Kasus Gus Miftah dan Yati Pesek Sebagai Momentum Stop Normalisasi Candaan Seksisme
Rumah KitaB– Kontroversi seputar olok-olokan Miftah Maulana Habiburrohman atau Gus Miftah terhadap penjual es teh bernama Sunhaji di Magelang berbuntut panjang. Setelah Gus Miftah meminta maaf, muncul kembali video tahun lalu yang tidak kalah geramnya bagi warganet. Di dalam video tersebut, tampak Gus Miftah menggunakan Bahasa Jawa untuk bercanda dengan ibu Suyati atau yang akrab dikenal sebagai ibu Yati Pesek.
Gus Miftah pada intinya memakai istilah tidak pantas yang menghina kaum perempuan. Jujur saya sendiri tidak sampai hati menuliskannya di sini sebab begitu mendiskreditkan perempuan sebagai makhluk yang di mata yang bersangkutan tidak lebih dari sekadar fisik.
Tulisan ini tidak bermaksud menambahkan minyak ke dalam api yang masih membara. Gus Miftah sendiri telah mengundurkan diri sebagai salah satu utusan Presiden Prabowo Subianto dan akan meminta maaf ke ibu Yati Pesek. Saya hanya ingin mengekspresikan betapa masih banyak yang seolah menormalkan candaan seksisme dalam kehidupan sehari-hari. Celakanya, jika tidak segera diputus, alur ini akan secara tidak sadar menimbulkan dampak berkepanjangan bagi perempuan dari berbagai aspek.
Pengertian Seksisme dan Dampaknya
Sebagaimana diambil dari MedicalNewsToday.com, seksisme adalah diskriminasi menurut jenis kelamin seseorang yang dapat menyebabkan banyak perilaku membahayakan. Umumnya, seksisme lebih menimpa ke perempuan atau gadis serta menjadi akar penyebab ketidaksetaraan gender di seluruh dunia.
Perilaku seksisme terbagi ke dalam enam macam, salah satunya adalah seksisme antar pribadi. Hal ini bisa ditemukan dimana saja, seperti di tempat kerja, sekolah, di antara anggota keluarga, dan orang asing di jalan. Yang paling sering kita saksikan di Indonesia dan dimana saja adalah berkomentar tentang fisik seseorang yang dirasa kurang cocok.
Seksisme tidak bisa dianggap enteng, termasuk saat bercanda. Membiarkan perilaku seksisme sama artinya dengan mengizinkan perilaku pelecehan verbal. Bahkan menurut Gender Action Portal dari Universitas Harvard, candaan seksisme, terutama yang merendahkan perempuan, seringkali dinilai tidak membahayakan. Kenyataannya, candaan seksisme menciptakan lingkungan sehingga tercipta stigma secara sosial diizinkan untuk mengekspresikan seksisme dan melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Di Indonesia sendiri, peristiwa yang terjadi belum lama ini tersebut membuat miris karena dilakukan oleh seorang petinggi negara sekaligus tokoh agama. Tidak mengherankan jadinya mengetahui bahwa di masyarakat masih banyak yang menormalisasi perilaku tersebut.
Padahal, candaan seksisme masuk ke dalam kategori pelecehan verbal. Selain candaan seksisme, catcalling atau pemanggilan bernada seksisme saat di lingkungan publik masih sangatlah umum. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada 2024 telah menerima laporan kekerasan verbal hingga 15.621 kasus. Mayoritas kejadian dialami oleh korban saat berada di fasilitas umum, seperti pasar, terminal, bahkan kampus. Kekerasan verbal menduduki posisi ke-3 dalam daftar kekerasan yang diderita perempuan setelah kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi.
Saya sendiri meyakini jumlah tersebut lebih banyak yang sesungguhnya terjadi. Tetapi, banyak yang enggan melaporkannya lantaran malu atau takut dengan stigma sosial. Inilah hal yang membuat kekerasan verbal masih merajalela sehingga tetap meredupkan dampaknya yang sangat besar bagi psikis perempuan.
Waktunya Memutus Rantai Normalisasi Candaan Seksisme
Kasus di atas tak pelak membangunkan publik betapa candaan seksisme tidak lagi dipandang remeh. Hidup dan tinggal di negara yang kental dengan budaya patriarki, kita perlu bergerak bersama secara jangka panjang. Berikut contoh solusinya.
Pertama, menegur siapa saja yang melontarkan candaan seksisme. Jangan ragu untuk menegur siapa saja yang Anda dapati memberikan candaan seksisme ke perempuan di tempat umum. Lantanglah bersuara ke mereka yang melakukannya agar tidak lagi merasa tindakan mereka wajar. Usir keraguan untuk melakukan konfrontir jika si pelaku malah merasa tersinggung dan seolah mengajak ribut. Langkah tegas ini kemungkinan dapat menyulut keramaian tetapi kadang kala situasi seperti ini menjadi perlu demi meningkatkan kewaspadaan bersama.
Kedua, bersuara di media sosial. Jika Anda termasuk yang takut menegur secara langsung, gunakan media sosial untuk berkampanye melawan kekerasan verbal. Anda bisa menggunakan desain dan kata-kata sendiri tergantung kreativitas yang dimiliki. Dengan cara sederhana ini, Anda bisa mengajak rekan sesama perempuan agar berani bersuara untuk lingkungan mereka masing-masing. Paling tidak dengan kebersamaan ini perempuan meyakini mereka tidak sendiri berjuang demi tegaknya hak asasi perempuan.
Ketiga, mendidik anak laki-laki agar menghormati perempuan
Pendidikan anti kekerasan verbal sejatinya berakar di rumah. Anda yang sebagai orang tua sebisa mungkin didik dan ajarkan agar anak laki-laki dan perempuan menghormati hak asasi orang lain. Caranya dengan mencontohkan perilaku hormat dan tidak menggunakan kalimat bernada seksisme ke siapa saja, termasuk saat bercanda. Ajak buah hati memilih kata dan kalimat yang aman untuk berkomunikasi, termasuk bercanda ke siapa saja.[]