Pos

Pendidikan Merosot, Salah Siapa?

Kemerosotan pendidikan di bumi pertiwi sudah menjadi sorotan sejak lama. Namun, semakin ke sini semakin tampak keburukannya. Mulai dari siswa yang tidak bisa baca tulis (lihat di sini), tidak paham penjumlahan dan perkalian dasar, budaya joki tugas, sampai pada bullying dan kekerasan lainnya. Setidaknya yang tercatat ada 573 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2024 (lihat di sini). Satgas kekerasan yang dibentuk di sekolah pun banyak yang tidak tahu bagaimana mengatasi permasalahan tersebut. Belum lagi problem kebijakan yang gonta-ganti tiap lima tahunan. Personifikasi menteri seakan ingin menunjukkan bahwasanya negara tidak memiliki arah yang jelas terkait pendidikan anak bangsa.

Tulisan ini tidak ingin menyudutkan ataupun  membela pemerintah, apalagi mencari kambing hitam lainnya. Tulisan pendek ini akan mengajak untuk memikirkan bersama tentang permasalahan pendidikan kita.

Negara memang diamanati untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun tanggung jawab pendidikan ini bukanlah tanggung jawab pemerintah semata. Dalam mewujudkan pendidikan yang baik setidaknya ada tiga kelompok yang harus saling mendukung, saling bahu membahu untuk mewujudkan generasi yang bermartabat. Peran orang tua, masyarakat dan sekolah dalam pendidikan tidak bisa dipilih salah satunya saja. Seperti yang banyak terjadi pada saat ini. Orang tua mengandalkan sekolah, pasrah pada sekolah begitu saja tanpa ingin terlibat dalam proses perkembangan anaknya. Sekolah kualahan dan mendidik asal-asalan saja, yang penting nama baik sekolah tetap terjaga. Selebihnya masyarakat diacuhkan atau kemungkinan terburuknya sudah tidak ingin terlibat lagi dengan anak-anak sekolah.

Kita mengenal ungkapan “Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya”. Ungkapan ini mengajarkan bahwasanya pendidikan dalam keluarga amatlah penting. Untuk itu diperlukan bekal yang cukup untuk mendidik seorang anak. Ketika orang tua menyekolahkan anaknya bukan berarti tugas mendidik orang tua telah selesai. Bukankah orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengetahui kondisi anaknya karena telah memercayakannya pada sebuah lembaga atau institusi pendidikan?  Bagaimana kondisi anaknya di sana, hal-hal apa saja yang menyulitkannya, apakah anaknya sudah bisa berbaur dengan teman-teman yang lain, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan serupa. Dengan menaruh anak di sekolah, boarding school, ataupun pesantren tidak menjadikan orang tua melepaskan anaknya begitu saja.

Sekolah pada mulanya hanyalah kegiatan untuk mengisi waktu luang. Akar kata sekolah berasal dari bahasa Latin, schola yang berarti waktu senggang atau waktu luang.

Dahulu dalam tradisi Yunani, orang-orang mengisi waktu luang dengan mengunjungi suatu tempat yang di situ terdapat orang bijaksana yang dianggap banyak orang bisa menjadi tempat rujukan pertanyaan-pertanyaan. Dari sana orang-orang belajar hal-hal yang dirasa perlu diketahui. Dahulu sekolah tidak diwajibkan, tapi masyarakat memiliki kesadaran untuk mencari tahu suatu hal sehingga memanfaatkan waktu luangnya untuk mempelajari berbagai macam hal. Sekarang sekolah diwajibkan, tapi apakah yang datang ke sekolah adalah orang-orang yang berkesadaran untuk ingin mencari suatu pengetahuan?

Sekolah pada saat ini memiliki citra yang kurang begitu baik. Banyak problem yang belum terselesaikan, bahkan bertambah-tambah problemnya. Guru-guru sekolah mengeluhkan administrasi yang lebih ribet sehingga menguras waktu dan tenaga. Belum lagi honor guru yang kembang-kempis. Akreditasi yang seharusnya menjadi penjaga atau penjamin kualitas pendidikan menjelma jadi ajang cari nama belaka. Sekolah disibukkan bagaimana cara mendapatkan akreditasi unggul dan terkuras tenaganya sehingga tidak ada waktu untuk benar-benar memikirkan problem yang dihadapi anak didiknya. Banyak sekolah yang dipandang tidak ramah anak, praktik bullying yang akibat buruknya menimbulkan rasa trauma, praktik kecurangan, manipulasi, kekerasan seksual dan isu-isu lainnya.

Masyarakat tidak lagi memiliki peranan yang berarti dalam pendidikan. Sekolah menutup diri dari masyarakat. Membangun tembok tinggi-tinggi. Pendidikan hanya dipandang pekerjaan dari lembaga sekolah. Kepedualian masyarakat sebatas memberikan sumbangan semampunya kepada lembaga pendidikan yang membutuhkan. Mindset pendidikan kita menjadi sempit dan terbatas pada pendidikan formal saja. Ada yang hilang di tengah-tengah masyarakat modern saat ini, kepedulian. Kesalahan yang memalukan adalah ketika kita mulai pura-pura tidak melihat, pura-pura tidak mendengar dan mengabaikan kenyataaan. Kita pura-pura tidak melihat anak yang seharian main game, yang penting anak bisa diam di rumah. Kita pura-pura tidak melihat tetangga yang kesulitan menyekolahkan anaknya. Kita tidak peduli dana pendidikan kita apakah dipakai betul untuk pendidikan atau terjadi kebocoran di mana-mana.

Dengan banyaknya problem pendidikan yang sedang kita hadapi, bukan berarti kita patah arang untuk mengidamkan pendidikan yang baik. Masih banyak orang-orang yang sedang berjuang untuk pendidikan bersama. Banyak guru-guru yang terus berkembang dan mengupayakan pendidikan yang baik bagi para muridnya. Tidak seluruhnya kepedulian itu hilang dari masyarakat. Orang tua, masyarakat dan sekolah perlu kembali menemukan jati dirinya dalam mendidik anak-anak zamannya.

Tiga pilar utama pendidikan perlu sama-sama merumuskan ulang peranannya dalam mendidik generasi penerus bangsa. Mungkin bisa dimulai dari peran aktif orang tua yang menjadi partner dalam pendidikan anak. Orang tua bisa mulai bertanya terkait proses belajar di sekolah, kebutuhan anak, tantangan yang dihadapi anak. Orang tua tidak harus pasif dan hanya bereaksi ketika mendapat laporan atau panggilan dari sekolah. Sekolah bisa kembali pada asal mula peranannya sebagai tempat dialektika dari berbagai macam pertanyaan. Sekolah tidak menjadi tempat yang menyeramkan yang penuh kekerasan atau penghakiman. Tidak pula tempat yang menyeragamkan pemikiran, mematikan kreatifitas dengan menanamkan fixed mindset.

Pemerintah atau para menteri pendidikan perlu menurunkan ego untuk berlomba menciptakan kebijakan baru sebagai legacy. Jangan-jangan anggaran pendidikan banyak terkuras untuk proses perumusan kebijakan-kebijakan tersebut. Kebijakan yang pada akhirnya akan diganti sebelum diterapkan. Masyarakat perlu kembali menemukan ruang-ruang untuk terlibat dalam mendidik generasi berikutnya. Fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial dan juga agen pendidikan perlu menemukan format yang relevan. Orang tua, masyarakat dan sekolah perlu menjaga naluri anak untuk terus mencari dan mengeksplorasi hal-hal di sekitarnya. Sekolah dari awalnya adalah kegiatan untuk melakukan proses penemuan, bertemunya keresahan, problem dan pengetahuan-pengetahuan kehidupan.

 

Sumber bacaan refleksi

  1. Ki Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan
  2. Toto Rahardjo, Sekolah Biasa Saja
  3. Asep Sunandar, “Memotret Permasalahan Mendasar Pendidikan Indonesia”, id
  4. Hoirunnisa, “JPPI: 2024, Kekerasan di Lingkungan Pendidikan Melonjak Lebih dari 100 Persen”, id