Dengan atau Tanpa Anak, Tubuh Perempuan Tetap Berharga
Beberapa hari yang lalu di beranda media sosial saya ramai tentang perdebatan soal nilai tubuh perempuan. Bagi sebagian orang, ternyata sangat wajar seorang laki-laki meninggalkan pasangannya hanya karena ia tidak mampu, atau tidak mau memiliki anak.
Bahkan di kolom komentar, para laki-laki lain pun ikut merayakan pernyataan tersebut. Katanya “wajar gak sih suami menuntut istri punya anak. Kan emang tujuan pernikahan tuh buat punya keturunan”. “Kalau emang gak punya anak, entah karena pilihan atau emang mandul, ya suami boleh-boleh aja menceraikannya, atau mungkin bisa diatasi dengan poligami”.
Membaca komentar-komentar tersebut membuat saya gemetar dan marah. Rasa-rasanya, sejak lahir tubuh perempuan tidak pernah menjadi miliknya sendiri. Bayangkan, ketika ia lahir, vaginanya sudah diperdebatkan apakah harus disunat atau tidak.
Bersamaan dengan itu, ia juga akan terus dinilai dan dikontrol sesuai keinginan orang-orang di sekitarnya. Yang dalam banyak realitas sosial, pihak laki-lakilah yang punya hak untuk menentukan apa yang boleh dan tidak atas tubuh perempuan. Misalnya anak perempuan hanya boleh main boneka, tidak dengan mobil-mobilan, hanya boleh bermain masak-masakan, tidak dengan memanjat pohon.
Kontrol atas tubuh perempuan ini berlanjut hingga kehidupan rumah tangga. Setelah menikah, sebagian laki-laki masih menganggap perempuan sebagai mesin pencetak anak, yang harus memberikan anak, dan kalau bisa, bahkan pada sebagian masyarakat hari ini masih diwajibkan, adalah anak laki-laki.
Bahkan untuk menguatkan kontrol ini, perempuan dianggap lemah dan tidak bernilai ketika ia tidak bisa menjadi ibu atau tidak mau memiliki anak (memilih childfree). Dalam kasus yang lebih memprihatinkan, seorang laki-laki bisa meninggalkan, bahkan menduakan istrinya, hanya karena ia tidak memperoleh keturunan yang diinginkannya.
Kenyataan pahit atas tubuh perempuan tersebut sangat pas sekali dengan pembacaan Ester Lianawati dalam buku “Dari Rahim ini Aku Bicara”. Dalam pemaparannya disebutkan bahwa dalam masyarakat patriarki, rahim perempuan harus menghasilkan.
Karena itu, demi menghasilkan sebanyak mungkin anak, praktik-praktik yang mendukung kelahiran diupayakan, seperti poligami, larangan penggunaan kontrasepsi, larangan aborsi, larangan onani, dan bahkan larangan homoseksualitas.
Tubuh Perempuan yang Ditindas
Hal tersebut semakin memperlihatkan dengan jelas bagaimana patriarki terus menerus menindas perempuan. Ia hanya bernilai ketika tubuhnya mampu memberikan apa yang diinginkan oleh konstruksi sosial.
Perempuan kerap dianggap berharga hanya ketika mampu melahirkan, bahkan dalam pandangan sempit, harus melahirkan secara pervaginam (bayi lahir alami melalui jalan lahir). Ia dinilai cantik ketika tubuhnya tetap putih, langsing, awet muda, dan tanpa keriput, meski usia terus bertambah. Perempuan juga baru mendapat pujian jika tidak banyak bicara dan sanggup mengerjakan kerja-kerja domestik seorang diri, meski sebenarnya ia sedang kelelahan.
Menurut Ester, tuntutan-tuntutan tersebut bukan hanya merampas kepemilikan perempuan atas tubuhnya sendiri, tetapi juga memecah belah sesama perempuan. Perempuan dengan anak vs perempuan tanpa anak.
Karena itu, tak heran jika dalam pembicaraan soal anak, perempuanlah yang lebih dulu disalahkan, bahkan tidak jarang justru menyalahkan diri sendiri. Ia merasa tak berharga ketika belum bisa menjadi ibu, sekaligus iri pada mereka yang sudah memiliki anak. Akhirnya mereka terjebak pada kondisi memandang perempuan lain sebagai saingan.
Begitu pun dengan perempuan yang memilih childfree, sering kali ia dipandang sebagai perempuan yang tidak berguna dan melanggar kodrat sebagai perempuan.
Dalam kondisi seperti ini, Ester dalam buku yang sama mengingatkan perempuan untuk merebut kembali otonomi tubuhnya sendiri. Ya, meski perempuan terlahir dengan rahim, ia tetap punya kontrol atas dirinya sendiri. Menjadi ibu ataupun childfree hendaknya menjadi pilihan, bukan tuntutan dan bukan kewajiban.
Sudah saatnya kita hentikan pembangkitan rasa bersalah pada perempuan. Dengan atau tanpa anak, tubuhnya tetap bernilai. Ia tetap berharga dengan menjadi dirinya sendiri.
Terakhir, barangkali puisi Ester di penutup buku “Dari Rahim ini Aku Bicara” bisa merangkul setiap perempuan yang tengah berjuang merebut otonomi tubuhnya sendiri.
Dari rahim ini aku bicara,
Untuk perempuan yang tidak punya anak,
Untuk perempuan yang punya anak satu, dua, atau sepuluh anak,
Untuk perempuan yang tidak ingin punya anak,
Untuk perempuan yang berusaha keras untuk punya anak,
Untuk perempuan yang belum tahu apakah ingin atau tidak ingin punya anak,
Untuk perempuan yang kehilangan anak,
Untuk perempuan yang tengah kerepotan mengurus anak.
Untuk perempuan yang sedang tertekan oleh tuntutan untuk segera punya anak
Dari rahim inilah, aku bicara hari ini,
Bukan sebagai ibu, bukan sebagai istri, bukan sebagai perawan, bukan sebagai pelacur,
Melainkan sebagai perempuan,
Mari bersama kita lanjutkan perlawanan dan pertempuran,
Merebut kembali rahim ini, memiliki tubuh kita sendiri: Tubuh Perempuan.









