Pos

Beragama Maslahat: Paradigma Baru Maqasid al-Syariah untuk Keadilan Gender

Rumah KitaB- Tulisan ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan penulis mengenai perlunya memikirkan kembali konsep maqasid al-syariah yang selama ini menjadi basis utama untuk merumuskan produk baru hukum Islam. Penulis menilai bahwa konsep maqasid lama telah ketinggalan zaman dan perlu merekonstruksi maqasid al-syariah baru yang lebih lengkap dan kontekstual.

Contohnya, prinsip maqasid al-syariah mula-mula dikembangkan dari kajian literatur fikih, dan tidak secara langsung mengambil dari sumber otoritatif seperti Al-Qur’an dan hadits, sehingga cakupan dan perspektif dari maqasid lama menjadi sangat terbatas dan kurang menjangkau nilai-nilai qur’ani yang lebih substansial dan universal.

Sebagai agama, Islam seharusnya dapat memberi maslahat yang seluas-luasnya bagi kehidupan masyarakat. Namun, ketika proyeksi hukum hanya dibatasi pada model maqasid lama, misalnya kebijakan hukum hanya diorientasikan pada perlindungan secara individual pada akal, agama, jiwa, keturunan, dan harga, maka jelas model kemaslahatan ini menjadi sangat terbatas dan tidak mencakup kepentingan umat yang lebih luas.

Kata kuncinya adalah maqasid versi lama hanya membatasi pada kemaslahatan individu dan untuk umat Islam saja. Hal ini menyempitkan peluang Islam dalam memberi solusi dan kemaslahatan pada kehidupan masyarakat yang lebih luas (public interest, commone good). Padahal, kehidupan sosial sekarang ini, dengan adanya negara-bangsa dan globalisasi, umat Islam dihadapkan pada persoalan yang begitu kompleks yang mengharuskan untuk mengkaji ulang produk hukum Islam yang lebih menyentuh pada isu-isu kekinian.

Misalnya menyentuh isu kesetaraan gender, keadilan, hak asasi manusia, kebebasan, dan demokrasi. Maqasid lama ternyata memang benar-benar belum menyentuh isu-isu ini. Padahal sekarang ini isu seputar keadilan gender dan kebebasan menjadi tema yang sangat umum dan menjadi perbincangan akademis di seluruh dunia. Bila gagasan maqasid tidak diubah, dikhawatirkan ajaran Islam akan sangat susah mengakomodir isu-isu global, dan akhirnya Islam makin menjauh dari realitas tanpa memberi solusi yang berarti.

Masalah Utama Umat Beragama

Dalam buku berjudul Multidisiplin, Interdisiplin, & Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer (2020), Amin Abdullah menuturkan setidaknya ada lima pokok permasalahan tuntutan masyarakat kontemporer yang sering dibicarakan di ruang publik, yang besar pengaruhnya dalam kehidupan umat beragama:

  1. Menyangkut soal pemerataan dan kualitas pendidikan, termasuk di dalamnya pengetahuan keagamaan.
  2. Eksistensi negara bangsa, di mana tidak semua umat beragama merasa nyaman hidup di era negara-bangsa dengan sistem demokrasi.
  3. Pemahaman manusia beragama era modern tentang martabat kemanusiaan.
  4. Semakin dekatnya hubungan antar umat beragama di berbagai negara.
  5. Kesetaraan dan keadilan gender, sebagai akibat dari sistem co-education dan education for all.

Bila dipahami secara sekilas, masalah gender hanya termuat di poin kelima, tetapi bila dipahami secara hierarkis dan keseluruhan, semua poin di atas sesungguhnya sangat berkaitan dengan masalah keadilan gender. Mulai dari kualitas pendidikan, demokrasi, hingga masalah martabat kemanusiaan, semuanya merupakan isu-isu sensitif dalam kajian gender.

Bisa dikatakan bahwa kelima poin tersebut telah membawa perubahan sosial yang begitu dahsyat sekarang ini. Sedang terjadi ‘revolusi kebudayaan’ baik secara diam-diam atau terang-terangan yang berakibat pada pemahaman keagamaan secara konvensional atau tradisional. Untuk itulah, cara baca al-Qur’an dengan pendekatan kontekstual-progresif sangat diperlukan. Sebab, pembacaan kontekstual atas al-Qur’an sangat mempengaruhi bagaimana umat Islam menyikapi berbagai tantangan zamannya, termasuk juga bagaimana hukum Islam dapat relevan untuk setiap problem yang ada.

Dari Perlindungan ke Pengembangan

Pemahaman maqasid al-syariah (tujuan/maksud utama beragama Islam) yang selama ini hanya dipahami secara tradisional harus digeser ke pemahaman maqasid secara kontemporer. Dari yang semula lebih menekankan pada sisi parsialitas dan menekankan kekhususan pada lingkungan intern umat Islam diperluas jangkauannya, tidak sempit, lebih umum, dan universal yang mencakup kemanusiaan dan keadilan universal.

Misalnya, corak maqasid yang dulunya hanya menekankan sisi penjagaan atau perlindungan digeser ke arah maqasid yang bercorak pengembangan. Maqasid yang dulu titik tekannya hanya menekankan pentingnya perlindungan terhadap umat Islam saja bergeser menjadi perlindungan terhadap kemanusiaan universal.

Sebagai contoh, perlindungan yang dulunya hanya fokus pada keturunan bergeser ke perlindungan terhadap keutuhan dan kesejahteraan hidup keluarga. Artinya hak-hak perempuan dan hak-hak anak perlu dan harus dilindungi tanpa syarat. Lebih lanjut, praktik nikah siri, poligami, dan lainnya perlu dijauhi untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan keluarga.

Perubahan paradigma maqasid yang lama ke maqasid yang baru terletak pada titik tekan keduanya. Titik tekan maqasid lama lebih pada perlindungan dan penjagaan, sedang maqasid baru lebih menekankan pada pengembangan dan hak-hak. Dalam upaya pengembangan konsep maqasid baru ini, diperlukan penekanan pada ‘human development’ sebagai target utama dari maslahat.

Paradigma Baru Maqasid al-Syariah

Tidak cukup dengan mengubah orientasi maqasid dari model perlindungan ke pengembangan, banyak ulama modern telah berusaha merekonstruksi ulang konsep maqasid lama dengan menambah beberapa unsur pokok yang disesuaikan dengan kebutuhan dan desakan-desakan zaman.

Menurut Jasser Auda dalam bukunya Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law (2008), setidaknya ada tiga alasan mengapa maqasid lama perlu direkonstruksi ulang:

  1. Maqasid lama lebih berkaitan dengan individu, dibandingkan keluarga, masyarakat, atau umat manusia.
  2. Klasifikasi maqasid lama tidak memasukkan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan.
  3. Maqasid lama dideduksi dari ‘literatur fikih’, ketimbang sumber-sumber utama syariat (al-Qur’an dan hadits).

Paradigma baru ini merevolusi cara pandang terhadap agama dan hukum Islam. Melalui paradigma maqasid baru ini, keadilan gender menjadi landasan untuk melahirkan produk hukum baru yang lebih ramah terhadap perempuan dan lebih menekankan keseimbangan pada kedua gender. Perspektif keadilan gender harus terus diupayakan sehingga agama ini dapat mewujudkan masyarakat yang adil, setara, dan egaliter.