Mengenal Raden Ayu Lasminingrat: Memerdekakan Perempuan Lewat Aksara
Saat ini dalam suasana hari kemerdekaan yang terus dirayakan. Namun, rasa-rasanya setiap kali perayaan momentum ini, kita sering lupa untuk mengenang serta mengucapkan terima kasih pada para tokoh perempuan yang berjuang memerdekakan Indonesia.
Karena itu, tidak heran jika dalam buku sejarah atau catatan pahlawan kemerdekaan, sosok yang sering muncul hanya tokoh laki-laki. Padahal, dalam proses kemerdekaan Indonesia ada banyak perempuan yang ikut andil bahkan bertaruh nyawa untuk memerdekakan Indonesia. Bukan hanya melalui gerakan melawan penjajah secara langsung, tetapi juga lewat ruang-ruang senyap.
Salah satu tokoh yang ikut andil dalam memerdekakan Indonesia adalah Raden Ayu Lasminingrat. Ia adalah salah satu pahlawan nasional yang namanya jarang disebut dalam momen-momen bersejarah.
Padahal selama hidupnya Lasminingrat terus berjuang untuk memerdekakan perempuan dari ketertinggalan. Lewat aksara dan dunia pendidikan, ia membebaskan perempuan dari kebodohan.
Sekilas tentang Raden Ayu Lasminingrat
Dilansir dari historia.id, Raden Ayu Lasminingrat lahir di Garut pada 29 Maret 1854. Ia merupakan anak pertama dari pasangan Raden Haji Muhammad Musa dan Raden Ajoe Rija. Lasminingrat memiliki tiga adik perempuan yakni Raden Ayu Ratnaningrum, Nyi Raden Peorbakoeseomah, dan Raden Ajoe Lenggang Kencana.
Raden Haji Muhammad Musa adalah kepala penghulu di Garut, pendiri Sekolah Raja, sekaligus penasihat pemerintah kolonial Belanda. Posisi ini membuatnya banyak bersahabat dengan orang-orang Belanda, di antaranya Karel Fredrik Holle, penasihat honorer pemerintah untuk urusan bumiputra sekaligus tuan tanah di wilayah Garut, serta Levyson Norman, yang pernah menjabat sebagai controleur di Sumedang.
Dikutip dari buku “Kehidupan Kaum Menak Priangan”, sejak kecil Lasminingrat diangkat sebagai anak asuh oleh Levyson Norman dan ikut tinggal bersamanya di Sumedang. Di sana, ia belajar menulis, membaca, berbahasa Belanda, dan berbagai pengetahuan lain yang berhubungan dengan isu perempuan.
Lasminingrat dikenal cerdas dan tekun mempelajari berbagai pengetahuan yang diajarkan kepadanya, sehingga cepat menguasainya. Karena kemahirannya dalam membaca dan menulis bahasa Belanda, ia dijuluki sebagai perempuan Sunda pertama yang fasih berkomunikasi dengan orang Belanda di wilayah Garut.
Jasa dan Perjuangan Raden Ayu Lasminingrat
Melansir dari Tirto.id, setelah suami pertamanya meninggal, Lasminingrat kembali lagi ke tanah kelahirannya, Garut pada 1871. Di kampung halamannya, ia bekerja bersama saudara dan ayahnya untuk menerjemahkan buku-buku bacaan anak-anak sekolah. Di sisi lain, untuk menghilangkan kegundahan hati setelah ditinggal suami, Lasminingrat menyibukkan diri dengan membaca dan menulis.
Lewat tangan sahabat ayahnya, Holle, Lasminingrat dan saudara-saudaranya mendapatkan banyak buku bacaan. Lewat Holle, mereka juga belajar mengarang dan menerjemahkan buku-buku yang bagus dalam bahasa Sunda.
Dilansir dari Kompas.com, di tahun tersebut Lasminingrat juga mulai menulis buku berbahasa Sunda khusus untuk anak-anak sekolah. Bahkan pada 1875, ia juga menerbitkan sebuah buku berjudul “Cerita Erman”. Buku ini terjemahan dari Christoph von Schmid.
Setelah itu, pada 1876 Lasminingrat kembali menerbitkan karya tulisnya yang berjudul “Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng” Jilid I dalam Aksara Jawa. Buku ini adalah hasil terjemahan dari tulisan Marchen von Grimm dan JAA Goevernur, yaitu Vertelsels uit het wonderland voor kinderen, klein en groot (1872), dan beberapa cerita dari Eropa lainnya
Bersamaan dengan itu, gagasan pendidikan bagi kaum perempuan mulai tumbuh di kepala Lasminingrat, dan cita-cita tersebut ia wujudkan ketika suami keduanya, R.A.A. Wiratanudatara VIII berhasil menjadi bupati Garut. Di ruang gamelan lingkungan Pendopo Garut ia mendirikan Sekolah Keutamaan Istri pada 1907.
Melalui jabatan suaminya, Lasminingrat mendapat kemudahan. Bahkan ia juga mendapat banyak bantuan dari pejabat-pejabat pemerintah kolonial. Namun meski begitu, ia tetap harus berjuang untuk mendapatkan murid sekolah.
Di masa itu, masyarakat masih menganggap bahwa perempuan tidak perlu mendapatkan pendidikan. Sehingga, sekolah-sekolah yang didirikan untuk perempuan masih sulit mendapatkan murid, termasuk sekolah yang didirikan oleh Lasminingrat.
Namun, Lasminingrat tidak pantang menyerah. Ia mengerahkan anak-anak gadis sanak familinya dan anak-anak gadis para pegawai negeri untuk menjadi murid di sekolahnya. Ia bersama kerabatnya mengajarkan murid-murid menulis, membaca, dan berbagai keterampilan perempuan seperti menjahit, membuat kerajinan tangan, menyulam, merenda, merajut hingga membatik.
Dilansir dari Historia.id, demi memperkuat status sekolahnya, Lasminingrat menghadap Gubernur Jenderal di Istana Bogor untuk memohon izin pendirian sekolah gadis tersebut. Usahanya berhasil, dan sekolah itu kemudian disahkan sebagai organisasi bernama Vereeneging Kautamaan Istri Schoalen melalui akta nomor 12, tertanggal 12 Februari 1913.
Dengan pengesahan tersebut lambat laun jumlah Sekolah Kautamaan Istri berkembang. Di Garut bertambah dua sekolah, sementara sekolah sejenis mulai bermunculan di wilayah lain.
Buku-buku Terjemahan Lasminingrat
Tidak hanya sebagai pendidik, Lasminingrat juga memiliki minat dalam dunia sastra. Ia kerap menerjemahkan buku-buku bahasa Belanda ke dalam bahasa Sunda. Buku-buku yang diterjemahkan Lasminingrat umumnya adalah buku anak-anak berbahasa Belanda yang populer di negeri asalnya dan dibawa ke Hindia Belanda.
Kegemaran Lasminingrat dalam menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda melahirkan buku-buku bahasa Sunda seperti Warnasari Jilid I dan II. Karya-karyanya kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka dan dijadikan salah satu koleksi Perpustakaan Rakyat di setiap sekolah dasar, sehingga anak-anak dan masyarakat umum bisa membacanya secara bebas.
Salah satu alasan mengapa Lasminingrat lebih tertarik memperkenalkan cerita-cerita Eropa kepada orang Sunda adalah agar mereka terdorong untuk memiliki kegemaran membaca.
Kegigihan Lasminingrat memajukan pendidikan perempuan mengantarkannya meraih penghargaan dan gaji dari pemerintah Hindia Belanda. Setelah ia wafat, pada 10 April 1948, sekolah-sekolahnya diteruskan oleh Raden Purnamaningrat, murid pertamanya sekaligus anak dari adik sepupunya.
Merawat Ingatan tentang Pejuangan Lasminingrat
Perjalanan Lasminingrat dalam memperjuangkan pendidikan bagi perempuan Indonesia merupakan peristiwa penting. Sehingga bukan hanya perlu untuk dilanjutkan, tapi juga mengenangnya sebagai pahlawan kemerdekaan Indonesia.
Mengingat namanya dalam momen-momen bersejarah Indonesia bukan hanya sebagai bentuk penghormatan, tetapi bagian dari merawat ingatan kolektif tentang perjuangan perempuan.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!