Ngaji Kitab “Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm” Karya Syaikh Ali Abdurraziq
KITAB “Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm” karya Syaikh Ali Abdurraziq bertujuan menegaskan kembali bahwa Islam adalah agama spiritual, tidak ada kaitannya dengan politik, atau lebih tepatnya, tidak ada legalisasi politik di dalamnya. Politik adalah perkara duniawi, manusia punya hak menentukan sarana dan dasarnya. Ia berpandangan bahwa sistem khilafah yang dinisbatkan kepada Islam sesungguhnya bukan bagian dari Islam, melainkan hasil rumusan umat Muslim di masa-masa setelah Nabi Saw.
Konteks Historis Kitab “Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm”
Kitab ini terbit pada masa keruntuhan Khilafah Utsmaniyah. Saat itu negara-negara Arab sedang berada di bawah kekuasaan Eropa, sehingga mengobarkan semangat dan antusiasme di kalangan umat Muslim untuk kembali menghidupkan Khilafah Islamiyah, dan salah satu negara yang dicalonkan menjadi negara khilafah adalah Mesir. Dan pada masa itu pula banyak sekali pemimpin di dunia Arab yang menginginkan posisi khalifah.
Pada masa itu umat Muslim di negara-negara Arab merasakan kekosongan yang amat sangat mendalam, dan keadaan yang menimpa mereka itu harus segera ditangani. Maka pada tahun 1925 M Al-Azhar di Mesir mengajak para pemuka agama menyelenggarakan muktamar di Kairo untuk membahas masalah khilafah. Muktamar tersebut menghasilkan keputusan bahwa kedudukan khilafah sangat urgen (mendesak) bagi umat Muslim dalam rangka persatuan mereka. Namun, supaya kedudukan tersebut efektif, seorang khalifah harus mampu memadukan antara otoritas agama dan otoritas sipil. Dan saat itu ada kecenderungan untuk menobatkan Raja Fuad I (Raja Mesir) sebagai khalifah bagi seluruh umat Muslim.
Di tengah situasi seperti itu, Syaikh Ali Abdurraziq meluncurkan buku kontroversialnya yang bertajuk “Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm”. Di dalamnya ia mengulas masalah khilafah secara ringkas, ia mengatakan bahwa Khilafah Islamiyah bukan merupakan salah satu dasar Islam (laysat ashl-an min ushûl al-Islâm), melainkan lebih merupakan masalah duniawi dan politik ketimbang masalah agama. Baik di dalam al-Qur`an maupun hadits tidak ada penjelasan tegas mengenai penentuan dan pemilihan khalifah. Lebih jauh ia mengatakan, “Sejarah menjelaskan bahwa khilafah justru menjadi bencana bagi Islam dan umat Muslim, sumber keburukan dan kerusakan.”
Dampak peluncuran kitab tersebut sangat besar pada masa itu, banyak sekali ulama yang menulis sanggahan ilmiah terhadapnya. Bahkan Raja Fuad I sendiri merasa bahwa Syaikh Ali Abdurraziq akan mumutus jalannya meraih posisi khalifah. Dengan kekuasaannya Raja Fuad I membuat keputusan keras yang disepakati oleh para syaikh dan ulama Universitas Al-Azhar untuk mengusir dan mengeluarkan Syaikh Ali Abdurraziq dari Universitas Al-Azhar, memecatnya dari jabatannya sebagai hakim di pengadilan, bahkan semua ijazah dan gelar akademiknya dicabut dari Universitas Al-Azhar.
Kandungan Kitab “Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm”
Kitab “Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm” dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas mengenai masalah khilafah dan Islam. Bagian kedua membahas tentang masalah pemerintahan dan Islam. Sedangkan bagian ketiga membahas tentang khilafah di dalam sejarah.
Syaikh Ali Abdurraziq memulai bagian pertama kitabnya dengan membahas khilafah dan karakteristiknya. Menurutnya, secara terminologis khilafah adalah, “Kepemimpinan umum menyangkut perkara-perkara agama dan dunia mewakili (atas nama) Nabi Saw.” Kemudian ia menjelaskan makna khilafah, apakah khalîfatullâh (mewakili Allah) atau khalîfaturrasûl (mewakili Nabi)? Ia mengatakan, “Adapun mengenai penamaan khalîfatullâh, sebagian ulama membolehkannya, sementara mayoritas dari mereka melarang. Abu Bakr al-Shiddiq menolaknya ketika ia dipanggil dengan sebuatan itu (khalîfatullâh).” Ia mengisyaratkan bahwa posisi khalifah di tengah-tengah umat Muslim sama seperti posisi Rasulullah Saw. yang punya kekuasaan umum dan khusus, dan harus dipatuhi baik secara lahir maupun batin.
Pada bagian ini Syaikh Ali Abdurraziq menyebutkan dua mazhab umat Muslim terkait sumber otoritas seorang khalifah. Pertama, yang populer di kalangan umat Muslim, bahwa otoritas seorang khalifah bersumber dari Allah. Kedua, yang masih diperdebatkan dan menjadi bahan pembicaraan di kalangan ulama, bahwa sumber otoritas seorang khalifah adalah umat. Umatlah yang memilihnya menjadi khalifah.
Para Ahli Fikih dan Politik
Ketika membahas mengenai posisi khilafah bagi umat Muslim, Syaikh Ali Abdurraziq mempertanyakan sumber otoritas yang diberikan kepada seorang khalifah. Ia mengatakan bahwa secara umum para ahli fikih tidak memberikan jawaban mengenai persoalan tersebut, sebagaimana halnya mereka juga tidak punya minat untuk membahas berbagai persoalan politik. Ia merasa aneh karena secara keilmuan para ahli fikih tidak memberikan perhatian terhadap persoalan politik. Mereka membiarkan salah satu bagian ilmu pengetahuan itu tanpa menyentuhnya, di samping bahwa mereka juga masih malu-malu membahas mengenai tata kelola pemerintahan. Padahal mereka juga membaca khazanah intelektual para pendahulu mengenai ilmu politik, khususnya filsafat Greek (Yunani) yang banyak mempengaruhi umat Muslim. Syaikh Ali Abdurraziq mengatakan,
Kenapa mereka tampak kebingungan dengan ilmu [politik] itu dan tampak ragu-ragu untuk mengkajinya? Kenapa mereka mengabaikan buku Republic karya Plato dan Politics karya Aristoteles, padahal mereka sangat mengagumi Aristoteles dan menjulukinya sebagai Guru Pertama? Kenapa mereka membiarkan umat Muslim dalam ketidaktahuan akut mengenai prinsip-prinsip politik dan ragam [sistem] pemerintahan di Yunani, padahal merekalah yang merestui umat Muslim menggunakan metode-metode Suryani di dalam ilmu nahwu, dan mengajari mereka mengenai sejenis olah raga India sebagaimana di dalam buku Kalilah wa Dimnah? Bahkan merekalah yang merestui umat Muslim untuk mencampur-adukkan ilmu-ilmu agama mereka dengan apa yang dikandung di dalam filsafat Yunani dari yang baik dan yang buruk?
Syaikh Ali Abdurraziq menyebutkan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan menjelaskan sebab kelaliman para raja dan penguasa di masa-masa khilafah yang biasanya dikelilingi tombak, pedang, dan tentara bersenjata dengan kekuatan penuh. Makanya menjadi sangat wajar “jika raja atau sultan di masa-masa itu bertindak seperti monster dan binatang buas terhadap siapapun yang menentangnya atau menggoyang tahtanya. Ia akan menjadi musuh mengerikan bagi setiap studi ilmiah yang ia bayangkan dapat meruntuhkan wibawanya atau berpotensi menimbulkan bahaya bagi kekuasaannya. Dari sinilah kemudian muncul tekanan-tekanan kekuasaan terhadap kebebasan ilmu pengetahuan dan lembaga-lembaga pendidikan. Dan tidak diragukan lagi, bahaya yang paling mengancam bagi kekuasaannya adalah ilmu politik. Maka tidak aneh jika kemudian para khalifah berusaha menutup jalan atau aksesnya di depan masyarakat.”
Tidak Ada Khilafah di dalam Islam
Syaikh Ali Abdurraziq memandang bahwa di dalam al-Qur`an, sirah nabawiyah, dan hadits-hadits Nabi Saw. tidak ada satu pun dalil yang mendukung khilafah. Ia mengatakan, “Hadits-hadits Nabi Saw. yang menyinggung soal imamah, khilafah, bai’at, dan seterusnya itu tidak menunjukkan apa pun lebih dari apa yang ditunjukkan oleh al-Masih ketika menyebutkan beberapa aturan syariat mengenai pemerintahan Kaisar.” Ia juga menjelaskan hadits-hadits yang menyerukan kepatuhan kepada imam, “Jika benar bahwa Nabi Saw. telah memerintahkan kita untuk mematuhi seorang imam, maka Tuhannya pun telah memerintahkan kita untuk memenuhi perjanjian kita dengan orang musyrik, kita menjaga perjanjian itu sebagaimana orang musyrik menjaganya untuk kita, tetapi itu tidak berarti bahwa Allah meridhai kesyirikan, dan bahwa perintah-Nya agar kita memenuhi perjanjian dengan orang-orang musyrik tidak berarti kita harus membenarkan kesyirikan mereka.”
Khilafah untuk Menjaga Agama
Syaikh Ali Abdurraziq tidak sepakat dengan pendapat yang mengatakan pentingnya menegakkan khilafah untuk menjaga agama. Ia mengutip pandangan Ibn Khaldun yang mengatakan bahwa bentuk pemerintahan khilafah dan pengaruhnya sebetulnya sudah sirna bersamaan dengan hilangnya fanatisme Arab era al-Khulafa` al-Rasyidun. Bahkan ia mengatakan bahwa negara yang diklaim sebagai negara khilafah justru banyak melanggar rukun-rukun agama dan mengabaikan kepentingan umat Muslim.[]