Pos

Bencana Alam: Ujian atau Rahmat? – Redefinisi Bencana Alam dalam Perspektif Islam

Rumah KitaB– Tidak dapat dipungkiri bahwa kerusakan ekologis adalah problematika yang sangat kompleks bagi manusia modern saat ini. Rentetan kejadian-kejadian bencana alam dan tanda-tandanya telah menjadi keresahan bersama, “Akankah kepunahan manusia terjadi dalam waktu dekat?” Bila kita bertolak pada Q.S Ar Rum ayat 41, bencana alam dan tanda-tanda kerusakan alam itu sengaja Tuhan hadirkan sebagai pengingat betapa manusia telah berbuat kerusakan di daratan dan lautan. Lalu, apa arti bencana alam dalam pandangan Islam itu sendiri?

“Bencana Alam” sebagai sebuah term seringkali disalahpahami. Penyebutan bencana alam selalu diwarnai dengan konotasi negatif. Hal ini dapat dilihat dari cara penyebutan “Korban Bencana Alam,” yang disematkan kepada orang-orang yang terkena dampak bencana alam. Seakan-akan manusia adalah korban dari kejahatan bencana alam, dan bencana alam adalah pelaku kejahatan tragis dan bengis terhadap manusia. Padahal, bencana alam tidak sepenuhnya terjadi karena fenomena alam semata, tetapi juga ada kaitannya dengan tindak tanduk hasil perbuatan manusia. Sebab pada hakikatnya, manusia tetaplah yang dimintai pertanggungjawabannya. Q.S Al Baqarah ayat 30 menggariskan manusia sebagai khalifatul fil Ard, yang memimpin dan mengelola bumi, baik bagi yang bernyawa (hewan, tumbuhan, dsb) maupun yang tidak bernyawa (air, tanah, udara, dsb).

Alih-alih memandang bencana alam sebagai hubungan relasional antara korban dan pelaku, lebih patut jika kita melihat bencana alam melalui dua pendekatan. Pertama, bencana alam sebagai fenomena alam yang berfungsi sebagai pengingat dan penyeimbang, sebagai siklus yang menjaga bumi (misalnya gempa bumi, gunung meletus, tsunami). Kedua, bencana alam yang hadir sebagai konsekuensi dari hasil ulah tangan manusia (misalnya banjir, tanah longsor, kekeringan). Keduanya memiliki fungsi masing-masing.

Khusus untuk bencana alam yang disebabkan oleh ulah manusia, al-Qur’an telah jelas melarang manusia berbuat kerusakan. Hal ini tertera pada Q.S Al A’raf ayat 56 yang berbunyi, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” Sedangkan untuk bencana alam yang merupakan bagian dari fenomena alam, hal itu adalah sunnatullah, sebab apa yang terjadi adalah ciptaan Allah yang tidak pernah sia-sia, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S Ali Imran 191, “Rabbana ma khalaqta hadza batila, subhanaka fakina ‘adza bannar.”

Lalu, bagaimana al-Qur’an memaknai bencana alam itu sendiri? Adakah penggalian hikmah di dalamnya?

Penggalian makna bencana alam dalam al-Qur’an sangat penting. Ini akan meredefinisi makna bencana alam yang mungkin telah terdistorsi. Orang terdahulu memandang bencana alam sebagai tragedi yang sakral dan filosofis, sedangkan orang modern cenderung menolak hal tersebut. Bencana alam kini dianggap bersifat profan dan tidak memerlukan tradisi khusus untuk menghadapinya. Manusia modern menggunakan pendekatan logis, yakni dengan membaca ciri-ciri dan menghindari bencana alam itu sendiri. Meskipun saya sepakat bahwa bencana alam tidak layak disakralkan, namun pendalaman terhadap nilai filosofis bencana tetap perlu untuk kita perhatikan.

Jika kita mengacu pada Kisah Nabi Nuh tentang banjir bandang sebagai bencana yang Allah kirimkan kepada umat manusia, kita bisa melihat bahwa bencana itu tidak datang serta-merta. Bencana tersebut merupakan bagian dari konsekuensi akibat keburukan umat Nuh, yang menolak ajaran Nabi Nuh dan justru mengikuti orang-orang kaya yang berbuat kerusakan dan tipu daya besar (Q.S Nuh ayat 21-22). Ini relevan dengan masyarakat modern yang sering berpaling dari ajaran Islam dan berlomba-lomba mengejar kehidupan hedonis, mencintai orang kaya akan harta benda. Padahal mereka itulah yang sering berbuat kerusakan terhadap bumi. Oleh karena itu, Tuhan mengutus Nabi Nuh untuk membuat bahtera melalui bimbingan-Nya. Dan Allah menjanjikan keselamatan bagi mereka yang mengikuti Nuh, yakni keluarganya dan orang-orang yang beriman (Q.S Hud ayat 37-49).

Selain itu, jika kita merujuk pada kata kunci المصيبة (al-mushibah) dalam al-Qur’an, Q.S al-Hadid ayat 22 dapat dimaknai dengan tepat,
Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.
Dengan demikian, jelas bahwa pandangan kita terhadap musibah atau bencana alam sebagai konotasi negatif adalah tindakan yang tidak bijak. Apa yang terjadi dalam bencana adalah bagian dari ketetapan Tuhan, dan sebagaimana dinyatakan dalam Q.S Ali Imran 191, bahwa segala yang telah Tuhan ciptakan tidaklah sia-sia.

Bahkan dalam hadist Nabi, musibah atau bencana alam yang menimpa orang-orang salih adalah bagian dari penggugur dosa-dosanya,
“Tidak ada satupun musibah (cobaan) yang menimpa seorang Muslim, melainkan dosanya dihapus Allah Ta’ala karenanya, sekalipun musibah itu hanya karena tertusuk duri.”
Hal ini juga diperkuat dengan hadist lainnya mengenai musibah,
“Jika suatu musibah menimpa seseorang dari kalian, maka bayangkanlah musibah itu menimpaku, maka hal itu adalah termasuk musibah yang terbesar.”
Hadist ini mengajarkan kita tentang kesabaran dalam menghadapi musibah, bahwa musibah yang kita terima adalah bagian dari musibah kecil dibandingkan dengan yang menimpa Rasulullah.

Pada akhirnya, Islam memberikan makna yang mendalam terhadap bencana alam atau musibah. Bencana lebih luas dari sekadar fenomena alam yang dipahami oleh orang modern saat ini, tetapi juga sebagai ketetapan Tuhan. Bencana alam berfungsi sebagai pengingat agar manusia kembali ke jalan-Nya dan sebagai penggugur dosa-dosa bagi orang-orang salih yang menanggungnya. Sikap kita seharusnya adalah meyakini dan mengamalkan al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk hidup, sebagaimana bahtera Nabi Nuh yang membawa keselamatan bagi hewan-hewan, keluarganya, dan orang-orang beriman. Islam memaknai bencana dengan cara yang bijak, dimana alam dan manusia memiliki status yang sama sebagai makhluk yang berada dalam ketetapan Allah. Bahkan manusia memiliki tugas untuk mengelola dan memimpin ciptaan Allah di muka bumi, yang kemudian akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Wallahu a’lam bishawab. []

Bisakah Agama Menjadi Juru Selamat bagi Bumi yang Sekarat?

Suhu bumi makin tinggi. Lima tahun terakhir adalah suhu terpanas dalam sejarah sejak 1850. Tak tanggung-tanggung, di beberapa negara kenaikan suhunya mencapai 5 derajat. Gletser mulai mencair dan merobohkan gunungan es. Namun, di belahan dunia yang lain, bencana kekeringan menyebabkan gagal panen, kelaparan, hingga kematian. Sementara itu, manusia adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas hal ini. Data ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Laporan ini merupakan studi yang diluncurkan oleh para ilmuwan sebelum pertemuan iklim penting di Glasgow, Skotlandia, the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26).

Fenomena semacam ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh para cendekia. Pada tahun 1985, Jill Jäger, seorang ilmuwan lingkungan, menghadiri pertemuan di sebuah kota kecil di Pegunungan Alpen Austria. Pertemuan yang dipimpin oleh ahli meteorologi bernama Bert Bolin ini merupakan pertemuan kecil para ilmuwan iklim yang bertujuan membahas hasil salah satu penilaian internasional pertama mengenai potensi perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

Manusia harus lebih bijak dalam menghuni bumi. Tapi, bukankah manusia memang selalu bebal? Selalu tak pernah percaya dengan peringatan-peringatan, baik dari sesama manusia maupun dari Langit (Tuhan). Manusia pada abad sebelum Masehi pernah berkata bahwa bumi adalah ibu. Sebuah penggambaran bahwa bumi adalah ibu kosmik manusia. Jagalah bumi, karena sesungguhnya ia adalah ibumu. Sesungguhnya, tidak ada satu pun yang memperlakukannya (bumi) dengan baik atau buruk kecuali dia (bumi) melaporkannya kepada Allah Swt. (al-Mu’jam al-Kabîr li َath-Thabrani, no. 4595).

Pun, dalam pondasi Islam yang terbangun dalam kalimat tauhid, dijelaskan secara terang benderang bahwa tiada tuhan selain Allah—yang artinya bahwa selain Allah adalah ciptaan. Tak peduli apakah itu alam, hewan, atau manusia sekalipun. Itu artinya manusia sama derajatnya dengan gunung, hutan, dan sungai. Demikian pula, manusia setara dengan kambing, gajah, ayam, dan babi sekalipun. Alam, hewan, dan manusia sama di hadapan Khaliq (Pencipta) sebagai makhluk (ciptaan). Ketiganya adalah saudara. Manusia, yang dibekali dengan akal, merasa lebih unggul dari saudaranya yang lain, sehingga memperlakukan alam semesta sebagai sapi perah melebihi dari kebutuhan mereka sendiri, hingga sampai pada tahap keserakahan. Tanpa ampun.

Keserakahan dan ketamakan manusia ini mengantarkannya pada bencana. Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, menyebutkan bahwa sebanyak 1.862 bencana yang terjadi di Indonesia sepanjang Januari-Juli 2023 disebabkan oleh faktor perbuatan manusia.

Siapa lagi yang paling terdampak kalau bukan kelompok perempuan dan anak-anak? Perempuan, dalam tradisi masyarakat patriarki, dibebankan tanggung jawab untuk mengurus persoalan domestik dan memastikan seluruh kebutuhan rumah tangga terpenuhi. Di Lombok Utara, misalnya, kelangkaan air karena kekeringan menyebabkan perempuan berada dalam kondisi yang putus asa, karena kelangkaan air membuat emosi mereka naik turun. Dalam kondisi ini, laki-laki menuntut agar semua kebutuhan domestik terpenuhi tanpa mau tahu bagaimana prosesnya. Keadaan semacam ini pada akhirnya menyebabkan hubungan keluarga tak lagi harmonis. Selain itu, kelangkaan air menyebabkan anak-anak usia sekolah merasa minder untuk berangkat ke sekolah. Mereka merasa tidak pantas pergi ke sekolah karena kondisi tubuh yang kumal dan bau. Tak heran jika angka putus sekolah menjadi tinggi. Belum lagi masalah kesehatan reproduksi; kelangkaan air membuat perempuan terancam kesehatannya.

Sebegitu besar krisis ekologi yang melanda ruang hidup kita, agama seolah dianggap tak memiliki peran apapun. Padahal, agama memiliki fungsi strategis dalam perawatan lingkungan hidup. Oleh karena itu, agama seharusnya mengambil perannya dan lebih menggerakkan elemen agama untuk menjaga alam. Absennya narasi agama dalam isu krisis dan kerusakan lingkungan di antaranya terjadi karena masih minimnya kajian yang menelusuri khazanah pemikiran Islam dan menawarkan pembaruan dalam interpretasi teks-teks keagamaan terkait perawatan lingkungan.

Di Indonesia, pengajaran agama Islam ditransmisikan melalui berbagai macam cara. Paling umum ditemui di kalangan masyarakat adalah majelis taklim dan pesantren. Ini adalah ruang belajar kolosal yang terpusat pada satu figur tokoh agama atau pengasuh yang membahas persoalan-persoalan keseharian terkait agama. Dengan jumlah penganut agama Islam sebanyak 244,41 juta, tak mengherankan jika data yang dihimpun oleh Dirjen Bimas Islam mencatat jumlah majelis taklim mencapai 994.000 dan 39.167 pesantren. Data ini kemungkinan besar akan terus bertambah karena masih banyak yang belum terdaftar.

Ruang agama, seperti majelis taklim dan pesantren, memiliki peran yang sangat vital, bukan hanya dalam transmisi pemahaman keagamaan tetapi juga membumikan kebijakan strategis pemerintah. Pada saat pandemi, misalnya, tokoh agama dan ulama, khususnya yang memiliki majelis taklim dan pesantren, mempunyai peran signifikan dalam mensosialisasikan pentingnya jaga jarak sosial untuk menghalangi penyebaran virus COVID yang lebih masif, hingga pentingnya vaksin—dan menekankan bahwa vaksin COVID adalah halal bagi masyarakat dan jemaah. Dengan potensi ini, agama dapat berperan—melalui tokoh agamanya—sebagai juru bicara paling efektif dalam perawatan dan pemulihan lingkungan yang telah rusak karena keserakahan manusia.