Ketika Jilbab Dijadikan Alat Kontrol atas Tubuh Perempuan

Sejak dahulu, tubuh perempuan selalu menjadi arena tarik-menarik antara agama, budaya, dan sistem sosial. Hampir di setiap ruang publik, standar nilai terhadap perempuan kerap dilekatkan pada bagaimana ia berpakaian, apakah menutup atau menampilkan tubuhnya.

Terlebih, dalam konteks sebagian besar masyarakat Muslim, standar itu kemudian menemukan bentuk yang lebih konkret melalui kewajiban berjilbab, yang sering dijadikan instrumen paling nyata untuk mengontrol tubuh perempuan.

Di banyak negara, termasuk Indonesia, jilbab kerap diposisikan bukan hanya sebagai ekspresi gaya hidup, melainkan juga sebagai standar moralitas, bahkan menjadi alat ukur kesalehan perempuan.

Karena kerapkali seorang perempuan yang tidak berjilbab mendapat stigma sebagai perempuan nakal, kurang iman, atau tidak patuh pada agama. Sebaliknya, mereka yang berjilbab kerapkali dipuji sebagai salehah, meskipun perilakunya belum tentu sesuai pujian tersebut.

Oleh karena itu, realitas tentang kewajiban berjilbab ini menunjukkan betapa kuatnya sistem sosial kita mengontrol tubuh perempuan, seolah-olah perempuan hanya bisa memperoleh legitimasi sosial ketika tubuhnya sesuai dengan standar yang ditetapkan masyarakat.

Michel Foucault, seorang filsuf Prancis, pernah menjelaskan bahwa kekuasaan modern bekerja melalui pengawasan tubuh. Tubuh menurutnya, kerapkali dijadikan objek untuk mengatur: apa yang boleh dipakai, bagaimana harus duduk, bicara, hingga bergerak.

Dalam masyarakat kita, hal ini sangat terasa pada tubuh perempuan. Ada aturan ketat yang menempel pada mereka. Misalnya, soal kewajiban berjilbab. Perempuan dipaksa untuk mematuhi aturan berpakaian tertentu atas nama agama, padahal interpretasi tentang aurat dalam Islam sebenarnya beragam.

Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, penggagas tafsir mubadalah memberikan pandangan kritis dalam isu ini. Menurut beliau, Islam tidak datang untuk mengontrol tubuh perempuan, melainkan untuk melindungi martabat manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam tafsir mubadalah, ayat-ayat tentang aurat dan pakaian bisa kita dipahami sebagai etika berpakaian yang berlaku secara timbal balik. Artinya, bukan hanya perempuan yang diminta menjaga kehormatan, tetapi juga laki-laki.

Allah Swt memerintahkan laki-laki untuk menundukkan pandangan sebelum menyebut soal jilbab bagi perempuan (QS. an-Nur: 30-31). Hal ini jelas menunjukkan bahwa tanggung jawab menjaga moral bukan hanya dibebankan kepada perempuan. Tapi laki-laki juga wajib menjaganya.

Bahkan, Kiai Faqih menekankan bahwa kewajiban berjilbab tidak boleh dimaknai sebagai pemaksaan agama, sosial, budaya maupun negara. Karena sesungguhnya berjilbab adalah pilihan dan hak perempuan. Sehingga, ketika perempuan dipaksakan untuk berjilbab, maka ia menjadi korban dari tuntutan kepatuhan pada sistem sosial yang patriarkal.

Jilbab sebagai Identitas atau Alat Kontrol?

Di banyak ruang, jilbab telah berubah dari simbol spiritual menjadi simbol politik identitas. Ada lembaga yang menjadikannya syarat bekerja, ada sekolah yang mengharuskannya bagi siswi, bahkan menurut laporan Human Rights Watch (HRW) sedikitnya ada 70 peraturan daerah (Perda) di Indonesia yang mewajibkan anak perempuan wajib mengenakan jilbab.

Padahal, jika kita kembali pada nilai dasar Islam, pilihan berjilbab atau berpakaian mestinya dikembalikan pada kesadaran dan tanggung jawab masing-masing perempuan.

Bahkan, ketika negara atau masyarakat memaksa jilbab, sesungguhnya yang terjadi adalah pelanggaran hak asasi. Karena dari pemaksaan tersebut, perempuan telah kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.

Terlebih jika ada perempuan yang memilih tidak berjilbab, maka sering kali ia dipandang lebih rendah daripada yang berjilbab. Inilah problem utama ketika tubuh perempuan seringkali dijadikan objek kontrol sosial.

Sementara itu, kontrol sosial terhadap tubuh perempuan melalui jilbab juga seringkali dibalut dengan narasi melindungi perempuan. Namun, dalam praktiknya, justru banyak perempuan yang berjilbab menjadi korban pelecehan seksual, catcalling dan lain sebagainya. Artinya begitu beratnya penderitaan perempuan: tubuh sudah dikontrol, eh menjadi korban pelecehan seksual pula.

Oleh sebab itu, Kiai Faqih sering mengingatkan bahwa agama hadir untuk menciptakan kemaslahatan dan keadilan. Jika sebuah tafsir atau praktik sosial justru menimbulkan mudarat seperti diskriminasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Maka tafsir tersebut perlu ditinjau ulang. Karena sesungguhnya etika berpakaian dalam Islam, menurut beliau, harus dilihat sebagai cara menjaga martabat, bukan mengontrol tubuh.

Dengan demikian, sudah saatnya masyarakat mengubah cara pandangnya terhadap tubuh perempuan. Jilbab tentu dapat menjadi pilihan masing-masing perempuan, namun ketika diposisikan sebagai alat kontrol, maka makna dan nilainya justru hilang.

Pada akhirnya, yang perlu ditegaskan adalah bahwa tubuh perempuan merupakan bagian dari kemanusiaan yang utuh dan berdaulat. Karena itu, segala bentuk paksaan atas tubuh perempuan tidak boleh dibenarkan. []

Trauma Kolektif Perempuan: Bagaimana Kekerasan Membentuk Ketakutan Kepada Perempuan?

Aku takut pacaran kak. Bayangin kalau aku punya pacar terus ngamuk ke pacarku. Takut aku dibunuh kayak yang lagi viral,” kata seorang perempuan ketika saya sarankan untuk punya pacar setelah bercerita pengalaman sedihnya menyelesaikan skripsi yang begitu sulit menemui dosen.

Kalimat tersebut bukanlah sebuah alasan bercanda. Justru, kita bisa memastikan bahwa alasan tersebut bisa juga dimiliki oleh perempuan lain untuk menghindari pacaran bahkan takut menikah dengan alasan takut dibunuh. Alasan tersebut sangat masuk akal jika melihat data pernikahan di Indonesia yang menunjukkan tren penurunan drastis dalam satu dekade terakhir, mencapai angka terendah dalam 10 tahun pada tahun 2024 dengan sekitar 1,48 juta pernikahan.

Penurunan angka pernikahan di Indonesia disebabkan berbagai faktor kompleks, termasuk kemandirian dan otonomi perempuan, kesulitan ekonomi, perubahan gaya hidup dan nilai sosial, ketidakstabilan finansial dan kematangan mental sebelum menikah, serta pengaruh negatif media sosial yang menampilkan kasus KDRT dan perceraian.

Tidak bisa dipungkiri bahwa, pemberitaan tentang femisida yang dilakukan oleh orang terdekat, mulai dari anggota keluarga, suami atau bahkan pacar, akan membuat setiap perempuan berpikir ulang untuk menjalani hubungan dekat dengan lawan jenis. Sebab yang paling dirugikan dalam hubungan laki-laki dan perempuan adalah pihak perempuan dengan banyaknya kasus femisida. Ini juga menjadi alasan bahwa trauma kolektif perempuan korban femisida akan berjalan.

Ketika femisida semakin marak, pemerintah tidak mengambil langkah tegas untuk mencegah bahkan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku, serta media terus menerus memberikan informasi tentang femisida dengan begitu keji, maka akan berdampak terhadap kehidupan perempuan lain, yang kemudian kita kenal sebagai trauma kolektif.

Trauma kolektif adalah luka psikologis dan emosional yang dialami bukan hanya oleh individu, tapi oleh sekelompok orang atau masyarakat secara bersama-sama akibat peristiwa traumatis besar. Luka ini biasanya dalami dari peristiwa besar seperti: bencana alam, perang/konflik, kolonialisme atau penjajahan dan kekerasan berbasis gender. Mengapa peristiwa tersebut meninggalkan luka mendalam? Sebab secara histori, peristiwa tersebut meninggalkan jejak lintas generasi yang begitu mendalam.

Tragedi 1998 misalnya. Peristiwa tersebut tidak hanya berbicara soal ‘amuk massa’ atas krisis ekonomi dan ketidakpuasan terhadap rezim Orde Baru.  Lebih ekstrem lagi, kekerasan sistematis tersusun, termasuk pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa.

Sayangnya, narasi tersebut seolah kabur dalam memetakan siapa yang terlibat, siapa yang bertanggungjawab, dan bagaimana kekerasan dibiarkan terjadi. Konsekuensinya, absennya pengakuan dan penegakan hukum atas terjadinya  pelanggaran HAM yang terjadi justru abai terhadap pemenuhan hak-hak korban yang berpotensi terjadinya kekerasan berulang, bahkan memperkuat impunitas.

Trauma yang dimiliki oleh generasi sebelumnya, mengakibatkan ketakutan yang mendalam bagi generasi selanjutnya untuk mengambil langkah terhadap sesuatu. Dalam konteks femisida, kita sebagai perempuan dihantui rasa takut untuk keluar malam sendiri, punya pacar ataupun menikah. Sebab sejauh ini, pelaku femisida adalah orang terdekat, seperti pacar, suami atau anggota keluarga yang lain.

Bagaimana feminisme melihat kasus femisida?

Teori Feminis menjelaskan bahwa, masyarakat yang dibangun dalam sistem patriarki akan menciptakan ketimpangan yang begitu besar dan banyak sekali merugikan perempuan, mulai dari pembakuan peran domestik kepada perempuan, hingga peluang lebih kecil bagi perempuan untuk beraktivitas di ruang publik. Dalam konteks kekerasan seksual, kasus femisida bukan kekerasan individual semata, namun juga bagian dar struktur sosial.

Femisida adalah bagian tertinggi/tahta ekstrem patriarki. Mengapa? Ketika laki-laki merasa berhak atas tubuh perempuan, ia akan melakukan hal keji kepada perempuan karena merasa memiliki sepenuhnya terhadap tubuh perempuan itu sendiri.

Di samping itu, masyarakat lebih menyalahkan korban seperti menggugat living together. Jika femisida dilakukan oleh seorang suami, masyarakat menggugat alasan si korban menikah dengan laki-laki temperamen. Sampai di sini, bukankah kita jadi tahu mengapa menjadi korban adalah beban berlipat?

Trauma Kolektif yang Diwariskan

Kai Erikson (1976) dalam buku Everything in Its Path, menyinggung terkait adanya trauma kolektif. Teori tersebut didasarkan pada dampak banjir besar yang terjadi di Buffalo Creek (AS) yang terjadi pada 26 Februari 1972 di wilayah Pocahontas Country, West Virginia Amerika Serikat, di mana jebakan batu bara yang gagal meruntuh dan memicu banjir bandang yang mematikan. Peristiwa tersebut menewaskan 118 orang dan menghancurkan 1.000 rumah serta menelantarkan sekitar 4.000 orang.

Pasca bencana tersebut, ternyata trauma yang tidak hanya terjadi pada individu, namun menghancurkan ikatan sosial, identitas bersama dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Trauma tidak hanya dialami oleh korban, akan tetapi juga orang lain yang juga tinggal di wilayah yang sama bahkan generasi selanjutnya dengan berbagai cerita yang dilanggengkan.

Trauma kolektif juga tidak hanya luka psikologis, akan tetapi juga cerita yang diwariskan kepada generasi selanjutnya ataupun narasi yang disampaikan melalui media, yang membuat masyarakat meyakini suatu cerita tersebut.

Dalam konteks femisida, misalnya. Kalimat larangan, seperti “jangan living together, nanti dibunuh”, “hati-hati sama laki-laki”, “perempuan jangan keluar malam”, adalah kalimat warisan lintas generasi yang dapat menyebabkan perempuan takut dan memiliki anggapan bahwa laki-laki adalah sosok yang jahat, dan kapan saja bisa membunuh perempuan.

Jika amarahnya meledak, maka perempuan, yang berperan sebagai pacar atau pun istri, bisa dibunuh. Ketakutan tersebut pasti dirasakan oleh setiap perempuan. Hal tersebut juga diperparah dengan media yang menampilkan banyaknya kasus femisida yang begitu masif.

Apabila pemerintah tidak memiliki strategi yang cukup baik dalam melakukan upaya preventif, serta hukuman yang tegas terhadap pelaku femisida, maka trauma kolektif terhadap hubungan individu (red: laki-laki dengan perempuan), akan terus diturunkan.

Perempuan dalam Pusaran Budaya: Membongkar Patriarki dalam Tradisi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Perempuan saat ini dan di masa lampau jelas menghadapi konflik yang berbeda. Perempuan yang tinggal di kota tidak mengalami tantangan yang sama dengan mereka yang hidup di desa. Namun, di balik segala perbedaan itu terdapat satu kesamaan yang mengikat yakni hasrat untuk dihargai sebagai manusia seutuhnya.

Sejarah feminisme di Indonesia memperlihatkan bagaimana perempuan terus berusaha melampaui batasan sosial dan budaya yang selama ini mengekang mereka. Dalam sejarah, Raden Ajeng Kartini kerap dijadikan simbol utama emansipasi perempuan. R.A Kartini berjuang membuka pintu akses pendidikan dan kebebasan berpikir, terutama bagi perempuan bangsawan Jawa yang terkekang oleh adat.

Namun, satu pertanyaan penting patut direnungkan, “Bagaimana jika R.A Kartini bukanlah seorang bangsawan, melainkan gadis biasa dari desa?” Status Kartini sebagai bagian dari elite priyayi memberinya ruang dan akses yang tidak dimiliki perempuan kebanyakan.

Di balik ketenaran R.A Kartini, ada sosok perempuan bernama Rohana Kudus dari Koto Gadang, Sumatera Barat. Berbeda dengan R.A Kartini, Rohana tidak lahir dari keluarga bangsawan. Meskipun namanya tidak setenar R.A Kartini, perjuangan Rohana juga sangat signifikan. Ia mendirikan sekolah dan surat kabar perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi dan adat yang membatasi ruang gerak perempuan.

Dari Rohana kita melihat bahwa perjuangan perempuan tidak hanya terjadi di kalangan bangsawan tetapi juga di akar rumput, meskipun jalannya jauh lebih terjal. Perbandingan antara R.A Kartini dan Rohana kerap memunculkan anggapan bahwa R.A Kartini memulai perjuangan dari ‘angka satu’, bukan dari nol, karena ia memiliki modal awal berupa akses dan privilege.

Hal ini sering kali memunculkan paradigma bahwa perjuangan perempuan yang memiliki akses dianggap ‘lebih mudah’. Namun, apakah benar akses yang lebih luas otomatis membuat perjuangan menuju kesetaraan lebih mudah? Pertanyaan ini membuka ruang refleksi baru, terutama ketika kita melihat kehidupan perempuan di lingkungan keraton.

Tampak dari luar perempuan keraton hidup dalam kehormatan dan kemudahan. Namun, kenyataannya banyak dari mereka terikat oleh aturan yang membatasi pilihan dan kebebasan hidup. Jika R.A Kartini dan Rohana berjuang memperluas akses pendidikan dan partisipasi publik, perempuan keraton menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks yakni melawan tradisi yang tidak hanya menjadi struktur sosial, tetapi juga melekat sebagai identitas diri. Perjuangan mereka bukan hanya melawan aturan dari luar, tetapi juga pergulatan batin untuk meruntuhkan nilai-nilai yang ditanamkan sejak lahir.

Fenomena ini tampak jelas di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, salah satu keraton yang masih eksis di Indonesia. Dalam tradisi kerajaan Jawa, pewarisan takhta mengikuti sistem patrilineal yaitu garis keturunan ditarik melalui trah laki-laki. Selama berabad-abad tradisi ini memastikan bahwa pengganti raja adalah anak laki-laki tertua dari permaisuri.

Namun, situasi menjadi berbeda karena Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak memiliki anak laki-laki. Kondisi ini memicu perdebatan mengenai kemungkinan seorang perempuan naik takhta menjadi penerus Sri Sultan Hamengkubuwono X. Hukum adat keraton memang tidak secara eksplisit melarang perempuan menjadi penerus raja, tetapi ada keengganan budaya yang kuat.

Salah satu alasannya berasal dari pengaruh fikih yang mengharuskan raja memimpin salat Jumat dan menyampaikan khutbah, peran yang secara tradisional hanya diberikan kepada laki-laki. Dengan demikian, faktor agama dan budaya bersatu membentuk tembok yang sulit ditembus oleh perempuan.

Tantangan tidak hanya berhenti di situ, Perempuan keraton kerap dijodohkan untuk memperkuat aliansi atau memperluas pengaruh kekuasaan. Perempuan tidak ditempatkan sebagai individu yang memiliki kehendak penuh atas tubuhnya, tetapi sebagai objek perekat kekuasaan.

Di luar keraton, paradoks lain muncul. Tidak sedikit perempuan yang justru berlomba-lomba untuk menjadi selir (garwa ampean) raja. Tujuannya jelas, demi mendapatkan status sosial dan memastikan anak yang dilahirkan memiliki darah bangsawan.

Dalam tradisi lama, selir juga menjadi simbol keperkasaan seorang raja sekaligus alat politik. Ironisnya, hal ini memperlihatkan bahwa perjuangan perempuan di keraton tak hanya berhadapan dengan patriarki yang datang dari atas, tetapi juga dari bawah yakni dari pola pikir masyarakat yang tanpa sadar ikut memperkuat sistem yang menindas mereka.

Dalam konteks ini, teori Simone de Beauvoir menjadi relevan. Dalam buku yang berjudul The Second Sex, Simone de Beauvoir menyatakan, “One is not born, but rather becomes, a woman.”, Perempuan tidak didefinisikan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh sistem yang dikonstruksi laki-laki. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di keraton, perempuan menjadi the Other, yakni pihak yang keberadaannya ditentukan demi kepentingan politik, bukan untuk dirinya sendiri.

Namun, sejarah selalu menyediakan jalan bagi perubahan. Naiknya seorang perempuan menjadi ratu dapat menjadi garis tengah yang mengubah segalanya. Ketika perempuan menduduki posisi tertinggi di keraton, ia mematahkan keyakinan lama bahwa perempuan hanya pantas menjadi pelengkap. Ia mengirimkan pesan kuat bahwa perempuan tidak perlu merendahkan diri atau menjual tubuh demi status.

Sebaliknya, perempuan dapat menjadi pemimpin yang berdaulat, yang memegang kuasa penuh atas tubuh dan nasibnya. Perubahan ini bukan hanya sekadar pergantian takhta, melainkan revolusi budaya. Dengan bertakhtanya seorang perempuan, hukum adat ditafsirkan ulang dan membuka ruang baru bagi keadilan gender.

Jika hal ini terjadi, perempuan tidak lagi berada di balik bayangan singgasana, tetapi duduk di atasnya sebagai subjek yang memimpin, mendefinisikan dirinya sendiri, dan menentukan arah sejarah. Dengan demikian, pembongkaran patriarki di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat bukan hanya kemenangan simbolik.

Ini adalah transformasi yang menyentuh inti budaya, tempat perempuan yang dulu terkurung dalam pusaran adat kini memiliki kesempatan untuk berbicara, memimpin, dan menciptakan masa depan yang lebih setara. Perempuan bukan lagi sekadar alat perekat kekuasaan, melainkan pemilik kuasa itu sendiri.

 

Bacaan Lebih Lanjut

Ahmad, R., Putri, S., & Wijaya, H. (2022). Kesetaraan Gender pada Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Jurnal Sosiologi Nusantara, 10(2), 112-126.

Beauvoir, S. de. (2011). The Second Sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1949)

Citra, F. (2021). Pemikiran R.A. Kartini dalam Perspektif Feminisme. Jurnal Pendidikan Sejarah, 10(1), 45-57.

Febriani, A. (2023). Konflik Raja Perempuan dalam Perspektif Hukum Adat Jawa. Jurnal Hukum dan Budaya, 15(1), 55-73.

Safitri, N. (2019). Suksesi Raja-Raja Jawa: Tradisi dan Perubahan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Suryaningtyas, D. (2018). Pro-Kontra Raja Perempuan di Keraton Yogyakarta. Jurnal Antropologi Indonesia, 39(3), 212-230.

Arbi, R. (2020). Rohana Kudus dan Pers Perempuan di Sumatera Barat. Jurnal Ilmu Sejarah, 8(2), 33-50.

 

Menggugat ‘Ternak’ Anak

Kata ‘ternak’ (mungkin) cukup keras untuk disandingkan dengan ‘anak’ manusia. Tetapi, kadang perlu kata yang tegas untuk memberikan kesadaran bahwa ada masalah dari cara kita melihat sosok anak.

Mulai dari ungkapan, “banyak anak, banyak rezeki”. Alhasil banyak pasutri yang berlomba-lomba mempunyai anak. Nyatanya, setelah anak melimpah, rezeki tetap saja terbawah. Sebab kunci rezeki bukan pada kuantitas, tetapi kualitas sumber daya insani yang digagas.

Pola pikir lain menegaskan bahwa keluarga yang ideal adalah yang melahirkan buah hati. Sepasang suami istri belum lengkap tanpa kehadiran anak. Hal ini juga menjadi stigma baru bagi mereka yang memilih untuk tidak mempunyai anak.

Terlebih di tengah kondisi ekonomi, sosial, politik hari ini, geliat childfree kian menggema. Ketika berbicara seputar otonomi tubuh dan kesuburan perempuan, sosok anak sering dikaitkan dan digambarkan sebagai beban. Alhasil, publik terbelah dengan dua arus utama yang bertolak belakang.

Di satu sisi, ada yang mendewakan kehadiran anak dalam keluarga, sebisa mungkin, anak harus ada, bagaimana pun caranya. Ada pula yang menegasikannya dengan segala macam alasan: ideologis hingga pragmatis.

Sebenarnya, ada opsi ketiga yang dapat kita pertimbangkan untuk melihat isu otonomi tubuh, kesuburan dan peran anak dalam keluarga. Sebagaimana yang diungkap oleh Toni Morrison dalam artikelnya berjudul “Women, Race and Memory” berikut:

“Daripada membatasi definisi feminin pada sebuah kromosom, ketimbang mengubah definisi untuk mengangkat kromosom lainnya, mengapa tidak memperluas definisi untuk menyerap keduanya? Kami memiliki keduanya. Karena tidak menginginkan atau membutuhkan anak bukan berarti kita harus meninggalkan panggilan hati untuk mengasuh.

Mengapa tidak mendefinisikan feminisme dengan makna baru-makna yang membedakannya dari memuja-perempuan dan dari mengagumi-lelaki? Yang benar, bahwa laki-laki bukanlah jenis kelamin yang superior; perempuan juga bukan jenis kelamin yang superior”.

Peraih Nobel Sastra pada 1993 ini memberikan tawaran definisi terkait feminisme. Alih-alih sebagaimana yang dipahami selama ini, feminisme itu anti-pria dan anak, justru feminis mencoba menyejajarkan perempuan dan laki-laki pada kasta yang sama. Tak ada relasi superior-inferior. Dan rasanya, feminisme semacam ini amat relevan dalam konteks keindonesiaan.

Terlebih, dalam tulisan tersebut, Morrison menegaskan, “Karena tidak menginginkan atau membutuhkan anak bukan berarti kita harus meninggalkan panggilan hati untuk mengasuh”. Bagiku, ini adalah spirit utama feminisme-keibuan. Bisa saja seseorang menolak memiliki anak biologis, tetapi panggilan jiwa seorang manusia untuk mengasuh sulit dibuat luruh.

Anak biologis itu adalah pilihan. Ada banyak pertimbangan yang membuat orang tidak bisa mempunyai anak. Misalnya kesehatan. Meski demikian, seseorang tetap dapat mengasuh melalui adopsi anak yang terlantar atau mendidik generasi penerus di instansi pendidikan.

Semua ini adalah kerja pengasuhan yang erat kaitannya dengan gerakan feminin. Pada pola pengasuhan ini juga, seorang perempuan tetap dapat independen dengan tubuhnya. Ia punya hak penuh untuk melahirkan atau tidak. Pada saat yang sama, ia tetap dapat mengasuh anak.

Di satu sisi, gerakan pengasuhan ini juga dapat menjadi solusi mengurangi anak-anak terlantar yang dibuang atau ditinggal oleh keluarganya sejak kecil. Tugas sebagai manusia adalah menyambung dan mencurahkan kasih sayang, shilah al-rahim. Bukan ‘beternak’ dengan melahirkan terus-menerus tanpa curahan kasih sayang.

Namun, kalau ada perempuan yang memilih melahirkan banyak anak dan ia mampu membesarkan dengan sepenuh hati, itu adalah pilihan hidupnya yang patut dihormati. Baik yang memilih mempunyai anak atau tidak, selama itu lahir dari kesadaran mandiri, bukan paksaan suami apalagi keluarga dan masyarakat, pilihan itu adalah jalan yang bermartabat.

Justru di sinilah ruang kebebasan itu patut dirayakan. Ketika semua bisa memilih ekspresi ketubuhan sesuai dengan keyakinannya, itulah otonomi. Meski pada saat yang sama, perlu digarisbawahi, setiap kemandirian ada pertanggungjawaban. Maka menjadi feminis bukan hanya mengajarkan kita menjadi pribadi yang berdikari, tetapi juga manusia yang mawas diri.

Diam-diam Tersingkir: Quiet Firing dan Wajah Baru Diskriminasi Perempuan

Dunia kerja modern sering dipersepsikan sebagai rumah yang lebih terbuka, profesional, dan objektif dibanding masa lalu. Namun, dalam praktiknya, diskriminasi terhadap perempuan masih sering ditemui. Bentuk diskriminasi itu memang tidak selalu hadir dalam wujud kasar seperti larangan bekerja atau pemecatan langsung, melainkan melalui strategi yang lebih halus, sistematis, dan sering kali tak terlihat.

Salah satu praktik yang kini ramai diperbincangkan adalah fenomena Quiet Firing. Istilah ini merujuk pada cara perusahaan mendorong pekerja keluar bukan dengan surat pemutusan hubungan kerja, melainkan dengan menciptakan suasana yang membuat mereka merasa tidak betah, terpinggirkan, dan akhirnya memilih untuk mundur sendiri. Fenomena ini bukan sekadar masalah manajerial, melainkan juga bagian dari wajah baru diskriminasi gender.

Wajah Halus Peminggiran

Quite Firing berbeda dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) konvensional. Quiet firing dapat dipahami sebagai strategi ketika perusahaan atau atasan menciptakan situasi kerja yang membuat seorang pegawai tidak nyaman, tidak berkembang, bahkan terpinggirkan, sehingga pada akhirnya ia memilih mengundurkan diri sendiri. Tidak ada surat resmi pemecatan, tidak ada prosedur hukum yang jelas, tetapi perlahan-lahan pekerja dipaksa keluar. Bentuknya bisa berupa: tidak diberi promosi, dikurangi tanggung jawab, dipinggirkan dari proyek penting, bahkan dikucilkan dari dinamika tim.

Fenomena ini berbeda dengan PHK konvensional yang dapat digugat atau dilaporkan secara hukum. Karena berlangsung halus, quiet firing justru lebih sulit dilawan. Bagi pekerja laki-laki, fenomena ini sudah cukup merugikan. Bagi perempuan, kondisi ini semakin kompleks karena bercampur dengan stereotip gender, beban ganda, serta minimnya perlindungan hukum terhadap praktik diskriminasi yang tidak kasat mata.

Diskriminasi yang hadir melalui quiet firing tidak berhenti pada level individu. Ada dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas. Perusahaan kehilangan talenta perempuan yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk inovasi dan keberagaman ide. Ketika perempuan dipaksa keluar, representasi mereka di posisi strategis semakin sedikit, yang pada akhirnya memperkuat kesenjangan gender di dunia kerja. Situasi ini juga memperburuk ketidaksetaraan upah, karena perempuan yang keluar cenderung sulit kembali ke dunia kerja dengan posisi dan gaji setara.

Selain itu, dampak psikologis yang ditimbulkan juga tidak bisa diabaikan. Perempuan yang mengalami quiet firing kerap merasa rendah diri, kehilangan rasa percaya pada kemampuan sendiri, bahkan mengalami trauma yang membuat mereka ragu untuk kembali bekerja di sektor formal. Lingkaran ketidakadilan ini berlanjut ke ranah keluarga dan masyarakat, kala perempuan kembali dibatasi ruang geraknya karena stigma “tidak cocok bekerja di luar rumah”.

Bias Gender yang Melembaga

Penelitian International Labour Organization (ILO) yang dilakukan terhadap sekitar 400 perusahaan di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar perusahaan mengklaim mendukung kesetaraan gender, kenyataannya representasi perempuan di posisi manajerial masih sangat rendah. Perempuan lebih banyak ditempatkan di bidang administratif atau pendukung, sementara posisi strategis didominasi laki-laki. Kondisi ini menciptakan kesenjangan struktural yang membuat perempuan lebih mudah tersisih.

The Jakarta Post pernah melaporkan bahwa selama pandemi, perempuan pekerja di Indonesia lebih banyak kehilangan pekerjaan dibanding laki-laki. Alasan yang muncul sering kali tidak dinyatakan secara langsung sebagai diskriminasi, melainkan melalui kebijakan “rasionalisasi” atau pengalihan tugas. Namun, praktik ini mirip dengan quiet firing: tanpa pemecatan resmi, perempuan merasa ruang geraknya semakin sempit hingga akhirnya memilih pergi.

Jika dilihat lebih dalam, perempuan pekerja menanggung kerentanan ganda. Di satu sisi, mereka harus membuktikan kompetensi di ruang publik. Di sisi lain, mereka tetap dibebani ekspektasi domestik yang sering dijadikan alasan untuk meragukan loyalitas dan profesionalisme mereka. Perempuan yang pulang lebih awal untuk menjemput anak atau mengambil cuti karena anaknya sakit kerap dianggap kurang berdedikasi. Kondisi ini menciptakan celah yang memudahkan perusahaan mendorong mereka keluar lewat mekanisme quiet firing. Karena tidak ada bukti tertulis, perempuan sering kali memilih diam atau mengundurkan diri daripada melawan sesuatu yang sifatnya samar.

Pada 2024, CNN Indonesia diberitakan memecat sebelas jurnalis hanya beberapa hari setelah mereka membentuk serikat pekerja. Walau ini lebih menyerupai PHK langsung, laporan International Federation of Journalists menyoroti bahwa sebelum pemecatan itu terjadi, akses komunikasi mereka dengan tim sudah diputus. Praktik semacam ini menunjukkan bagaimana pekerja bisa diasingkan dari sistem kerja sebelum akhirnya ‘keluar’. Jika dikaitkan dengan perempuan, pola ini semakin berat, karena mereka sering kali berada di posisi yang kurang kuat untuk melawan.

Selain itu, laporan Komnas Perempuan menegaskan bahwa banyak pekerja perempuan di sektor informal maupun formal mengalami diskriminasi berlapis. Bentuknya mulai dari pelecehan verbal, pengabaian dalam promosi, hingga pengucilan ketika mereka menolak ajakan yang bernuansa pelecehan seksual. Beberapa di antaranya tidak diberhentikan langsung, tetapi dipinggirkan secara sistematis hingga mereka menyerah. Semua ini memperlihatkan wajah quiet firing dalam praktik nyata di Indonesia.

Perspektif Keadilan Gender

Dalam perspektif keadilan gender, quiet firing mencerminkan bagaimana relasi kuasa bekerja secara simbolik. Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai “kekerasan simbolik”, yakni kekuasaan yang tidak tampak sebagai paksaan, tetapi diterima seolah-olah wajar. Perempuan dipinggirkan bukan dengan kekerasan fisik, melainkan dengan pengabaian dan pengucilan.

Jika dibaca dari nilai-nilai Islam, praktik ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adl) dan penghormatan atas martabat manusia (karamah insaniyah). Islam menempatkan kerja sebagai bagian dari ibadah, dan setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang adil tanpa diskriminasi. Tafsir progresif menegaskan bahwa perempuan berhak penuh untuk berpartisipasi di ruang publik. Maka, quiet firing adalah bentuk ketidakadilan struktural yang harus dibongkar.

Menghadapi quiet firing tidaklah mudah. Secara hukum, praktik ini sulit disentuh karena tidak ada bukti tertulis. Namun, berbagai upaya sudah mulai dilakukan. Pada 2023, Kementerian Ketenagakerjaan bersama ILO meluncurkan pedoman inspeksi ketenagakerjaan yang lebih sensitif gender. Pedoman ini dimaksudkan untuk membantu pengawas tenaga kerja mendeteksi praktik diskriminasi, pelecehan, dan peminggiran yang kerap terjadi secara samar.

Meski demikian, regulasi formal saja tidak cukup. Perubahan budaya kerja menjadi kunci utama. Perusahaan perlu membangun lingkungan kerja yang inklusif dan transparan, di mana setiap pekerja mendapat kesempatan yang setara. Mekanisme pengaduan internal harus benar-benar melindungi korban diskriminasi tanpa rasa takut terhadap pembalasan. Solidaritas antarpekerja, khususnya jaringan perempuan, juga penting untuk membongkar praktik quiet firing yang sering kali didiamkan.

Fenomena quiet firing memperlihatkan bahwa diskriminasi gender di dunia kerja tidak pernah benar-benar hilang, hanya berganti wajah. Jika dulu perempuan dilarang bekerja atau diberhentikan secara terang-terangan, kini mereka dipinggirkan secara halus, didorong keluar tanpa perlawanan. Praktik ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menutup jalan menuju dunia kerja yang adil dan setara.

Keadilan gender menuntut kita untuk menyingkap praktik diskriminasi yang samar ini, lalu menantangnya melalui regulasi, budaya kerja baru, dan solidaritas sosial. Hanya dengan begitu, dunia kerja dapat benar-benar menjadi ruang yang inklusif, manusiawi, dan adil bagi semua, tanpa lagi ada perempuan yang diam-diam tersingkir.

Ketika Kontrasepsi Menjadi Alat Kuasa atas Tubuh Perempuan

Tubuh perempuan kerap kali menjadi arena perebutan kepentingan dan kuasa laki-laki. Bahkan perempuan tak pernah benar-benar bebas menentukan tubuhnya sendiri. Salah satu adalah soal penggunaan kontrasepsi.

Kontrasepsi, yang awalnya hanya sebagai alat bantu untuk menata kehidupan keluarga, justru sering dipakai sebagai instrumen kontrol terhadap tubuh perempuan. Seolah-olah urusan reproduksi hanyalah tanggung jawab perempuan.

Akibatnya, perempuan bukan hanya menanggung beban biologis berupa menstruasi, kehamilan, melahirkan, dan menyusui, tetapi juga menanggung beban sosial berupa tekanan untuk mengikuti program Keluarga Berencana (KB).

Program KB di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari narasi pembangunan nasional. Ia lahir dengan semangat untuk menekan angka kelahiran. Hal ini agar laju pertumbuhan penduduk selaras dengan ketersediaan sumber daya. Di satu sisi, tujuan ini bisa dimaklumi. Namun di sisi lain, dalam praktiknya, KB sering disalah gunakan sebagai bentuk intervensi negara terhadap tubuh perempuan.

Banyak perempuan di pedesaan, misalnya, dipaksa menggunakan jenis kontrasepsi tertentu. Kalimat yang sering muncul dari tenaga medis atau bidan desa adalah, “Ya sudah, KB yang cocok untuk ibu adalah pil KB, ibu pakai ini saja.” Padahal seharusnya mereka menjelaskan berbagai pilihan metode kontrasepsi yang tersedia agar perempuan bisa menentukan sendiri yang paling sesuai.

Masalah lainnya, program KB hampir selalu diidentikkan dengan perempuan. Padahal laki-laki juga bisa ber-KB. Sayangnya, sangat jarang laki-laki didorong untuk berpartisipasi, misalnya melalui vasektomi. Akibatnya, seolah-olah yang harus dan bisa dikendalikan hanyalah tubuh perempuan. Pola pikir ini jelas memperlihatkan adanya bias gender dalam sistem sosial kita.

Pandangan KH. Marzuki Wahid: KB Harus Berbasis Keadilan

Dalam salah satu tulisannya berjudul “KB” di Kupipedia.id, KH. Marzuki Wahid memberikan pandangan yang sangat penting. Beliau menekankan bahwa KB harus dilihat dalam kerangka kesalingan (mubadalah). Artinya, keputusan untuk menunda, mengatur, atau membatasi kelahiran bukan hanya tanggung jawab perempuan, melainkan hasil musyawarah dan kesepakatan antara suami dan istri.

Menurut KH. Marzuki, praktik KB yang hanya membebani perempuan adalah bentuk ketidakadilan.

KB seharusnya menjadi upaya bersama untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera, sehat, dan bermartabat. Dengan demikian, laki-laki pun memiliki kewajiban untuk turut serta, baik dalam bentuk pemahaman, dukungan, maupun tindakan nyata terkait KB.

Pandangan ini sangat relevan untuk mengkritisi praktik di lapangan, di mana kontrasepsi hampir selalu dilekatkan pada tubuh perempuan. Padahal, jika dijalankan dengan prinsip kesalingan, program KB juga bisa melibatkan laki-laki, misalnya melalui vasektomi.

Tubuh Perempuan Bukan Arena Kuasa

Mengontrol tubuh perempuan lewat kontrasepsi sesungguhnya adalah kelanjutan dari cara masyarakat memandang perempuan objek seksual. Perempuan kerap dilihat sebagai “penghasil keturunan” semata, bukan sebagai manusia seutuhnya dengan hak penuh atas tubuh dan kehidupannya. Akibatnya, setiap pilihan perempuan terkait reproduksi sering dicurigai, dipantau, bahkan diputuskan oleh orang lain. Baik oleh suami, keluarga, aparat desa, tenaga kesehatan, hingga negara.

Dalam cara pandang yang adil gender, tubuh perempuan seharusnya bukan lahan yang bisa dikuasai oleh siapa pun. Karena sesungguhnya perempuan sendirilah yang berhak penuh atas tubuhnya, termasuk dalam urusan reproduksi. Maka dari itu, tugas negara dan masyarakat seharusnya adalah memberikan informasi yang benar, fasilitas kesehatan yang ramah, serta kebijakan yang berpihak pada keadilan.

Dengan demikian, isu kontrasepsi perlu dipahami lebih jauh daripada sekadar alat pengendali jumlah penduduk. Bahkan, ia harus dilihat sebagai sarana untuk memaknai tubuh perempuan dan menata relasi laki-laki dan perempuan secara adil.

Terlebih, pandangan KH. Marzuki Wahid di atas dapat menggeser cara kita memahami KB yaitu bukan lagi soal siapa yang dikontrol, melainkan bagaimana suami-istri bersama-sama menata kehidupan mereka dengan penuh kesalingan, cinta, dan tanggung jawab. Dengan cara pandang ini, tubuh perempuan tidak lagi diposisikan sebagai objek yang dikuasai, melainkan sebagai subjek yang dihormati.

Karena itu, sudah saatnya kita mengubah cara pandang kita terhadap program KB. KB harus dijalankan dalam semangat keadilan, kesalingan, dan penghormatan penuh terhadap tubuh perempuan. Hanya dengan demikian, keluarga sejahtera benar-benar bisa terwujud—yakni ketika hak perempuan atas tubuhnya sendiri dijamin dan dihormati sepenuhnya.

Jilbab, Kesalehan, dan Hak Perempuan atas Tubuhnya

Penghakiman terhadap perempuan yang melepas atau memilih untuk tidak memakai jilbab bukanlah hal baru. Di media sosial, kita bisa dengan mudah menemukan komentar-komentar yang melabeli mereka sebagai “perempuan nakal”, “tidak Islami”, hingga “tidak bermoral”.

Stigma negatif semacam ini terus berulang, seolah-olah tubuh perempuan adalah milik publik. Ia tidak punya hak untuk memilih dan menentukan pakaian apa yang ingin ia kenakan.

Tidak berhenti sampai di situ, banyak masyarakat muslim di Indonesia masih memandang jilbab sebagai simbol utama kesalehan perempuan. Akibatnya, ketika seorang perempuan memilih untuk tidak mengenakannya, ia kerap diberi label “kurang beragama”. Dalam kasus yang lebih ekstrem, ada pula yang menganggap perempuan tanpa jilbab “pantas” untuk dilecehkan.

Cara pandang seperti ini sebetulnya tidak lahir begitu saja. Ia tumbuh dari keyakinan lama bahwa perempuan tidak punya hak atas tubuhnya sendiri. Dalam “sabda” patriarki, dari ujung rambut hingga ujung kaki, tubuh perempuan dianggap sebagai milik laki-laki.

Kemudian atas nama “perlindungan perempuan” dan “menjaga hasrat laki-laki”, tubuh  perempuan sering kali dikontrol. Salah satu caranya adalah memaksa perempuan untuk memakai jilbab. Bahkan doktrin agama pun ikut menyertainya. Perempuan akan dianggap baik, ketika ia menutupi kepalanya dengan selembar kain.

Jilbab Jadi Tanda Kesalehan Perempuan, Bisakah?

Dalam realitas sosial hari ini, kesalehan perempuan masih sering diukur dari jilbab yang ia kenakan. Tidak berjilbab langsung dianggap “tidak Islami”. Ironisnya, bagi yang sudah berjilbab pun, ia tetap dipandang belum islami, jika modelnya tidak syar’i (jilbab syar’i: jilbab longgar, lebar dan panjang).

Perempuan dengan jilbab panjang, lebar, dan longgar sering kali dianggap punya tingkat keimanan yang lebih tinggi. Sebaliknya, perempuan yang memilih jilbab pendek meski sama-sama menutupi kepala, tetap saja dinilai kurang salehah.

Fenomena ini sungguh tidak masuk akal. Sebab, sebagai manusia kita tidak pernah tahu terkait tingkat keimanan seseorang, bahkan sangat tidak pantas menilai kesalehan perempuan hanya dilihat dari cara mereka memakai jilbab atau tidak, memakai jilbab panjang atau pendek.

Justru sebagaimana yang disampaikan oleh Ibu Nyai Nurofiah dalam buku “Jilbab dan Aurat” karya KH. Husein Muhammad bahwa pakaian manusia yang paling baik dan disukai Allah adalah takwa. Ini adalah satu-satunya standar kemuliaan manusia di hadapan Sang Pencipta.

Takwa sangat erat kaitannya dengan status laki-laki dan perempuan sebagai hamba. Karena itu, satu sama lain harus sama-sama membebaskan, tidak boleh mendominasi dari yang lain. Apalagi memandang perempuan kurang baik hanya karena ia tidak mengenakan penutup kepala.

Sebab sebagai hamba, laki-laki dan perempuan sejatinya setara. Keduanya punya hak atas tubuh dan jiwanya sendiri agar bisa hidup merdeka, bebas dari kekerasan maupun paksaan. Dengan kebebasan itu, perempuan dapat menebar kemaslahatan bagi sesama tanpa harus dibatasi dengan pakaiannya, dalam hal ini jilbab.

Dalam nafas yang sama, Dr. Muhammad al-Habasy, Direktur Pusat Kajian Islam Damaskus, yang kemudian dikutip oleh KH. Husein Muhammad dalam buku “Perempuan Islam dan Negara” mengatakan bahwa dalam banyak teks al-Qur’an dan hadis Nabi, tanda kesalehan seseorang itu dilihat dari seberapa mampu ia mengendalikan hati dan akhlaknya.

Seperti halnya dalam sabda Nabi yang artinya, “Allah tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan kepada hati dan tindakanmu”. Perkataan Nabi ini menegaskan bahwa kebaikan seseorang tidak dilihat dari jenis pakaiannya, termasuk jilbab. Tetapi dari perilakunya, apakah ia menebar kebaikan pada sesama atau tidak.

Al-Qur’an juga menegaskan bahwa, “Dan pakaian takwa itulah yang terbaik”. Dalam penafsiran para ulama, Ibn Juraij misalnya, “pakaian takwa” dimaknai sebagai “Iman”. Sementara Ibnu Abbas mengatakan “ia adalah amal saleh (kerja atau perbuatan yang baik) dan wajah yang ramah”.

Dari penafsiran para ulama di atas, semakin jelas bahwa jilbab tidak bisa dijadikan sebagai standar kesalehan perempuan. Artinya, selama ia bertakwa (melakukan kerja-kerja kebaikan dan mencegah segala keburukan), maka ia lebih mungkin menjadi manusia yang baik dan mulia di hadapan Allah.

Tubuh Perempuan Milik Dirinya Sendiri

Di sisi lain, Ibu Nurofiah juga mengingatkan untuk tidak melihat perempuan sebagai makhluk fisik, seksual, apalagi objek seksual, melainkan sebagai manusia dengan intelektual dan spiritual.

Oleh sebab itu, apa pun jenis pakaiannya, perempuan tidak boleh dihalangi untuk terus mengasah nalarnya sebagai makhluk berakal dan mempertajam hati nuraninya sebagai makhluk spiritual yang punya komitmen mewujudkan kemaslahatan bersama atas dasar iman kepada Allah.

Perempuan penting untuk menjadi subyek penuh dalam sistem kehidupan dengan memastikan memiliki argumentasi kuat dalam setiap pilihan hidupnya, termasuk dalam memutuskan sikap atas jilbab, menghitung dan menyiapkan diri dengan konsekuensi setiap pilihan yang diambil.

Salah satu caranya adalah dengan memberi ruang bagi mereka untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri, termasuk soal jilbab. Beri ia ruang untuk memaknai kebutuhan tubuhnya tanpa intervensi dari siapa pun. Dengan begitu, keputusan untuk berjilbab atau tidak, lahir dari kesadaran, bukan dari paksaan, apalagi ancaman.

Sebab, tubuh perempuan adalah milik dirinya sendiri dan Allah. Bukan milik publik, apalagi laki-laki. Sebagaimana ungkapan band Voice of Baceprot (VoB) dalam lirik lagunya: Our body is not public property, We have no place for the dirty mind.

Voice of Baceprot: Jilbab, Musik dan Aksara sebagai Panggung Perlawanan

Di sebuah desa kecil di Singajaya, Garut, Jawa Barat, tiga perempuan muda menemukan jalan suara yang berhasil menembus batas dengan membawakan musik cadas (heavy metal) ke panggung dunia. Mereka adalah Marsya (vokal dan gitar), Widi (bass) dan Euis Siti (drum). Trio ini dikenal Voice of Baceprot (VoB), sebuah band metal yang tak biasa.

VoB lahir pada 2014 saat mereka masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah, berkat dorongan sang guru, Abah Erza. Sepuluh tahun perjalanan, VoB semakin dikenal ketika tampil di festival terbesar di dunia, Glastonbury Festival, Inggris, dan tercatat sebagai band Indonesia pertama yang tampil di panggung musik terbesar dunia.

Jika band metal identik dengan laki-laki bertato dan berpenampilan sangar, VoB hadir dengan jilbab di kepala. Tak heran jika majalah Metal Hammer menjuluki mereka sebagai The Metal Band the World Needs Right Now. VoB bukan hadir dari ruang kosong, mereka lahir dari keresahan sebab suara kritis sering dibungkam, stigma atas tubuh dan jilbab yang mereka kenakan, hingga tuduhan sesat karena memainkan musik yang sering dicap sebagai “musik setan”.

Namun perjalanan VoB tidak hanya soal musik. Kehadiran mereka juga bersinggungan dengan wacana tentang tubuh perempuan, jilbab, terutama di ruang publik yang masih didominasi narasi konservatif.

Jilbab: Simbol Agensi, Bukan Subordinasi

VoB lahir di Jawa Barat, wilayah yang dikenal sebagai basis kelompok konservatif. Kelompok ini sering menghadirkan narasi keagamaan yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, harus diawasi dan dikontrol karena dianggap sebagai sumber fitnah.

Prasangka ini tidak selalu hadir dalam paksaan fisik, melainkan berbentuk kekuasaan tersamar (invisible power) yang menghilangkan daya resistensi perempuan. Salah satu cara mengontrol tubuh perempuan adalah dengan narasi tentang jilbab. Narasi ini diposisikan dalam bingkai maskulinitas untuk menuntut kesalehan perempuan di ruang publik.

Dalam perspektif kolonial, jilbab dimaknai sebagai simbol kemunduran dan penindasan perempuan Muslim, sementara tidak berjilbab dianggap tanda kemajuan dan sejalan dengan cita-cita pembebasan. Kemudian makna jilbab bergeser menjadi pintu masuk perempuan Muslim ke ruang publik sekaligus strategi gerakan untuk memperoleh legitimasi.[1]

Dalam salah satu siniar, Marsya menegaskan bahwa jilbab adalah pilihan sadar personel VoB, bukan paksaan. Meskipun begitu, mereka sering mengalami pelecehan dan diskriminasi. Pengalaman ini dituangkan dalam lagu [Not] Public Property.

Because, our body is not public property

We have no place for the dirty mind

Our body is not public property 

We have no place for the sexist mind

Lirik tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap kontrol atas tubuh perempuan. Pandangan VoB sejalan dengan pemikiran feminis Muslim, Alimatul Qibtiyah, yang menegaskan bahwa jilbab sebagai salah satu lokus pergerakan Muslim di Indonesia. Dalam konteks ini, jilbab dimaknai sebagai simbol ekspresi kebebasan dan agensi perempuan atas tubuhnya sendiri.

Pemakaian jilbab bukan karena paksaan, melainkan pilihan sadar. Lebih jauh, jilbab juga dapat dimaknai sebagai strategi gerakan dakwah. Sebagai tubuh yang sering tidak diberikan ruang untuk tampil di ruang publik, jilbab dapat membuka jalan untuk hadir dan bersuara, terutama dalam menyampaikan pesan keadilan gender agar lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Musik Metal dan Stigma Perempuan Binal

Stigma atas jilbab hanyalah satu sisi dari kontrol terhadap perempuan, tetapi juga muncul dari pilihan musik mereka. Saat jilbab dituding sebagai simbol kepatuhan, musik metal justru dicap sebagai simbol pemberontakan yang dianggap tidak pantas bagi perempuan.

Why today, many perceptions have become toxic?

Why today, many people wear religion to kill the music?

I feel like I am fallin’, washed down, swallowed by the crowd

 

I’m not the criminal

I’m not the enemy

I just wanna sing a song to show my soul

I’m not the corruptor

I’m not the enemy

I just wanna sing a song to show my soul

God, allow me please to play music

Penggalan lirik lagu God, Allow Me (Please) to Play Music, merefleksikan pengalaman VoB dalam menghadapi stigma. Sebagai perempuan berjilbab yang memainkan musik metal, mereka kerap mendapatkan penolakan, dicap sesat dan dianggap pendosa. Stigma ini berakar pada persepsi historis, sejak awal musik metal dipandang sebagai simbol pemberontakan dengan maskulinitasnya.[2] Citra ini menimbulkan stereotip dari masyarakat, metal dianggap berisik, berbahaya dan tidak bermoral. Akibatnya, perempuan yang memilih musik ini dipandang melampaui batas.

Penolakan pun datang tidak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga dari keluarga personel VoB. Keluarga mereka khawatir musik metal akan merusak moral ketiga anak perempuannya. Prasangka ini memperlihatkan masih kuatnya bias gender dalam bermusik.

Namun melalui lagu God, Allow Me (Please) to Play Music, VoB tegas menyatakan bahwa mereka bukan kriminal, musuh atau koruptor. Bermusik adalah hak untuk mengekspresikan jiwa, bukan tindakan menyimpang. Lagu ini menjadi simbol perlawanan sekaligus legitimasi spiritual bahwa bermain musik adalah bagian dari jalan hidup yang harus diakui sebagai hak dasar dan ekspresi kebebasan.

Dalam sebuah wawancara dengan Revolver Magazine, VoB menegaskan bahwa musik metal adalah genre musik yang sempurna bagi mereka. Musik menjadi ruang untuk mendobrak budaya patriarki yang mengekang tubuh perempuan, menyuarakan kebebasan, membawa pesan kesetaraan gender dan nilai kemanusiaan, serta kepedulian pada lingkungan. Dengan lantang mereka melawan stigma yang melekat sebagai perempuan binal yang tak pantas di panggung metal.

Aksara sebagai Senjata, Panggung sebagai Perlawanan

Tumbuh di lingkungan sekolah Muslim, sejak awal VoB menghadapi banyak tantangan. Pihak sekolah pernah menolak dan melarang mereka memainkan musik metal karena dianggap berisik. Euis Siti menuturkan, pernah suatu kali listrik studio sengaja dicabut agar mereka berhenti latihan. Namun mereka tidak menyerah dan membawa terminal listrik sendiri agar latihan tetap berjalan. Mereka mempunyai keyakinan bahwa suara tidak bisa dipadamkan begitu saja.

Selain musik, aksara menjadi nafas perlawanan. Kehadiran sosok Abah Erza sebagai guru dan mentor yang mengenalkan mereka pada literasi. Dari novel Bumi Manusia hingga Revolusi Sekolah, mereka lahap hingga tuntas. Bacaan ini mengasah imajinasi dan menjadi nafas untuk merangkai kata dalam setiap lirik lagu yang mereka ciptakan. Dari sanalah lahir lagu School Revolution, sebuah gugatan atas sistem pendidikan yang kaku.

This is how the fight will be remembered

And this is how the voice getting stronger and louder

Penggalan lirik di atas merefleksikan bahwa perjuangan VoB hidup sebagai ingatan kolektif dan kekuatan resistensi perempuan. Dengan musik, aksara, dan jilbab, VoB menyatukan tiga dimensi perlawanan yang tak tergoyahkan. Musik menjadi medium ekspresi untuk melawan stigma, aksara menjelma senjata untuk menggugat struktur sosial yang mengekang, dan jilbab menjadi pilihan sadar yang menegaskan agensi tubuh perempuan sekaligus strategi untuk menembus ruang publik.

Di sinilah nama baceprot menemukan maknanya. Dalam bahasa Sunda, baceprot berarti berisik. Suara berisik Marsya, Widi, dan Euis Siti menjadi saksi bahwa suara perempuan tak bisa direduksi. Lewat musik, aksara, dan jilbab, VoB berdiri untuk mendobrak batas patriarki.

 

[1] Etin Anwar, Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia, Bandung, Mizan Pustaka, 2021.

[2] Zainal Pikri, Inna Muthmainnah, Hijabi Metal Voice of Baceprot: Wacana Identitas, Gender dan Agama di Ruang Digital, Al Hadharah: Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 23, No. 2 (2024).

Membongkar Kuasa Atas Rahim: Politik Kesuburan dan Hak Atas Tubuh Perempuan

Tubuh perempuan sejak lama menjadi ruang yang dipenuhi regulasi sosial, agama, budaya, dan negara. Kesuburan, menstruasi, kehamilan, hingga menyusui bukan semata-mata fenomena biologis, tetapi menjadi arena tarik-menarik kuasa antara individu dengan sistem sosial yang lebih luas. Dalam banyak kasus, tubuh perempuan tidak dipandang sebagai milik pribadi yang otonom, melainkan sebagai bagian dari agenda kepentingan masyarakat, politik kependudukan, bahkan moralitas.

Kesuburan perempuan bahkan sering diposisikan sebagai modal sosial, ketika ia melahirkan banyak anak, ia dipandang berhasil menjalankan kodratnya, sementara ketika tidak melahirkan atau memilih childfree, ia dianggap menyimpang dari norma. Dalam konteks ini, rahim bukan hanya organ reproduksi, tetapi simbol kuasa yang diperebutkan oleh berbagai institusi.

Di Indonesia, politik kesuburan sangat kentara dalam program Keluarga Berencana (KB) yang mulai digalakkan secara masif sejak 1970-an melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BKKBN gencar mendorong penggunaan kontrasepsi sebagai bagian dari upaya menekan angka kelahiran.

Program ini di satu sisi memberi ruang bagi perempuan untuk mengatur kehamilan, tetapi di sisi lain sering kali lebih menekankan pada pencapaian target angka ketimbang otonomi individu.

Data FP2030 menunjukkan bahwa sekitar 29-30 juta perempuan Indonesia menggunakan kontrasepsi modern pada 2023 sampai 2024. Tetapi, angka ini sangat timpang antarwilayah. Di Nusa Tenggara Timur misalnya, tingkat penggunaan kontrasepsi modern hanya sekitar 42,2% perempuan usia subur pada 2022, jauh di bawah rata-rata nasional yakni sekitar 59,4%. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa persoalan akses terhadap kontrasepsi bukan sekadar pilihan individu, melainkan terkait dengan distribusi layanan kesehatan yang tidak merata.

Selain faktor geografis, akses kontrasepsi juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Studi demografi menunjukkan bahwa perempuan dari keluarga dengan asuransi kesehatan lebih mungkin menggunakan kontrasepsi modern, terutama metode jangka panjang seperti IUD atau sterilisasi, dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki asuransi (PubMed, 2023).

Faktor pendidikan dan otonomi pengambilan keputusan dalam rumah tangga juga memainkan peran penting. Perempuan yang berpendidikan lebih tinggi dan memiliki suara dalam keputusan rumah tangga cenderung lebih mampu memilih metode kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhannya (BMC Women’s Health, 2025).

Dengan demikian, kesuburan dan tubuh perempuan tidak pernah sepenuhnya ditentukan oleh perempuan itu sendiri, melainkan juga oleh faktor struktural yang memperlihatkan ketimpangan kelas, pendidikan, dan gender.

Regulasi Hukum, Norma Sosial, dan Stigma

Selain lewat kebijakan kependudukan, kontrol atas rahim juga sangat nyata dalam ranah hukum. Di Indonesia, aborsi dilarang kecuali untuk keadaan darurat medis atau akibat perkosaan. Namun, peraturan terbaru justru semakin mempersempit akses korban, sebab mewajibkan adanya surat dari kepolisian sebagai syarat aborsi legal (Reuters, 2024).

Mekanisme birokratis semacam ini, alih-alih melindungi korban, justru menghambat akses layanan kesehatan reproduksi. Beban psikologis perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual semakin berat dengan birokrasi panjang yang menghalangi hak mereka untuk segera mendapat penanganan. Di titik ini, negara terlihat lebih menekankan kontrol sosial ketimbang perlindungan hak reproduksi.

Di luar aspek hukum, norma sosial dan budaya juga turut memperkuat pengawasan atas tubuh perempuan. Dalam masyarakat patriarkal, tubuh perempuan sering diposisikan sebagai simbol moralitas.

Kasus di Iran menjadi contoh global bagaimana aturan berjilbab diwajibkan secara negara dan ditegakkan oleh polisi moral. Protes yang meletus setelah kematian Mahsa Amini pada 2022 menunjukkan betapa aturan berpakaian dapat menjadi alat pengekangan kebebasan perempuan, sekaligus simbol perlawanan kolektif terhadap kontrol tubuh (Kompas, 2022).

Walaupun konteksnya berbeda dengan Indonesia, narasi serupa dapat dijumpai dalam diskursus kewajiban berjilbab atau standar kesopanan berpakaian yang terus membayangi perempuan. Tekanan sosial serupa dapat ditemui dalam wacana tentang pakaian “pantas” atau stigma terhadap perempuan yang dianggap tidak sesuai dengan norma kesopanan.

Stigma juga hadir dalam ranah reproduksi. Perempuan yang memilih untuk childfree, menunda menikah, atau mengalami infertilitas sering kali dianggap “gagal” memenuhi ekspektasi sosial. Bahkan ketika seorang perempuan sudah berkeluarga, pilihan tentang jumlah anak atau penggunaan kontrasepsi sering kali dipengaruhi, bahkan diputuskan oleh suami atau keluarga besar.

Hal ini menunjukkan bahwa perempuan masih kesulitan untuk benar-benar mengklaim hak otonomi atas tubuh dan kesuburannya. Di sisi lain, kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah maupun masyarakat akan memperparah situasi, karena keputusan penting terkait tubuh sering diambil tanpa pengetahuan yang memadai.

Menuju Otonomi Tubuh dan Kesetaraan Gender

Otonomi tubuh pada dasarnya adalah hak asasi manusia yang fundamental. Hak ini mencakup kebebasan untuk menentukan kapan atau apakah seorang perempuan ingin hamil, metode kontrasepsi apa yang digunakan, hingga bagaimana ia ingin mengekspresikan dirinya melalui pakaian.

Namun, hak ini masih jauh dari terwujud sepenuhnya di Indonesia. Hambatan muncul dari regulasi hukum yang restriktif, distribusi layanan kesehatan yang timpang, serta kuatnya norma sosial dan relasi kuasa patriarkal terus menjadi penghalang utama. Akibatnya, perempuan sering kali membuat keputusan terkait tubuh mereka dalam kondisi yang terbatas oleh informasi, tekanan, dan akses.

Meski demikian, ada pula upaya-upaya positif yang menunjukkan perlawanan terhadap kuasa tersebut. Beberapa organisasi masyarakat sipil di Indonesia, misalnya di Nusa Tenggara Timur, berusaha memperluas akses kontrasepsi jangka panjang dengan melatih bidan dan mendekatkan layanan kesehatan ke daerah terpencil.

Gerakan perlawanan juga muncul di tingkat global, seperti protes di Iran pasca kematian Mahsa Amini, yang menegaskan kembali pentingnya kebebasan perempuan atas tubuhnya sendiri. Praktik ini menunjukkan bahwa ketika informasi, akses, dan dukungan tersedia, perempuan lebih mampu membuat keputusan yang otonom atas tubuh dan kesuburannya.

Dengan demikian, membongkar kuasa atas rahim bukan hanya soal mempersoalkan program KB atau regulasi aborsi, tetapi juga menyentuh lapisan yang lebih dalam: relasi kekuasaan antara individu dan masyarakat, antara perempuan dan negara, serta antara tubuh dan norma budaya.

Menegakkan otonomi tubuh bukan hanya soal memberikan pilihan kontrasepsi, tetapi juga soal menciptakan lingkungan sosial yang bebas stigma, membangun kebijakan hukum yang melindungi, serta mengikis norma budaya yang mengekang. Hanya dengan cara itu, perempuan bisa sepenuhnya diakui sebagai individu merdeka yang berdaulat atas tubuhnya sendiri.

Membongkar Tabu Ketubuhan

Belum lama ini, ada satu konten tiktok yang menarik perhatian. Konten kreator @husnaafhh mengomentari video yang dibuat oleh seorang guru muda @dhoni.rmd. Hal yang dikomentari adalah seputar kontak fisik yang ‘berlebihan’ antara murid dan guru.

Ia mengkritik hal tersebut karena menurutnya itu hal yang tidak boleh dinormalisasi. Bahwa memang dunia anak adalah bermain, tetapi sang guru seharusnya tetap memberikan batasan fisik. Terlebih bagi perempuan yang secara biologis lebih cepat memasuki masa pubertas.

Sebenarnya konten serupa @dhoni.rmd cukup banyak di tiktok. Beberapa kali saya pun melihat konten serupa. Sayangnya, banyak yang mendukung hal semacam itu dengan beragam alasan. Misalnya, itu dilakukan untuk membangun bonding antara guru dan murid. Ada juga yang mengaitkannya dengan tingkat fatherless yang tinggi.

Namun, di sinilah letak problem mendasar dari pola pendidikan kita. Membiarkan orang lain secara bebas berinteraksi dengan anak—meskipun dia seorang guru, tanpa memberikan penegasan bahwa ada batasan-batasan tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang lain.

Kelihatannya sepele, padahal tindakan semacam ini bisa berkembang menjadi child grooming. Imbasnya, anak dapat menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Sebab anak tidak mengetahui batasan yang perlu dijaga. Karenanya, pendidikan seks termasuk mengenalkan otonomi tubuh manusia pada anak perlu dilakukan sejak awal.

Ironinya, hal ini justru sering dianggap tabu. Membicarakan seks, apalagi dalam ruang pendidikan dan keagamaan, seolah perlu dihindarkan. Seks dianggap barang haram, padahal itu bagian dari naluri manusia yang tidak bisa dilepaskan. Alih-alih melarang apalagi mengabaikan, justru yang penting adalah mengenalkan dan mengarahkan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Terlebih bagi umat Islam. Salah satu karakter orang beriman sebagaimana yang digambarkan Al-Quran adalah mereka yang menjaga kemaluannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mu’minun ayat 5:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَ ۙ

“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”.

Ayat tersebut menegaskan dengan konkret bahwa bagian dari keimanan adalah menjaga harga diri dengan tidak menyerahkan tubuh kepada orang lain. Bahkan dalam konteks masyarakat Arab saat itu yang sering ‘menjual’ anak perempuannya untuk melacur pun dikritik keras dalam Al-Quran. Sebagaimana potongan ayat ke 31 surat al-Nur berikut:

… ۗوَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا …

“…Janganlah kamu paksa anak-anak gadis melakukan pelacuran karena kamu hendak mencari keuntungan dunia…”

Dari dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa setiap orang berhak menjaga tubuhnya dari segala bentuk eksploitasi yang merendahkan harkat manusia. Dalam Al-Quran, akumulasi eksploitasi diri itu disebut dengan fahisyah yang berarti perzinaan, pencabulan, pornografi, pemerkosaan, dan tindakan keji lainnya.

Menurut Ziauddin Sardar dalam buku “Reading the Quran: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam”, dengan urgensi untuk menghindari fahisyah itulah, Al-Quran memberikan perhatian khusus pada tubuh manusia. Tubuh secara hakikat bukanlah sesuatu yang cabul atau tidak pantas. Sebagaimana seks juga bagian dari kecenderungan alamiah, tubuh pun bagian dari penampilan fisik manusia.

Penting menjaga ketubuhan dalam Islam juga dapat dilihat dari ibadah yang berkaitan dengan anggota tubuh. Salah satunya adalah wudhu. Ibadah ini tidak hanya praktik membasuh bagian tubuh dengan air, tetapi juga terselip pesan untuk menjaga kebersihan tubuh. Ini adalah bagian dari pendidikan otonomi tubuh yang mendasar dalam Islam. Sayangnya, jika praktik wudhu sudah diajarkan kepada anak sejak dini, mengapa otonomi tubuh anak justru abai untuk dikenalkan?

Dalam buku “Fikih Perlindungan Anak” yang diterbitkan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menegaskan bahwa Islam telah memberikan pengajaran pendidikan seks bagi remaja dan orang tua dalam mengarahkan anak untuk tidak terjerumus pada perilaku negatif. Ada tiga pola yang dapat dilakukan orang tua untuk mengenalkan pendidikan seks kepada anak.

Pertama, memisahkan tempat tidur anak. Dalam hadis, Nabi menegaskan untuk memisahkan tempat tidur anak dengan orang tuanya pada usia sepuluh tahun. Sebab pada usia ini, anak memasuki masa pubertas. Ketika tidak dipisahkan, dikhawatirkan memberikan rangsangan seksual bagi yang lain. Ini adalah pendidikan seks yang paling awal dalam keluarga. Dalam konteks yang lebih luas, ajaran ini memberikan penekanan pada penghargaan ruang privat bagi anak.

Kedua, perlu ada izin ketika anak hendak masuk ke kamar orang tua, demikian pula sebaliknya. Konsep izin ini lebih jauh dapat dipahami sebagai bagian dari consent. Seseorang tidak bisa memasuki ruang privat yang lain tanpa izin yang ketat.

Ketiga, adab memandang orang lain. Islam memperkenalkan istilah menundukkan pandangan (gadhul bashar). Sayangnya, justru ajaran ini sering dipahami sebagai upaya intervensi terhadap tubuh perempuan. Ketika ada kasus pelecehan, perempuan distigma sebagai penyebab karena memakai baju yang minim sehingga seorang pria gagal menundukkan pandangannya.

Pemahaman ini bukan hanya keliru, tetapi juga merendahkan martabat perempuan yang sudah menjadi korban. Esensi gadhul bashar adalah menjaga pandangan kedua belah pihak dan menghormati ruang otonomi ketubuhan setiap insan. Ajaran ini sebenarnya berkaitan dengan menaruh batasan yang jelas. Mana yang boleh disentuh dan dilihat; mana yang tidak.

Dan yang terpenting, penundukan ini bukan hanya pada pandangan mata, tetapi juga hawa nafsu. Islam tidak melarang manusia untuk menyalurkan hasrat seksual, tetapi ada aturan yang perlu dilalui. Hanya melalui pernikahan saja pemenuhan seksual dapat dibenarkan. Aturan yang ketat seputar akses ketubuhan ini bukan untuk membatasi ruang gerak manusia. Justru aturan ini sebagai bagian dari penghormatan terhadap kemanusiaan.

Dengan memahami ajaran agama secara utuh, ketubuhan bukanlah ajaran baru dalam Islam. Ia melekat bersanding dengan keimanan yang kokoh. Karenanya, pendidikan soal tubuh juga perlu dilakukan sejak dini agar anak terhindar dari pelecehan dan kekerasan seksual. Sebagaimana pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati.