Itu yang saya sesalkan. Tahu-tahu sudah kejadian, bukan hanya merembes dari laki-laki kepada perempuan, sekarang merembes atau proses radikalisasi di keluarga.

Untuk anak-anak yang dilibatkan, sebenarnya dalam aksi tersebut peran anak seperti apa?

Sebagai researcher saya tidak bisa menduga-duga, karena saya belum pernah melakukan riset itu. Tapi kalau menggunakan hipotesis, yang common sense, yang sederhana, sebetulnya kalau kita bandingkan antara keluarga dengan empat anak yang melakukan bom bunuh diri di gereja itu, dengan bom kecelakaan yang terjadi di Rusunawa itu, terlihat perbedaannya.

Kalau yang keluarga D itu semuanya ikut, berarti ada proses radikalisasi di rumah. Minimal bapaknya, ibunya dan dua anak dewasa. Kalau anak yang kecil menurut saya itu dipilihkan orangtuanya. Sangat boleh jadi dipilihkan oleh ibunya, karena dia yang menentukan apakah anaknya mau dibawa atau tidak. Kesan saya begitu ya kalau melihat bagaimana keluarga Jawa melakukan pembagian kerja, siapa yang mengurus anak, siapa yang mengurus nafkah.

Tapi kalau situasi ini dibandingkan dengan keluarga yang ada di Rusunawa, itu kelihatan ada proses radikalisasi baik yang dilakukan bapaknya atau ibunya dan tidak mempan pada anaknya yang satu, yang kemudian sering keluar dari situ, menyatakan mungkin secara verbal atau tidak, tidak bersetuju dengan apa yang dipilih oleh bapaknya dan ibunya, dan dia memilih tinggal di nenek.

Yang jadi masalah adalah buat kita, si anak ini tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Nah ini pembelajaran penting buat organisasi Islam mainstream untuk mendampingi. Bagaimana caranya mendampingi anak-anak atau remaja yang dalam keadaan bimbang memilih antara orangtua yang radikal dengan dia ingin keluar. Saya menduga mereka sangat kesepian, maksudnya, merasa sendiri mengatasi problem itu. Tidak ada reach out dari organisasi mainstream dan ini pembelajaran penting baik buat NU atau Muhamadiyah yang mengaku diri sebagai organisasi mainstream tolerance.
Pelibatan perempuan dan anak ini pertama kali di Indonesia?

Dalam aksi kekerasan di mana menggunakan bom, ini yang kedua, walaupun yang pertama gagal tahun 2016 yang Dian (Dian Yulia Novi) itu. Seandainya itu pihak Densus gagal mendeteksi dia pasti dia yang pertama. Si Dian itu yang pertama. Tapi dalam melibatkan keluarga saya kira di dunia pun baru pertama kali ini. Biasanya kan si perempuan saja misalnya yang terjadi di Prancis Hasna Aitboulahcen dia melakukannya sendiri.

Dan sangat menarik mempelajari situasi dia dan, itu secara psikologis bisa kita deteksi kenapa hal itu terjadi. Jadi perempuan ini si Hasna itu adalah imigran. Saya tidak mau menyebut asalnya karena takut sangat diskriminatif sangat prejudice. Pokoknya dia imigran ke Prancis lalu gagal meraih kehidupan, gagal berkeluarga dalam arti gagal menurut konsep mainstream. Lalu dia menjadi perempuan “sangat bebas” dalam arti negatif.

Tapi entah kenapa dia bertemu dengan seorang laki-laki, kemudian kelihatannya dia berbaiat. Lalu dia berubah jadi sangat alim, pious gitu. Dia menggunakan atribut-atribut yang sangat pious, menjalankan ibadah dengan sangat tekun, dan hanya perlu satu bulan tanda-tanda perubahan itu sampai kemudian dia membawa bom dan melakukan bom bunuh diri. Itu perempuan pertama.

Tapi itu bersifat individual, dia merahasiakan kegiatannya dari keluarganya. Nah beda dengan yang di Surabaya karena ini satu keluarga.
Kalau begitu, pelibatan keluarga termasuk anak, harus terus diwaspadai?

Benar sekali. Sejak ada ISIS walaupun ISIS melemah, terlihat tanda-tanda bagaimana perempuan, bagaimana keluarga terlibat proses radikalisasi. Pemerintah kan mendeteksi dan melakukan upaya-upaya kerjasama dengan Turki dan Yordania menangkap keluarga, bukan laki-laki saja atau perempuan saja, atau remaja, tapi satu keluarga yang diketahui melakukan perjalanan dengan tujuan ke Suriah untuk berjihad dan ditangkap di Turki, itu satu keluarga. Ada ayah, ibu, anak-anak, baby, dan ada perempuan yang sedang hamil. Jadi itu bukan sesuatu yang baru.

Ini jadi pembelajaran sebetulnya ke pemerintah, dalam hal ini kepolisian untuk melakukan pendekatan yang lebih komprehensif, melibatkan masyarakat dan saya yakin polisi juga ingin melakukan hal semacam itu, tapi dibutuhkan mekanisme. Bagaimana menyapa, bagaimana mengenali bukan dalam arti mencurigai, tetapi menyapa mereka yang siapa tahu mereka membutuhkan dampingan, konseling, dengan kebingungan-kebingungan yang mereka hadapi, terutama yang dihadapi oleh remaja.

Kelompok terkecil masyarakat adalah keluarga. Kalau keluarganya seperti ini, bagaimana kita bisa jangkau mereka supaya tidak menjadi radikal?

Memang keluarga adalah unit terkecil tetapi di dalam unit terkecil itu ada relasi. Ada relasi gender antara bapak dan ibu, ada relasi kuasa antara orangtua dan anak-anak. Anak-anak sebetulnya, terutama anak sekolah, itu kan tidak mendapatkan proses radikalisasi di rumah saja. Kita tahu ada kegiatan-kegiatan sekolah yang ternyata karena tidak ada kontrol itu terjadi proses radikalisasi.

Beberapa kasus terjadi, anak-anak yang kemudian terlibat dengan katakanlah proses-proses jihadis itu. Nah, itu berarti bahwa meskipun keluarga adalah unit terkecil tetapi ada kelembagaan-kelembagaan lain yang harus ikut bertanggung jawab. Menurut saya pendidikan, sekolah, itu menjadi sangat penting.

Sebetulnya dalam setiap agama, itu ajaran radikal ada. Dan yang jadi persoalan apakah radikalisme itu tumbuh atau tidak. Media semainya itu apa? Nah dalam kasus di Indonesia, media semainya adalah sikap intoleran. Sikap intoleran terhadap berbagai perbedaan bukan hanya perbedaan agama, etnisitas, kadang-kadang suku, kadang-kadang aliran politik, jangan salah. Itu menjadi penyemai yang sangat kuat juga terjadinya proses radikalisasi di luar keluarga.

Kalau di keluarga, saya tidak bisa mengatakan bahwa itu memulainya dari ayah lalu ke istrinya, lalu ke anaknya, atau ayah ibu dan anak-anaknya. Bisa saja yang teradikalisasi justru si perempuan. Jangan lupa mereka juga punya pendidikan, bisa browsing, bisa mengakses media, tetapi mereka enggak gaul. Nah sebenarnya proses pergaulan yang lebih terbuka itu, yang inklusif itu yang penting yang harus dikembangkan di dalam dengan menggunakan metode-metode yang sistematis, yang memang bisa dilakukan oleh banyak pihak.
Berarti pola apakah dari ayah, ibu, atau dari anak itu masih dicari tahu oleh para peneliti?

Harus dicari tahu karena ini fenomena baru. Rumah KitaB sendiri kan penelitiannya masih relatif baru ya, 2015, itu masih baru melihat bagaimana perempuan terindikasi, bagaimana perempuan tertarik pada gerakan radikal. Baik karena subordinasi, sehingga ingin menunjukkan saya juga bisa kayak lelaki, atau karena proses-proses radikalisasi yang mereka dapat di luar sekolah karena dia ingin mencapai direkognisi, pengakuan, ada pengakuan atas perannya.

Ada peneliti yang melakukan penelitian tentang ini dari Australia, saya merasa tidak perlu untuk menyebut namanya, itu melihat ada proses maskulinitas dalam gerakan radikal, di mana yang perempuan ingin seperti laki-laki, bukan seperti laku-laki ya, ingin berjuang dan diakui sebagaimana, atau ingin dianggap berani sebagaimana diakui kepada laki-laki.

Sumber: http://kbr.id/nasional/05-2018/_wawancara__lies___seperti_pakai_kacamata_yang_salah__realitas_terorisme_pun_tak_terbaca/96162.html