Ibn Rusyd Memandang Perempuan
KALAU mau jujur, gagasan tentang signifikansi dan peran perempuan dalam membangun masyarakat, serta kontribusi historis mereka dalam membangun peradaban manusia, sebenarnya tidak muncul di Barat—seperti yang diyakini banyak orang—bersamaan dengan munculnya pemikiran abad pencerahan dan modern—juga pemikiran postmodern yang mengumumkan kematian laki-laki—yang membawa nilai-nilai dan prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan, serta tuntutan untuk memikirkan kembali segala hal yang terlupakan dan terpinggirkan.
Sebaliknya, kita menemukan benih dari gagasan ini jauh sebelumnya, yaitu di lingkungan Arab-Islam. Filsuf besar Muslim, Ibn Rusyd (w. 1198 M), adalah sarjana pertama yang tertarik mendiskusikan persoalan perempuan secara lebih maju ketimbang apa yang dibahas Plato dalam “The Republic” dan Aristoteles dalam “Politics”. Ibn Rusyd berkata,
“Di kota (negara), perempuan boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mirip atau identik dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan laki-laki, sehingga di antara mereka ada prajurit, filsuf, penguasa, dan sebagainya… Di satu sisi, perempuan dan laki-laki adalah satu jenis dalam tujuan kemanusiaan, jadi mereka harus terlibat bersama laki-laki dalam kerja-kerja kemanusiaan, bahkan meskipun mereka berbeda dengan laki-laki dalam beberapa hal. Maksud saya, laki-laki lebih kuat (secara fisik) dalam kerja-kerja kemanusiaan daripada perempuan, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan lebih cakap/terampil dalam beberapa pekerjaan, seperti yang dipandang dalam seni musik praktis. Oleh karena itu, dikatakan bahwa melodi akan mencapai kesempurnaannya jika diciptakan oleh laki-laki dan digarap oleh perempuan.”[1]
Pandangan filosofis Ibn Rusyd mengenai perempuan dicirikan dengan pandangan sinkretis. Seperti dalam “Fashl al-Maqâl ma bayna al-Hikmah wa al-Syarî’ah min al-Ittishâl”, di mana ia mencoba membangun harmoni antara syariat dan filsafat, dan membuat keduanya saling melengkapi satu sama lain, kita juga menemukannya mengembangkan gagasan ini di bidang pengelolaan urusan publik. Menurutnya, perempuan menempati kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam semua profesi kelembagaan, budaya dan sosial. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama terlibat dalam membangun sejarah dan peradaban melalui kerja-kerja yang mereka lakukan dalam masyarakat, sebab mereka dipersatukan oleh satu potensi, yaitu akal, dan akal adalah aktor utama dalam kemajuan manusia.
Ibn Rusyd adalah sarjana pertama yang memulai proyek kesetaraan gender dalam sejarah pemikiran. Ia menyerukan pembebasan perempuan dari cengkeraman budaya patriarki yang telah mengakar kuat dan membatasi pemahaman masyarakat umum tentang agama. Akibatnya, perempuan dipandang hanya sebatas wadah untuk melahirkan anak dan budak-budak untuk mengurus rumah, tanpa memperhatikan aspek-aspek dasar yang dapat dilakukan perempuan di masyarakat.
Ibn Rusyd juga menyoroti kontroversi antara pandangan filsafat dan pandangan agama yang tampak berseberangan terkait isu al-imâmah al-‘uzhmâ (kepemimpinan agung/tertinggi). Ia secara tegas menolak pandangan yang melarang perempuan mengemban tugas ini, dengan mengatakan: “Karena sebagian perempuan tumbuh dengan banyak kecerdasan dan akal, bukan tidak mungkin menemukan di antara mereka filsuf, penguasa, dan sejenisnya. Meskipun ada yang percaya bahwa perempuan jenis ini langka, terutama karena beberapa hukum menolak mengakui kepemimpinan perempuan, yakni al-imâmah al-‘uzhmâ, namun kami menemukan hukum-hukum lain yang bertentangan bahwa keberadaan perempuan semacam itu di antara mereka bukanlah sesuatu yang mustahil.”[2] Di sini sangat jelas disebutkan bahwa perempuan bisa menjadi filsuf, penguasa, dan karenanya juga bisa menjadi pemimpin tertinggi.
Ibn Rusyd menyadari bahwa mayoritas ulama Muslim menolak kepemimpinan perempuan (menjadi khalifah atau pemimpin tertinggi) berdasarkan hadits: “Tidaklah beruntung suatu kaum yang mengangkat seorang perempuan menangani urusannya,” juga ayat al-Qur`an: “Laki-laki adalah pemimpin (qawwâm) bagi perempuan,” [Q.S. al-Nisa`: 34], dan lain sebagainya. Namun, sebagai filsuf ia ingin memberi tahu kita bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana, karena mereka tidak kekurangan kecerdasan dan tidak kekurangan akal untuk mencapai posisi ini.
Pembicaraan Ibn Rusyd tentang pembebasan perempuan tidak berarti keluar dari basis budaya yang merepresentasikan identitas mereka, juga tidak berarti kebebasan yang dibayangkan pada sebagian perempuan di Barat, di mana ilusi kebebasan yang diberikan kepada mereka hanya untuk mendukung kepentingan perusahaan-perusahaan besar yang memperdagangkan tubuh perempuan dan menjadikan kebebasan mereka sebagai sumber daya vital untuk keuntungan ekonomi semata. Gagasan pembebasan perempuan bagi Ibn Rusyd diwujudkan dalam sejauh mana potensi dan kemampuan perempuan untuk terlibat secara aktif dalam kerja-kerja sosial dan memainkan peranan mereka sebagai manusia dalam membangun peradaban dan kemajuannya.
Dalam sejarah Islam, kita bisa menyebut beberapa contoh perempuan Muslim yang menandai kemajuan peradaban manusia, misalnya Fatimah binti Muhammad al-Fihri, yang mendirikan Masjid Al-Qarawiyyin pada tahun 859 M, yang kemudian berkembang menjadi Universitas Al-Qarawiyyin pada tahun 1963 di Fez, Maroko. Juga Zaha Hadid, arsitek kelahiran Irak, yang meninggalkan jejak desain arsitektur dan tekniknya di berbagai negara Arab dan Eropa. Banyak bangunan megah terkenal di dunia ternyata dirancang olehnya. Ia bahkan dijuluki arsitek modern terbaik masa kini. Jika ini menunjukkan sesuatu, maka ini menunjukkan kejeniusan intelektual yang menjadi ciri perempuan Muslim, yang memberikan kontribusi besar pada sejarah peradaban-manusia selain sejarah intelektual laki-laki.
Oleh karena itu, kita harus meyakini apa yang diyakini Ibn Rusyd bahwa perempuan memiliki peran penting dalam kerja-kerja peradaban, karena bakat luar biasa mereka yang memungkinkan mereka memulai hal-hal baru dalam realitas budaya, intelektual, dan sosial.[]
[1]. Ibn Rusyd, al-Dharûrîy fî al-Siyâsah, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, 1998, hal. 124
[2]. Ibn Rusyd, Talkhîsh al-Siyasâh, hal. 125