1-3 JUNI 2018 – TRAINING BERDAYA: PENGUATAN KAPASITAS REMAJA UNTUK PENCEGAHAN KAWIN ANAK DI MAKASSAR
/0 Comments/in Jadwal Kegiatan /by rumahkitab25-27 MEI 2018 – TRAINING BERDAYA: PENGUATAN KAPASITAS REMAJA UNTUK PENCEGAHAN KAWIN ANAK DI CIREBON
/0 Comments/in Jadwal Kegiatan /by rumahkitabGALERI FOTO PELATIHAN REMAJA UNTUK PENCEGAHAN KAWIN ANAK DI MAKASSAR
/0 Comments/in Foto Kegiatan /by rumahkitabLAPORAN PELATIHAN REMAJA UNTUK PENCEGAHAN KAWIN ANAK DI MAKASSAR
/0 Comments/in Berita, Foto Kegiatan /by rumahkitabLaporan Training BERDAYA Hari ke 1
Penguatan Kapasitas Remaja Panakkukang untuk Pencegahan Kawin Anak
Makassar, 1 Juni 2018
Hari ini merupakan hari pertama pelatihan bagi anak remaja yang terpilih di wilayah kerja Rumah KitaB dalam pencegahan kawin anak. Sebanyak 31 peserta; 19 perempuan dan 11 laki-laki terpilih sebagai peserta. Selain peserta hadir juga peninjau dari AIPJ Makassar dan perwakilan ICJ. Anak remaja yang terseleksi berasal dari wilayah Kecamatan Tamamaung dan Sinrijala. Kegiatan dilakukan di Hotel JL Star yang tak jauh dari tempat tinggal peserta. Pada awalnya suasana terkesan masih kaku, tetapi setelah kegiatan perkenalan, peserta semakin hangat dan akrab. Perkenalan dilakukan dalam bentuk games. Selain untuk mengenal tentang pribadi masing-masing, games juga digunakan sebagai pintu masuk untuk mendiskusikan isu perkawinan usia anak.
Pembukaan disampaikan oleh ibu Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB dan pendamping siswa, Ibu Nurani. Sebelum pelatihan dilanjutkan, peserta diminta mengisi lembar baseline survey dan pre-test pelatihan. Hal ini bertujuan untuk mengenal sejauh mana pengetahuan peserta mengenai materi pencegahan perkawinan anak dan persepsi mereka tentang perkawinan anak.
Setelah istirahat, ibu Lia Marpaung dari AIPJ2 menyampaikan sambutan. Ia menekankan bahwa semua remaja yang hadir adalah remaja yang terpilih untuk menjadi agen pencegahan perkawinan anak di Makassar.
Kegiatan selanjutnya adalah penyampaian materi tentang data dan fakta perkawinan anak di Indonesiadan Sulawesi Selatan terutama di wilayah Tamamaung dan Sinrijala. Sesi ini bertujuan untuk membuka mata dan pikiran mereka tentang perlunya para remaja mencegah perkawinan anak bersama-sama. Materi ini disampaikan oleh Nura, Tika dan Tendri dari ICJ. Berangkat dari asupan itu peserta diajak diskusi kelompok tentang dampak pernikahan anak yang kemudian mereka presentasikan oleh perwakilan kelompok.
Dengan alat bantu gambar, peserta diajak untuk memetakan aktor yang berpengaruh. Mereka diminta untuk meletakkan gambar itu dalam lingkaran-lingkaran yang berpengaruh kepada anak sejak dari lingkungan terdekat seperti teman, orang tua dan keluarga, hingga yang terjauh seperti kebijakan negara. Kegiatan itu merupakan penutup pelatihan di hari pertama.
Sesi terakhir hari pertama adalah diskusi tentang aktor yang berpengaruh terhadap perkawinan anak yang dipimpin oleh Ibu Lies Marcoes.
Pelatihan dihadiri oleh 31 anak remaja yang terdiri dari 19 remaja perempuan dan 12 remaja laki-laki. Peserta tidak hanya terdiri dari pelajar SMP dan SMA/SMK tetapi ada juga yang sudah tidak bersekolah. Kegiatan diskusi berlangsung dengan lancar.
Laporan Training BERDAYA Hari ke 2
Penguatan Kapasitas Remaja Panakkukang untuk Pencegahan Kawin Anak
Makassar, 2 Juni 2018
Diikuti oleh 31 peserta dengan tiga orang pendamping dari komunitas, remaja dari Sinrijala dan Tamamaung melakukan kegiatan “Penguatan Kapasitas Remaja dalam Pencegahan Kawin Anak” di Hotel Jl Star Makassar.
Ini adalah kegiatan hari ke dua dengan materi pendalaman yang diproses secara partisipatif. Peserta terdiri dari 19 perempuan dan 12 laki-laki yang rata rata berumur 14-16 tahun. Mereka umumnya masih pelajar SMP. “Di sini sangat sulit mencari kader anak SMA atau lulusan SMA, karena mereka umumnya telah menikah” demikian Ibu Guru Nurani dari SMP Tut Wuri Handayani yang membimbing 10 siswi dari sekolahnya menjelaskan tentang peserta remaja di pelatihan ini.
Melanjutkan kegiatan sehari sebelumnya, acara dimulai dengan refleksi pengetahuan yang mengendap dalam ingatan mereka. Peserta bekerja dalam tiga kelompok untuk menjelaskan tiga materi pokok kemarin yaitu: pengertian anak, kawin anak dan fakta kawin anak; penyebab dan dampak; serta aktor yang berpengaruh.
Setelah mereka melakukan presentasi, disajikan dua infografis soal data-data kawin anak yang diproduksi oleh UNICEF dan Rumah KitaB. Dalam sesi tersebut juga diputar film produksi Rumah KitaB “Memecah Kawin Bocah” untuk memperkaya pengetahuan mereka tentang kompleksitas problem perkawinan anak.
“Melalui film ini saya jadi mengerti bahwa problem kawin anak ternyata bukan hanya soal pergaulan bebas, tapi karena banyak orang tua yang terpaksa harus bekerja jauh dari rumah dan meninggalkan anak-anak mereka sehingga anak perempuan harus menanggung beban keluarga” demikian Yulia menanggapi film yang mereka tonton bersama.
Setelah istirahat, peserta diajak untuk melihat secara visual perbedaan secara fisik dan gender antara laki-laki dan perempuan yang berdampak beda jika terjadi perkawinan anak. Dengan segara cara, fasilitator mendorong peserta untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan ini. Karenanya selain memutar film, fasilitator juga memanfaatkan media pembelajaran yang ada seperti membahas studi kasus kematian seorang TKW yang mengalami kekerasan seksual, sementara ia sendiri merupakan korban perkawinan usia anak-anak. Studi kasus ini diolah dalam bentuk permainan “Jaring Laba-laba”.
Peserta mendapatkan buku Kesaksian Pengantin Bocah, kumpulan studi kasus perkawinan anak hasil penelitian Rumah KitaB. Karena pemaparan disampaikan dalam bentuk cerita studi kasus, mereka terlihat dapat menyelami cerita itu.
Sebagai catatan, peserta umumnya warga komunitas miskin dengan keterbatasan akses pengetahuan. Meskipun sudah SMP, kemampuan baca mereka umumnya masih rendah. Tingkat pemahaman pada konsep sederhana pun sulit sehingga fasilitator harus melakukan banyak improvisasi bahkan “akrobat” untuk mendorong peserta aktif dan fokus kepada isu yang sedang di bicarakan.
Dilihat dari hasil evaluasi hari kedua, peserta menyatakan puas sebagaimana termuat dalam lembar evaluasi harian.
Laporan Training BERDAYA Hari ke 3
Penguatan Kapasitas Remaja Panakkukang untuk Pencegahan Kawin Anak
Makassar, 3 Juni 2018
Sesuai rencana, peserta akan mengakhiri kegiatan hari ini dengan penyusunan rencana kegiatan yang paling mungkin dilakukan di wilayah mereka. Pada hari ini juga akan dilakukan pembacaan ikrar Duta Remaja Indonesia pencegahan perkawinan anak di wilayahnya.
Pagi ini, acara dimulai dengan penampilan yel-yel tiga kelompok yang telah mereka pentaskan di hari kedua. Yel-yel ini langsung membuat semangat peserta. Acara dilanjutkan dengan games “Angin Bertiup”. Peserta diminta berdiri melingkar dan bergerak berdasarkan instruksi dari kertas yang dibacakan oleh peserta yang ada di tengah lingkaran. Games ini benar-benar mampu membangun suasana riang gembira karena bernuansa lomba. Dalam susunan lembaran kartu yang disiapkan terdapat isu-isu yang relevan dibahas oleh remaja seperti “pernah melihat teman yang kawin anak”, “ punya adik perempuan” “punya jerawat”, “sudah menstruasi”, “pernah mimpi basah” dll.
Games ini kemudian diolah dan melahirkan analisis dua paradigma dalam melihat penyelesaian kawin anak: pertama, dengan melakukan pemberdayaan ke remaja perempuan langsung karena mereka dianggap yang bermasalah. Kedua, menyelesaikan sistem yang menyebabkan praktik kawin anak terus terjadi. Tentu saja dalam pembahasannya analisis ini dilakukan secara sederhana sedemikian rupa agar bisa dipahami peserta yang usianya rata rata 14 -16 tahun dan duduk di SMP kelas 2 atau drop out.
Acara berikutnya adalah review materi yang mereka pahami di hari kedua dengan bantuan visualisasi dua batang pohon yang rindang dan pohon yang meranggas. Kelompok yang mendapatkan gambar pohon yang meranggas diminta menuliskan akar masalah kawin anak, siapa aktor yang mendukungnya dan apa dampaknya. Sementara untuk pohon yang rindang, mereka diminta membahas bagaimana mengatasi akar masalah kawin anak, siapa aktor yang dapat ikut membantu mengatasi kawin anak, dan apa agenda kegiatan yang dapat dijadikan solusi.
Peserta sangat antusias melakukan kegatan itu dan mereka mempresentasikan secara bergantian. Dari sisi edukasi, memberi kesempatan presentasi bergantian dimaksudkan agar mereka memiliki self esteem. Sebagai catatan, sebagian peserta adalah anak lorong dengan tingkat kepercayaan diri sangat rendah terutama di kalangan peserta laki-laki.
Di saat break, peserta sangat antusias mencoba kamera dan tampaknya mereka sangat berminat menggunakan kamera. Hal ini memberi inspirasi untuk menjadikannya sebagai salah satu kegiatan lanjutan untuk life skill mereka kelak.
Setelah break siang, acara dilanjutkan dengan mencari solusi. Dengan bantuan visual jembatan, peserta diminta untuk mengidentifikasi apa saja yang dapat dilakukan untuk menjembatani kesenjangan yang menyebabkan praktik kawin anak dan memposisikan anak perempuan begitu rentan. Membangun jembatan diilustrasikan sebagai cara yang mungkin dilakukan sejak dari lingkaran paling dalam yaitu anak itu sendiri, keluarga dan orang tua, komunitas, adat istiadat hingga negara.
Setelah itu disajikan presentasi teknik negosiasi dan peserta diminta menegosiasikan stop kawin anak dengan mengambil kasus yang sehari sebelumnya divisualisasikan melalui games jaring laba-laba yang mereka praktikkan dalam bentuk role play. Role play ini menjadi salah satu cara agar mereka berani membangun narasi dan mempraktikkannya dalam cara bernegosiasi.
Bagian yang sangat menarik dalam kegiatan ini adalah penyusunan RTL. Terlihat bahwa mereka memiliki rencana yang lumayan bagus seperti mengisi acara hari-hari besar Islam atau hari libur nasional seperti 17-an dengan lomba yang relevan dengan pencegahan perkawinan anak.
Setelah mengisi post test, dilakukan upacara penutupan berupa menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan Ikrar Duta Cegah Kawin Anak dan sambutan peserta yang diwakili 2 peserta.
Yulia salah satu peserta paling menonjol menyatakan bahwa ia sangat senang dan beruntung bisa mendapatkan kesempatan ini. Ia tak menyangka hanya dalam waktu tiga hari dia dapat menguasai dan mendapatkan banyak informasi terkait kawin anak serta mengajak teman-temannya untuk melanjutkan kegiatan training ini dengan melaksanakan RTL. Akhsan salah satu wakil dari kelompok laki-laki menyatakan bahwa dalam tiga hari dia telah mengetahui apa itu kawin anak, apa dampaknya, siapa aktornya dan apa yang dapat mereka lakukan.
Dalam obrolan dengan para pendamping yaitu Ibu Asni dan Ibu Nurhana serta ibu guru Nurani, mereka sangat terkesan dengan metode training yang membuat anak-anak berani bicara. Indikator keberhasilan training yang paling nyata adalah semua anak laki-laki berani bicara di depan peserta. [Lies Marcoes/Nura Jamil]
LAPORAN PELATIHAN REMAJA UNTUK PENCEGAHAN KAWIN ANAK DI CIREBON
/0 Comments/in Berita, Foto Kegiatan /by rumahkitabCirebon, 25-27 Mei 2018
Dalam rangka mensukseskan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGDs) yang telah dicanangkan oleh PBB, Rumah Kitab mengadakan pelatihan penguatan kapasitas remaja dalam pencegahan kawin anak di RW. 09 Kesunean Selatan, Kelurahan Kasepuhan, Kota Cirebon. Acara ini berlangsung selama tiga hari, dimulai hari Jum’at sampai dengan hari Minggu, 25-27 Mei 2018.
Pembukaan pelatihan ini banyak dihadiri oleh pejabat lokal baik formal maupun non formal. Pihak yang hadir pada saat pembukaan antara lain; kepala Dinas Sosial Kota Cirebon, lurah Kasepuhan, organisasi Wadul Bae, dokter dari Puskesmas setempat, dan para jajaran RT & RW di kelurahan Kasepuhan. Dari tamu undangan yang hadir pada acara pembukaan, semuanya memberikan dukungan dan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Rumah KitaB atas terselenggaranya pelatihan bagi remaja, tanpa terkecuali tuan rumah, ketua RW. 09 Kesunean Selatan, Pepep Nurhadi. Baginya pemilihan lokasi pelaksanaan yang bertempat di Balai Pertemuan Kampung atau biasa disingkat dengan Baperkam adalah merupakan kebanggaan tersendiri bagi para warga karena Baperkam mereka semakin ramai dengan kegiatan-kegiatan sosial.
Dalam sambutan pembukaan, ibu Hani selaku kepala Dinas Sosial Kota Cirebon mengatakan pelatihan seperti ini merupakan bagian dari pemenuhan hak anak dan perlindungan anak, dimana dua hal tersebut juga menjadi konsen kerja Dinas Sosial. Lebih jauh, ia mendorong peserta remaja untuk melanjutkan pendidikan yang tinggi serta menunda perkawinan di usia dini agar mimpi dan cita-cita para remaja bisa tercapai.
Sebagai gambaran umum terkait lokasi acara, RW. 09 pada awalnya merupakan kampung kumuh di pesisir pantai utara kota Cirebon dimana tumpukan sampah biasa dijadikan urugan tanah untuk dibangun pemukiman. Namun kini sudah tersedia pengelolaan sampah organik untuk kompos dan non organik untuk kerajinan tangan. Selain itu, Kesunean Selatan juga menjadi kampung ramah anak dan dinobatkan sebagai wilayah tersehat dimana Posyandu kampung ini pernah menjuarai Posyandu terbaik tingkat nasional.
Latar belakang peserta yang beragam membentuk komposisi unik peserta pelatihan, antara lain ; aktivis remaja di SMA, perwakilan dari IPNU dan IPPNU, Ikatan Remaja Musholla, para Santri dan remaja putus sekolah. Mereka berdomisili di dua kelurahan yaitu Pegambiran dan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk yang menjadi pilot project program BERDAYA. Adapun pemateri dan fasilitator kesemuanya adalah dari Rumah KitaB. Mereka adalah ibu Lies Marcoes, Achmat Hilmi, Nurasiah Jamil, Yooke Damopolii dan PO BERDAYA Cirebon, Imbi Muhammad.
Setidaknya ada dua hal yang bisa dijadikan landasan mengapa pelatihan remaja ini dilakukan. Pertama, wilayah kecamatan Lemahwungkuk menyumbang angka kawin anak terbesar di tahun 2017. Kedua, pencegahan kawin anak bisa dimulai dengan mengubah paradigma dan pandangan remaja akan bahaya kawin anak dan sebagai upaya preventifi agar tidak terjadi di kalangan remaja.
Peserta remaja yang berjumlah 25 orang sangat antusias dalam mengikuti jalannya pelatihan. Di tengah rasa haus dan lapar pada siang hari di bulan puasa, mereka secara aktif mengikuti satu per satu materi pelatihan dari jam 10 pagi hingga jam 4 sore. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi tim fasilitator dan pemateri. Mereka juga harus mengimbangi semangat dan antusiasme para peserta ketika menyampaikan materi kepada para peserta. Oleh karena itu agar suasana saat pelatihan tidak menjemukan, para pemateri dan fasilitator selalu menyelingi ice breaking di tengah penjelasan materi dan memberikan penyampaian yang interaktif kepada para peserta pelatihan.
Sebagian besar dari para peserta yang hadir masih baru mengenal isu kawin anak, bahkan bagi mereka ini adalah istilah baru. Istilah pernikahan dini lebih familiar di kalangan peserta remaja dari pada istilah kawin anak. Dari 25 peserta hanya empat orang yang pernah mengikuti kegiatan serupa, yakni pada perayaan International Women Day di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Peserta yang bernama Yuyun memiliki kesan setelah mengikuti pelatihan ini. Ia merasa lebih banyak mengetahui dampak dan bahaya dari praktik kawin anak. Suguhan materi lebih kaya dari pelatihan serupa yang pernah dia ikuti. Ia menambahkan bahwa penyampaian yang mudah juga lebih mempermudah peserta untuk mencerna materi pelatihan.
Metode curah pendapat yang ditawarkan oleh direktur Rumah KitaB, Lies Marcoes, ketika menjelaskan hubungan antara ketidakadilan gender dan kawin anak memberikan ruang yang luas bagi peserta remaja untuk mengeksplorasi permasalahan kawin anak dengan membaca fenomena sosial yang ada di lingkungan mereka masing-masing. Mereka belajar menginventarisasi faktor, aktor dan penyebab terjadinya kawin anak di masyarakat sekitar mereka.
Di akhir pelatihan setiap peserta diminta membuat rencana tindak lanjut sesuai kelompok dan target sasaran mereka dalam mengkampanyekan pencegahan kawin anak. Di antara target kelompok yang mereka pilih, ada Sekolah dan Guru, Orang Tua, Remaja Sebaya, dan Aparat Pemerintah. Ada jargon unik yang dihasilkan oleh peserta pelatihan remaja di Kota Cirebon “Gendong Tas Sekolah Dulu, Baru Gendong Anak”. [Imbi M]
Bisnis dan Kontroversi Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran
/0 Comments/in Berita /by rumahkitabLa Ode Munafar menyelipkan bisnis lewat gerakan Indonesia Tanpa Pacaran yang digagasnya
tirto.id – “Saya memutuskan pacar dengan cara saksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,” ucap seorang pemuda di depan peserta seminar Anti Pacaran pada Minggu ketiga Mei 2018.
Mengenakan kemeja putih dipadu celana hitam dan topi, ia sempat menarik napas sebelum menyatakan ikrar tersebut. Sementara puluhan perempuan di ruangan itu—semuanya memakai jilbab—tergelak sembari tepuk tangan dan mengabadikan momen tersebut dengan kamera ponsel.
La Ode Munafar, penggagas gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, menyaksikan momen tersebut. Ini bukan kali pertama Munafar menjadi saksi. Di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, medio Januari 2018, Munafar juga menyaksikan gadis asal Indra Giri yang sudah tiga tahun pacaran memutuskan pacarnya melalui sambungan telepon, di hadapan 800 peserta seminar. Sumpah gadis itu disambut pekikan takbir dan tepuk tangan peserta.
Dengan narasi sebanyak empat paragraf, akun Facebook resmi ITP ingin menyampaikan bahwa gerakan ITP di Kota Lubuk Linggau telah berhasil membuat peserta sadar dan putus tanpa paksaan. Lalu menyebutkan satu persatu dampak negatif pacaran seperti kerugian waktu yang terbuang sia-sia, tenaga terkuras, merusak karakter cinta, pacaran berefek pada tindakan kriminalitas, memengaruhi kesuksesan, pengaruh terhadap prestasi, serta pengaruh pacaran terhadap akhirat. Intinya, pacaran itu merugikan.
Gerakan ini menyasar pelajar dan mahasiswa—kelompok usia yang labil di tengah pencarian identitas dan masa depan. Digagas pada 7 September 2015, gerakan ini mengklaim “didukung oleh organisasi dakwah sekolah dan kampus se-Indonesia.” La Ode Munafar, penggagasnya, adalah anak muda dari Sulawesi Tenggara dan kuliah di salah satu kampus di Yogyakarta.
Sebagaimana sebuah gerakan butuh narasi gagasan, Munafar menawarkannya lewat buku-buku yang ditulisnya, dan diterbitkan oleh penerbit miliknya bernama Gaul Fresh. Ia mengklaim telah menulis 62 judul buku, 50 persen di antaranya berisi perkara cinta; sebagian lain adalah motivasi.
Salah satu buku laris yang dirilis awal April 2016 berjudul Indonesia Tanpa Pacaran. Buku ke-55 Munafar ini ditulis khusus sebagai panduan anggota ITP, yang tersebar di seluruh Indonesia, agar terhindar dari “budaya rusak pacaran.” Semula buku ini diberikan gratis bagi anggota ITP.
Buku itu memuat 6 pokok gagasan: 1) Daya rusak pacaran yang dahsyat bagi generasi muda; 2) Sistem pergaulan dalam Islam; 3) Langkah ekspresi cinta yang mulia; 4) Berjuang dengan dakwah menuju Indonesia Tanpa Pacaran; 5) Pacaran sebagai musuh bersama; dan 6) Konsep masyarakat Indonesia Tanpa Pacaran.
Sejalan gerakan ini menjaring banyak pengikut, buku Munafar itu lantas dipakai sebagai “fasilitas” yang didapatkan anggota baru ITP, sebulan setelah buku itu dirilis. Pendaftar dikenakan biaya Rp100 ribu untuk mendapatkan buku panduan tersebut. Alasannya, banyak orang yang “tidak serius berjuang dan berubah” lewat gerakan tersebut.
Di samping buku, anggota ITP mendapatkan tujuh fasilitas lain, termasuk “member card IndonesiaTanpaPacaran”, mendapatkan tausyiah (kajian) lewat grup chat WhatsApp, berhak mengikuti “kopi darat atau kumpul bareng”, serta mendapatkan diskon 20 persen setiap pembelian produk, seperti buku terbitan Gaul Fresh, kaos, topi, suvenir, yang bekerjasama dengan gerakan tersebut atau sebagian besarnya adalah bisnis yang dijalankan La Ode Munafar.
Pada Januari 2018, biaya pendaftaran anggota ITP naik menjadi Rp180 ribu per orang, dengan berbagai fasilitas dan diskon yang sama. Muanfar mengklaim bahwa gerakan Indonesia Tanpa Pacaran kini memiliki 20 ribu anggota di 80 daerah di Indonesia.
Manyasar Usia Labil & Perempuan
La Ode Munafar mengatakan gerakan ITP menyasar pengikut dan anggota dari kelompok usia 15-25 tahun. Pacaran, menurutnya, hanya masalah sesat “yang menggerogoti anak muda”. Karena itu perlu gerakan Indonesia Tanpa Pacaran untuk memberi informasi sebanyak-banyaknya agar kelompok usia itu kuat dan bisa mengontrol hawa nafsu, ujar Munafar.
Meski pengikut gerakan ini dari laki-laki dan perempuan, tetapi pesan atau narasi yang dikampanyekan lebih banyak ditujukan bagi para pengikut perempuan, baik di media sosial maupun acara kopi darat.
Salah satu contohnya ketika Munafar membangun narasi mengenai seorang perempuan yang telah jatuh cinta buta kepada pria. Pokoknya jatuh cinta seperti kena pelet, kata Munafar. Cerita ini diungkapkan Munafar pada menit 10.14 saat ia mengisi kegiatan dakwah di SMA Negeri 1 Pantai Lunci, Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah.
“Kalau wanita sudah ditaklukkan oleh laki-laki, Anda bisa membuat wanita mengejar-ngejar Anda karena kebodohan Anda. Dia mencintai Anda karena sesuatu yang tidak jelas. Semakin digombal, dia semakin disukai, semakin dirayu semakin cinta, semakin ditipu semakin suka. Bagus toh rumusnya,” kata Munafar, disambut gelak tawa para pelajar.
Untuk meyakinkan para pelajar, Munafar menyelipkan cerita mengenai seorang pemuda SMA yang menghancurkan hati wanita. Suasana hening sejenak, lalu Munafar mengklaim bahwa si lelaki yang pernah diwawancarainya itu pernah “mencoba segala macam wanita.”
Perempuan rela membanting tulang untuk memfasilitasi para lelaki, tambah Munafar, bahkan sampai bulu ketiaknya rontok. Lagi-lagi guyonan seksis itu disambut tawa peserta.
Ujung-ujungnya, ia menyebut beberapa buku karyanya yang menyimpulkan bahwa wanita punya naluri kasih sayang yang sangat tinggi sehingga seorang wanita akan menjaga laki-laki.
Cerita yang disampaikan La Ode Munafar tampak meyakinkan pendengar, meski minim rujukan dan sangat mungkin ia membuat fabrikasi. Intinya, karena pacaran seluruhnya kisah penderitaan, solusi yang ditawarkan adalah melarang pacaran.
Sekalian Berjualan lewat Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran
Melalui Indonesia Tanpa Pacaran, La Ode Munafar agaknya paham bagaimana memantapkan ceruk pasar di tengah masyarakat Indonesia yang kian konservatif pada saat kajian-kajian keagamaan, lewat lembaga-lembaga dakwah, menyasar kalangan pelajar dan mahasiswa.
Melalui Indonesia Tanpa Pacaran, anggotanya bisa membayar Rp185 ribu untuk mendapat akses berjualan aksesoris seperti stiker, pin, gantungan kunci, topi, kaos, dan kerudung ITP. Mereka juga berhak masuk ke jejaring semua media sosial resmi ITP seperti grup Facebook, Telegram, Line, dan Fanpage. Munafar juga menyediakan sewa dan jual gaun pengantin syar’i serta jual suvenir dan undangan. Anggota ITP juga bisa menjadi reseller buku-buku terbitan Gaul Fresh.
Saat kami menanyakan perkara bisnis di belakang ITP, La Ode Munafar membantah bahwa komunitas ini untuk mencari keuntungan. Ia berdalih kegiatan ITP gratis bagi “teman-teman daerah,” sementara khusus anggota nasional membayar karena mendapatkan kartu anggota, buku, dan ikut dalam grup WhatsApp “untuk mendapatkan pembinaan khusus.”
Munafar berkata, dari royalti buku itu, ia bisa menggaji tim yang bekerja di ITP.
“Jadi sebenarnya untuk mencari keuntungan itu jauh dari kemungkinan. Buktinya, segala biaya ITP seperti ngurus yayasan pakai uang sendiri semua,” kata Munafar
Berbeda dari pengakuan Munafar, seorang anggota ITP Sukoharjo menyatakan kegiatan regional seperti Kajian Bahasa Arab Muda atau disebut “Kabarmu” harus membayar Rp25 ribu per bulan. Sementara Kelompok Kajian Indonesia Tanpa Pacaran, yang digelar setiap minggu dan wajib diikuti oleh pengurus dan anggota ITP, memang tidak dipungut biaya sama sekali.
Aktivis perempuan Tunggal Pawestri, yang terlibat dalam kampanye anti-pernikahan anak, menilai bisnis yang dikemas bumbu agama bakal ramai pembeli. Seolah-olah ketika membeli dagangan tersebut, ujarnya, orang-orang akan meyakini para pembeli lebih dekat dengan pintu surga.
“Memang dari dulu yang namanya kapitalisme dan agama saling erat hubungannya. Saling menghidupi satu sama lain. Orang-orang mengambil keuntungan dari sebuah nilai atau paham yang banyak dipercayai orang,” kata Pawestri, awal Mei lalu.
Bila merujuk klaim anggota ITP sebanyak 20 ribu orang, Anda bisa mengalikan jumlah kepala itu dengan biaya pendaftaran antara Rp100 ribu dan Rp180 ribu. Hasil pendapatannya: antara Rp2 miliar sampai Rp3,6 miliar.
Narasi Nikah Muda
Fitri, perempuan asal Bandung, mengenal gerakan Indonesia Tanpa Pacaran melalui Facebook pada tahun lalu. Anggota keluarga besarnya melaksanakan pernikahan melalui taaruf. Merujuk pada panduan Islam, taaruf adalah tata cara perkenalan. Berbeda dari pacaran, taaruf melarang pasangan berdua-duaan. Taaruf wajib didampingi oleh keluarga pasangan.
Para sepupu Fitri memilih taaruf untuk menjauhi perbuatan zina dan mendapatkan pasangan terbaik untuk masa depan. Kenyataanya berbeda: para sepupunya menerima perlakuan diskriminatif seperti dilarang melanjutkan pendidikan.
“Mereka curhat ke sesama sepupu perempuan. Mereka enggak diizinkan melanjutkan pendidikan karena sudah repot mengurus toko bangunan suami dan anak. Ada yang DO. Ada yang nangis karena disuruh berhenti kuliah oleh suaminya karena enggak bisa membiayai kuliah,” kata Fitri.
Belajar dari pengalaman terdekat, Fitri mengatakan bahwa taaruf—yang dianjurkan gerakan Indonesia Tanpa Pacaran—”ternyata ada sisi buruknya”.
Menurut cerita Fitri, yang disampaikan kepada saya lewat pesan WhatsApp, para sepupunya melaksanakan taaruf selama 2-3 bulan, setelahnya menikah.
Fitri mengatakan narasi yang dibangun dalam gerakan Indonesia Tanpa Pacaran adalah menjustifikasi bahwa semua anak muda yang pacaran berdampak negatif, dan dari sana, gerakan tersebut mendapatkan keuntungan.
Fitri tak mau menjadi korban dari apa yang sudah dialami para sepupunya. Ia mantap menaruh hati kepada pria yang ia kenal sejak masa SMP.
“Sesama orang sudah sulit untuk saling percaya kalau hubungan antar-orang itu belum lama. Jadi, untuk percaya aja sudah sulit, apalagi buat menaruh hati buat calon pasangan,” kata Fitri.
Berbeda dari pengalaman Fitri, anggota ITP asal Palopo, Sulawesi Selatan, Nasar Al Ghazali menilai nikah muda dengan cara taaruf adalah “solusi untuk menghindari zina.” Setelah mengenal gerakan ITP pada 2017, ia ingin mendapatkan istri dengan cara taaruf.
Menurut Ghazali, pacaran merusak remaja seperti aborsi dan bunuh diri. Namun, ia tak bisa menjelaskan jumlah anak muda yang aborsi dan bunuh diri akibat dari pacaran.
Tunggal Pawestri berkata geram atas gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, yang tujuannya mengajak nikah muda lewat kampanye yang masif di sosial media, terutama di Instagram.
Ketika ada kelompok progresif yang memperjuangkan usia pernikahan di atas 18 tahun, pada saat yang sama, ada ribuan remaja berusia belasan atau menginjak 20-an tahun melakukan pawai gerakan Indonesia Tanpa Pacaran di Bekasi, April tahun ini.
Pawestri mengeluarkan pernyataan sarkasme untuk gerakan tersebut: “Enggak pacaran, langsung kawin aja. Nanti habis kawin, cerai, terus kawin lagi, cerai lagi.”
“Di kepala para remaja sudah mikir kawin. Padahal kita tahu pernikahan itu bukan main-main,” ujarnya.
Tak semua anak muda memang sepakat bahwa kampanye menikah muda sebagai solusi. Kampanye ini juga mendapatkan sorotan negatif saat Taqy Malik dan Salmafina Khairunnisa, simbol nikah mudah yang dielu-elukan di media sosial, malah bercerai dalam waktu singkat.
Berdasarkan laporan UNICEF dan BPS yang dirilis awal tahun 2016 berjudul “Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia”, Indonesia termasuk sebagai negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia dan menempati posisi kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja. Angka rata-rata nasional sebesar 25 persen, yang menunjukkan satu dari empat perempuan berusia antara 20-24 tahun pernah menikah sebelum usia 18 tahun.
Angka-angka ini sangat mungkin lebih besar dan lebih tinggi di dalam kenyataannya karena, demikian tulis laporan tersebut, “banyak dari perkawinan ini yang tersamarkan sebagai perkawinan anak perempuan di atas usia 16 tahun atau tidak terdaftar.” Bahkan perkawinan usia muda rentan terjerat dalam kekerasan rumah tangga.
Bagi sebagian pembaca, sangat mudah terjebak pada debat tak berujung dengan gerakan ITP. Pertanyaannya: mengapa gerakan macam ITP telah menjaring lebih dari 600-an ribu pengikut di Instagram dan 400-an ribu pengikut di Facebook? Apakah ke depan kita akan melihat masyarakat kelas menengah Indonesia tambah konservatif dalam beragama?
Sumber: https://tirto.id/bisnis-dan-kontroversi-gerakan-indonesia-tanpa-pacaran-cK25
Merebut Tafsir: Fenomena Kawin Anak, Kemiskinan dan Konservativisme di desa.
/0 Comments/in Opini /by rumahkitabKawin anak bukan isu baru bagi Indonesia. Tahun 70-an akhir awal 80-an fenomena ini juga telah dikaitkan dengan kemiskinan. Analisinya ketika itu, banyak petani gurem dengan tanah yang sempit tak punya tenaga kerja tak punya modal. Maka agar bisa bertahan mekanismenya adalah dengan mengawinkan anak perempuan mereka, berapa pun usianya, agar si petani punya tambahan tenaga kerja tak berupah yaitu sang menantu.
Dalam fenomena belakangan, isunya juga tetap sama, soal kemiskinan. Bedanya, kini mereka sama sekali tak punya tanah. Jadi alasannya bukan lagi untuk mendapatkan tambahan tenaga kerja melainkan tenaga untuk tambahan income keluarga dengan bekerja di luar sektor pertanian.
Masalahnya untuk mencari kerja tanpa keterampilan hanya menyisakan sedikit sekali peluang, mereka bekerja serabutan atau pergi migrasi meninggalkan desa.
Hilangnya tanah telah merampas otoritas kaum lelaki. Padahal mereka tetap memerlukan medan tempurnya agar mereka bisa survive dalam menjaga harga dirinya sebagai lelaki.
Ada dua gejala sosial yang muncul dan bisa diperdalam: Pertama mereka menjadi pendukung gagasan-gagasan soal pentingnya menjaga moral, terutama moral kaum remaja yang disuarakan tokoh lokal yang juga membutuhkan otoritas dan dukungan warga. Mereka menjadi sangat peduli pada isu molal dan adat karena hanya itu yang mereka fahami sebagai penyebab kemiskinan di sekeliling mereka. Karenanya mereka menjadi sangat aktif bicara aturan moral di keluarga lingkungannya- dua arena yang masih bisa mereka kontrol bersama tokoh lokal yang diandalkan. Ketika mereka tidak lagi mengurus tanah, sawah mereka juga kehilangan otoritas-otoritas lainnya. Kendali atas moral merupakan penanda bahwa mereka masih memiliki otoritas dan kuasa di lingkungannya. Merekalah yang menafsirkan aturan hukum; sebagian lain mengkondisikan agar terjadi pemaksa kawin seperti penggerebekan, mereka juga yang dapat memainkan data kependudukan, dengan berbagai alasannya.
Karena sumber ekonomi di desa begitu terbatas, maka peluang sekecil apapun untuk mendapatkan uang tak akan diabaikan. Mereka paham, dalam setiap penyimpangan hukum, niscarya ada uang. Perkawinan secara sirri jelas berbiaya lebih besar dibandingkan dengan kawin di KUA.Di sejumlah daerah yang kami teliti, biaya yang dikeluarkan untuk mengurus perkawinan sirri minimal Rp 1.500.000,- di luar biaya perhelatan yang bisa jutaan. Mereka dapat makan, kopi, rokok, plus otoritas moral![Lies Marcoes]