Politik dalam Khazanah Islam
POLITIK makna asalnya (dalam bahasa Yunani) adalah “mengatur kota”. Pengaturan kota di sini bisa melalui partisipasi “warga” dalam jajak pendapat dan pengambilan keputusan. Pada pendapat warga itulah terlahir sebuah legitimasi atau pengakuan atas sebuah kewenangan dari seseorang yang kemudian dikenal dengan konsep pemimpin.
Dalam sejarah peradaban, makna tersebut tidak berbeda dengan makna politik saat ini tentang negara. Makna sebuah negara modern tentu lebih besar daripada sebuah “kota”, lebih kompleks bersamaan dengan fungsi-fungsi yang lebih luas. Tetapi tidak ada salahnya kalau kita meletakkan negara pada posisi “kota” sebagaimana definisi di atas, dan karenanya kita bisa mengatakan: politik adalah mengatur masalah-masalah negara.
Masalah-masalah negara sangat banyak dan bercabang-cabang, di antaranya mengenai masalah-masalah kenegaraan (menjaga batas-batas, kesatuan tanah air, rakyat), dan masalah-masalah kehidupan kebangsaan (kepentingan-kepentingan ekonomi, independensi politik, tradisi kebudayaan).
Di antara fungsi kenegaraan sebagai institusi yang mewakili umat dalam menjalankan kekuasaan adalah menjaga keamanan, menjamin hak dan kebebasan, mewujudkan keadilan, dan mencanangkan kemajuan bagi para warganya. Fungsi lainnya adalah menjalin hubungan dengan negara-negara lain guna menjaga kepentingan-kepentingan eksternalnya, termasuk juga ekonomi, strategi dan lain sebagainya, hingga menjaga keamanan dan perdamaian dunia.
Melihat fungsi politik yang sedemikian banyak, maka politik jelas mempunyai peranan sangat signifikan dalam kehidupan orang banyak. Politik, atau pengaturan masalah-masalah negara, merupakan aktivitas yang akan dapat terlaksana dengan baik melalui pemberian kebebasan kepada seluruh warga negara, baik dari rasa takut maupun dari segala kekurangan. Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) yang dimaksud di sini adalah kebebasan dalam berbicara, menyatakan pikiran dan pendapat dan kebebasan berserikat maupun berkumpul secara damai yang tentu saja perlu dijamin dalam aturan bernegara itu sendiri. Sementara dari sisi lain, kebebasan dari segala kekurangan (freedom from want) dimaksudkan agar menjamin kesetaraan dan kesejahteraan warga yang tentu saja merupakan kepentingan serta tujuan dari mengapa manusia membentuk negara.
Di masa klasik Islam, makna dari otoritas politik kerap dimanifestasikan dalam bentuk negara “khilafah”. Sebuah bentuk negara teokrasi yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memegang otoritas penuh, baik dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia atau agama. Apakah sesederhana penjelasan umum yang demikian? Bagaimana sebenarnya?
Di sini kita perlu membahas masalah khilafah. Masalah ini akan mengalihkan perhatian kita pada masalah-masalah tentang akar kekuasaan dan sistematisasi negara Islam. Problem khilafah sudah memantik suatu upaya yang boleh dibilang berani dari seorang pemikir Mesir Syaikh Ali Abdur Raziq tahun 1925, yaitu sekularisasi pemikiran Islam.
Jika kita bicara tentang kekuasaan mengatur (rule) dan otoritas (authority), maka setidaknya terdapat empat istilah yang perlu diselidiki. Istilah pertama adalah al-imâm atau “leader”, yang secara definitif seringkali berarti seseorang yang memimpin umat Muslim dalam shalat dengan menghadap Ka’bah atau bisa dikatakan bahwa al-imâm adalah pemimpin rohani. Istilah kedua adalah “al-khalîfah” atau “successor”, yang berarti pemimpin umat Muslim yang menggantikan posisi kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. setelah wafat. Adapun istilah yang ketiga yaitu al-amîr atau “command” bisa diartikan sebagai pemegang komando dan biasanya dikenal dalam keadaan tertentu, misalnya perang. Sedangkan istilah yang keempat adalah al-sulthân, yang mempunyai arti seseorang yang menjalankan dan menangani kekuasaan dalam artian politik yang bersifat duniawi.
Keempat istilah ini tak bisa disamaratakan sebagai konsep yang lahir dari sejarah Islam, apalagi jika dikatakan berasal dari al-Qur`an. Itu adalah dua konteks yang harus dibedakan agar kita memahaminya secara adil. Keempat istilah di atas juga berbeda antara satu sama lain, meski seringkali dipahami secara saling tumpang tindih. Dua istilah pertama biasanya diartikan mengandung tanggungjawab-tanggungjawab spiritual, sedangkan dua istilah yang kedua lebih bersifat non-spiritual atau bisa diartikan sebagai menjalankan kekuasaan atau kewenangan yang diperoleh dari pemberian legitimasi dan jalan kekuatan serta berlangsung berkat adanya kekuatan tersebut.
Meski dengan ini kita dapat melihat perbedaan antara al-imâmah (kepemimpinan) maupun al-khilâfah (kekhalifahah) dengan al-sulthânah (kesultanan, kerajaan), dalam sejarah pun kita menemukan penggunaan seluruh istilah itu kerap bercampur aduk dan bertumpang tindih. Istilah al-imâmah bisa ditemukan dalam kisah Nabi Saw. dan tertuang dalam rujukan fikih. Di masa Nabi Muhammad Saw, seorang imam bisa memimpin ibadah agama atau kegiatan spiritual sekaligus memimpin komunitasnya. Setelah Nabi Saw wafat istilah al-khilâfah lebih disoroti guna merujuk kepemimpinan Abu Bakar dan para sahabat yang menggantikan peran kepemimpinan Nabi Saw (successor).
Demikian pula istilah al-amr yang terkenal di masa Umar ibn al-Khatthab. Al-Qur`an menyebutkan tentang otoritas politik dalam makna seperti yang populer saat ini dengan kata “al-amr”. Dari kata ini kemudian muncul “al-amîr”, yaitu orang yang memegang kendali kekuasaan dan pemerintahan. Itulah sebabnya Umar ibn al-Khatthab menyebut dirinya Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman) yang juga dijadikan sebutan untuk dua khalifah setelahnya (Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib).
Masing-masing kekhalifahan berlangsung selama periode yang bervariasi. Dari periode yang tersingkat hanya 2 tahun di bawah Abu Bakar al-Shiddiq, lalu 10 tahun di bawah Umar ibn Khattab lalu berakhir dengan pembunuhannya, 12 tahun di bawah Ustman ibn Affan yang juga dibunuh, dan sekitar 3-5 tahun di bawah Ali ibn Abi Thalib yang juga berakhir dibunuh. Keseluruhan dinamika kekhalifahan mereka memperlihatkan adanya tarik menarik kekuasaan yang keras sehingga diwarnai dengan pembunuhan politik (political assassination).
Dalam perkembangan peradaban di kemudian hari, setelah satu generasi dari wafatnya Nabi Saw., kepemimpinan oleh seorang khilafah menjadi warisan turun-temurun sejak awal masa pemerintahan Umawiyah pada tahun 660 M. Dinamika pertarungan kekuasaan di masa-masa kemudian pun tidak jauh berbeda dengan masa kekhalifahan. Istilah kekuasaan berbasis khalifah kemudian menjadi bercampur aduk dengan model kepemimpinan seorang kaisar di Persia atau Roma yang dalam sejarahnya juga diwarnai konflik-konflik politik dan menelan korban. Salah satu sebabnya adalah kepemimpinan yang otoriter, baik dalam bentuk pemerintahan berbasis khalifah maupun kaisar atau kesultanan. Bentuk suatu pemerintahan dan praktik kepemimpinan dalam sebuah pemerintahan tersebut menjadi hal yang paradoks. Kisah sejarah para sultan Turki yang mengklaim dirinya sebagai pewaris khilafah juga turut membuat pengertian atas konsep al-imâmah, al-khilâfah, al-sulthânah, dan al-amr semakin dapat disalahartikan.
Dalam sejarah, dari keempat konsep yang disebutkan di atas, al-khilâfah adalah konsep yang paling sering diperbincangkan, diikuti, sekaligus disalahartikan. Para khalifah dan para ahli fikih berpijak pada sebuah perspektif—meskipun secara implisit—yang mengatakan bahwa khalifah merupakan pewaris hak-hak Nabi, sehingga fikih Islam tampak hanya tertarik kepada masalah kepemimpinan sang khalifah berikut hak-haknya, dan sedikit sekali menaruh perhatian pada hak-hak rakyat. Kecenderungan ini juga terjadi dalam sejarah kekuasaan yang berbasis non-kekhilafahan.
Selama sejarah kekhilafahan Islam penerapan politik selalu saja bisa bertentangan dengan kepentingan-kepentingan manusia. Kecenderungan ini terlihat pada sepanjang sejarah kekuasaan maupun kepemimpinan di bawah kesultanan dan kekaisaran di masa lalu dan pada era kekuasaan politik modern di bawah konsep republik maupun demokrasi. Keadilan, harta, dan otoritas keagamaan seringkali menjadi milik pribadi seorang pemimpin, serta ditafsirkan secara sepihak oleh sang pemimpin, atau menjadi hak anak-anaknya dan para menterinya. Di titik inilah kita perlu secara adil menempatkan ambiguitas konsep kepemimpinan dari istilah al-imâmah, al-khilâfah, al-sulthânah, dan al-amr.
Dengan pemahaman yang salah terhadap sejarah peradaban Islam, agama dan al-Qur`an serta pandangan-pandangan tradisional dan imajinasi yang belum tentu terjadi di kehidupan Nabi berikut para shahabat, praktik atas konsep khilafah seringkali kembali kepada keadaan semula, yaitu kekuasaan kabilah, di mana orang-orang Quraisy (orang-orang Umawiyah, Abbasiyah dan para pendukung Ali ibn Abi Thalib) mulai masuk ke dalam konflik atas dasar bahwa khilafah hanya merupakan hak anak-anak dan keturunan-keturunan mereka saja, sebab mereka termasuk dari kabilah Nabi Saw. Sehingga khilafah hanya dikuasai oleh politik dinasti, yaitu kabilah Quraisy selama sembilan abad, yang memang sulit dipungkiri dimulai dari al-Khulafa` al-Rasyidin, kemudian dinasti Umawiyah, dinasti Abbasiyah dan setelah itu dinasti Fathimiyah.
Kendati kondisi-kondisi historis dan sosial mengalami perubahan, konsep dan praktik atas konsep itu menjadi semakin rumit ketika banyak orang kemudian memahaminya sebagai perintah agama, sunnah Nabi dan syariat Allah. Benar-benar menjadi semakin rumit ketika di masa lalu, praktik kekuasaan politik berbasis dinasti dan kesukuan sangat kuat sehingga pada suatu masa kekuasaan kekhilafahan, orang-orang non-Arab—lebih tepatnya orang-orang non-Quraisy Arab tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam politik dan mengurus masalah-masalah pemerintahan.
Pandangan fikih klasik sering menegaskan bahwa kekuasaan orang-orang non-Quraisy terhadap umat Muslim tidak dibenarkan. Padahal, paling tidak menurut sunnah, sebenarnya khilafah bukanlah sebuah sistem keagamaan. Perubahannya menjadi sistem keagamaan telah terjadi pada perkembangan berikutnya, yang oleh para ahli fikih dianggap sebagai “penjaga agama dan pengatur masalah-masalah dunia”. Hal ini telah melahirkan keyakinan di kalangan orang-orang awam bahwa para khalifah adalah ma’shûm (terpelihara dari dosa) dalam ucapan dan perbuatan mereka.
Sifat kekuasaan yang pragmatis dalam pemerintahan Islam, yang secara umum hanya terpusat pada satu ras tertentu yaitu Quraisy, dan secara khusus pada keluarga Nabi Saw., juga mendorong para khalifah ketika itu memerangi negara-negara lain guna melindungi hak-hak kekuasaan atau menambah kekuatan dan mengembangkan sumber penghasilan.
Kendati tujuan ekspansi-ekspansi yang dilakukan kerap berdalih untuk menyebarkan Islam, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Orang-orang Mesir, sebagai contoh, tetap memeluk agama lama mereka selama lebih dari tiga abad setelah ekspansi Islam, kemudian di Andalusia banyak dari penduduk yang masih memeluk agama Kristen selama pemerintahan Islam yang berlangsung selama tujuh abad.
Meskipun non-Muslim tidak mendapat tekanan di bawah pemerintahan Islam di negara-negara taklukan, tetapi keadaan mereka tetap dibedakan dengan orang-orang Arab. Benar bahwa mereka bebas melakukan ritual-ritual keagamaan, namun mereka sama sekali tidak bebas melaksanakan hak-hak sipil politik atau hak-hak ekonomi, sosial dan budaya seperti membangun tempat-tempat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan secara terang-terangan. Akibatnya, sebagian warga yang tertindas membuat aliran-aliran keagamaan khusus, dan banyak dari mereka—setelah masuk Islam—mengaku-ngaku Nabi dengan tujuan mendapatkan ketenaran dan kekuasaan atau harapan untuk mendapat keselamatan.
Dalam skala ekstrim, banyak dari para khalifah dengan orang-orang kepercayaan, para menteri serta para hakimnya yang anti terhadap pendidikan atau kebudayaan luhur di luar apa yang mereka tafsirkan sebagai Islam. Mereka melarang pendidikan yang dianggap tak sesuai Islam, mereka lebih suka model pendidikan yang terkontrol dan tidak menimbulkan ancaman bagi kepentingan status quo kekuasaan. Akibatnya adalah terjadi kebodohan dan kemunduran politik yang besar dari peradaban Islam. Kekuasaan yang membatasi hak-hak dan kebebasan warga negara meskipun Muslim, dan sekalipun hanya sekedar menghafal ayat-ayat al-Qur`an dan beberapa hadis Nabi, tentunya memberangus pandangan-pandangan yang bertentangan dengan ahli fikih yang dekat dengan kekuasaan ketika itu.
Demikianlah kita melihat bagaimana konsep dan praktik atas otoritas politik berbentuk negara khilafah tampak bertentangan dengan al-Qur`an yang mengajarkan keadilan sosial, hak-hak dan kebebasan asasi manusia, hingga tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Dengan catatan bahwa prinsip-prinsip dasar dari konsep ideal manusia atas kekuasaan, sebagai contoh dalam hal ini kekhilafahan memang banyak diambil dari ajaran agama seperti al-Qur`an. Di titik ini, ajaran “Lâ hukma illâ Allâh”, yang dari sini muncul konsep “hâkimiyyatullâh” seringkali diulang-ulang oleh para khalifah—setelah masa-masa al-Khulafa` al-Rasyidin. Hal ini kemudian menimbulkan kesan keidentikan antara konsep kekhilafahan dengan perintah al-Qur`an. Dalam masa terjadinya penyimpangan kekuasaan—kekhilafahan sekalipun—ajaran-ajaran agama memang sering dijadikan topeng yang menutupi tujuan-tujuan pribadi mereka, dan menjustifikasi kezhaliman-kezhaliman mereka terhadap rakyat.
Padahal kata “al-hukm” di dalam al-Qur`an tidak bermakna otoritas politik (al-sulthah al-siyâsîyyah), atau makna sistem kekuasaan monolitik yang saat ini lagi berkembang. Kata-kata “Lâ hukma illâ Allâh” (tiada hukum kecuali Allah) dengan makna yang politis, sebenarnya bukan dari Islam, dan al-Qur`an juga tidak mengenalnya. Pandangan semacam ini sama seperti pandangan yang muncul pada masa Mesir kuno, kemudian menyebar dalam masyarakat-masyarakat Kristen di abad-abad petengahan. Dan yang terpenting ialah bahwa kata “al-hukm” dalam bahasa al-Qur`an berarti menegakkan keadilan di antara manusia [QS. al-Nisa`: 58]. Di ayat lain berarti menyelesaikan perselisihan [QS. al-Zumar: 3]. Juga berarti nasehat dan hikmah [QS. al-Syu’ara`: 21]. Sama sekali tidak ada yang mempunyai arti otoritas politik.
Akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya, apapun itu bentuk negara, tidak menjadi soal. Tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika otoritas politik disalahgunakan, atau dijadikan senjata ampuh untuk memeras dan menindas rakyat serta berbuat kerusakan di muka bumi melalui eksploitasi sumber daya alam yang hanya diperuntukkan bagi keuntungan segelintir elite penguasa dan para pebisnis yang mendapat perlindungan mereka. Tujuan utama pendirian sistem politik bukanlah penguasaan, pemaksaan atau penundukan rakyat untuk kepentingan para penguasa dan segelintir orang yang kaya-raya, tetapi pembebasan dari rasa takut (liberation from fear) dan pembebasan dari segala kekurangan (liberation from want), sehingga setiap orang dapat hidup dalam keadaan damai dan dalam kemuliaan martabatnya sebagai manusia (al-karamah al-insânîyyah). Tujuan dari sebuah sistem politik bukan mengubah manusia menjadi makhluk pemangsa atau alat pemuas nafsu penundukan, tetapi antara lain untuk mencapai keselamatan jiwa, hak hidup dan kehormatan manusia (hifzh al-nafs wa al-‘irdh), hingga menjaga akal pikiran (al-‘aql) sehingga tidak akan terjadi keterbelakangan, artinya bahwa sebenarnya tujuan daripada sistem politik adalah kebebasan dan keadilan, sebagaimana diajarkan di dalam al-Qur`an.[]