Stigma Kontrasepsi yang Mengorbankan Perempuan

Pada umumnya, kontrasepsi hanya dikenal sebagai alat untuk mencegah kehamilan yang digunakan oleh pasangan yang sudah menikah. Jenis-jenis kontrasepsi tersebut berupa pil, suntik, implan, intrauterine device (IUD), tubektomi, vasektomi, dan kondom. Faktanya, kontrasepsi juga dapat digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit yang muncul di tubuh perempuan. Jenis kontrasepsi yang dimaksud disini adalah pil KB.

Pil ini dapat mengatur siklus menstruasi dan mengatasi menstruasi yang berlebihan. Hal ini membantu meningkatkan simpanan zat besi pada tubuh kita dan mencegah gejala PCOS. Pil KB juga bantu mencegah kanker ovarium dan endometrium serta penyakit payudara seperti fibroadenoma. Studi terbaru juga menunjukkan bahwa penggunaan pil ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya artritis reumatoid. [1]

Sudah terbukti bahwa penggunaan pil KB lebih luas daripada sekedar alat kontrasepsi. Oleh sebab itu, penggunanya tidak hanya yang sudah menikah, tapi juga remaja dan perempuan yang belum menikah dengan berbagai kondisi kesehatan. Namun, mengapa publik masih memiliki stigma penggunaan pil KB bagi yang lain kecuali yang sudah menikah?

Di tengah masyarakat yang menganggap pendidikan seksual adalah subjek yang tabu, terdapat banyak kepercayaan menyimpang dan mitos sekitaran subjek ini. Misalnya, kepercayaan bahwa kontrasepsi yang digunakan oleh yang belum menikah memiliki kaitan dengan seks bebas atau penyakit seksual yang menular.[2]

Tanggapan ini berasal dari kurangnya sosialisasi kesehatan reproduksi dan guna pemakaian alat kontrasepsi secara menyeluruh. Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya patriarki di masyarakat juga menjadi faktor utama kepercayaan menyimpang ini eksis.

Salah satu bukti nyata budaya patriarki ini ditunjukkan dari perempuan yang dijadikan sasaran utama program KB untuk menurunkan tingkat kelahiran oleh pemerintah. Penyediaan alat kontrasepsi untuk wanita terdapat berbagai macam jenis termasuk IUD, suntik, pil, implan, dan tubektomi. Sedangkan untuk laki-laki hanya disediakan pilihan vasektomi dan kondom.

Usulan pemerintah dalam menerapkan alat kontrasepsi yang lebih berat ditujukan kepada perempuan mendukung stigma pemakaian kontrasepsi hanya untuk perempuan yang ingin mencegah kehamilan. Dan yang lebih perlu dicermati lagi, program KB yang seringkali dijadikan kewajiban perempuan adalah bentuk kontrol pemerintah terhadap tubuh perempuan.

Program ini juga hanya bisa dilakukan jika didukung oleh keputusan laki-laki sebagai suami. Otoritas perempuan untuk mengatur tubuh mereka sendiri dan mengakses kontrasepsi sesuai keinginan mereka dihilangkan dan diberikan kepada pemerintah dan laki-laki. Perempuan hanya dilihat sebagai objek tempat melahirkan dan mencegah kelahiran anak.

Stigma dan budaya patriarki ini menjadi faktor besar kesulitan akses pil KB untuk banyak perempuan. Kendatipun prioritas alat kontrasepsi ini ditujukan pada perempuan, perempuan yang dimaksud adalah yang ingin menunda atau mencegah kehamilannya.[3] Sedangkan perempuan lainnya dengan kebutuhan untuk menyembuhkan gangguan kesehatan menjadi sungkan untuk mendapatkan bantuan dari obgyn atau menggunakan pil KB karena takut akan prasangka dari masyarakat.

Tidak hanya orang awam, bahkan petugas medis yang bertanggung jawab untuk memberikan bantuan kepada perempuan-perempuan ini juga memiliki sikap yang sama akan masalah ini. Di sekitar kita sering kita mendengar pengalaman perempuan yang belum menikah mendapati diskriminasi di tempat praktik kesehatan (khususnya obgyn) karena mereka ingin mendapatkan akses pil KB.[4]

Tantangan yang dihadapi perempuan untuk mendapatkan akses kesehatan sudah cukup banyak, belum lagi dihitung dengan dampak negatif yang disebabkan oleh obat ini. Studi menyebutkan pil KB dapat memicu gangguan siklus menstruasi, efek samping hormonal, dan ketidaksuburan. Walaupun penggunaan pil KB dikaitkan dengan penurunan risiko kanker ovarium dan endometrium, di sisi lain, terdapat penelitian yang mengindikasikan pemakaian obat ini dapat meningkatkan risiko terhadap kanker payudara dan kanker serviks.[5]

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah merekomendasikan jaminan pelayanan komprehensif dari pemerintah untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang mengakses kontrasepsi.[6] Dan saatnya kita juga menghapus stigma terhadap perempuan yang membutuhkan kontrasepsi tidak hanya karena jalan yang ditempuh untuk mendapat akses obat ini saja sudah cukup sulit, tapi juga untuk menghilangkan budaya patriarki di masyarakat yang dapat mengancam kesejahteraan hidup perempuan.

 

Referensi:

Otonomi Tubuh Perempuan Terancam: Mengurai PMK No. 2 Tahun 2025

Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi baru-baru ini menjadi sorotan tajam. Regulasi ini dinilai membatasi akses perempuan terhadap layanan aborsi aman dan mengancam otonomi tubuh perempuan. Tidak sedikit aktivis hak asasi manusia, organisasi perempuan, dan kelompok difabel yang menyuarakan kritik, karena kebijakan ini justru memperkuat stigma terhadap perempuan dan mengabaikan hak-hak reproduksi yang selama ini diperjuangkan.

Menurut Yayasan Kesehatan Perempuan (2025), kebijakan ini masih jauh dari prinsip penghormatan terhadap otonomi tubuh perempuan dan keadilan dalam layanan kesehatan reproduksi.

Salah satu isu paling krusial dalam PMK No. 2/2025 adalah persyaratan administratif yang berlapis. Perempuan yang ingin mengakses layanan aborsi harus mendapatkan persetujuan dari dokter, penyidik, tim pertimbangan, dan harus melalui proses konseling yang panjang. Prosedur ini jelas bisa menunda tindakan medis yang seharusnya segera dilakukan, terutama bagi korban kekerasan seksual dan perempuan dalam kondisi darurat medis.

Kondisi ini bukan sekadar birokrasi, tetapi berdampak nyata pada keselamatan dan kesehatan perempuan. Hal ini juga menimbulkan beban psikologis, karena perempuan harus menghadapi proses panjang dan sering kali intimidatif, yang dapat memperparah trauma yang sudah mereka alami.

Lebih dari itu, PMK No. 2/2025 jelas mengabaikan prinsip otonomi tubuh perempuan. Dalam pasal-pasal tertentu, keputusan untuk tindakan aborsi tidak hanya berdasarkan keputusan perempuan itu sendiri, tetapi juga memerlukan persetujuan dari pasangan atau keluarga. Ketentuan ini secara nyata menempatkan perempuan bukan sebagai subjek yang memiliki hak atas tubuhnya sendiri, tetapi sebagai objek yang harus mendapatkan izin dari pihak lain.

Menurut Benedicta (2011), otonomi tubuh merupakan hak fundamental setiap individu, dan setiap regulasi yang membatasi hak ini tanpa alasan medis yang sah adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dengan persyaratan seperti ini, perempuan sering kali menghadapi dilema antara menyelamatkan nyawa dan mematuhi prosedur hukum yang kompleks.

Tidak hanya itu, PMK No. 2/2025 juga dianggap diskriminatif terhadap kelompok rentan, termasuk perempuan penyandang disabilitas. Regulasi ini menyatakan bahwa individu dengan disabilitas dianggap tidak cakap membuat keputusan dan harus mendapat persetujuan dari wali atau tenaga medis. Ketentuan semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip inklusivitas dan non-diskriminasi yang diamanatkan dalam Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023.

Menurut Sunjaya (2025), perlindungan hak perempuan penyandang disabilitas harus memastikan bahwa mereka dapat membuat keputusan sendiri atas tubuh mereka, dengan dukungan yang memadai, bukan justru dikesampingkan melalui kebijakan yang mengekang. Kebijakan diskriminatif seperti ini menambah ketidakadilan dan memperkuat marginalisasi terhadap perempuan difabel, padahal mereka sama berhaknya untuk menentukan jalan hidup dan pilihan reproduksinya.

Selain itu, PMK No. 2/2025 dinilai bertentangan dengan standar internasional mengenai hak kesehatan reproduksi. LBH Masyarakat (2025) menekankan bahwa regulasi ini tidak sejalan dengan berbagai konvensi internasional yang mengakui hak perempuan untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi yang aman, legal, dan bebas diskriminasi.

Standar internasional tersebut menegaskan bahwa perempuan berhak membuat keputusan sendiri terkait tubuhnya, mendapatkan layanan medis tanpa hambatan birokrasi, dan memperoleh perlindungan hukum yang memadai jika menjadi korban kekerasan seksual. Dengan membatasi akses melalui persyaratan yang berbelit dan kewajiban persetujuan dari pihak ketiga, PMK No. 2/2025 justru menjauhkan Indonesia dari prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara global.

Langkah-langkah yang perlu diambil untuk memperbaiki situasi ini sebenarnya cukup jelas. Pertama, persyaratan administratif yang rumit harus disederhanakan atau dihapus, terutama dalam situasi darurat medis, agar perempuan dapat segera mengakses layanan aborsi aman tanpa menunggu proses panjang (Sunjaya, 2025).

Kedua, kewajiban persetujuan dari pasangan atau keluarga dalam kasus darurat medis harus dihapuskan, sehingga perempuan memiliki kendali penuh atas keputusan medisnya sendiri. Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas tenaga medis, terutama di wilayah 3T, agar layanan aborsi aman dapat tersedia secara cepat dan berkualitas tinggi.

Keempat, perempuan penyandang disabilitas harus diberikan mekanisme dukungan yang memungkinkan mereka membuat keputusan medis secara mandiri, bukan sebaliknya dibatasi (Benedicta, 2011). Kelima, proses penyusunan kebijakan kesehatan reproduksi harus melibatkan perempuan dan kelompok rentan, agar kebijakan yang dibuat benar-benar mencerminkan kebutuhan dan hak mereka.

Selain aspek teknis dan legal, penting juga untuk melihat dampak sosial dan psikologis dari regulasi ini. Pembatasan akses layanan aborsi aman berpotensi meningkatkan praktik aborsi ilegal yang tidak aman, yang risiko komplikasinya jauh lebih tinggi dan bisa mengancam nyawa perempuan. Stigma sosial yang diperkuat oleh regulasi ini juga membuat perempuan merasa malu atau takut mencari bantuan medis, sehingga kesehatan mental mereka terdampak. Menurut Benedicta (2011), tekanan sosial dan stigma terkait tubuh dan reproduksi perempuan merupakan bentuk pengendalian sosial yang sering kali diabaikan dalam perumusan kebijakan, tetapi berdampak nyata pada kesejahteraan perempuan.

Peraturan ini juga menjadi refleksi bagaimana negara dan sistem sosial masih kerap mengontrol tubuh perempuan melalui aturan yang seharusnya bersifat protektif. Padahal, otonomi tubuh dan kebebasan menentukan pilihan reproduksi merupakan bagian dari hak fundamental yang harus dilindungi. Menurut Yayasan Kesehatan Perempuan (2025), perempuan harus bisa menentukan jalannya sendiri tanpa harus melalui persetujuan pihak lain, apalagi dalam situasi darurat medis atau ketika menjadi korban kekerasan. Hal ini bukan hanya soal hukum atau medis, tetapi juga tentang hak asasi manusia dan kesetaraan gender.

Kesimpulannya, PMK No. 2/2025 merupakan langkah mundur dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia. Regulasi ini membatasi akses perempuan terhadap layanan aborsi aman, menambah hambatan bagi perempuan difabel, dan mengancam prinsip otonomi tubuh perempuan.

Untuk itu, revisi regulasi sangat diperlukan agar sesuai dengan prinsip keadilan reproduksi dan hak asasi manusia, sekaligus memastikan bahwa semua perempuan, termasuk kelompok rentan, dapat mengakses layanan kesehatan reproduksi yang aman, legal, dan bebas diskriminasi. Tanpa perubahan nyata, perempuan akan terus menghadapi ketidakadilan struktural dalam mengakses hak paling dasar atas tubuh dan reproduksinya.

 

Referensi

Benedicta, G. D. (2011). Dinamika otonomi tubuh perempuan: Antara kuasa dan negosiasi atas tubuh. Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 16(2). https://scholarhub.ui.ac.id/mjs/vol16/iss2/2/

LBH Masyarakat. (2025). Ilusi kebaruan peraturan Menteri Kesehatan No.02 Tahun 2025: Regulasi berbahaya yang memukul mundur pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi. https://lbhmasyarakat.org/ilusi-kebaruan-peraturan-menteri-kesehatan-no-02-tahun-2025/

Sunjaya, P. (2025). Analisis hukum Islam dan hukum positif terhadap aborsi akibat rudapaksa [Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta]. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/86961/1/SKRIPSI%20PUTRI%20SUNJAYA%20%28FINAL%20WISUDA%201%29.pdf

Yayasan Kesehatan Perempuan. (2025). PMK No. 2/2025: Aksesibilitas layanan aborsi aman masih jauh dari penghormatan otonomi tubuh perempuan yang berkeadilan. https://ykp.or.id/pmk-no-2-2025-aksesibilitas-layanan-aborsi-aman-masih-jauh-dari-penghormatan-otonomi-tubuh-perempuan-yang-berkeadilan/