Pos

Pemuda Dan Pemudi: Masa Depan Indonesia


Pemuda Adalah Harapan Bangsa

“Pemuda dan pemudi adalah harapan bangsa.” Slogan ini kerap didengungkan oleh bangsa-bangsa besar untuk membangkitkan semangat nasionalisme, termasuk di kalangan pemuda. Tanpa anak muda, sebuah bangsa akan segera mati muda—tanpa jejak, tanpa nama, tanpa prestasi. Buya Hamka pernah berkata dalam bukunya, Lembaga Budi, “Seorang ayah akan menyebutkan kebanggaannya karena adanya seorang anak. Begitu juga dengan sebuah bangsa; ia akan disebutkan dengan apa yang telah ditorehkan di atas dunia.”

Sejarah Panjang Indonesia dan Peran Pemuda

Sebelum menjadi bangsa Indonesia, negeri ini melalui perjalanan panjang yang penuh tantangan, mulai dari masa kerajaan Majapahit, Sriwijaya, kolonialisme Belanda, masa Romusha di bawah penjajahan Jepang, hingga era Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, dan kini. Dalam setiap periode, selalu ada regenerasi yang melibatkan peran pemuda.

Sebagai pemuda saat ini, kita mungkin tidak mengalami langsung perjuangan yang sama, tetapi semangat yang dibutuhkan tetap sama. Pertanyaannya, apakah kita akan mengambil peran sebagai pemuda harapan bangsa, sebagaimana slogan Bung Karno: “Akan aku guncangkan dunia dengan sepuluh pemuda.” Atau kita justru menjadi generasi yang manja, yang mudah mengeluh dan menyerah? Jika demikian, “Alangkah malunya kita di hadapan para pejuang kita nanti.”

Mengapa Pemuda?

Bung Karno memilih sepuluh pemuda karena mereka memiliki kekuatan utama: fisik yang kuat, otak yang cerdas, inovasi, dan semangat yang membara. Pemuda mampu bertahan di medan sulit, mencari solusi baru, dan memiliki semangat besar yang membuat mereka menjadi pemenang sejati. Dalam diri mereka, ada semangat yang tak pernah padam; mereka terus berjuang sampai titik penghabisan.

Tokoh Inspiratif dan Semangat Pemuda

Banyak tokoh besar yang dapat kita jadikan teladan. Misalnya, Steve Jobs, pendiri Apple Inc., menjadi miliarder muda di usia 27 tahun. Meski demikian, ia pernah berkata, “Tujuan saya bukan ini. Tujuan saya adalah membuat produk yang hebat.” Inilah yang menjadikan Apple perusahaan produktif dalam teknologi. Demikian pula Bill Gates dengan perangkat lunak Office-nya yang kini menjadi bagian dari kehidupan kerja kita.

Tokoh lain seperti Jack Ma, pendiri Alibaba, menciptakan salah satu kerajaan bisnis e-commerce terbesar di dunia. Di Indonesia, Nadiem Makarim mengangkat tukang ojek menjadi penggerak ekonomi dengan Go-Jek. Tidak ketinggalan, banyak perempuan Indonesia yang berperan besar, seperti Bu Retno dalam diplomasi internasional, Ibu Sri Mulyani di bidang ekonomi, dan Diajeng Lestari, pendiri HijUp. Mereka membuktikan bahwa perempuan pun dapat menjadi tokoh berpengaruh dalam berbagai bidang.

Peran Pemuda untuk Masa Depan Bangsa

Setiap masa memiliki pemudanya. Namun, jika pemuda tidak mengambil peran, masa itu akan berlalu tanpa meninggalkan jejak. Pemuda yang tidak bergerak tidak akan tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa menuju kemakmuran di masa depan.

Sumpah Pemuda yang telah diikrarkan oleh para pendahulu harus kita implementasikan di masa kini. Kita harus menjunjung tinggi nilai persatuan dan menjaga tanah air kita sebagai wadah persatuan bangsa. Masa depan yang cerah ada di tangan pemuda yang kuat, cerdas, dan bersemangat.

Menjaga Perjuangan Para Pahlawan

Para pahlawan telah menunjukkan kepada kita bagaimana berjuang. Kini saatnya kita menjaga hasil perjuangan mereka dengan mengelola negeri ini dengan baik agar Indonesia menjadi bangsa yang lebih maju di masa mendatang.

Maraknya Kejahatan Usia Anak, Bukti Yatim Piatu Sosial itu Nyata

Pembunuhan dan pemerkosaan yang terjadi terhadap seorang anak berusia 13 tahun beberapa waktu lalu di Palembang, dengan pelakunya juga masih anak-anak, perlu menjadi perhatian serius. Ini bukan kali pertama kasus kejahatan dengan pelaku anak terjadi.

Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Hukum dan HAM mencatat hampir 2.000 kasus anak yang berkonflik dengan hukum dalam kurun waktu 2020-2023. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan bahwa kekerasan fisik dan seksual merupakan jenis tindak kriminal yang paling dominan dalam kasus kejahatan dengan pelaku usia anak.

Tidak hanya kekerasan fisik, tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak bahkan ada yang sampai menghilangkan nyawa orang lain. Fenomena ini tentunya bukan hal yang biasa. Usia anak seharusnya merupakan masa pertumbuhan, belajar, dan pembentukan karakter. Rasanya tidak mungkin anak-anak terlibat kejahatan, tetapi kenyataannya, kasus anak yang berkonflik dengan hukum seharusnya menjadi evaluasi bagi semua pihak. Mengapa celah kejahatan dengan pelaku anak bisa terjadi?

Secara psikologis, anak merupakan individu yang belum memiliki kematangan emosional, sehingga masih labil dan belum mampu mengendalikan emosi yang berdampak pada tindakan serta perilaku mereka. Inilah alasan mendasar mengapa anak harus mendapatkan perlindungan, baik dari tindakan mereka sendiri yang merugikan maupun dari orang lain.

Bicara tentang anak yang berkonflik dengan hukum atau terlibat tindak pidana, merujuk pada perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak, anak tidak dianggap bersalah karena harus dilindungi. Anak di bawah 18 tahun adalah tanggung jawab orang tua. Artinya, jika anak melakukan kesalahan, mereka harus mendapatkan rehabilitasi, dan kesalahan tersebut dianggap sebagai kegagalan orang tua atau wali dalam mencegah kejahatan itu.

Namun, realitanya, paradigma masyarakat yang melekat adalah, “Bagaimana mungkin anak yang telah melakukan kejahatan bahkan pembunuhan hanya mendapatkan rehabilitasi? Bagaimana mungkin akan ada efek jera bagi pelaku usia anak?” Inilah bentuk penghakiman terhadap anak yang melakukan kesalahan. Kehadiran orang tua dan masyarakat seringkali hanya untuk menghakimi anak, tanpa memberi dukungan yang memadai.

Kehadiran penghakiman terhadap anak sering tidak diimbangi dengan peran orang tua yang cukup. Inilah yang disebut sebagai yatim piatu sosial, di mana anak memiliki orang tua, tetapi tidak mendapatkan perhatian yang utuh. Orang tua mungkin merasa telah memberikan fasilitas dan kebutuhan material anak, tetapi itu tidak cukup sebagai bentuk tanggung jawab.

Pandangan semacam ini masih sangat konservatif, seolah kebutuhan anak hanya terbatas pada materi, seperti akses pendidikan formal, makanan yang cukup, dan tempat tinggal yang nyaman. Padahal, ada kebutuhan penting lain, yaitu dukungan psikologis. Rendahnya pemahaman orang tua tentang pentingnya kehadiran mereka secara psikologis menyebabkan anak menjadi yatim piatu sosial. Mereka kehilangan perhatian emosional dari orang tua, meskipun kebutuhan materi terpenuhi.

Ketidakhadiran psikologis orang tua akan menjadi penghalang dalam membangun kedekatan emosional antara anak dan orang tua. Anak mungkin merasa tidak diterima secara utuh dan mencari lingkungan yang bisa memberikan perhatian yang mereka butuhkan.

Penguatan psikologis merupakan hal yang paling mendasar dalam proses pembentukan karakter anak sejak dini. Namun, ketika anak melakukan kesalahan, orang tua cenderung lebih memilih menghakimi anak daripada mengevaluasi pola asuh mereka. Penghakiman seringkali menjadi cara paling mudah untuk memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua.

Anak yang mengalami yatim piatu sosial rentan mengalami krisis identitas, yang membuat mereka lebih mudah terpapar hal-hal negatif. Perkembangan teknologi juga mempercepat pertukaran informasi, baik positif maupun negatif, yang dapat mempengaruhi perilaku anak.

Hubungan sosial yang tidak seimbang di masyarakat juga memicu penyimpangan sosial, di mana anak yang melanggar norma sering diberi stigma negatif, seperti “anak nakal.” Stigma ini semakin mengisolasi anak dari masyarakat, membuat mereka sulit mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri.

Meskipun kejahatan oleh anak-anak semakin marak, bukan berarti tidak ada jalan untuk mencegahnya. Diperlukan upaya ekstra dan kesadaran moral dari berbagai pihak untuk memperkuat peran keluarga, terutama orang tua, dalam membentuk karakter anak. Penting juga membangun kedekatan emosional dan mendukung anak secara psikologis.

Yang tak kalah penting adalah membangun lingkungan sosial yang sehat melalui pemberdayaan masyarakat serta kebijakan yang mendukung generasi muda. Perjuangan untuk mencegah kejahatan usia anak tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada kolaborasi antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.