Diam-diam Tersingkir: Quiet Firing dan Wajah Baru Diskriminasi Perempuan
Dunia kerja modern sering dipersepsikan sebagai rumah yang lebih terbuka, profesional, dan objektif dibanding masa lalu. Namun, dalam praktiknya, diskriminasi terhadap perempuan masih sering ditemui. Bentuk diskriminasi itu memang tidak selalu hadir dalam wujud kasar seperti larangan bekerja atau pemecatan langsung, melainkan melalui strategi yang lebih halus, sistematis, dan sering kali tak terlihat.
Salah satu praktik yang kini ramai diperbincangkan adalah fenomena Quiet Firing. Istilah ini merujuk pada cara perusahaan mendorong pekerja keluar bukan dengan surat pemutusan hubungan kerja, melainkan dengan menciptakan suasana yang membuat mereka merasa tidak betah, terpinggirkan, dan akhirnya memilih untuk mundur sendiri. Fenomena ini bukan sekadar masalah manajerial, melainkan juga bagian dari wajah baru diskriminasi gender.
Wajah Halus Peminggiran
Quite Firing berbeda dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) konvensional. Quiet firing dapat dipahami sebagai strategi ketika perusahaan atau atasan menciptakan situasi kerja yang membuat seorang pegawai tidak nyaman, tidak berkembang, bahkan terpinggirkan, sehingga pada akhirnya ia memilih mengundurkan diri sendiri. Tidak ada surat resmi pemecatan, tidak ada prosedur hukum yang jelas, tetapi perlahan-lahan pekerja dipaksa keluar. Bentuknya bisa berupa: tidak diberi promosi, dikurangi tanggung jawab, dipinggirkan dari proyek penting, bahkan dikucilkan dari dinamika tim.
Fenomena ini berbeda dengan PHK konvensional yang dapat digugat atau dilaporkan secara hukum. Karena berlangsung halus, quiet firing justru lebih sulit dilawan. Bagi pekerja laki-laki, fenomena ini sudah cukup merugikan. Bagi perempuan, kondisi ini semakin kompleks karena bercampur dengan stereotip gender, beban ganda, serta minimnya perlindungan hukum terhadap praktik diskriminasi yang tidak kasat mata.
Diskriminasi yang hadir melalui quiet firing tidak berhenti pada level individu. Ada dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas. Perusahaan kehilangan talenta perempuan yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk inovasi dan keberagaman ide. Ketika perempuan dipaksa keluar, representasi mereka di posisi strategis semakin sedikit, yang pada akhirnya memperkuat kesenjangan gender di dunia kerja. Situasi ini juga memperburuk ketidaksetaraan upah, karena perempuan yang keluar cenderung sulit kembali ke dunia kerja dengan posisi dan gaji setara.
Selain itu, dampak psikologis yang ditimbulkan juga tidak bisa diabaikan. Perempuan yang mengalami quiet firing kerap merasa rendah diri, kehilangan rasa percaya pada kemampuan sendiri, bahkan mengalami trauma yang membuat mereka ragu untuk kembali bekerja di sektor formal. Lingkaran ketidakadilan ini berlanjut ke ranah keluarga dan masyarakat, kala perempuan kembali dibatasi ruang geraknya karena stigma “tidak cocok bekerja di luar rumah”.
Bias Gender yang Melembaga
Penelitian International Labour Organization (ILO) yang dilakukan terhadap sekitar 400 perusahaan di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar perusahaan mengklaim mendukung kesetaraan gender, kenyataannya representasi perempuan di posisi manajerial masih sangat rendah. Perempuan lebih banyak ditempatkan di bidang administratif atau pendukung, sementara posisi strategis didominasi laki-laki. Kondisi ini menciptakan kesenjangan struktural yang membuat perempuan lebih mudah tersisih.
The Jakarta Post pernah melaporkan bahwa selama pandemi, perempuan pekerja di Indonesia lebih banyak kehilangan pekerjaan dibanding laki-laki. Alasan yang muncul sering kali tidak dinyatakan secara langsung sebagai diskriminasi, melainkan melalui kebijakan “rasionalisasi” atau pengalihan tugas. Namun, praktik ini mirip dengan quiet firing: tanpa pemecatan resmi, perempuan merasa ruang geraknya semakin sempit hingga akhirnya memilih pergi.
Jika dilihat lebih dalam, perempuan pekerja menanggung kerentanan ganda. Di satu sisi, mereka harus membuktikan kompetensi di ruang publik. Di sisi lain, mereka tetap dibebani ekspektasi domestik yang sering dijadikan alasan untuk meragukan loyalitas dan profesionalisme mereka. Perempuan yang pulang lebih awal untuk menjemput anak atau mengambil cuti karena anaknya sakit kerap dianggap kurang berdedikasi. Kondisi ini menciptakan celah yang memudahkan perusahaan mendorong mereka keluar lewat mekanisme quiet firing. Karena tidak ada bukti tertulis, perempuan sering kali memilih diam atau mengundurkan diri daripada melawan sesuatu yang sifatnya samar.
Pada 2024, CNN Indonesia diberitakan memecat sebelas jurnalis hanya beberapa hari setelah mereka membentuk serikat pekerja. Walau ini lebih menyerupai PHK langsung, laporan International Federation of Journalists menyoroti bahwa sebelum pemecatan itu terjadi, akses komunikasi mereka dengan tim sudah diputus. Praktik semacam ini menunjukkan bagaimana pekerja bisa diasingkan dari sistem kerja sebelum akhirnya ‘keluar’. Jika dikaitkan dengan perempuan, pola ini semakin berat, karena mereka sering kali berada di posisi yang kurang kuat untuk melawan.
Selain itu, laporan Komnas Perempuan menegaskan bahwa banyak pekerja perempuan di sektor informal maupun formal mengalami diskriminasi berlapis. Bentuknya mulai dari pelecehan verbal, pengabaian dalam promosi, hingga pengucilan ketika mereka menolak ajakan yang bernuansa pelecehan seksual. Beberapa di antaranya tidak diberhentikan langsung, tetapi dipinggirkan secara sistematis hingga mereka menyerah. Semua ini memperlihatkan wajah quiet firing dalam praktik nyata di Indonesia.
Perspektif Keadilan Gender
Dalam perspektif keadilan gender, quiet firing mencerminkan bagaimana relasi kuasa bekerja secara simbolik. Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai “kekerasan simbolik”, yakni kekuasaan yang tidak tampak sebagai paksaan, tetapi diterima seolah-olah wajar. Perempuan dipinggirkan bukan dengan kekerasan fisik, melainkan dengan pengabaian dan pengucilan.
Jika dibaca dari nilai-nilai Islam, praktik ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adl) dan penghormatan atas martabat manusia (karamah insaniyah). Islam menempatkan kerja sebagai bagian dari ibadah, dan setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang adil tanpa diskriminasi. Tafsir progresif menegaskan bahwa perempuan berhak penuh untuk berpartisipasi di ruang publik. Maka, quiet firing adalah bentuk ketidakadilan struktural yang harus dibongkar.
Menghadapi quiet firing tidaklah mudah. Secara hukum, praktik ini sulit disentuh karena tidak ada bukti tertulis. Namun, berbagai upaya sudah mulai dilakukan. Pada 2023, Kementerian Ketenagakerjaan bersama ILO meluncurkan pedoman inspeksi ketenagakerjaan yang lebih sensitif gender. Pedoman ini dimaksudkan untuk membantu pengawas tenaga kerja mendeteksi praktik diskriminasi, pelecehan, dan peminggiran yang kerap terjadi secara samar.
Meski demikian, regulasi formal saja tidak cukup. Perubahan budaya kerja menjadi kunci utama. Perusahaan perlu membangun lingkungan kerja yang inklusif dan transparan, di mana setiap pekerja mendapat kesempatan yang setara. Mekanisme pengaduan internal harus benar-benar melindungi korban diskriminasi tanpa rasa takut terhadap pembalasan. Solidaritas antarpekerja, khususnya jaringan perempuan, juga penting untuk membongkar praktik quiet firing yang sering kali didiamkan.
Fenomena quiet firing memperlihatkan bahwa diskriminasi gender di dunia kerja tidak pernah benar-benar hilang, hanya berganti wajah. Jika dulu perempuan dilarang bekerja atau diberhentikan secara terang-terangan, kini mereka dipinggirkan secara halus, didorong keluar tanpa perlawanan. Praktik ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menutup jalan menuju dunia kerja yang adil dan setara.
Keadilan gender menuntut kita untuk menyingkap praktik diskriminasi yang samar ini, lalu menantangnya melalui regulasi, budaya kerja baru, dan solidaritas sosial. Hanya dengan begitu, dunia kerja dapat benar-benar menjadi ruang yang inklusif, manusiawi, dan adil bagi semua, tanpa lagi ada perempuan yang diam-diam tersingkir.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!