Dengan atau Tanpa Anak, Tubuh Perempuan Tetap Berharga

Beberapa hari yang lalu di beranda media sosial saya ramai tentang perdebatan soal nilai tubuh perempuan. Bagi sebagian orang, ternyata sangat wajar seorang laki-laki meninggalkan pasangannya hanya karena ia tidak mampu, atau tidak mau memiliki anak.

Bahkan di kolom komentar, para laki-laki lain pun ikut merayakan pernyataan tersebut. Katanya “wajar gak sih suami menuntut istri punya anak. Kan emang tujuan pernikahan tuh buat punya keturunan”. “Kalau emang gak punya anak, entah karena pilihan atau emang mandul, ya suami boleh-boleh aja menceraikannya, atau mungkin bisa diatasi dengan poligami”.

Membaca komentar-komentar tersebut membuat saya gemetar dan marah. Rasa-rasanya, sejak lahir tubuh perempuan tidak pernah menjadi miliknya sendiri. Bayangkan, ketika ia lahir, vaginanya sudah diperdebatkan apakah harus disunat atau tidak.

Bersamaan dengan itu, ia juga akan terus dinilai dan dikontrol sesuai keinginan orang-orang di sekitarnya. Yang dalam banyak realitas sosial, pihak laki-lakilah yang punya hak untuk menentukan apa yang boleh dan tidak atas tubuh perempuan. Misalnya anak perempuan hanya boleh main boneka, tidak dengan mobil-mobilan, hanya boleh bermain masak-masakan, tidak dengan memanjat pohon.

Kontrol atas tubuh perempuan ini berlanjut hingga kehidupan rumah tangga. Setelah menikah, sebagian laki-laki masih menganggap perempuan sebagai mesin pencetak anak, yang harus memberikan anak, dan kalau bisa, bahkan pada sebagian masyarakat hari ini masih diwajibkan, adalah anak laki-laki.

Bahkan untuk menguatkan kontrol ini, perempuan dianggap lemah dan tidak bernilai ketika ia tidak bisa menjadi ibu atau tidak mau memiliki anak (memilih childfree). Dalam kasus yang lebih memprihatinkan, seorang laki-laki bisa meninggalkan, bahkan menduakan istrinya, hanya karena ia tidak memperoleh keturunan yang diinginkannya.

Kenyataan pahit atas tubuh perempuan tersebut sangat pas sekali dengan pembacaan Ester Lianawati dalam buku “Dari Rahim ini Aku Bicara”. Dalam pemaparannya disebutkan bahwa dalam masyarakat patriarki, rahim perempuan harus menghasilkan.

Karena itu, demi menghasilkan sebanyak mungkin anak, praktik-praktik yang mendukung kelahiran diupayakan, seperti poligami, larangan penggunaan kontrasepsi, larangan aborsi, larangan onani, dan bahkan larangan homoseksualitas.

Tubuh Perempuan yang Ditindas

Hal tersebut semakin memperlihatkan dengan jelas bagaimana patriarki terus menerus menindas perempuan. Ia hanya bernilai ketika tubuhnya mampu memberikan apa yang diinginkan oleh konstruksi sosial.

Perempuan kerap dianggap berharga hanya ketika mampu melahirkan, bahkan dalam pandangan sempit, harus melahirkan secara pervaginam (bayi lahir alami melalui jalan lahir). Ia dinilai cantik ketika tubuhnya tetap putih, langsing, awet muda, dan tanpa keriput, meski usia terus bertambah. Perempuan juga baru mendapat pujian jika tidak banyak bicara dan sanggup mengerjakan kerja-kerja domestik seorang diri, meski sebenarnya ia sedang kelelahan.

Menurut Ester, tuntutan-tuntutan tersebut bukan hanya merampas kepemilikan perempuan atas tubuhnya sendiri, tetapi juga memecah belah sesama perempuan. Perempuan dengan anak vs perempuan tanpa anak.

Karena itu, tak heran jika dalam pembicaraan soal anak, perempuanlah yang lebih dulu disalahkan, bahkan tidak jarang justru menyalahkan diri sendiri. Ia merasa tak berharga ketika belum bisa menjadi ibu, sekaligus iri pada mereka yang sudah memiliki anak. Akhirnya mereka terjebak pada kondisi memandang perempuan lain sebagai saingan.

Begitu pun dengan perempuan yang memilih childfree, sering kali ia dipandang sebagai perempuan yang tidak berguna dan melanggar kodrat sebagai perempuan.

Dalam kondisi seperti ini, Ester dalam buku yang sama mengingatkan perempuan untuk merebut kembali otonomi tubuhnya sendiri. Ya, meski perempuan terlahir dengan rahim, ia tetap punya kontrol atas dirinya sendiri. Menjadi ibu ataupun childfree hendaknya menjadi pilihan, bukan tuntutan dan bukan kewajiban.

Sudah saatnya kita hentikan pembangkitan rasa bersalah pada perempuan. Dengan atau tanpa anak, tubuhnya tetap bernilai. Ia tetap berharga dengan menjadi dirinya sendiri.

Terakhir, barangkali puisi Ester di penutup buku “Dari Rahim ini Aku Bicara” bisa merangkul setiap perempuan yang tengah berjuang merebut otonomi tubuhnya sendiri.

Dari rahim ini aku bicara,

Untuk perempuan yang tidak punya anak,

Untuk perempuan yang punya anak satu, dua, atau sepuluh anak,

Untuk perempuan yang tidak ingin punya anak,

Untuk perempuan yang berusaha keras untuk punya anak,

Untuk perempuan yang belum tahu apakah ingin atau tidak ingin punya anak,

Untuk perempuan yang kehilangan anak,

Untuk perempuan yang tengah kerepotan mengurus anak.

Untuk perempuan yang sedang tertekan oleh tuntutan untuk segera punya anak

 

Dari rahim inilah, aku bicara hari ini,

Bukan sebagai ibu, bukan sebagai istri, bukan sebagai perawan, bukan sebagai pelacur,

Melainkan sebagai perempuan,

Mari bersama kita lanjutkan perlawanan dan pertempuran,

Merebut kembali rahim ini, memiliki tubuh kita sendiri: Tubuh Perempuan.

Kehamilan Bukan Kewajiban, Perempuan Berhak Memilih Tidak Punya Anak

“Nanti sebaiknya tidak perlu menunda untuk punya anak karena usia sudah cukup matang,” ucapan itu keluar dari seorang Kepala KB kecamatan kepadaku ketika aku mengurus berkas pendaftaran nikah. Aku memutuskan untuk menikah di usia 28 tahun yang bagi sebagian orang di lingkunganku adalah usia ‘telat’ menikah.

Begitu juga dengan anggapan bidan di Puskesmas dan kader KB di kecamatan. Usiaku dianggap sudah ‘tua’ dan harus segera memiliki anak. Mereka seolah-olah mewajibkan perempuan untuk memiliki anak dan menjadi ibu tanpa pilihan lain.

Bahkan di usiaku itu, kata menunda memiliki anak terdengar egois bagi sebagian orang. Mereka yang seharusnya memberikan penjelasan tentang pilihan kontrasepsi secara menyeluruh hanya menjelaskan pilihan kontrasepsi dalam jangka pendek. Tradisi patriarki membuat perempuan diharuskan cepat menikah dan cepat punya anak dibandingkan dengan mengejar apa yang mereka impikan. Lebih memilih untuk mengejar mimpi daripada punya anak seperti dosa yang tidak dapat dimaafkan oleh sebagian masyarakat.

Membongkar Mitos Wajib Punya Anak

Dalam masyarakat patriarki, nilai perempuan sering kali diukur dari kemampuannya untuk melahirkan anak, menjadi poin tambahan jika melahirkan anak laki-laki.

Apalagi bagi perempuan yang sudah menikah. Seperti pengalamanku sebelumnya, di mana masyarakat menganggap tujuan pernikahan hanyalah memiliki anak atau keturunan. Ternyata bukan hanya aku yang mengalaminya, di media sosial banyak perempuan yang mengaku dianggap tidak bernilai oleh masyarakat karena belum memiliki anak walau sudah menikah dalam jangka waktu yang lama.

Lalu apakah benar jika tujuan menikah hanya untuk memiliki anak? Bahwa perempuan wajib melahirkan?

Tujuan menikah dalam perspektif mubadalah adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat melalui relasi yang penuh cinta, penghormatan, dan kerja sama yang setara. Hal tersebut didukung dengan dalil Al-Quran yang menjelaskan tentang tujuan pernikahan surat Ar-Rum ayat 21:

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah) dan rahmat (rahmah). Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.

Dalam dalil yang biasanya digunakan dalam pernikahan tersebut dapat dilihat bahwa tujuan pernikahan bukan hanya untuk memiliki anak melainkan mencapai kebahagiaan dunia akhirat.

Perempuan memang ditakdirkan untuk menstruasi, melahirkan, dan menyusui, tetapi memiliki anak bukanlah kewajiban melainkan pilihan. Setiap perempuan berhak memilih untuk menikah atau tidak dan memiliki anak atau tidak. Tidak ada kewajiban bagi perempuan untuk memiliki anak dalam Islam, karena memiliki anak adalah sebuah anjuran, bukan kewajiban mutlak.

Misi utama pernikahan dalam Islam adalah meraih kemaslahatan dan kebaikan, bukan semata-mata untuk punya anak. Prinsip rahmatan lil ‘alamin juga menekankan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, yang mencakup kebaikan bagi individu, keluarga, dan masyarakat.

Memilih Tidak Memiliki Anak Adalah Pilihan yang Sah

Tidak sedikit perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak dan itu adalah pilihan yang sah. Setiap perempuan dan pasangan memiliki hak reproduksi masing-masing. Hak reproduksi adalah bagian integral dari hak asasi manusia.

Konsep ini mencakup hak setiap individu untuk membuat keputusan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai tubuh dan kehidupan reproduksi mereka, tanpa paksaan, diskriminasi, atau kekerasan. Setiap Individu berhak untuk memutuskan apakah akan memiliki anak atau tidak, berapa banyak anak yang diinginkan, dan kapan akan memilikinya. Ini termasuk hak untuk tidak dipaksa hamil atau menjalani sterilisasi.

Selama ini banyak perempuan yang tidak memiliki previlege untuk mengakses informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi. Sehingga mereka hamil dan melahirkan bukan atas keinginannya sendiri melainkan tekanan dari lingkungan sekitar bahkan pasangannya sendiri.

Tidak semua pasangan mendapatkan informasi tentang hak reproduksi. Mereka hanya mengikuti alur yang umumnya terjadi dalam masyarakat. Inilah yang membuat banyak perempuan tidak bisa menentukan pilihan atas otonomi tubuhnya sendiri.

Padahal, mereka juga memiliki hak untuk mengakses berbagai metode Keluarga Berencana yang aman, efektif, dan terjangkau, serta mendapatkan konseling yang objektif. Informasi seperti inilah yang seharusnya diberikan kepada pasangan yang akan menikah, bahkan seharusnya diinformasikan sejak usia remaja.

Sehingga semakin banyak perempuan yang menyadari bahwa tujuan mereka hidup di dunia bukan hanya untuk menikah dan melahirkan. Masih banyak hal yang bisa mereka kejar selain kedua hal itu.

Pilihan untuk memiliki anak seharusnya diambil dengan matang dan kesadaran penuh terkait apa saja yang akan mereka alami dan pertimbangan masa depan bagi anak mereka nanti. Kesadaran ini yang harusnya dibangun sejak usia dini di bangku sekolah yang terus digaungkan dari tenaga pendidik dan orang tua di rumah.

Menghargai dan Mendukung Pilihan Hidup Perempuan

Sebagai pendidik atau penyuluh, Bidan atau kader KB sebaiknya memiliki sudut pandang yang adil gender dan tidak bias. Daripada memberikan ultimatum untuk segera memiliki anak bagi yang dianggap tua dan menunda bagi yang dianggap muda, mereka seharusnya menanyakan terlebih dahulu pilihan individu masing-masing. Lalu memberikan informasi yang dibutuhkan bagi para calon pengantin terkait pilihan-pilihan kontrasepsi yang tersedia baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Tidak semua perempuan ingin memiliki anak, banyak perempuan yang juga ingin menggapai cita-cita dengan melanjutkan jenjang pendidikan dan karier setinggi yang mereka bisa capai.

Dalam keadaan negara yang kurang berpihak kepada perempuan, memiliki anak menjadi keputusan yang berat bagi perempuan. Semua perempuan sama berharganya terlepas dari apa pun pilihan yang mereka buat, entah itu menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak.

Perempuan bukan mesin penghasil keturunan tetapi subjek yang juga berhak mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki. Sudah saatnya bagi sesama perempuan untuk saling mendukung agar usaha untuk menciptakan dunia yang adil gender bisa diusahakan bersama.

Anak, Karier, dan Harga yang Harus Dibayar Perempuan

Ketika mendengar kata anak, pikiran saya selalu teringat pada nasihat yang kerap diucapkan oleh orang tua, mereka selalu mengatakan bahwa anak adalah anugerah, karunia, dan titipan suci dari Allah yang harus dijaga sepenuh hati.

Bagi mereka, kehadiran seorang anak membawa kebahagiaan dan diyakini membuka jalan bagi datangnya rezeki. Ada keyakinan yang begitu kuat dan mengakar bahwa semakin banyak anak, maka semakin luas pula pintu keberkahan yang akan terbuka untuk keluarga.

Sering kali, keyakinan tentang anak sebagai anugerah dipandang begitu penuh kasih, seolah hanya membawa kebahagiaan tanpa cela. Namun, di balik pandangan yang tampak indah itu, ada satu hal penting yang kerap luput dari perhatian yaitu pandangan tersebut sering kali menyingkirkan agensi perempuan, Seolah-olah kemampuan perempuan tidak dapat membuat keputusan atas tubuh, hidup, dan masa depannya sendiri.

Dari sinilah muncul pertanyaan-pertanyaan yang pelan-pelan tumbuh dalam kesadaran:

“Apakah tubuh perempuan benar-benar sepenuhnya milik dirinya? Apakah perempuan berhak menentukan kapan ingin mengandung, melahirkan, atau memilih untuk tidak memiliki anak? Ataukah tubuhnya justru dianggap milik keluarga, masyarakat, negara, bahkan agama yang merasa memiliki legitimasi untuk mengatur setiap keputusannya?”

Pertanyaan-pertanyaan itu kerap muncul dalam kesadaran banyak perempuan. Dalam pandangan banyak orang, tubuh perempuan menjadi cermin moralitas, penanda kesuburan, sekaligus lambang kehormatan keluarga yang harus senantiasa dijaga. Semua itu memperlihatkan bagaimana tubuh perempuan tidak pernah benar-benar berdiri sendiri, karena keberadaannya senantiasa ditempatkan dalam sorotan sosial yang tajam dan nyaris tak henti.

Dalam pandangan lama, anak sering dianggap sebagai berkah tanpa syarat. Kehadiran anak diyakini membawa kebahagiaan dan keberuntungan, tanpa perlu dipikirkan apa pun selain rasa syukur. Namun, pandangan ini mulai bergeser ketika teori ekonomi mikro dari Becker dan Lewis memperkenalkan gagasan tentang “harga anak”.

Dalam cara pandang ini, anak tidak lagi hanya dilihat sebagai karunia, keberkahan, pencapaian, tetapi juga bagian dari pertimbangan rasional. Orang tua mulai memikirkan berbagai biaya yang harus disiapkan seperti halnya biaya pendidikan, kesehatan, makanan bergizi, dan kesempatan lain yang mungkin hilang ketika memiliki anak.

Dengan memiliki anak peluang bagi karier perempuan akan menjadi pertimbangan. Perempuan kerap dihadapkan pada dilema antara melanjutkan perkembangan karier dan menjalankan peran sebagai ibu, sehingga keputusan untuk memiliki anak dipandang sebagai pilihan yang menuntut kesiapan, kesadaran akan konsekuensi, serta perhitungan terhadap masa depan.

Becker dan Lewis memperkenalkan istilah “harga anak” yang seolah mereduksi nilai seorang anak menjadi kalkulasi biaya dan manfaat. Konsep ini tidak hanya menyentuh aspek materi seperti pendidikan, kesehatan, dan nutrisi, tetapi juga aspek non-materi seperti tenaga, waktu, dan kesempatan karier yang hilang, terutama bagi perempuan.

Pandangan ekonomis ini tentunya bertolak belakang dengan pandangan tradisional. Jika sebelumnya memiliki banyak anak dianggap tanda keberkahan, kini semakin banyak anak justru dianggap semakin berat secara finansial. Maka muncullah paradigma yang mengatakan “lebih baik memiliki sedikit anak, asalkan kualitas hidup mereka terjamin”.

Selaras dengan perubahan zaman, muncul pergeseran paradigma anak tidak lagi dilihat semata dari kuantitas. Semakin tinggi biaya membesarkan anak, semakin besar kecenderungan orang tua terutama perempuan yang menanggung beban reproduksi untuk memilih sedikit anak, tetapi dengan jaminan kualitas hidup yang lebih baik. Sehingga arti cinta pun melebur menjadi artikulasi baru, bukan lagi terletak pada jumlah anak yang dimiliki, tetapi pada kesungguhan dalam memberikan ruang tumbuh yang layak bagi setiap anak.

Dibalik logika rasional ini, ada hal penting yang kerap terabaikan karena baik pandangan tradisional maupun pendekatan ekonomi sama-sama masih memandang tubuh perempuan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang memiliki kendali atas keputusan reproduksinya sendiri.

Hak perempuan atas tubuhnya kerap tumpang tindih dengan kuasa keluarga, tekanan masyarakat, aturan agama, hingga regulasi negara yang membentuk cara pandang kolektif terhadap peran reproduktif perempuan. Program “dua anak cukup” menjadi contoh nyata bagaimana negara turut mengintervensi keputusan reproduksi, menjadikan tubuh perempuan sebagai objek kebijakan demografis yang dikalkulasi demi kepentingan pembangunan.

Di sisi lain, doktrin kultural “banyak anak banyak rezeki” menghadirkan tekanan dari ranah tradisi, seolah menempatkan keberhasilan perempuan pada kemampuannya melahirkan sebanyak mungkin. Dua kutub yang saling berlawanan ini menjadikan tubuh perempuan medan tarik-menarik wacana dan kuasa. Tempat berbagai kepentingan sosial, politik, ekonomi, dan kultural saling bertubrukan, sering kali tanpa ruang bagi suara perempuan sendiri dalam menentukan masa depan tubuhnya.

Padahal, tubuh memiliki hak. Tubuh berhak istirahat, menolak, bahkan memilih. Sebagaimana sabda Nabi Saw:

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ

“Sesungguhnya Tuhanmu punya hak atasmu, tubuhmu punya hak atasmu, keluargamu punya hak atasmu. Maka berikanlah setiap yang berhak sesuai haknya.”

Hadis ini mengingatkan bahwa tubuh perempuan adalah subjek yang seharusnya dihargai dan memang seperti itu.

Membicarakan ketubuhan, kesuburan, dan otonomi berarti membicarakan hak paling mendasar sebagai manusia. Bahwa tubuh perempuan bukanlah milik masyarakat, bukan pula instrumen politik atau budaya. Tubuh adalah ruang personal yang suci, tempat keputusan seharusnya lahir dari diri sendiri. Tubuh yang terus diukur dengan standar sosial akan rapuh. Tetapi tubuh yang dirawat dengan kesadaran, dihormati hak-haknya, dan dijalani dengan kebebasan yang bertanggung jawab, akan menjadi tubuh yang benar-benar merdeka.

Ketubuhan dalam Perspektif ‘Irfani

“Apa aku harus berpura-pura menjadi orang lain? Seandainya aku tetap menjadi diri sendiri, apa aku bisa berguna bagi orang lain? Apa tak ada tempat bagiku untuk menjadi diri sendiri di dunia ini?” Pertanyaan demi pertanyaan itu adalah cuplikan dari kegelisahan Mitsuri Kanroji, seorang hashira—korps tertinggi pemburu iblis dalam anime Demon Slayer.

Kanroji adalah seorang perempuan yang unik. Ia punya nafsu makan yang besar, kekuatan fisik yang prima dan warna rambut yang berbeda. Dengan deskripsi tersebut, menurut standar masyarakat, ia belum menjadi perempuan seutuhnya.

Sebagai karya seni yang fiktif, tentu Kanroji hanyalah sosok kartun imaginatif. Tetapi kegelisahan Kanroji sebenarnya mewakili banyak insan, terutama perempuan, yang kehidupannya diatur oleh persepsi masyarakat. Termasuk soal ketubuhan. Bentuk tubuh, pakaian, warna kulit, semua dinilai oleh orang lain.

Penilaian soal tubuh itu pada akhirnya membuat relasi sosial menjadi ambyar. Orang jadi bertengkar karena perkara body shaming. Bahkan tidak sedikit yang mengakhiri hidup karena tidak siap mendengar cercaan orang seputar tubuhnya.

Hari ini, tubuh hanya dilihat sebatas daging manusia dari ujung rambut sampai kaki. Padahal, dalam pandangan tasawuf, tubuh adalah alam mikrokosmos yang menjadi cerminan dari alam raya yang makrokosmos.

Karenanya, tulisan sederhana ini mencoba mengulik lebih dalam ketubuhan dari kaca mata ‘irfani. Satu pendekatan yang sering tak digunakan dalam nalar modern serba burhani cum bayani.

Ketiga nalar tersebut sebenarnya saling melengkapi dalam epistemologi Islam. Nalar teks (bayani), akal (burhani), dan intuisi (‘irfani) menjadi satu kesatuan yang pertama kali digagas oleh Abid al-Jabiri.

Ketika tubuh hanya dilihat dari pendekatan rasional, maka tubuh tak ubahnya sebatas daging yang berjalan. Ada fungsi organ manusia yang bergerak, itulah tanda kehidupan. Tetapi dari raga yang berubah-ubah ini, sejatinya menyimpan esensi kemanusiaan, yaitu hati.

Tubuh tidak hanya tulang-belulang, tetapi juga tersimpan cahaya kalbu. Hal ini sebagaimana hadis Nabi Saw:

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah, dan sesungguhnya di dalam hati itu terdapat segumpal darah. Jika ia baik, baik (pula) seluruh tubuh. Dan bila ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.”

Di sinilah problem ketubuhan pertama bermula. Ketika manusia hanya melihat tubuh dari segi fisiknya, maka kecantikan dan ketampanan menjadi tolok ukur keberadaan. Orang akan terkesima dengan mereka yang mempunyai tubuh rupawan. Lebih menohok lagi, kesepakatan sosial kemudian membuat standar kecantikan dan ketampanan.

Orang pun berlomba memoles tubuhnya menjadi elok, tetapi luput mengoreksi akhlak yang kian bobrok. Betapa jahatnya manusia yang menormalisasi kejahatan karena sang pelakunya enak dipandang. Sebaliknya, ada yang melakukan kejahatan yang sama, dicerca habis-habisan karena fisiknya biasa saja.

Manusia cenderung melihat penampilan luar dengan mengabaikan kecantikan dari dalam—inner-beauty. Bukan berarti melihat fisik itu tercela. Tubuh pun perlu dirawat sebagai bagian dari anugerah Tuhan. Tetapi poinnya adalah jangan mengatur apalagi menghakimi tubuh orang lain. Sebab standar kebaikan manusia kata Tuhan adalah ketakwaan. Takwa itu di kalbu, bukan di baju.

Selain soal tubuh dan kalbu, yang perlu dipahami bersama pula, bahwa di setiap tubuh manusia sudah terpatri sifat-sifat ketuhanan. “Allah menciptakan manusia serupa dan secitra dengan-Nya”, demikian satu ayat Alkitab mengajarkan.

Dalam Islam, sifat-sifat ketuhanan itu terejawantah dalam dua karakter, jalaliyah sekaligus jamaliyah, maskulinitas dan feminimitas. Kedua sifat ini juga melekat pada kemanusiaan, baik laki-laki maupun perempuan.

Jadi, jalaliyah tidak totalitas milik laki-laki dan jamaliyah hak perempuan. Pemisahan keduanya adalah struktur sosial yang dibuat oleh manusia. Sering disebut dengan gender. Namun, hakikatnya seluruh manusia mempunyai dua sifat tersebut. Menegasikan salah satunya hanya akan menimbulkan ketimpangan.

Seperkasa apa pun seorang pria, ia juga memiliki dimensi feminim yang bisa bersedih ketika ditinggal oleh sosok yang dicintai. Sebaliknya, selembut apa pun seorang ibu, ia bisa sangar kala harga diri anaknya dilecehkan.

Nah, memahami tubuh dengan dua fungsi ini juga penting agar kita tidak mudah mencela seseorang. Ketika ada seorang pria yang cenderung lebih feminim, tidak lantas ia menyalahi kodratnya. Itu adalah ekspresi gender yang ditampilkannya. Yang perlu dicatat, jalaliyah dan jamaliyah ini bersifat fluiditas dalam diri manusia. Ia sangat cair dan mudah bergerak.

Manusia tidak bisa mencampuri urusan tubuh orang lain. Setiap insan mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan ketubuhannya. Tetapi perlu diingat, tubuh juga mempunyai hak. Jadi, tidak hanya kebebasan yang menegasikan hak. Sebagaimana hadis Nabi Saw:

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ

“Bahwa Tuhanmu punya hak atas kamu, tubuhmu juga punya hak atas kamu, istrimu juga punya hak atas kamu, maka penuhilah sesuai haknya masing-masing.”

Hadis tersebut memberikan pemahaman bahwa tubuh mempunyai hak sekaligus kewajiban. Haknya adalah untuk mendapatkan perlakuan yang layak. Tubuh perlu istirahat, asupan makanan yang nikmat, serta optimalisasi olahraga untuk tetap sehat.

Dengan argumen ini pula, tak dapat dibenarkan seseorang yang menyiksa tubuhnya atas dasar otonomi tubuh. Maka argumen para perokok yang mengatakan, “Mau merokok atau tidak, terserah. Tubuhku adalah tubuhku.” Pernyataan ini seolah benar dari kacamata otoritas ketubuhan, tetapi sebenarnya keliru.

Pertama, karena tubuh mempunyai hak untuk dijaga dari kerusakan. Merokok, mengonsumsi minuman keras dan narkoba adalah upaya merusak tubuh. Otonomi tubuh tak bisa dilekatkan pada upaya merusak ciptaan Tuhan.

Selain itu, asap rokok tidak hanya merusak tubuh sang pengisap, tetapi juga tubuh para perokok pasif. Karenanya, ketika para perokok pasif bersuara, itu bukan bagian dari melanggar otonomi ketubuhan. Sebab justru yang dilakukan dapat berdampak pada kerusakan tubuh yang lebih besar.

Wawasan ‘irfani dalam ketubuhan menempatkan posisi tertinggi. Bahwa tubuh bukan hanya milik manusia, tetapi tubuh adalah manifestasi dari ketundukan hamba kepada Sang Pencipta. Sebagaimana hadis Nabi di atas, ada hak Tuhan yang perlu ditunaikan dari tubuh manusia.

Pembacaan tubuh dalam sudut pandang tasawuf ini dapat mengisi kekeringan konsep ketubuhan yang digaungkan oleh modernitas. Otonomi tubuh yang selama ini digemborkan oleh sebagian feminis, berakar pada tubuh secara fisik-materi yang diwujudkan terpisah dengan hati.

Dengan pola yang sama, modernitas menuntun kita melihat ilmu terpisah dari laku. Banyak orang yang berilmu, tetapi tidak melahirkan perilaku. Ilmu sebatas wacana nir-tindakan nyata. Hal ini juga yang diulas oleh Armstrong dalam bukunya, “The Lost Art of Scripture.”

Menurutnya, salah satu seni membaca kitab suci orang dulu adalah embodiment, penubuhan. Artinya, kitab suci tidak hanya basah di bibir tetapi kering dalam keseharian. Semangat ini juga yang dicontohkan oleh Nabi. Ketika Sayyidah ‘Aisyah ditanya bagaimana akhlak Nabi, beliau menjawab bahwa akhlak Rasul adalah Al-Quran.

Dalam kacamata ‘irfani, antara ilmu dan amal tak dapat dipisahkan. Sama halnya dengan tubuh dan kalbu juga menjadi entitas yang satu. Seseorang tak boleh dilihat hanya dari tampilan fisik, tetapi juga sikap dan moralnya yang terpuji. Pun bagi kita, seyogyanya tidak hanya merawat tubuh yang tersurat, tetapi juga yang tersirat.

Dan kembali pada cerita Kanroji di atas, tubuh yang dipoles dengan kepura-puraan itu mudah rapuh. Hanya dengan menjadi diri sendiri, menjaga tubuh sepenuh hati, senafas dengan sinaran Ilahi, itulah kehidupan sejati.

Membasmi Fathul Izar: Kitab Fisiognomi yang Tak Berdasar

Di pesantren, ada kitab yang kadang muncul dalam kajian soal seksualitas Islam. Judulnya Fathul Izar. Tidak semua pesantren membahasnya, tapi keberadaannya tetap bikin resah. Dalam salah satu babnya, Bayan Asrar Khilqah al-Abkar (Penjelasan Rahasia Penciptaan Keperawanan), kitab ini mengklaim bisa menjelaskan sifat dan organ tubuh perempuan hanya lewat ciri wajah dan bentuk tubuh.

Berikut cuplikan dalam bab tersebut:

قَالَ أَهْلُ الفِرَاسَةِ وَالخَبَرِ بِالنِّسَاء

Para ahli firasat dan ilmuwan tentang kewanitaan mengatakan

إِذَا كَانَ فَمُ المَرْأَةِ وَاسِعًا كَانَ فَرْجُهَا وَاسِعًا

Bila mulut seorang wanita itu lebar, maka vaginanya lebar

إِذَا كَانَ صَغْيراً كَانَ فَرْجُهَا صَغِيرًا ضَيِّقًا

Bila mulutnya kecil, maka vaginanya kecil juga sempit

وَإِن كَانَت شَفَتَاهَا غَلِيظَتَينِ كَانَ شَفْرَاهَا غَلِيظَتَين

Bila kedua bibirnya tebal, berarti bibir vaginanya tebal

وَإنْ كَانَتَا رَقِيقَتَينِ كَانَتَا رَقِيقَتَين

Bila kedua bibirnya tipis, berarti kedua bibir vaginanya tipis

~~~

Kalau dipikir-pikir, klaim semacam ini problematik sekali. Pertama, dari sisi keilmuan: fisiognomi (ilmu yang konon membaca karakter lewat wajah) sudah lama dianggap pseudo-science alias ilmu semu. Tidak ada data ilmiah yang bisa membuktikan bahwa bentuk mata atau hidung bisa menentukan watak apalagi organ intim seseorang.

Kedua, dari sisi akhlak: praktik ini jelas menjadikan tubuh perempuan sebagai objek, sesuatu yang bisa “dibaca” dan dinilai. Itu sama saja menormalisasi pandangan yang merendahkan martabat perempuan.

Fisiognomi sebenarnya bukan hal baru. Di banyak budaya kuno, orang percaya wajah bisa mengungkap kepribadian. Tapi sejak ilmu pengetahuan modern berkembang, fisiognomi dianggap tidak lebih dari tebakan penuh bias. Ia tidak pernah lulus uji ilmiah yang serius. Kalau dalam istilah santri: ia tidak “maqbul” alias tidak bisa diterima.

Masalahnya, ketika isi kitab seperti Fathul Izar diperlakukan seolah-olah benar, maka muncul akibat yang nyata. Kajian psikologi dan sosiologi menunjukkan, cara pandang yang menilai tubuh hanya dari tampilan luar bisa memicu objektifikasi.

Artinya, perempuan dilihat bukan sebagai manusia seutuhnya, tapi sebagai kumpulan tanda yang bisa ditafsir. Efeknya tidak main-main: perempuan bisa mengalami body shame, cemas berlebihan soal tubuh, bahkan depresi.

Kitab ini banyak berdiri di atas argumen “katanya-katanya” saja. Mualif kerap menukil dari sosok yang disebut “ahli khabar”, “ahli firasat”, atau “ahli hikmah”, tapi tanpa pernah jelas siapa tokohnya. Semua serba anonim. Bukan hanya di bab yang dinukil tadi, tapi nyaris di seluruh isi kitab. Jadi, dasarnya lebih mirip kabar angin daripada rujukan ilmiah.

Ada pula bagian yang bikin kening berkerut. Mualif menulis pendapat “ahli hikmah” bahwa posisi tertentu saat berhubungan seksual bisa memengaruhi jenis kelamin anak. Padahal, sains sudah memastikan hal itu keliru. Jenis kelamin ditentukan oleh kromosom X dan Y yang dibawa sperma, bukan oleh posisi tubuh di ranjang.

Begitu juga soal pembahasan bentuk vagina. Dalam kitab ini, ada klaim seakan-akan bentuk vagina bisa dibaca dari penampilan wajah. Padahal, penelitian medis sudah lama menyebutkan bahwa bentuk dan ukuran vagina sangat beragam dan alami, tanpa standar tertentu.

Citra Tubuh di Era Medsos dan AI

Sekarang coba kita kaitkan dengan era media sosial. Konten soal tubuh, kecantikan, dan standar fisik tersebar begitu cepat. Riset terbaru menunjukkan penggunaan media sosial, terutama yang visual seperti Instagram, Youtube, dan TikTok, punya hubungan dengan masalah citra tubuh. Jadi, ketika klaim ala fisiognomi ikut menyebar di dunia digital, ia menambah beban. Bukan hanya membuat perempuan merasa diawasi, tapi juga memperkuat norma estetika yang menyiksa.

Lebih parah lagi, fisiognomi tidak mati, malah dihidupkan kembali dengan teknologi. Ada riset berjudul The Reanimation of Pseudoscience in Machine Learning and Its Ethical Repercussions memperingatkan, kecerdasan buatan (AI) mulai dipakai untuk “membaca wajah” manusia, bahkan sampai membuat klaim soal moralitas.

Ini bahaya besar, karena bisa melahirkan klaim-klaim diskriminatif berbasis data yang bias. Kalau dulu kitab seperti Fathul Izar hanya beredar di kalangan terbatas, kini versinya bisa menjelajah internet dengan baju baru: algoritma.

Jadi mari kita bicara terus terang. Klaim dalam Fathul Izar tidak punya dasar ilmiah. Menyebarkannya sebagai “ilmu” tentang tubuh perempuan adalah bentuk penyesatan. Lebih buruk lagi, ia bisa menormalkan cara pandang yang mengobjektifikasi perempuan.

Apa yang bisa dilakukan? Pertama, kritik jangan hanya normatif, tapi berbasis bukti. Ulama, dosen, dan santri perlu menunjukkan bahwa klaim fisiognomi runtuh di hadapan metodologi ilmiah. Kedua, pendidikan seksual di pesantren harus diperbaiki. Alih-alih membaca tubuh lewat wajah, mari bicara soal biologi, etika, dan martabat. Perempuan bukan teka-teki yang bisa ditebak dari mata atau bibir. Ketiga, literasi digital harus ditingkatkan. Santri dan masyarakat perlu diajari membedakan ilmu dengan pseudo-science, agar tidak gampang terkecoh oleh klaim viral.

Akhir kata, mengkritik Fathul Izar bukan berarti membuang tradisi pesantren. Kitab kuning bukanlah kitab suci yang punya rate kebenaran 100%. Justru dengan kritik, kita sedang merawat warisan intelektual agar tetap sehat. Tradisi yang benar adalah yang bisa berdialog dengan zaman, bukan yang mengulang klaim keliru yang sudah lama dipatahkan ilmu.

Tubuh Perempuan Bukan Mesin untuk Melahirkan

“Nadong artamu,” begitu kira-kira ucapan Oppung (nenekku) dalam bahasa Batak. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, artinya: “Tidak ada hartamu.” Ucapan itu keluar ketika beliau menanyakan jumlah anak yang kumiliki.

Saat itu, sudah hampir lima tahun aku menikah, dan hingga hari itu aku dan suamiku memilih untuk hanya memiliki satu anak berdasarkan kesepakatan bersama, karena kami ingin berfokus pada kualitas hidup, kesehatan, dan kebahagiaan keluarga kecil kami. Namun, bagi nenekku yang berpegang pada nilai tradisional, keputusan untuk memiliki satu anak terdengar aneh.

Dalam pandangannya, jumlah anak selalu berbanding lurus dengan rezeki dan kebanggaan keluarga.

Aku tahu, nenekku tidak sendiri. Di banyak tradisi di Indonesia, tubuh perempuan memang sering dipandang sebagai ladang subur bagi keluarga dan masyarakat. Perempuan diharapkan melahirkan banyak anak, terutama laki-laki, demi meneruskan garis keturunan. Keputusan kapan hamil, berapa jumlah anak, bahkan apakah akan menggunakan kontrasepsi, jarang benar-benar berada di tangan perempuan.

Tradisi yang Membebani Tubuh Perempuan

Pengalaman pribadiku ini hanyalah satu contoh kecil dari warisan budaya yang lebih luas di Indonesia, ketika tubuh perempuan sering dihubungkan dengan kebanggaan keluarga maupun nilai adat.

Tuntutan agar perempuan melahirkan banyak anak ternyata tidak hanya ada di Batak. Di berbagai daerah lain di Indonesia, aku menemukan narasi serupa yang seolah-olah menempatkan perempuan bukan sebagai manusia utuh, melainkan semacam pabrik anak. Perempuan dianggap harus siap menambah generasi, bahkan dengan beban tuntutan yang tidak masuk akal tentang jenis kelamin bayi.

Dalam masyarakat Jawa, misalnya, kita mengenal pepatah serupa yang akrab di telinga: “banyak anak, banyak rezeki.” Ungkapan sederhana ini sering berubah menjadi standar sosial yang membebani perempuan. Seorang istri yang hanya memiliki sedikit anak atau pun tak kunjung memiliki anak kerap dipandang kurang sempurna, seolah keberadaannya baru lengkap bila mampu melahirkan (banyak) keturunan.

Di Bali, cerita lain hadir dengan wajah yang mirip. Sistem kekerabatan patrilineal membuat keluarga menaruh harapan besar pada kelahiran anak laki-laki. Anak laki-laki dipandang sebagai pewaris nama keluarga sekaligus pelanjut ritual adat. Tidak jarang, bila seorang perempuan hanya melahirkan anak perempuan, ia akan didesak untuk terus hamil hingga mendapatkan anak laki-laki. Memang ada alternatif melalui pernikahan khusus bernama perkawinan nyentana (sentana marriage)[1], saat garis keturunan bisa diteruskan lewat pihak perempuan, tetapi jalan ini sering dianggap tidak lazim dan sarat akan stigma.

Di banyak daerah di Indonesia, kita masih akan terus menemukan fakta bahwa perempuan sering kali tak punya pilihan atas tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan yang dipandang sebagai mesin penghasil anak dan kerap kali diatur oleh masyarakat, adat, bahkan keluarga. Akses terhadap kontrasepsi maupun kebebasan untuk menentukan jumlah anak menjadi semakin terbatas, terutama bagi perempuan yang tinggal di pedesaan atau di lingkungan dengan sumber daya rendah.[2]

Tubuh, Kesuburan, dan Otonomi

Tubuh perempuan bukan alat untuk melahirkan anak. Tubuh perempuan adalah ruang kehidupan yang membawa denyut nadi bayi, rasa sakit saat melahirkan, cinta yang tidak terukur materi, dan kekuatan yang tidak dapat dikalkulasi.

Dari tubuh perempuan inilah,  darah, air susu, dan pelukan hangat lahir, menjadi fondasi pertama bagi tumbuhnya sebuah generasi. Karena itu, tubuh perempuan sejatinya harus dihargai, dijaga, dan dimaknai secara utuh, sebagai sebuah subjek kehidupan yang tak hanya dipandang sebagai mesin produksi anak.

Kesuburan, bagi perempuan, memang sebuah karunia. Tetapi karunia itu tidak bisa dimaknai semata sebagai kewajiban untuk terus-menerus hamil demi memenuhi ekspektasi adat atau pandangan sosial. Menjadi subur tidak berarti harus melahirkan sebanyak mungkin.

Menjadi subur juga bisa berarti merawat tubuh dengan penuh kasih, menghargai kesehatan mental, dan mengambil keputusan dengan sadar.

Sayangnya, kenyataan di Indonesia masih jauh dari ideal. Banyak perempuan belum bisa menikmati otonomi atas tubuhnya. Ada yang hamil bukan karena keinginannya, tetapi karena desakan pasangan, orang tua, atau mertua. Ada pula yang harus menanggung risiko kesehatan karena terlalu sering melahirkan, tubuhnya rapuh sebelum waktunya. Berbagai risiko seperti gigi mudah rapuh, cepat letih, anemia, hingga komplikasi serius pada kehamilan dan persalinan pun harus dihadapi.

Tidak sedikit perempuan yang kehilangan masa mudanya, kesempatan menempuh pendidikan, bahkan kehilangan nyawa karena dipaksa menjalani peran sebagai “mesin kelahiran” tanpa henti. Tidak sedikit perempuan yang dicap “tidak sempurna” hanya karena belum melahirkan anak laki-laki, seolah jenis kelamin anak adalah hal yang bisa ia tentukan sendiri.

Mengubah Narasi “Rezeki”

Rasa-rasanya, sudah saatnya kita berani menggeser narasi lama. Ungkapan “banyak anak banyak rezeki” perlu dimaknai ulang dengan perspektif yang lebih berpihak pada otoritas perempuan atas tubuhnya. Rezeki bukan lagi semata-mata dihitung dari banyaknya anak yang lahir, melainkan dari kualitas kehidupan yang mampu kita hadirkan.

Rezeki bisa berarti anak yang tumbuh sehat, baik secara fisik maupun mental; yang mendapat pendidikan layak; memiliki kesempatan untuk bermimpi; dan dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang. Rezeki juga bisa berarti seorang ibu yang tubuhnya tidak kelelahan oleh kehamilan berulang, melainkan cukup kuat untuk mendampingi anak-anaknya tumbuh hingga dewasa.

Mari kita bayangkan, apakah seorang ibu yang melahirkan lima anak, tetapi hidup dalam kemiskinan, kelelahan, dan tanpa akses kesehatan, benar-benar lebih “kaya” daripada seorang ibu dengan satu anak yang bisa ia besarkan dengan penuh perhatian? Bukankah rezeki sejatinya bukan soal angka, melainkan kualitas hidup yang dirasakan setiap hari?

Ketika seorang perempuan menyatakan hanya ingin memiliki anak dengan jumlah tertentu yang berbeda dari ekspektasi masyarakat, memilih menunda kehamilan, bahkan memutuskan untuk childfree, itu sama sekali bukan tanda kurang bersyukur. Justru, pilihan semacam ini adalah wujud cinta perempuan yang lebih besar; cinta kepada dirinya sendiri, cinta kepada pasangannya, dan cinta kepada anak yang sudah atau akan lahir.

Memiliki otoritas dan otonomi atas tubuh sendiri, bagi perempuan, adalah wujud tanggung jawab sekaligus pengakuan atas martabat kemanusiaan. Sebab tubuh perempuan berhak menentukan jalannya sendiri.

Tubuhku, Milikku

Aku percaya bahwa tubuhku bukan milik adat, bukan milik keluarga besar, bukan milik masyarakat, melainkan milikku sendiri. Di dalam tubuh ini ada suara yang harus didengar dan hak yang harus dihormati. Keputusan tentang kesuburan, tentang jumlah anak, adalah ranahku bersama suamiku, bukan sesuatu yang bisa dipaksakan oleh pandangan orang lain.

Pada akhirnya, toh kebahagiaan keluarga tidak diukur dari banyaknya anak yang lahir, tetapi dari bagaimana kita merawat satu sama lain dengan penuh kesadaran, kesabaran, dan cinta. Anak tidak pernah menjadi angka untuk dibanggakan. Anak adalah manusia dengan haknya sendiri. Dan keputusan untuk melahirkan, sedikit atau banyak, adalah hak perempuan yang harus dilindungi, bukan?

[1] Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan ketika seorang laki-laki atau suami ikut dalam keluarga istrinya, tinggal di rumah istri, dan semua keturunannya menjadi penerus dari pihak keluarga istri.

[2] https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/family-planning-contraception

Ketika Kamar Tidur dan Mimbar Dakwah Jadi Mesin Kuasa

Kalau kita bicara soal seksualitas dan Islam, rasa-rasanya sering sekali menjurus ke urusan melahirkan keturunan. Seolah-olah seks cuma berfungsi serupa mesin pencetak anak. Hal ini jelas terlihat dari banyaknya aturan keagamaan yang bertengger di atas penalaran model itu.

Dalam pandangan fikih yang populer, kita mengenal adanya larangan anal seks, istimna’ (masturbasi), dan ‘azl (senggama terputus). Ketiganya adalah aktivitas seksual yang tak reproduktif. Mungkin pada hal-hal semacam ini dunia kontemporer menyandarkan pandangan keagamaan yang bersikap antipati pada kehadiran kontrasepsi modern. Begitu juga hubungan seksual ketika sedang haid dilarang. Bahkan yang paling keras, sikap terhadap homoseksualitas.

Di sisi lain, seks pro-kreasi yang dianggap sah malah di-endorse. Misalnya nikah muda, katanya biar tidak berzina. Memangnya menikah selalu sama dengan hubungan seksual?

Belum lagi pandangan tentang poligami yang katanya sunah Nabi. Ada juga pandangan bolehnya perceraian kalau tidak bisa mempunyai keturunan, wah jleb banget. Termasuk idealisasi soal keluarga besar dengan banyak anak banyak rezeki. Makin jelas kan? Begitu juga dengan sindiran-sindiran tajam buat menakut-nakuti para istri kalau tidak mau melayani suami.

Melihat Lebih Jujur

Kalau menggunakan kacamata Michel Foucault, semua ini jelas-jelas menunjukkan praktik biopower. Pada titik ini interpretasi ajaran keagamaan bersalin wajah dengan ciamik untuk mengoperasikan kekuasaan. Tubuh dan seksualitas dikontrol semata untuk produksi massa. Semakin banyak anak, makin besarlah komunitas, makin kuat juga daya tawar posisi politik dan sosialnya.

Bahkan kalau kita mau jujur, logika seperti ini mirip dengan agenda proselitisasi atau misi penyebaran agama yang terkandung dalam ajaran Islam itu sendiri. Kita lebih akrab menyebutnya dengan dakwah. Secara sempit intinya selalu dimaknai sebagai usaha menambah-nambah jumlah jamaah. Pastinya sering mendengar celotehan “Yuk bisa yuk! Asyhadu ….”.

Pada masalah ini membangun umat adalah soal adu kuantitas, bukan kualitas. Satu orang pindah agama berarti satu tambahan angka, bonus dan diyakini dapat pahala. Dipikir-pikir sepintas mirip sama strategi multi level marketing (MLM) yang suka dipakai buat promosi produk-produk pabrikan.

Jadi entah lewat kamar tidur atau pun mimbar dakwah, bermain satu logika yang sama yakni reproduksi. Pada akhirnya ber-Islam dipahami sebatas proses kaderisasi anggota yang tak pernah henti. Soal menambah anak biologis maupun anak ideologis. Agama jadi saudara kembar dengan partai politik, berkampanye, mendulang suara, dan mengejar target untuk kemenangan kuasa.

Akar yang Sama

Kesamaan antara prokreasi yang diatur ketat dengan proselitisasi, terletak pada pondasi yang sama. Inilah patriarki. Sebuah logika yang tidak hanya mengatur siapa yang boleh tidur sama siapa, tapi juga menentukan siapa yang berhak menafsirkan ajaran dan menentukan aturan keagamaan. Dari arogansi seperti ini gaya beragama yang fundamentalis, eksklusif, dan sering kali berujung mengonservasi nilai-nilai misoginis juga homofobik, terus membangun kekuatan serta merebut klaim kebenaran tunggal.

Dampaknya muncullah berbagai bentuk kekerasan berbasis gender atas nama agama. Perempuan selalu jadi objek yang diatur, keragaman orientasi seksual dianggap ancaman yang berbahaya. Nah begitu juga dalam tarikan garis yang sama. Teologi yang eksklusif selalu merasa benar sendiri dan menuduh pihak lain sesat dan menyimpang. Di dalam akar ini intoleransi meledak dan merajalela.

Dari semua ini, contoh konkretnya tampak pada rilisnya aneka perda yang diskriminatif berbasis agama di Indonesia. Regulasi dengan pola yang konsisten selalu mengatur moralitas perempuan, juga menjegal pendirian rumah ibadah kelompok agama lain. Kasus yang kentara yakni jilbab, kadang dilarang dan kadang juga dipaksa memakainya. Pastinya masalah ini khas banget dengan pengalaman keagamaan perempuan. Perempuan selalu jadi korbannya.

Sekarang kita telah menemukan benang merahnya, sebuah siklus dan mata rantai kekerasan atas nama agama terus berputar. Tafsir seolah lahir di ruang hampa, padahal telah merenggut banyak pilu sebagaimana suara-suara para korban dan penyintas yang memekik menuntut keadilan. Narasi prokreasi langgeng menyusup dalam tulang dan sumsum, bergema lewat pengajian kita. Satu per satu menjelma ribuan kader yang siap meluapkan aspirasi dan ambisi soal hegemoni bagi sesamanya.

Tegas, agama bukanlah suara yang arbitrer. Ia berada di medan semantik mana, ikut bergemuruh di dalam pertarungan sosial-politik yang penuh jumawa.

Refleksi

Seksualitas prokreasi dan dakwah klasik mungkin berguna sebagai cara survival pada awal terbentuknya komunitas umat beriman. Di hari-hari yang lalu, jumlah pengikut sangat menentukan kekuatan apalagi berhadapan dengan kezaliman yang lebih besar. Tapi ketika sudah datang di masa kini, masihkah kita perlu berdiri di atas pandangan ini? Apakah betul kita sedang mempertahankan diri atau sedang berbalas dendam, berbuah represi, dan terlena dengan kekuasaan?

Di dalam nama Allah yang Maha Rahim, ber-Islam seharusnya menggenggam semangat kasih sayang. Laksana rahim yang menumpahkan darah demi menyokong kehidupan yang tumbuh di dalamnya. Dia bukan ambisi menjadi banyak, tapi cerita tentang pengorbanan. Rintih kehamilan adalah bahasa kepedulian. Rahim bukanlah simbol kekerasan, ia adalah tempat kasih sayang tercurah untuk yang pertama kalinya bagi anak-anak Hawa.

Di dalam semangat inilah seharusnya seksualitas Islam diberitakan, juga begitu bagi makna dakwah yang bercita rahmat bagi semesta alam.

Stigma Kontrasepsi yang Mengorbankan Perempuan

Pada umumnya, kontrasepsi hanya dikenal sebagai alat untuk mencegah kehamilan yang digunakan oleh pasangan yang sudah menikah. Jenis-jenis kontrasepsi tersebut berupa pil, suntik, implan, intrauterine device (IUD), tubektomi, vasektomi, dan kondom. Faktanya, kontrasepsi juga dapat digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit yang muncul di tubuh perempuan. Jenis kontrasepsi yang dimaksud disini adalah pil KB.

Pil ini dapat mengatur siklus menstruasi dan mengatasi menstruasi yang berlebihan. Hal ini membantu meningkatkan simpanan zat besi pada tubuh kita dan mencegah gejala PCOS. Pil KB juga bantu mencegah kanker ovarium dan endometrium serta penyakit payudara seperti fibroadenoma. Studi terbaru juga menunjukkan bahwa penggunaan pil ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya artritis reumatoid. [1]

Sudah terbukti bahwa penggunaan pil KB lebih luas daripada sekedar alat kontrasepsi. Oleh sebab itu, penggunanya tidak hanya yang sudah menikah, tapi juga remaja dan perempuan yang belum menikah dengan berbagai kondisi kesehatan. Namun, mengapa publik masih memiliki stigma penggunaan pil KB bagi yang lain kecuali yang sudah menikah?

Di tengah masyarakat yang menganggap pendidikan seksual adalah subjek yang tabu, terdapat banyak kepercayaan menyimpang dan mitos sekitaran subjek ini. Misalnya, kepercayaan bahwa kontrasepsi yang digunakan oleh yang belum menikah memiliki kaitan dengan seks bebas atau penyakit seksual yang menular.[2]

Tanggapan ini berasal dari kurangnya sosialisasi kesehatan reproduksi dan guna pemakaian alat kontrasepsi secara menyeluruh. Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya patriarki di masyarakat juga menjadi faktor utama kepercayaan menyimpang ini eksis.

Salah satu bukti nyata budaya patriarki ini ditunjukkan dari perempuan yang dijadikan sasaran utama program KB untuk menurunkan tingkat kelahiran oleh pemerintah. Penyediaan alat kontrasepsi untuk wanita terdapat berbagai macam jenis termasuk IUD, suntik, pil, implan, dan tubektomi. Sedangkan untuk laki-laki hanya disediakan pilihan vasektomi dan kondom.

Usulan pemerintah dalam menerapkan alat kontrasepsi yang lebih berat ditujukan kepada perempuan mendukung stigma pemakaian kontrasepsi hanya untuk perempuan yang ingin mencegah kehamilan. Dan yang lebih perlu dicermati lagi, program KB yang seringkali dijadikan kewajiban perempuan adalah bentuk kontrol pemerintah terhadap tubuh perempuan.

Program ini juga hanya bisa dilakukan jika didukung oleh keputusan laki-laki sebagai suami. Otoritas perempuan untuk mengatur tubuh mereka sendiri dan mengakses kontrasepsi sesuai keinginan mereka dihilangkan dan diberikan kepada pemerintah dan laki-laki. Perempuan hanya dilihat sebagai objek tempat melahirkan dan mencegah kelahiran anak.

Stigma dan budaya patriarki ini menjadi faktor besar kesulitan akses pil KB untuk banyak perempuan. Kendatipun prioritas alat kontrasepsi ini ditujukan pada perempuan, perempuan yang dimaksud adalah yang ingin menunda atau mencegah kehamilannya.[3] Sedangkan perempuan lainnya dengan kebutuhan untuk menyembuhkan gangguan kesehatan menjadi sungkan untuk mendapatkan bantuan dari obgyn atau menggunakan pil KB karena takut akan prasangka dari masyarakat.

Tidak hanya orang awam, bahkan petugas medis yang bertanggung jawab untuk memberikan bantuan kepada perempuan-perempuan ini juga memiliki sikap yang sama akan masalah ini. Di sekitar kita sering kita mendengar pengalaman perempuan yang belum menikah mendapati diskriminasi di tempat praktik kesehatan (khususnya obgyn) karena mereka ingin mendapatkan akses pil KB.[4]

Tantangan yang dihadapi perempuan untuk mendapatkan akses kesehatan sudah cukup banyak, belum lagi dihitung dengan dampak negatif yang disebabkan oleh obat ini. Studi menyebutkan pil KB dapat memicu gangguan siklus menstruasi, efek samping hormonal, dan ketidaksuburan. Walaupun penggunaan pil KB dikaitkan dengan penurunan risiko kanker ovarium dan endometrium, di sisi lain, terdapat penelitian yang mengindikasikan pemakaian obat ini dapat meningkatkan risiko terhadap kanker payudara dan kanker serviks.[5]

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah merekomendasikan jaminan pelayanan komprehensif dari pemerintah untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang mengakses kontrasepsi.[6] Dan saatnya kita juga menghapus stigma terhadap perempuan yang membutuhkan kontrasepsi tidak hanya karena jalan yang ditempuh untuk mendapat akses obat ini saja sudah cukup sulit, tapi juga untuk menghilangkan budaya patriarki di masyarakat yang dapat mengancam kesejahteraan hidup perempuan.

 

Referensi:

Otonomi Tubuh Perempuan Terancam: Mengurai PMK No. 2 Tahun 2025

Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi baru-baru ini menjadi sorotan tajam. Regulasi ini dinilai membatasi akses perempuan terhadap layanan aborsi aman dan mengancam otonomi tubuh perempuan. Tidak sedikit aktivis hak asasi manusia, organisasi perempuan, dan kelompok difabel yang menyuarakan kritik, karena kebijakan ini justru memperkuat stigma terhadap perempuan dan mengabaikan hak-hak reproduksi yang selama ini diperjuangkan.

Menurut Yayasan Kesehatan Perempuan (2025), kebijakan ini masih jauh dari prinsip penghormatan terhadap otonomi tubuh perempuan dan keadilan dalam layanan kesehatan reproduksi.

Salah satu isu paling krusial dalam PMK No. 2/2025 adalah persyaratan administratif yang berlapis. Perempuan yang ingin mengakses layanan aborsi harus mendapatkan persetujuan dari dokter, penyidik, tim pertimbangan, dan harus melalui proses konseling yang panjang. Prosedur ini jelas bisa menunda tindakan medis yang seharusnya segera dilakukan, terutama bagi korban kekerasan seksual dan perempuan dalam kondisi darurat medis.

Kondisi ini bukan sekadar birokrasi, tetapi berdampak nyata pada keselamatan dan kesehatan perempuan. Hal ini juga menimbulkan beban psikologis, karena perempuan harus menghadapi proses panjang dan sering kali intimidatif, yang dapat memperparah trauma yang sudah mereka alami.

Lebih dari itu, PMK No. 2/2025 jelas mengabaikan prinsip otonomi tubuh perempuan. Dalam pasal-pasal tertentu, keputusan untuk tindakan aborsi tidak hanya berdasarkan keputusan perempuan itu sendiri, tetapi juga memerlukan persetujuan dari pasangan atau keluarga. Ketentuan ini secara nyata menempatkan perempuan bukan sebagai subjek yang memiliki hak atas tubuhnya sendiri, tetapi sebagai objek yang harus mendapatkan izin dari pihak lain.

Menurut Benedicta (2011), otonomi tubuh merupakan hak fundamental setiap individu, dan setiap regulasi yang membatasi hak ini tanpa alasan medis yang sah adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dengan persyaratan seperti ini, perempuan sering kali menghadapi dilema antara menyelamatkan nyawa dan mematuhi prosedur hukum yang kompleks.

Tidak hanya itu, PMK No. 2/2025 juga dianggap diskriminatif terhadap kelompok rentan, termasuk perempuan penyandang disabilitas. Regulasi ini menyatakan bahwa individu dengan disabilitas dianggap tidak cakap membuat keputusan dan harus mendapat persetujuan dari wali atau tenaga medis. Ketentuan semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip inklusivitas dan non-diskriminasi yang diamanatkan dalam Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023.

Menurut Sunjaya (2025), perlindungan hak perempuan penyandang disabilitas harus memastikan bahwa mereka dapat membuat keputusan sendiri atas tubuh mereka, dengan dukungan yang memadai, bukan justru dikesampingkan melalui kebijakan yang mengekang. Kebijakan diskriminatif seperti ini menambah ketidakadilan dan memperkuat marginalisasi terhadap perempuan difabel, padahal mereka sama berhaknya untuk menentukan jalan hidup dan pilihan reproduksinya.

Selain itu, PMK No. 2/2025 dinilai bertentangan dengan standar internasional mengenai hak kesehatan reproduksi. LBH Masyarakat (2025) menekankan bahwa regulasi ini tidak sejalan dengan berbagai konvensi internasional yang mengakui hak perempuan untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi yang aman, legal, dan bebas diskriminasi.

Standar internasional tersebut menegaskan bahwa perempuan berhak membuat keputusan sendiri terkait tubuhnya, mendapatkan layanan medis tanpa hambatan birokrasi, dan memperoleh perlindungan hukum yang memadai jika menjadi korban kekerasan seksual. Dengan membatasi akses melalui persyaratan yang berbelit dan kewajiban persetujuan dari pihak ketiga, PMK No. 2/2025 justru menjauhkan Indonesia dari prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara global.

Langkah-langkah yang perlu diambil untuk memperbaiki situasi ini sebenarnya cukup jelas. Pertama, persyaratan administratif yang rumit harus disederhanakan atau dihapus, terutama dalam situasi darurat medis, agar perempuan dapat segera mengakses layanan aborsi aman tanpa menunggu proses panjang (Sunjaya, 2025).

Kedua, kewajiban persetujuan dari pasangan atau keluarga dalam kasus darurat medis harus dihapuskan, sehingga perempuan memiliki kendali penuh atas keputusan medisnya sendiri. Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas tenaga medis, terutama di wilayah 3T, agar layanan aborsi aman dapat tersedia secara cepat dan berkualitas tinggi.

Keempat, perempuan penyandang disabilitas harus diberikan mekanisme dukungan yang memungkinkan mereka membuat keputusan medis secara mandiri, bukan sebaliknya dibatasi (Benedicta, 2011). Kelima, proses penyusunan kebijakan kesehatan reproduksi harus melibatkan perempuan dan kelompok rentan, agar kebijakan yang dibuat benar-benar mencerminkan kebutuhan dan hak mereka.

Selain aspek teknis dan legal, penting juga untuk melihat dampak sosial dan psikologis dari regulasi ini. Pembatasan akses layanan aborsi aman berpotensi meningkatkan praktik aborsi ilegal yang tidak aman, yang risiko komplikasinya jauh lebih tinggi dan bisa mengancam nyawa perempuan. Stigma sosial yang diperkuat oleh regulasi ini juga membuat perempuan merasa malu atau takut mencari bantuan medis, sehingga kesehatan mental mereka terdampak. Menurut Benedicta (2011), tekanan sosial dan stigma terkait tubuh dan reproduksi perempuan merupakan bentuk pengendalian sosial yang sering kali diabaikan dalam perumusan kebijakan, tetapi berdampak nyata pada kesejahteraan perempuan.

Peraturan ini juga menjadi refleksi bagaimana negara dan sistem sosial masih kerap mengontrol tubuh perempuan melalui aturan yang seharusnya bersifat protektif. Padahal, otonomi tubuh dan kebebasan menentukan pilihan reproduksi merupakan bagian dari hak fundamental yang harus dilindungi. Menurut Yayasan Kesehatan Perempuan (2025), perempuan harus bisa menentukan jalannya sendiri tanpa harus melalui persetujuan pihak lain, apalagi dalam situasi darurat medis atau ketika menjadi korban kekerasan. Hal ini bukan hanya soal hukum atau medis, tetapi juga tentang hak asasi manusia dan kesetaraan gender.

Kesimpulannya, PMK No. 2/2025 merupakan langkah mundur dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia. Regulasi ini membatasi akses perempuan terhadap layanan aborsi aman, menambah hambatan bagi perempuan difabel, dan mengancam prinsip otonomi tubuh perempuan.

Untuk itu, revisi regulasi sangat diperlukan agar sesuai dengan prinsip keadilan reproduksi dan hak asasi manusia, sekaligus memastikan bahwa semua perempuan, termasuk kelompok rentan, dapat mengakses layanan kesehatan reproduksi yang aman, legal, dan bebas diskriminasi. Tanpa perubahan nyata, perempuan akan terus menghadapi ketidakadilan struktural dalam mengakses hak paling dasar atas tubuh dan reproduksinya.

 

Referensi

Benedicta, G. D. (2011). Dinamika otonomi tubuh perempuan: Antara kuasa dan negosiasi atas tubuh. Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 16(2). https://scholarhub.ui.ac.id/mjs/vol16/iss2/2/

LBH Masyarakat. (2025). Ilusi kebaruan peraturan Menteri Kesehatan No.02 Tahun 2025: Regulasi berbahaya yang memukul mundur pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi. https://lbhmasyarakat.org/ilusi-kebaruan-peraturan-menteri-kesehatan-no-02-tahun-2025/

Sunjaya, P. (2025). Analisis hukum Islam dan hukum positif terhadap aborsi akibat rudapaksa [Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta]. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/86961/1/SKRIPSI%20PUTRI%20SUNJAYA%20%28FINAL%20WISUDA%201%29.pdf

Yayasan Kesehatan Perempuan. (2025). PMK No. 2/2025: Aksesibilitas layanan aborsi aman masih jauh dari penghormatan otonomi tubuh perempuan yang berkeadilan. https://ykp.or.id/pmk-no-2-2025-aksesibilitas-layanan-aborsi-aman-masih-jauh-dari-penghormatan-otonomi-tubuh-perempuan-yang-berkeadilan/