Perempuan dalam Pusaran Budaya: Membongkar Patriarki dalam Tradisi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Perempuan saat ini dan di masa lampau jelas menghadapi konflik yang berbeda. Perempuan yang tinggal di kota tidak mengalami tantangan yang sama dengan mereka yang hidup di desa. Namun, di balik segala perbedaan itu terdapat satu kesamaan yang mengikat yakni hasrat untuk dihargai sebagai manusia seutuhnya.

Sejarah feminisme di Indonesia memperlihatkan bagaimana perempuan terus berusaha melampaui batasan sosial dan budaya yang selama ini mengekang mereka. Dalam sejarah, Raden Ajeng Kartini kerap dijadikan simbol utama emansipasi perempuan. R.A Kartini berjuang membuka pintu akses pendidikan dan kebebasan berpikir, terutama bagi perempuan bangsawan Jawa yang terkekang oleh adat.

Namun, satu pertanyaan penting patut direnungkan, “Bagaimana jika R.A Kartini bukanlah seorang bangsawan, melainkan gadis biasa dari desa?” Status Kartini sebagai bagian dari elite priyayi memberinya ruang dan akses yang tidak dimiliki perempuan kebanyakan.

Di balik ketenaran R.A Kartini, ada sosok perempuan bernama Rohana Kudus dari Koto Gadang, Sumatera Barat. Berbeda dengan R.A Kartini, Rohana tidak lahir dari keluarga bangsawan. Meskipun namanya tidak setenar R.A Kartini, perjuangan Rohana juga sangat signifikan. Ia mendirikan sekolah dan surat kabar perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi dan adat yang membatasi ruang gerak perempuan.

Dari Rohana kita melihat bahwa perjuangan perempuan tidak hanya terjadi di kalangan bangsawan tetapi juga di akar rumput, meskipun jalannya jauh lebih terjal. Perbandingan antara R.A Kartini dan Rohana kerap memunculkan anggapan bahwa R.A Kartini memulai perjuangan dari ‘angka satu’, bukan dari nol, karena ia memiliki modal awal berupa akses dan privilege.

Hal ini sering kali memunculkan paradigma bahwa perjuangan perempuan yang memiliki akses dianggap ‘lebih mudah’. Namun, apakah benar akses yang lebih luas otomatis membuat perjuangan menuju kesetaraan lebih mudah? Pertanyaan ini membuka ruang refleksi baru, terutama ketika kita melihat kehidupan perempuan di lingkungan keraton.

Tampak dari luar perempuan keraton hidup dalam kehormatan dan kemudahan. Namun, kenyataannya banyak dari mereka terikat oleh aturan yang membatasi pilihan dan kebebasan hidup. Jika R.A Kartini dan Rohana berjuang memperluas akses pendidikan dan partisipasi publik, perempuan keraton menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks yakni melawan tradisi yang tidak hanya menjadi struktur sosial, tetapi juga melekat sebagai identitas diri. Perjuangan mereka bukan hanya melawan aturan dari luar, tetapi juga pergulatan batin untuk meruntuhkan nilai-nilai yang ditanamkan sejak lahir.

Fenomena ini tampak jelas di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, salah satu keraton yang masih eksis di Indonesia. Dalam tradisi kerajaan Jawa, pewarisan takhta mengikuti sistem patrilineal yaitu garis keturunan ditarik melalui trah laki-laki. Selama berabad-abad tradisi ini memastikan bahwa pengganti raja adalah anak laki-laki tertua dari permaisuri.

Namun, situasi menjadi berbeda karena Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak memiliki anak laki-laki. Kondisi ini memicu perdebatan mengenai kemungkinan seorang perempuan naik takhta menjadi penerus Sri Sultan Hamengkubuwono X. Hukum adat keraton memang tidak secara eksplisit melarang perempuan menjadi penerus raja, tetapi ada keengganan budaya yang kuat.

Salah satu alasannya berasal dari pengaruh fikih yang mengharuskan raja memimpin salat Jumat dan menyampaikan khutbah, peran yang secara tradisional hanya diberikan kepada laki-laki. Dengan demikian, faktor agama dan budaya bersatu membentuk tembok yang sulit ditembus oleh perempuan.

Tantangan tidak hanya berhenti di situ, Perempuan keraton kerap dijodohkan untuk memperkuat aliansi atau memperluas pengaruh kekuasaan. Perempuan tidak ditempatkan sebagai individu yang memiliki kehendak penuh atas tubuhnya, tetapi sebagai objek perekat kekuasaan.

Di luar keraton, paradoks lain muncul. Tidak sedikit perempuan yang justru berlomba-lomba untuk menjadi selir (garwa ampean) raja. Tujuannya jelas, demi mendapatkan status sosial dan memastikan anak yang dilahirkan memiliki darah bangsawan.

Dalam tradisi lama, selir juga menjadi simbol keperkasaan seorang raja sekaligus alat politik. Ironisnya, hal ini memperlihatkan bahwa perjuangan perempuan di keraton tak hanya berhadapan dengan patriarki yang datang dari atas, tetapi juga dari bawah yakni dari pola pikir masyarakat yang tanpa sadar ikut memperkuat sistem yang menindas mereka.

Dalam konteks ini, teori Simone de Beauvoir menjadi relevan. Dalam buku yang berjudul The Second Sex, Simone de Beauvoir menyatakan, “One is not born, but rather becomes, a woman.”, Perempuan tidak didefinisikan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh sistem yang dikonstruksi laki-laki. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di keraton, perempuan menjadi the Other, yakni pihak yang keberadaannya ditentukan demi kepentingan politik, bukan untuk dirinya sendiri.

Namun, sejarah selalu menyediakan jalan bagi perubahan. Naiknya seorang perempuan menjadi ratu dapat menjadi garis tengah yang mengubah segalanya. Ketika perempuan menduduki posisi tertinggi di keraton, ia mematahkan keyakinan lama bahwa perempuan hanya pantas menjadi pelengkap. Ia mengirimkan pesan kuat bahwa perempuan tidak perlu merendahkan diri atau menjual tubuh demi status.

Sebaliknya, perempuan dapat menjadi pemimpin yang berdaulat, yang memegang kuasa penuh atas tubuh dan nasibnya. Perubahan ini bukan hanya sekadar pergantian takhta, melainkan revolusi budaya. Dengan bertakhtanya seorang perempuan, hukum adat ditafsirkan ulang dan membuka ruang baru bagi keadilan gender.

Jika hal ini terjadi, perempuan tidak lagi berada di balik bayangan singgasana, tetapi duduk di atasnya sebagai subjek yang memimpin, mendefinisikan dirinya sendiri, dan menentukan arah sejarah. Dengan demikian, pembongkaran patriarki di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat bukan hanya kemenangan simbolik.

Ini adalah transformasi yang menyentuh inti budaya, tempat perempuan yang dulu terkurung dalam pusaran adat kini memiliki kesempatan untuk berbicara, memimpin, dan menciptakan masa depan yang lebih setara. Perempuan bukan lagi sekadar alat perekat kekuasaan, melainkan pemilik kuasa itu sendiri.

 

Bacaan Lebih Lanjut

Ahmad, R., Putri, S., & Wijaya, H. (2022). Kesetaraan Gender pada Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Jurnal Sosiologi Nusantara, 10(2), 112-126.

Beauvoir, S. de. (2011). The Second Sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1949)

Citra, F. (2021). Pemikiran R.A. Kartini dalam Perspektif Feminisme. Jurnal Pendidikan Sejarah, 10(1), 45-57.

Febriani, A. (2023). Konflik Raja Perempuan dalam Perspektif Hukum Adat Jawa. Jurnal Hukum dan Budaya, 15(1), 55-73.

Safitri, N. (2019). Suksesi Raja-Raja Jawa: Tradisi dan Perubahan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Suryaningtyas, D. (2018). Pro-Kontra Raja Perempuan di Keraton Yogyakarta. Jurnal Antropologi Indonesia, 39(3), 212-230.

Arbi, R. (2020). Rohana Kudus dan Pers Perempuan di Sumatera Barat. Jurnal Ilmu Sejarah, 8(2), 33-50.

 

Dari Dapur ke Ruang Publik: Menantang Batasan Sosial atas Peran Perempuan

Pertanyaan sederhana tapi sering bikin gerah: mengapa peran perempuan kerap dipersempit hanya pada tiga kata populer—dapur, sumur, kasur? Tiga kata yang konon “kodrat,” padahal kalau diteliti, lebih mirip tiga jebakan Batman. Apa benar Allah menciptakan separuh umat manusia hanya untuk itu?

Narasi domestik ini begitu melekat dalam kesadaran kita. Istri salehah sering digambarkan sebagai sosok yang jago masak, nurut, nggak neko-neko. Tafsir agama pun kerap ditarik untuk melegitimasi pembatasan itu. Padahal, kalau kita buka kitab-kitab klasik, ternyata tidak sesederhana itu.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din memang menulis tentang pentingnya istri menjaga rumah tangga. Tetapi di bagian lain ia juga menekankan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban semua Muslim, tanpa kecuali:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim laki-laki dan perempuan.”

Artinya, akses perempuan pada ruang belajar—yang tentu saja bagian dari ruang publik—adalah hak yang diakui.

Ibn Hazm, ulama Andalusia, bahkan lebih progresif. Dalam al-Muhallā (9/458) ia menulis:

وَتَجُوزُ قَضَاءُ الْمَرْأَةِ فِي كُلِّ شَيْءٍ

“Perempuan boleh menjadi hakim dalam setiap perkara.”

Pandangan ini jelas membuka pintu lebar bagi perempuan untuk berperan di ruang publik, bahkan dalam posisi otoritatif.

Kalau kita menengok sejarah Islam awal, gambaran “perempuan hanya domestik” justru terasa janggal. Khadijah binti Khuwailid adalah pengusaha sukses jauh sebelum menikah dengan Nabi Muhammad. Aisyah binti Abu Bakar bukan sekadar istri Nabi, tapi juga guru besar hadis yang muridnya laki-laki ulung.

Dalam catatan al-Muhaddithāt karya Mohammad Akram Nadwi, ada lebih dari 8.000 perempuan ulama sepanjang sejarah Islam. Jadi, kalau hari ini ada yang bilang perempuan harus anteng di dapur saja, mungkin mereka tidak pernah update “versi terbaru” dari sejarah Islam.

Masalahnya, kontrol sosial atas perempuan bukan hanya soal jilbab atau rahim, tapi juga soal ruang. Sejauh mana perempuan boleh melangkah ke publik? Sejauh mana ia boleh bersuara? Perempuan yang aktif di organisasi atau politik sering diberi label “lupa kodrat.” Ironisnya, laki-laki yang sama-sama aktif malah dipuji sebagai pemimpin. Double standard yang rasanya sudah basi, tapi masih terus dipanaskan.

Di titik ini, kita perlu luruskan soal “kodrat.” Kodrat itu ya menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui—hal-hal biologis yang memang unik pada tubuh perempuan. Tapi urusan menyapu, menyetrika, menyuci piring, mencari duit, rapat sampai larut malam—itu bukan kodrat, itu kerja. Dan kerja bisa dilakukan siapa saja. Mengklaim pekerjaan rumah sebagai kodrat perempuan adalah bentuk manipulasi bahasa yang menutup mata dari keadilan.

Kalau kita mau jujur, pembatasan perempuan dari ruang publik merugikan semua pihak. Betapa banyak potensi hilang hanya karena separuh masyarakat dipaksa diam. Bayangkan sepak bola dimainkan dengan sebelas orang, tapi separuhnya disuruh duduk di bangku penonton—ya jangan salahkan kalau timnya sering kalah.

Islam sejatinya hadir untuk menegakkan keadilan. Al-Qur’an dengan jelas menyebut prinsip kesalingan:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

“Laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain” (QS. at-Taubah [9]: 71)

Ayat ini bukan hanya tentang kerja sama spiritual, tapi juga sosial. Ia menegaskan bahwa ruang publik bukan milik laki-laki semata; perempuan pun berhak hadir dan berkontribusi.

Maka pertanyaannya sederhana tapi menohok: mau sampai kapan kita menafsir “kodrat” hanya untuk melanggengkan patriarki? Atau, beranikah kita membuka tafsir baru—yang bukan sekadar ngaji kitab, tapi juga ngaji realitas—bahwa perempuan berhak hadir di ruang publik tanpa harus kehilangan label salehah?

Karena pada akhirnya, keadilan sosial tak akan lahir dari masyarakat yang membiarkan separuh anggotanya dipasung.

Keadilan Gender di Balik Kuota Politik: Dari Simbol ke Substansi

Seorang caleg perempuan muda dari sebuah kabupaten bercerita tentang pengalamannya. Ia diminta partainya maju pada pemilu legislatif, tapi ditempatkan di nomor urut yang jelas-jelas sulit menang. Ketika bertanya alasannya, pengurus partai menjawab singkat: “Yang penting ada perempuan.”

Kalimat itu menunjukkan persoalan mendasar yang dihadapi perempuan dalam politik kita. Kehadiran mereka kerap dijadikan pemanis daftar, bukan aktor yang betul-betul diberi ruang. Padahal, secara formal, aturan sudah ada: partai politik diwajibkan mencalonkan sekurang-kurangnya 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif. Namun, realitas politik sering jauh berbeda dari semangat regulasi.

Kuota: Awal, Bukan Akhir

Kuota perempuan memang sebuah capaian. Tanpa aturan ini, jumlah perempuan di parlemen kemungkinan lebih kecil lagi. Kuota membuka pintu masuk agar perempuan punya kesempatan yang lebih setara. Tetapi, pintu masuk tidak sama dengan ruang berdaya.

Praktiknya, perempuan yang masuk ke arena politik sering menghadapi jalan terjal. Dari sisi finansial, mereka kalah modal dengan caleg laki-laki. Dari sisi jaringan, perempuan kerap dianggap “pendatang baru” yang tidak punya basis massa kuat. Belum lagi beban ganda: urusan domestik dan publik harus dijalankan bersamaan.

Di titik inilah terlihat bahwa kuota bukan solusi tunggal. Ia hanya instrumen awal. Keadilan gender baru tercapai jika keterlibatan perempuan tidak berhenti pada angka, melainkan hadir dalam kualitas pengambilan keputusan.

Politik yang Masih Maskulin

Masalah utama terletak pada kultur politik kita yang maskulin. Politik identik dengan pertarungan keras, penuh intrik, dan berbiaya tinggi. Budaya ini bukan hanya menyulitkan perempuan, tetapi juga banyak laki-laki yang jujur dan kritis.

Sementara itu, perempuan yang berhasil masuk ke lembaga politik masih sering dipandang sebelah mata. Suaranya dianggap pelengkap, bukan penentu. Bahkan tidak jarang, mereka ditekan agar mengikuti garis besar partai yang dikuasai elit laki-laki.

Padahal, bukankah demokrasi seharusnya berarti ruang yang terbuka bagi semua, tanpa memandang jenis kelamin?

Perspektif Islam: Musyawarah yang Adil

Dalam Islam, prinsip musyawarah (syura) menuntut keterlibatan semua pihak. Musyawarah yang sehat hanya mungkin bila setiap orang bisa berbicara setara. Jika perempuan hadir hanya sebagai simbol, tanpa ruang bicara, maka musyawarah kehilangan maknanya.

Sejarah Islam mencatat peran penting perempuan dalam ranah publik. Dalam peristiwa Bai’at Aqabah, misalnya, perempuan ikut berbaiat kepada Nabi Muhammad SAW. Banyak ulama perempuan di era klasik menjadi rujukan ilmu dan fatwa. Fakta ini menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan bukanlah hal asing dalam tradisi Islam, melainkan bagian integral darinya.

Oleh karena itu, politik inklusif sejatinya selaras dengan nilai-nilai Islam: menghargai martabat manusia, mendengar suara semua pihak, dan menegakkan keadilan.

Dari Simbol ke Substansi

Jika kuota hanya diperlakukan sebagai syarat administratif, maka yang terjadi hanyalah politik simbolik. Perempuan hadir di daftar caleg, tapi absen dalam pengambilan keputusan. Demokrasi menjadi pincang karena separuh penduduk tidak terwakili secara bermakna.

Perubahan yang dibutuhkan bukan sekadar menambah jumlah, melainkan membongkar struktur. Partai politik harus memberi ruang strategis bagi perempuan untuk memimpin, bukan sekadar mengisi slot. Media harus berhenti menilai perempuan dari penampilan fisiknya, dan mulai menyoroti gagasannya. Masyarakat harus belajar bahwa kepemimpinan bukan monopoli laki-laki.

Keadilan gender dalam politik pada akhirnya bukan hanya untuk perempuan. Demokrasi yang adil gender berarti demokrasi yang lebih sehat bagi semua. Politik yang memberi ruang bagi perempuan cenderung lebih memperhatikan isu-isu kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial—isu yang sering terabaikan dalam politik maskulin yang hanya bicara kekuasaan.

Kisah caleg perempuan muda tadi hanyalah satu dari sekian banyak cerita yang menggambarkan problem kuota di Indonesia. Aturan ada, tetapi praktik sering timpang. Kuota hanyalah awal perjalanan. Yang kita butuhkan adalah transformasi budaya politik: dari eksklusif menuju inklusif, dari simbol menuju substansi.

Perempuan bukan “pemanis daftar”. Mereka adalah pemegang amanah rakyat yang punya hak, kapasitas, dan gagasan untuk membangun bangsa. Selama suara mereka masih dikesampingkan, perjuangan keadilan gender belumlah selesai.

Mpu Uteun: Rangers Perempuan Penjaga Hutan Damaran Baru Aceh

Menjaga hutan adalah tanggung jawab bersama, laki-laki dan perempuan. Alam adalah sumber penghidupan bagi semua manusia. Menjaganya tetap lestari, sama dengan memperjuangkan kehidupan tetap ada. Keyakinan itulah yang dipegang oleh Mpu Uteun, rangers perempuan pertama yang menjaga hutan di Damaran Baru Aceh.

Kepedulian perempuan aceh pada hutan, berangkat dari peristiwa banjir bandang pada 14 September 2015. Meski tidak menimbulkan korban jiwa, namun bencana tersebut membuat warga desa harus mengungsi karena rumah-rumah terendam air, dan kebun-kebun kopi serta kebun lainnya rusak.

Sejak itulah, perempuan di Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh berinisiatif untuk melindungi hutan yang telah rusak dengan cara menanam kembali dan menjaga hutan dari para penebang liar.

Melansir dari theconversation.com, lebih dari 60% wilayah Aceh atau 3,2 juta ha merupakan kawasan hutan. Luasan ini membuat risiko perambahan hutan ilegal kian tinggi. Misalnya, pada tahun 2018, ada sekitar 2.418 kasus penebangan liar di Aceh.

Mirisnya pelaku penebangan liar ini hampir selalu dilakukan oleh laki-laki. pengaduan masyarakat pada pihak otoritas pun sering kali menemui jalan buntu. Akibatnya hutan di Aceh banyak rusak.

Dari keresahan inilah, kelompok Mpu Uteun (penjaga hutan) muncul dan berinisiatif untuk melakukan gerakan menjaga hutan dari para penebang liar. Mpu Uteun berpatroli untuk mengatasi penebangan liar maupun pemburuan, membongkar jerat pemburu, mendokumentasikan tanaman maupun satwa asli setempat, hingga menanam pohon.

Patroli ini dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab perempuan untuk menjaga sumber-sumber keanekaragaman hayati. Karena itu, selain berpatroli, Mpu Uteun juga giat menghijaukan hutan yang sebelumnya rusak, khususnya di pinggir sungai. Hal ini mereka lakukan semata-mata untuk melindungi hutan, mata air, dan sumber-sumber kehidupan lain secara langsung dan berkelanjutan.

Tantangan Menjadi Mpu Uteun

Menjadi Mpu Uteun tidaklah mudah. Selain harus berhadapan dengan para penebang liar, mereka juga kesulitan karena banyak masyarakat Damaran Baru yang belum memahami fungsi hutan, sehingga mereka memilih abai dan tutup mata pada kondisi hutan yang kian hari, kian rusak.

Sebagai perempuan, awalnya anggota Mpu Uteun juga mendapatkan stigma dari warga sekitar. Mereka disebut tidak bermoral, karena beraktivitas di hutan. Dalam sistem adat di Aceh, hutan masih dianggap sebagai tempat laki-laki.

Selain itu, hingga tahun 2019 Mpu Uteun masih kesulitan menjaga hutan, karena pemerintah belum mengeluarkan izin pengelolaan hutan pada mereka. Namun meski begitu, mereka tidak tinggal diam, didampingi Yayasan HAkA (Hutan Alam dan Lingkungan Aceh), masyarakat Damaran Baru mengusulkan izin pengelolaan hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Gayung bersambut, November 2019, KLHK pun memberi izin melalui skema hutan desa.

Keteguhan mereka dalam menjaga hutan kini juga sudah mulai membuahkan hasil. Secara perlahan-lahan, laki-laki eks penebang liar atau pun pemburu trenggiling, banyak yang “menebus dosa” dengan bergabung dalam Mpu Uteun.

Membentuk Ecovillage

Dilansir dari merdeka.com, setelah sukses merangkul warga sekitar sembari berpatroli menjaga dan menanam pohon di sekeliling kampung, Mpu Uteun juga mulai menggarap kegiatan ekonomi untuk warga.

Mereka berinisiatif menjadikan Damaran Baru sebagai desa wisata berbasis alam (Eco-Village) dengan tetap mempertahankan kearifan lokal. Warga sekitar diberi pemahaman tentang potensi wisata yang dimiliki oleh Damaran Baru. Salah satunya adalah Gunung Burni Telong.

Kini banyak pendaki yang tertarik untuk melakukan pendakian ke Gunung Burni Telong. Warga sekitar pun merasakan manfaatnya, terutama dari sisi ekonomi. Sebagian masyarakat saat ini ada yang menjadi guide dan penyedia homestay.

Perjuangan Mpu Uteun dalam membangun kesadaran lingkungan dan wisata telah membuahkan hasil, salah satunya pada tahun 2020 Mpu Uteun berhasil mendapatkan juara pertama sebagai desa ekowisata terpopuler di ajang Anugerah Pesona Indonesia (API).

Gerakan yang dilakukan oleh Mpu Uteun semakin menegaskan pada kita bahwa perempuan punya peran penting dalam menjaga dan melindungi hutan. Karena itu, perjuangannya sangat patut untuk didukung serta diapresiasi oleh berbagai pihak. Baik oleh warga sekitar, masyarakat umum, atau bahkan pemerintah daerah dan nasional. []

Indonesian Female Workers, Between Opportunities and Challenges

Industry is the most crucial part in the economic system in Indonesia, with manufacturing contributing 18.94 percent to GDP (Gross Domestic Product) in 2023. Progress in the industrial sector cannot be separated from the role of female workers, especially in the manufacturing, labor-intensive, agricultural, and fisheries sectors.

The percentage of women’s involvement in the manufacturing sector is 42.3 percent (BPS, 2023), and their role is much more dominant in the plantation and labor-intensive sectors at around 80 percent (VOA Indonesia, 2020). According to the results of the Rumah KitaB assessment in the Berdaya program in North Jakarta in 2021, the role of women in the manufacturing industry sector is also around 40 percent, and around 65 percent in the fisheries industry sector, especially in processing catches.

The important role of female workers in industry sectors is not comparable to the opportunity to access strategic positions such as supervisors, managers, or policy makers. Their positions are more as factory workers who are bound by short-term contracts. While male workers have more open opportunities to fill strategic positions, as supervisors, managers, and company leaders.

Women’s leadership in the industrial space has not been implemented well. Traditional views, beliefs, and religions have formed discriminatory gender norms, such as discrimination in employment opportunities, wage differences, and the granting of leave rights that are equal to men without considering their biological roles.

The results of the Rumah KitaB Research (2023) on Working Women in Jakarta, Bekasi, Depok, and Bandung, have shown that women’s working period is only about five years. After they have a family, they voluntarily (some are forced) decide to stop working, arguing that they are not the main breadwinners.

Equal participation of women with men in employment does not necessarily put them in a good bargaining position. For example, in the garment and footwear sector in Jakarta, Bekasi, and Bandung, women’s income is lower with shorter work contracts, so they are more accepted to work than men. This shows that women’s job opportunities are more open in the manufacturing sector, not meaning that women are more valued in the industrial sector but rather it is a gender discriminatory practice by some business actors.

In the education industry sector in Jakarta, Bekasi, and Bandung, most of the honorary teachers and lecturers are filled by women, with incomes of around one-fifth of the Provincial Minimum Wage standard, such as DKI Jakarta and West Java. While they are the backbone of the world of education, both in the private and state sectors.

The important role of women in various industrial sectors above is also not supported by proper reproductive health protection. The National Commission on Violence Against Women’s records in 2024 showed that there were 2,702 cases of violence against women in the manufacturing industry, including sexual, physical, psychological, and economic violence.

On paper, the record of violence against women is still low, based on the results of the assistance of PATBM Kalibaru North Jakarta, the potential for reports of violence against women in Jakarta only shows around 5-10 percent of the actual facts. Various cases handled did not reach the stage of submitting a report to the DKI Jakarta PPPA Service, or the National Commission on Violence Against Women.

Bias in Legal  Interpretation

Sisil (not her real name), 38 years old, a single mom with 2 children, said, “I once experienced sexual assault. At that time I was called to my manager’s office, there I was approached and kissed forcibly but I rebelled and could only cry. I was humiliated because I was a widow.

Kadmi (PATBM Kalibaru North Jakarta), said “They are ashamed to process cases of (sexual) violence, their families cover them up”. Some RT/RW administrators, and company leaders, in Jakarta and Bekasi only want to reconcile, because it is considered a normal problem, and do not want to extend the problem to the legal realm.

Sugeng Martono, a lawyer in Bekasi, said “The main problem with legal assistance for sexual violence is the issue of witnesses. If there are no witnesses or even only one witness, the complaint cannot be processed legally by the police.”

Sisil’s experience above cannot be reported to the police, and the perpetrator can still roam free. According to Sisil, investigators will not possibly side with her, because there were no witnesses at the time of the incident. According to her, she is still luckier than her co-workers who were forced to have sex.

Sisil’s case is like an iceberg phenomenon, many victims are reluctant to tell their stories, they are worried about discriminatory social views against sexual victims in their extended family and community. Usually, survivors of sexual violence can only tell their stories after several years of the incident, due to depression, fear, and the victim’s mental breakdown, especially having to see the perpetrator every time they come to work.

In terms of legal infrastructure, protection for women in Indonesia has improved, with the presence of the Sexual Violence Crime Law 12/2022, but still facing implementation in the field, especially regarding the perspective and interpretation of society, weak law enforcement, and the absence of siding with victims, is still a serious job.[]