Pos

Femisida dalam Pernikahan: Mengapa Perempuan Lebih Banyak Terbunuh di Rumah?

Peringatan pemicu: Tulisan ini memuat deskripsi detail mengenai kekerasan yang mungkin dapat mengganggu sebagian pembaca.

~~~

Malam itu, seorang perempuan berusia 29 tahun ditemukan tak bernyawa di rumahnya. Luka lebam di wajahnya bercerita lebih banyak daripada yang bisa diungkapkan oleh media. Tetangganya pun terkejut, mereka mengira pernikahannya baik-baik saja, “Istrinya orang yang pendiam,” kata salah satu dari mereka. Tapi, diam tak selalu berarti baik. Kadang, diam itu menutupi banyak luka, diam yang menyembunyikan penderitaan, diam yang akhirnya berujung pada maut.

Kasus terbunuhnya perempuan dalam konteks rumah tangga menunjukkan angka yang memprihatinkan. Kasus tersebut adalah realitas yang dihadapi perempuan di seluruh dunia. Menurut penelitian UNODC dan UN Women tahun 2024, 60% dari sekitar 85.000 perempuan yang dibunuh secara sengaja, tewas di tangan pasangan intim atau anggota keluarganya. Di Indonesia, Komnas Perempuan mengonfirmasi bahwa 86,9% pembunuhan terhadap perempuan terjadi di ranah privat. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, justru sering kali merenggut nyawa perempuan.

Mendefinisikan Femisida: Perempuan Dibunuh Karena Mereka Perempuan

Seharusnya, femisida tak bisa hanya dikategorikan sebagai pembunuhan biasa. Kasus ini adalah bentuk ekstrem dari kekerasan berbasis gender, di mana perempuan dibunuh karena mereka adalah perempuan, yang secara socio-cultural dianggap inferior. Naasnya, budaya patriarki menanamkan keyakinan bahwa ketika seorang perempuan menikah, ia otomatis menjadi milik suaminya. Dari sinilah muncul pembenaran atas berbagai bentuk kekerasan rumah tangga, seolah-olah aksi tersebut adalah bentuk suami mendidik istri.

Merujuk pada sejarah munculnya istilah femisida, Diana E. H. Russell, seorang feminis dan sosiolog asal Afrika Selatan, mempopulerkan istilah femisida pada tahun 1976. Ia ingin menunjukkan bahwa pembunuhan perempuan memiliki motif dan pola berbeda dari pembunuhan biasa, bukan sekadar kejahatan tunggal, tapi hasil dari sistem patriarki yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan.

Beberapa negara di dunia sudah lebih maju dalam mengakui femisida sebagai kejahatan yang perlu penanganan khusus. Mereka mengategorikan femisida ke dalam hukum pidana, lengkap dengan definisi dan hukuman yang lebih tegas. Sayangnya, di Indonesia belum sampai ke tahap itu.

Kasus femisida masih diproses dengan pasal-pasal umum tentang pembunuhan atau kekerasan, tanpa melihat bahwa ini adalah kejahatan berbasis gender yang punya pola dan akar masalah berbeda. Mengakui femisida sebagai kategori kejahatan yang spesifik sangat penting untuk mengembangkan langkah-langkah hukum dan kebijakan yang memadai, guna mencegah jenis pembunuhan ini dan meminta pertanggungjawaban para pelaku.

Menangani femisida tidak hanya membutuhkan respons peradilan pidana, tetapi juga perubahan sosial yang lebih luas untuk membongkar norma-norma sosial dan budaya patriarki yang mendasari dan terkadang menopang aksi KDRT.

Ketika Pernikahan Menjadi Neraka Bagi Perempuan

Laila (nama samaran) menikah dengan lelaki yang awalnya penuh cinta. Namun, setelah beberapa tahun pernikahan, cinta itu berubah menjadi pukulan dan ancaman. Setiap kali ia berpikir untuk pergi, terngiang di kepalanya “Sabar, nanti dia berubah. Jangan buat malu keluarga”. Asumsi yang kerap kali tertanam pada perempuan yang terjebak dalam toxic relationship. Cerita Laila, merepresentasikan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan.

Berdasarkan statistik, femisida dalam pernikahan adalah bentuk femisida yang paling umum. Komnas Perempuan mencatat bahwa 42,3% kasus femisida terjadi dalam pernikahan. Para korban sering kali telah lama mengalami kekerasan sebelum akhirnya dibunuh.

Hal ini selaras dengan temuan Internatioal, menurut Dr. Kevin Fullin dari American Medical Association, “Sepertiga dari semua cedera pada perempuan yang masuk ke ruang gawat darurat bukanlah kecelakaan. Sebagian besar adalah hasil dari tindakan kekerasan yang disengaja dan direncanakan. Dan sering kali terjadi berulang kali hingga perempuan tersebut meninggal.”

Mengapa Perempuan Tidak Bisa Keluar dari Toxic Relationship?

Dalam melihat kasus KDRT, kita mungkin mempertanyakan “Kenapa tidak cerai saja?” Seolah-olah meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan adalah hal yang mudah. Pada realitanya, ada begitu banyak alasan yang membuat perempuan terjebak dalam kasus KDRT. Dalam banyak budaya, perempuan diajarkan untuk tunduk kepada suami.

Mereka didoktrin untuk percaya bahwa meninggalkan pernikahan adalah aib. Tidak peduli seberapa menyakitkan atau mengancamnya situasi yang mereka hadapi, perempuan sering kali ditekan untuk tetap bertahan, dengan dalih menjaga kehormatan keluarga atau demi anak-anak mereka.

Ketergantungan finansial juga menjadi salah satu penghalang terbesar. Bagi perempuan yang tidak memiliki sumber penghasilan sendiri, mereka cenderung takut tidak bisa bertahan hidup jika pergi. Ke mana mereka harus meminta pertolongan? Bagaimana mereka akan menghidupi anak-anak mereka? Tanpa akses terhadap sumber daya yang cukup, perempuan akan rentan terjebak dalam situasi abusive ini.

Setiap kali sebuah kasus femisida terjadi, kita berduka, kita marah, tapi apa yang bisa kita perbuat? Mencegah femisida bukan hanya tugas negara, tapi tanggung jawab kita semua. Kita harus mulai dengan mendengarkan dan mempercayai korban. Ketika seseorang bercerita tentang kekerasan yang mereka alami, jangan menghakimi.

Sebaliknya, kita harus memberikan dukungan nyata, baik itu dengan menawarkan tempat perlindungan, membantu mereka mengakses layanan hukum, atau sesederhana menjadi tempat mereka merasa aman untuk bercerita.

Kita juga perlu mendorong kemandirian finansial perempuan, bagi penulis hal ini sangatlah penting, karena perempuan yang memiliki sumber finansial, lebih mungkin untuk meninggalkan hubungan yang abusif. Terlepas dari itu, kebijakan yang melindungi hak perempuan harus diperjuangkan. Selama hukum masih lemah, nyawa perempuan akan terus terancam.

Namun, semua upaya ini tidak akan efektif, jika kita tidak membongkar akar dari permasalahannya: norma patriarkal yang mengakar. Perubahan sosial harus dimulai dari pendidikan di rumah, dari cara kita membesarkan anak-anak kita, dari bagaimana kita menanamkan nilai kesetaraan dalam keluarga, dan dari keberanian kita menolak normalisasi kekerasan terhadap perempuan.

Perubahan ini, bukan hanya tugas para aktivis atau pembuat kebijakan, tetapi tugas setiap individu. Kita tidak bisa terus berduka tanpa bertindak, tidak bisa hanya marah tanpa mencari solusi. Tanyakan pada diri sendiri “Apa yang bisa kita lakukan agar perempuan tidak terjebak dalam situasi kekerasan sejak awal?”

Trauma Kolektif Perempuan: Bagaimana Kekerasan Membentuk Ketakutan Kepada Perempuan?

Aku takut pacaran kak. Bayangin kalau aku punya pacar terus ngamuk ke pacarku. Takut aku dibunuh kayak yang lagi viral,” kata seorang perempuan ketika saya sarankan untuk punya pacar setelah bercerita pengalaman sedihnya menyelesaikan skripsi yang begitu sulit menemui dosen.

Kalimat tersebut bukanlah sebuah alasan bercanda. Justru, kita bisa memastikan bahwa alasan tersebut bisa juga dimiliki oleh perempuan lain untuk menghindari pacaran bahkan takut menikah dengan alasan takut dibunuh. Alasan tersebut sangat masuk akal jika melihat data pernikahan di Indonesia yang menunjukkan tren penurunan drastis dalam satu dekade terakhir, mencapai angka terendah dalam 10 tahun pada tahun 2024 dengan sekitar 1,48 juta pernikahan.

Penurunan angka pernikahan di Indonesia disebabkan berbagai faktor kompleks, termasuk kemandirian dan otonomi perempuan, kesulitan ekonomi, perubahan gaya hidup dan nilai sosial, ketidakstabilan finansial dan kematangan mental sebelum menikah, serta pengaruh negatif media sosial yang menampilkan kasus KDRT dan perceraian.

Tidak bisa dipungkiri bahwa, pemberitaan tentang femisida yang dilakukan oleh orang terdekat, mulai dari anggota keluarga, suami atau bahkan pacar, akan membuat setiap perempuan berpikir ulang untuk menjalani hubungan dekat dengan lawan jenis. Sebab yang paling dirugikan dalam hubungan laki-laki dan perempuan adalah pihak perempuan dengan banyaknya kasus femisida. Ini juga menjadi alasan bahwa trauma kolektif perempuan korban femisida akan berjalan.

Ketika femisida semakin marak, pemerintah tidak mengambil langkah tegas untuk mencegah bahkan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku, serta media terus menerus memberikan informasi tentang femisida dengan begitu keji, maka akan berdampak terhadap kehidupan perempuan lain, yang kemudian kita kenal sebagai trauma kolektif.

Trauma kolektif adalah luka psikologis dan emosional yang dialami bukan hanya oleh individu, tapi oleh sekelompok orang atau masyarakat secara bersama-sama akibat peristiwa traumatis besar. Luka ini biasanya dalami dari peristiwa besar seperti: bencana alam, perang/konflik, kolonialisme atau penjajahan dan kekerasan berbasis gender. Mengapa peristiwa tersebut meninggalkan luka mendalam? Sebab secara histori, peristiwa tersebut meninggalkan jejak lintas generasi yang begitu mendalam.

Tragedi 1998 misalnya. Peristiwa tersebut tidak hanya berbicara soal ‘amuk massa’ atas krisis ekonomi dan ketidakpuasan terhadap rezim Orde Baru.  Lebih ekstrem lagi, kekerasan sistematis tersusun, termasuk pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa.

Sayangnya, narasi tersebut seolah kabur dalam memetakan siapa yang terlibat, siapa yang bertanggungjawab, dan bagaimana kekerasan dibiarkan terjadi. Konsekuensinya, absennya pengakuan dan penegakan hukum atas terjadinya  pelanggaran HAM yang terjadi justru abai terhadap pemenuhan hak-hak korban yang berpotensi terjadinya kekerasan berulang, bahkan memperkuat impunitas.

Trauma yang dimiliki oleh generasi sebelumnya, mengakibatkan ketakutan yang mendalam bagi generasi selanjutnya untuk mengambil langkah terhadap sesuatu. Dalam konteks femisida, kita sebagai perempuan dihantui rasa takut untuk keluar malam sendiri, punya pacar ataupun menikah. Sebab sejauh ini, pelaku femisida adalah orang terdekat, seperti pacar, suami atau anggota keluarga yang lain.

Bagaimana feminisme melihat kasus femisida?

Teori Feminis menjelaskan bahwa, masyarakat yang dibangun dalam sistem patriarki akan menciptakan ketimpangan yang begitu besar dan banyak sekali merugikan perempuan, mulai dari pembakuan peran domestik kepada perempuan, hingga peluang lebih kecil bagi perempuan untuk beraktivitas di ruang publik. Dalam konteks kekerasan seksual, kasus femisida bukan kekerasan individual semata, namun juga bagian dar struktur sosial.

Femisida adalah bagian tertinggi/tahta ekstrem patriarki. Mengapa? Ketika laki-laki merasa berhak atas tubuh perempuan, ia akan melakukan hal keji kepada perempuan karena merasa memiliki sepenuhnya terhadap tubuh perempuan itu sendiri.

Di samping itu, masyarakat lebih menyalahkan korban seperti menggugat living together. Jika femisida dilakukan oleh seorang suami, masyarakat menggugat alasan si korban menikah dengan laki-laki temperamen. Sampai di sini, bukankah kita jadi tahu mengapa menjadi korban adalah beban berlipat?

Trauma Kolektif yang Diwariskan

Kai Erikson (1976) dalam buku Everything in Its Path, menyinggung terkait adanya trauma kolektif. Teori tersebut didasarkan pada dampak banjir besar yang terjadi di Buffalo Creek (AS) yang terjadi pada 26 Februari 1972 di wilayah Pocahontas Country, West Virginia Amerika Serikat, di mana jebakan batu bara yang gagal meruntuh dan memicu banjir bandang yang mematikan. Peristiwa tersebut menewaskan 118 orang dan menghancurkan 1.000 rumah serta menelantarkan sekitar 4.000 orang.

Pasca bencana tersebut, ternyata trauma yang tidak hanya terjadi pada individu, namun menghancurkan ikatan sosial, identitas bersama dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Trauma tidak hanya dialami oleh korban, akan tetapi juga orang lain yang juga tinggal di wilayah yang sama bahkan generasi selanjutnya dengan berbagai cerita yang dilanggengkan.

Trauma kolektif juga tidak hanya luka psikologis, akan tetapi juga cerita yang diwariskan kepada generasi selanjutnya ataupun narasi yang disampaikan melalui media, yang membuat masyarakat meyakini suatu cerita tersebut.

Dalam konteks femisida, misalnya. Kalimat larangan, seperti “jangan living together, nanti dibunuh”, “hati-hati sama laki-laki”, “perempuan jangan keluar malam”, adalah kalimat warisan lintas generasi yang dapat menyebabkan perempuan takut dan memiliki anggapan bahwa laki-laki adalah sosok yang jahat, dan kapan saja bisa membunuh perempuan.

Jika amarahnya meledak, maka perempuan, yang berperan sebagai pacar atau pun istri, bisa dibunuh. Ketakutan tersebut pasti dirasakan oleh setiap perempuan. Hal tersebut juga diperparah dengan media yang menampilkan banyaknya kasus femisida yang begitu masif.

Apabila pemerintah tidak memiliki strategi yang cukup baik dalam melakukan upaya preventif, serta hukuman yang tegas terhadap pelaku femisida, maka trauma kolektif terhadap hubungan individu (red: laki-laki dengan perempuan), akan terus diturunkan.

Femisida, Moralitas dan Beban Berlipat Menjadi Perempuan

Mengerikan sekali, ketika membaca berita seorang perempuan yang dibunuh oleh kekasihnya, dipotong menjadi beberapa bagian dan potongan tubuhnya dibuang ke Pacet, Mojokerto. Sebagai tambahan informasi, polisi menemukan 239 pecahan tulang korban di kamar kos tersangka. Alvi Maulana, tersangka dari pembunuhan paling sadis abad ini, mengaku bahwa keduanya tinggal bersama selama beberapa kurun waktu terakhir dan sudah menikah siri.

Membaca berbagai informasi yang tersebar di media sosial ataupun di media massa lainnya, membuat saya merinding. Tidak kuat menahan rasa sakit, dibunuh dan dipotong-potong layaknya hewan. Bahkan, perilaku bejat tersebut tidak bisa disampaikan dengan kalimat apa pun selain menghukum dengan setimpal.

Namun, duka tersebut tidak akan pernah selesai dirasakan oleh orang tuanya. Betapa berat menjadi korban dari pembunuhan. Tiara Angelina, adalah satu dari sekian banyak korban femisida yang masih harus terus memperjuangan keadilan di negara yang belum ramah terhadap perempuan.

Tidak hanya Tiara, kasus serupa juga dialami oleh beberapa perempuan lainnya seperti: Remy Yuliana Putri (36), seorang perempuan yang berprofesi sebagai driver taksi online, jasadnya ditemukan di dalam mobil Jalan Kerta Dalem, Desa Sidakarya, Denpasar pada Jumat (2/05/25). Ia dibunuh oleh pacarnya sendiri, Galuh Widiasmoro. Selain Remy, Kesia Irena Yola Lestaluhu, korban pembunuhan anggota TNI AL Kelasi Satu Suyono Wahyudi Ponidi. Sebelum dibunuh, Irena sempat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pelaku.

Kisah naas juga terjadi pada perempuan yang berisinial EDK, 23 tahun yang dibunuh oleh pacarnya, MRR. Pembunuhan tersebut dilakukan lantaran korban marah-marah dan memukul pelaku dengan gagang sapu sebanyak lima kali. Peristiwa tersebut menjadikan pelaku geram, sehingga mencekik leher korban dan membuat korban lemas kemudian meninggal. Kita pasti masih ingat peristiwa sadis yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di Bangkalan, Jawa Timur. Seorang mahasiswa yang membunuh pacarnya dan membakar karena diketahui hamil dan si laki-laki tidak mau bertanggung jawab.

Dari sekian banyak kasus sadis yang dialami oleh perempuan, bagaimana tanggung jawab negara untuk memberikan keamanan bagi perempuan? Sudahkah negara melindungi perempuan dan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku femisida? Sebab Komisi Nasional-Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan bahwa terjadi 290 kasus pembunuhan terhadap perempuan pada periode Oktober 2023-Oktober 2024. Angka tersebut meningkat setiap tahun, ditambah dengan kasus 2025 yang peristiwanya semakin sadis.

Moralitas dan Empati Masyarakat

Salah satu persoalan yang tidak habis pikir dari peristiwa bejat yang dilakukan oleh Alvi Maulana atau kasus femisida lainnya adalah penghakiman masyarakat terhadap korban, seperti tinggal bersama dengan pacar, hamil, ataupun lainnya. Fenomena tersebut semacam menjadi justifikasi secara sosial untuk menormalkan perilaku. Bukankah ini menggambarkan kebiadaban sejati? Na’udzubillah.

Mengapa masyarakat kerapkali menghukumi perempuan lebih berat dibandingkan dengan kasus kejahatan yang dialami. Jangan hanya karena perempuan memilih untuk hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, lalu seolah-olah pembunuhan tersebut menjadi halal. Jika kita adalah orang yang memberikan hukuman sosial kepada korban, lalu apa bedanya kita dengan pelaku?

Dalam budaya masyarakat, terutama di banyak daerah konservatif, norma tentu memandang tinggal bersama sebelum menikah sebagai sesuatu yang tabu atau “melanggar norma agama/keluarga/sosial”. Bila korban adalah perempuan, stigma sering jauh lebih berat. Ini bisa membuat orang menilai korban “boleh disalahkan sedikit” karena dalam perspektif mereka, korban sudah mengambil risiko moral atau risiko sosial.

Perempuan memiliki tanggung jawab lebih untuk menjaga nama baik, dan dianggap menyimpang apabila hidup bersama sebelum menikah. Kondisi ini berbeda dengan laki-laki yang tidak memiliki beban moral seperti itu.  Tidak hanya itu, media turut mendukung argumen masyarakat dengan mengulik kehidupan pribadi korban terus menerus seperti status pacaran, tinggal bersama dan dugaan kehamilan.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Kalimat tersebut adalah ungkapan yang cocok bagi korban femisida. Bayangkan saja, sudah menjadi korban, keluarga korban merasa kehilangan karena anak yang sudah diberi kehidupan layak, mulai dari pendidikan dan kebutuhan sehari-hari, dibunuh dengan sadis oleh laki-laki biadab, namun begitu deras mendapatkan penghakiman sosial.

Jika kita merasa bahwa dunia ini juga diperuntukkan bagi perempuan, maka jangan sekali-kali turut berkomentar buruk atau memberikan penghakiman kepada korban. Empati kita benar-benar diuji dalam melihat kasus ini. Dukungan keluarga serta upaya untuk menghormati korban dan keluarga adalah hal dasar yang perlu terus kita upayakan.

Barangkali kita tidak mengenal korban, namun bisa jadi besok, lusa atau di hari-hari selanjutnya, orang terdekat kita bisa menjadi korban femisida. Setiap perempuan berpotensi menjadi korban femisida, karena pelakunya adalah orang terdekat. Bisa jadi berasal dari anggota keluarga, ataupun pasangan.

Menyoal Kegagapan Perspektif Aparat Penegak Hukum dalam Menyikapi Fenomena Femisida

Fenomena femisida bukanlah barang baru di tengah tatanan sosial kita. Namun, dapat dibilang, ini merupakan topik yang kerap termarjinalkan dalam diskursus politik dan hukum di parlemen maupun di antara percakapan para penegak hukum. Keberadaan kasus-kasus femisida seolah tak cukup mendapat ruang atensi serius dari aparat penegak hukum. Padahal, apa yang terjadi di ruang persidangan dan di depan meja interogasi adalah refleksi dari apa yang terjadi di masyarakat secara luas.

Media sosial belakangan ini penuh sesak dengan beragam publikasi soal kekerasan terhadap perempuan yang tak sedikit berujung pada hilangnya nyawa seseorang. Sejumlah berita itu hampir selalu mengangkat kasus pembunuhan perempuan yang dilakukan oleh pihak paling dekat: pacar, mantan kekasih, saudara, suami, bahkan orang tua mereka sendiri.

Menurut Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang dipantik oleh kebencian, keinginan untuk menguasai, mendominasi, menikmati, dan pandangan bahwa perempuan adalah milik yang boleh diperlakukan semena-mena.

Femisida, dengan demikian, jauh lebih kompleks ketimbang pembunuhan biasa. Ia membawa muatan disparitas gender, dominasi, serta agresi atau penindasan. Ini bukan soal kematian semata; femisida pada dasarnya merupakan akumulasi dari budaya patriarkis dan misoginis yang berakar dalam kehidupan pribadi, komunitas, bahkan negara. Merujuk pada data yang dimuat PBB, hampir 80% dari pembunuhan perempuan yang direncanakan dilakukan oleh orang-orang terdekat dengan korban.

Membongkar Akar Femisida dalam Data

Di Indonesia, peristiwa tragis femisida mengemuka akibat beragam faktor pendorong. Di antaranya, ada soal maskulinitas yang tersinggung, misalnya kasus perempuan yang dibunuh karena meninggalkan pria. Selain itu, kemarahan pria terkait kehamilan perempuan di luar pernikahan, kekerasan dalam rumah tangga yang berakhir pada pembunuhan, pelecehan seksual yang berakhir tragis, hingga mengakarnya budaya patriarki yang menolak kehadiran anak perempuan, serta praktik perdagangan perempuan untuk kepuasan seksual semata. Semua itu adalah segelintir penyebab yang berkontribusi pada terjadinya femisida.

Dalam konteks ini, penegakan hukum di Indonesia seakan masih berjalan di tempat. Keterbatasan perlindungan hukum yang spesifik untuk menangani kasus femisida masih terjadi.

Semestinya, aparat penegak hukum memahami secara komprehensif kekerasan berbasis gender, di mana femisida berada di puncaknya; sedangkan di posisi tengah terdapat kekerasan fisik dan seksual, misalnya pemukulan dan pemerkosaan; sementara di bagian bawah mencakup mikroagresi dan pelecehan seperti penguntitan, catcalling, hingga perlakuan tidak pantas lainnya. Yang paling mendasar adalah sikap dan pola pikir yang mengobjektifikasi perempuan, candaan seksis, victim blaming, dan semacamnya.

Sampai saat ini, Komnas Perempuan belum mempunyai detail data mengenai kasus pembunuhan yang dikategorikan sebagai femisida. Bahkan, Laporan Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime) sempat mengklasifikasikan femisida pada tahun 2022. Kendati demikian, monitoring pemberitaan online antara rentang November 2022 – Oktober 2023 mencatatkan 388 laporan yang mengindikasikan femisida. Usai disaring, jumlahnya menjadi 159 kasus dengan indikasi femisida yang kuat. Angka ini sangat mencengangkan, dan jika tidak ada perubahan dalam mekanisme penanganan, angka tersebut akan terus memuncak.

Di lain data, Laporan Lintas Feminis Jakarta (2022) mengungkapkan antara tahun 2016 – 2017, tercatat sedikitnya 161 kasus pembunuhan perempuan. Sebagian besar pelaku didominasi laki-laki.

Femisida dalam Kacamata Penegak Hukum

Menurut data yang dimuat oleh Komnas Perempuan, antara 2020 – 2023, terdapat 798 kasus femisida di Indonesia. Sayangnya, sikap aparat penegak hukum terhadap kasus femisida masih kurang memadai. Bahkan, istilah “femisida” masih terasa asing, sehingga praktik kekerasan terhadap perempuan ini terus bergulir tanpa ada sinyal pembenahan signifikan dalam mekanisme penegakan hukum.

Perempuan, dalam hal ini, selalu menjadi korban yang tak bisa bersaksi atas kejahatan yang menimpanya. Padahal, femisida adalah puncak dari segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Ironisnya, banyak yang menganggapnya sebagai kejahatan biasa, padahal kasus ini mempunyai dimensi yang jauh lebih fundamental.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum dan masyarakat harus benar-benar mengenali femisida dan pluralitas modus yang dipergunakan oleh pelaku. Modus yang diaplikasikan dalam femisida tidak boleh diperlakukan sebagai tindak kriminal biasa. Ini merupakan kejahatan luar biasa yang memerlukan atensi spesial agar tak dipandang sebagai tindak pidana biasa. Hal itu semakin nampak ketika pasal yang diterapkan dalam kasus femisida masih merujuk pada pasal pembunuhan dalam KUHP, baik pembunuhan berencana maupun tidak.

Hal itu juga sangat relevan dengan laporan yang dimuat oleh Jakarta Feminist (2023) bahwa tak sedikit kasus femisida di Indonesia masih diperlakukan serupa pembunuhan konvensional. Padahal, serangkaian kekerasan yang terjadi perlu dipahami sebagai bagian dari fenomena yang jauh lebih kompleks: kekerasan berbasis gender yang bermuara pada sistem patriarkal.

Dalam hal ini, aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, masih belum mampu memposisikan dirinya dalam perspektif korban dan cenderung mengabaikan ancaman yang dihadapi oleh perempuan. Pengalaman perempuan kerap tidak divalidasi, yang akhirnya berujung pada tragedi femisida.

Strategi Memutus Siklus Femisida

Tingginya angka femisida di Indonesia mendesak perhatian serius dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan strategi serta langkah konkret dan sistemik yang dapat mencegah hingga menangani femisida di masa mendatang.

Polri, sebagai lembaga penegak hukum, harus memulai langkah dengan mencatat dan menganalisis setiap kasus pembunuhan perempuan secara komprehensif. Dengan melakukan pendokumentasian yang sistematis dan terpusat, kita bisa memperoleh gambaran yang jelas perihal penyebab, pola, dan pelaku di balik setiap kasus femisida. Data seperti ini akan sangat berguna sebagai dasar untuk merumuskan langkah-langkah penanganan dan pencegahan yang lebih efektif.

Selain itu, sangat penting bagi pihak kepolisian untuk menjamin perlindungan keamanan bagi perempuan yang terancam nyawanya, termasuk bagi pelapor kasus kekerasan. Perlindungan ini tidak hanya penting untuk mencegah femisida, tetapi juga untuk menjaga integritas serta keberanian perempuan dalam melaporkan kekerasan.

Di sisi lain, pembaruan hukum pidana juga merupakan langkah yang sangat penting. DPR RI dan pemerintah perlu mengkaji kembali dan memperbarui undang-undang yang mengatur femisida.

Salah satu langkah yang perlu dipertimbangkan adalah dengan menetapkan femisida sebagai kategori pembunuhan khusus terhadap perempuan dalam hukum pidana Indonesia. Dengan demikian, pembunuhan yang dilatarbelakangi oleh alasan gender akan mendapat perhatian lebih dalam proses hukum.

Selain itu, pemerintah dan DPR juga bisa mempertimbangkan menjadikan femisida sebagai alasan pemberat hukuman. Langkah ini diharapkan dapat memberikan efek jera kepada pelaku dan mengurangi kekerasan terhadap perempuan di masa depan.

Mengatasi femisida di Indonesia memerlukan kerja sama antara berbagai pihak, termasuk Polri, pemerintah, DPR RI, media, dan masyarakat. Semua pihak harus saling mendukung dan bekerja bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan.

Selain itu, pendidikan tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan harus terus diperkuat agar masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai pentingnya melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan. Hanya dengan kolaborasi yang kuat, Indonesia dapat mewujudkan perubahan signifikan dalam mengurangi angka femisida dan menciptakan dunia yang lebih aman dan setara bagi perempuan.

Feminisme Postmodern dan Kepemimpinan Feminis: Pesan dan Pelajaran di Balik Tren Marriage is Scary

Pernikahan, yang seharusnya menjadi momen bahagia bagi perempuan, kini sering dianggap sebagai “momok,” menumbuhkan skeptisisme di kalangan mereka. Sementara banyak yang mendambakan pernikahan sebagai simbol kebahagiaan, kenyataan menunjukkan ketakutan dan keraguan perempuan untuk berkomitmen. Hal ini melahirkan tren marriage is scary di media sosial, yang menyatakan bahwa pernikahan membawa lebih banyak masalah daripada manfaat.

Tren marriage is scary menjadi topik hangat, menentang anggapan bahwa pernikahan adalah ikatan kebahagiaan semata. Sebaliknya, pernikahan sering dinilai lebih penuh dengan masalah daripada keuntungan, hingga banyak netizen memperdebatkan pengaruh tren ini terhadap persepsi publik terhadap pernikahan. Munculnya tren ini bukan tanpa sebab; ia menandakan lebih dari sekadar fenomena sesaat.

Marriage is Scary: Lebih dari Sekadar Tren?

Psikolog Tabula Arnold Lukito menjelaskan bahwa marriage is scary mencerminkan perubahan nilai di masyarakat dan tidak selalu bernilai negatif. Fenomena ini menunjukkan kesadaran kalangan muda, khususnya perempuan, bahwa pernikahan bukanlah tolok ukur tunggal kebahagiaan.

Kasus opresi seperti femisida, KDRT, perceraian, dan berbagai bentuk ketidakadilan gender dalam kehidupan pasca-pernikahan menambah kecemasan perempuan akan pernikahan. Budaya patriarki yang menumbuhkan opresi turut memperkuat ketakutan ini, sehingga marriage is scary memiliki makna lebih dalam daripada sekadar tren. Premis dari tren ini adalah ketakutan akan konflik, perceraian, dan hambatan terhadap kebebasan perempuan dalam pernikahan.

Marriage is Scary dalam Pandangan Feminisme Postmodern

Fenomena marriage is scary sejalan dengan pandangan feminisme postmodern, yang berupaya membongkar “kebenaran” yang selama ini diyakini dalam masyarakat. Feminisme postmodern melihat kebenaran ini kerap terkait dengan nilai patriarki yang hierarkis dan memandang pernikahan tradisional sebagai narasi tunggal. Tren marriage is scary membuktikan bahwa pernikahan bisa menciptakan opresi, menandakan dominasi patriarki yang masih kuat.

Feminisme postmodern juga menolak hierarki dalam peran suami-istri. Struktur ini sering kali kaku dan menciptakan opresi. Bagi feminisme postmodern, kebahagiaan tidak harus diwujudkan dalam pernikahan, dan individu bebas memilih kebahagiaan tanpa tekanan sosial untuk menikah. Hal ini tercermin dalam penurunan angka pernikahan di Indonesia sebesar 28,63% dalam satu dekade terakhir.

Namun, pernikahan bukan sesuatu yang harus dihindari. Dengan prinsip kepemimpinan feminis, hubungan pernikahan yang setara tanpa bias gender dapat tercapai.

Kepemimpinan Feminis sebagai Antitesis dari Marriage is Scary

Meski marriage is scary mengkritik pernikahan sebagai institusi yang bias gender, hal ini tidak berlaku bagi pasangan yang menerapkan budaya feminis. Kepemimpinan feminis dapat diterapkan oleh perempuan maupun laki-laki, menekankan kebersamaan, transparansi, dan kepedulian.

Prinsip kepemimpinan feminis menolak pernikahan sebagai institusi tradisional yang kaku. Dalam keluarga, suami-istri duduk bersama untuk mengambil keputusan, mendukung karier satu sama lain, dan berbagi tanggung jawab dalam pengasuhan anak. Dengan mengadopsi kepemimpinan feminis, keluarga dapat menjadi ruang yang ramah gender dan harmonis, bertentangan dengan anggapan marriage is scary yang menyatakan bahwa keluarga adalah institusi penindasan.