Pos

Kemerdekaan (Belum) Milik Semua Ekspresi Gender

Menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-80, kita melihat antusiasme masyarakat yang diwujudkan dalam berbagai ekspresi. Baik di masyarakat sekitar hingga di lini masa sosial media, ada beragam peristiwa menjelang perayaan hari kemerdekaan ini. Mulai dari kontroversi pengibaran bendera One Piece, aksi masyarakat Pati menolak kenaikan PBB 250%, kisruh pernyataan pejabat pemerintahan yang sembrono, dan sebagainya.

Namun, pagi ini saya terpaku oleh salah satu posting-an yang dibagikan oleh salah seorang teman di media sosialnya tentang penolakan bahkan sanksi kepada waria yang terlibat dalam kegiatan HUT RI. Tidak hanya berharap pemerintah setempat turut memberlakukan peraturan serupa, tetapi posting-an tersebut sukses memantik ujaran kebencian kepada waria di kolom komentarnya.

Larangan melibatkan waria dalam segala bentuk kegiatan seperti turnamen, pertandingan, serta hajatan pada mulanya dikeluarkan dalam Surat Edaran Bupati Gorontalo, Sofyan Puhi nomor 800/BKBP/76/IV/2025. Bahkan dengan tegas menyatakan untuk camat yang lalai menegakkan aturan tersebut akan dikenai sanksi.

Saya pun bertanya-tanya, apakah waria bukan bagian dari warga negara sehingga untuk turut merayakan hari kemerdekaan saja dilarang bahkan terancam mendapat sanksi? Setakut itukah masyarakat terhadap waria?

Waria: Kelompok Marginal dan Diskriminasi yang Melingkupinya

Dalam beberapa waktu terakhir, diskriminasi terhadap waria cukup mengkhawatirkan. Di tahun 2020 misalnya, waria menjadi korban pembakaran yang dilakukan oleh sekelompok preman hanya karena dicurigai mencuri sebuah handphone.

Diskriminasi yang berujung kekerasan tidak hanya datang dari sekelompok masyarakat, pihak pemerintah seperti polisi yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat justru menjadi pelaku. Di mana pihak-pihak ini sering kali melakukan razia yang disertai kekerasan terhadap waria.

Segala jenis diskriminasi dan kekerasan yang diterima oleh waria baik dari kelompok masyarakat hingga pihak pemerintah seperti Polisi dan Satpol PP jelas berlawanan dengan prinsip Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 yang menegaskan semua orang pantas atas proteksi individu, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta yang di bawah kendalinya, juga layak dengan rasa aman dan proteksi dari kecaman ketakutan guna berbuat atau tidak melakukan hal yang merupakan hak asasi.

Umumnya, diskriminasi terhadap waria terjadi dalam beberapa bentuk. Pertama, diskriminasi sosial dan ekonomi, ketika waria tidak memiliki kesempatan yang sama dengan warga negara lain dalam mengenyam pendidikan formal. Selain itu, waria juga dikucilkan di lingkungan masyarakat yang menyebabkan akses terhadap pekerjaan menjadi sulit.

Kedua, diskriminasi hukum, saat kebijakan hukum yang justru diskriminatif terhadap hak-hak dasar waria sebagai warga negara. Ketiga, diskriminasi politik, kala waria tidak memiliki kesempatan yang sama untuk tampil dalam wilayah politik praktis dan menyuarakan suara hak politiknya.

Waria dan Prinsip Universal dalam Islam

Dalam sejarahnya, kehidupan masyarakat Indonesia selama ini dikonstruksi untuk hanya mengenal dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Laki-laki dengan kemaskulinannya dan perempuan untuk kefeminimannya. Kedua sifat ini tidak boleh tertukar sehingga apabila dari salah satu jenis kelamin tersebut memiliki sifat di luar paten yang ditentukan masyarakat akan dianggap abnormal.

Meskipun, kita ketahui, ‘normal’ dalam suatu masyarakat bukanlah hal yang baku. Normal di satu masyarakat tertentu bisa jadi bukan ‘normal’ di masyarakat lain. Nah, oleh karena dianggap ‘abnormal’ itu, waria menjadi kelompok yang rentan mendapat diskriminasi dan termasuk kelompok yang terpinggirkan sehingga posisinya lemah atau tidak berdaya.

Dalam Islam, kelompok-kelompok marginal dan lemah ini disebut sebagai mustadha’fin dan dianjurkan untuk dilindungi (Q.S. an-Nisa ayat 98). Adapun waria meskipun redaksinya tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara eksplisit, namun terekam dalam hadis Nabi berikut:

أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى أَنَّهُ سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ يُحَدِّثُ عَنْ عَلِيٍّ فِي الرَّجُلِ يَكُونُ لَهُ مَا لِلرَّجُلِ وَمَا لِلْمَرْأَةِ مِنْ أَيِّهِمَا يُوَرَّثُ فَقَالَ مِنْ أَيِّهِمَا بَالَ

“Telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Musa dari Isra`il dari Abdul A’la bahwa ia mendengar Muhammad bin Ali menceritakan dari Ali tentang seorang laki-laki yang memiliki alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan, sebagai apa statusnya ia mewarisi (laki-laki atau perempuan)? Ia menjawab; Dilihat dari alat kelaminnya yang mengeluarkan kencing (dari situlah ditetapkan statusnya).”

Dalam hadis tersebut, waria tidak hanya dilindungi tetapi juga diberi penghargaan hingga hak waris. Di mana tentu bertolak belakang dengan saat ini, selain dipersekusi, banyak waria ditolak oleh keluarganya hingga tidak mendapatkan hak waris. Perlu diketahui pula, hadis ini menunjukkan bahwa waria sudah ada dan dikenal sejak masa Rasulullah dengan sebutan khunsa atau mukhannas (Zunly Nadia, 2002).

Selain itu, Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin memiliki prinsip-prinsip universal berupa upaya pembebasan dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi. Kita bisa menelusuri, awal-awal kedatangan Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah spirit pembebasan manusia dari kezaliman orang jahiliyah. Bahkan wujud nyata dari upaya pembebasan ini adalah pembebasan manusia dari perbudakan. Lantas, masih relevankah masyarakat Indonesia yang disebut sebagai negara beragama menebar kebencian dan diskriminasi yang berujung pada kekerasan terhadap waria yang merupakan kelompok rentan dan minoritas?

Melihat Waria Sebagai Warga Negara

Dalam konteks bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan persamaan sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila sebagai dasar negara, sangat penting untuk melihat waria tidak hanya sebagai individu tetapi juga sebagai sesama warga negara. Artinya, sebagai sesama warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Dengan pandangan demikian, maka sebagai sesama warga negara alih-alih sebagai ‘sampah masyarakat’ kita akan lebih melihat waria sebagai bagian integral yang penting dalam masyarakat. Pada akhirnya, kita dapat menciptakan narasi yang berfokus pada martabat, kontribusi, dan hak-hak asasi yang universal.