Kisah Perempuan Enggros Menjaga Hutan Perempuan di Teluk Youtefa
Hutan Perempuan adalah nama untuk hutan bakau khusus perempuan yang ada di Teluk Youtefa, Jayapura, Papua. Hutan ini dirawat, dilestarikan dan juga dijaga oleh Mama-mama Enggros.
Salah satu kebudayaan yang menarik di Teluk Youtefa, khususnya di Kampung Enggros adalah adanya pembagian wilayah mencari sumber penghidupan antara laki-laki dan perempuan. Di sini, hutan bakau dikhususkan hanya untuk perempuan, hingga akhirnya disebut dengan hutan perempuan. Sementara laki-laki, mereka harus mencari di wilayah laut.
Menurut Mama Adriana Youwe Meraudje, salah satu Mama Enggros, hutan bakau adalah bagian dari adat yang tak terpisahkan dari kehidupan perempuan Teluk Youtefa. Seperti dikutip dari econusa.id, perempuan di Kampung Enggros memiliki sejarah panjang dalam menjaga kelestarian hutan bakau. Di sanalah mereka mencari sumber penghidupan, mulai dari kerang, udang, hingga ikan.
Selain menjadi sumber penghidupan, hutan ini juga merupakan tempat berkumpul mama-mama Enggros. Tidak ada pembagian wilayah, setiap perempuan bebas masuk dan beraktivitas di seluruh area hutan perempuan.
Sesuai namanya, hutan ini memang menjadi wilayah kekuasaan perempuan. Sehingga dalam aturan adat, laki-laki hanya boleh masuk untuk mengambil kayu demi keperluan rumah tangga, ketika tidak ada kaum perempuan di dalamnya.
Jika ada laki-laki yang berani masuk atau mengintip ke dalam hutan ketika ada perempuan di dalamnya, ia wajib membayar denda adat berupa manik-manik, yang dianggap sebagai perhiasan sekaligus harta berharga masyarakat adat Kampung Enggros.
Aturan Adat Menjaga Hutan Perempuan Teluk Youtefa
Meski hutan perempuan bebas untuk dikunjungi oleh mama-mama Kampung Enggros, secara adat mereka tetap harus mematuhi berbagai aturan. Di antara aturan yang berlaku ialah harus membawa bekal secukupnya. Hal ini bertujuan supaya tidak meninggalkan sampah, terutama sampah plastik.
Selain itu, demi menjaga kelestarian hutan perempuan, masyarakat dilarang menebang kayu sembarangan. Untuk keperluan kayu bakar, mereka hanya diperbolehkan mengambil ranting yang sudah jatuh.
Lebih dari itu, mereka juga dilarang mengambil hasil tangkapan secara berlebihan. Karena itu, Mama Yos misalnya tidak pernah membawa ember atau wadah penampung yang besar selama mencari udang, kerang atau ikan di hutan perempuan. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan populasi hasil tangkapan dan menghindari eksploitasi besar-besaran.
Hutan Bakau, Rumah Aman Perempuan
Sebelum menyeburkan diri ke hutan bakau, biasanya Mama-mama Enggros akan melepaskan pakaiannya terlebih dahulu. Baru setelah itu, mereka masuk ke hutan sambil bercengkrama.
Menurut Mama Prisilla Sanyi, tubuh akan terasa gatal jika tidak melepas pakaian saat mencari kerang, udang, atau ikan. Karena itu, melepas pakaian menjadi cara agar mereka lebih nyaman beraktivitas di hutan perempuan.
Selain menjadi tempat menangkap kerang, udang, dan ikan, hutan perempuan juga jadi tempat yang aman bagi Mama-mama Enggros untuk saling berbagi perasaan. Mulai dari urusan dapur, cuaca yang tidak menentu, urusan keluarga dan yang lainnya.
Karena hal inilah, banyak perempuan yang betah berlama-lama tinggal di hutan bakau. Sebab di kampung, mereka tidak memiliki kebebasan berbicara. Di para-para (tempat membicarakan persoalan adat, tanah dan laut, serta berdiskusi soal politik), perempuan sering kali hanya ditempatkan di para-para rumah saja. Sehingga mereka tidak punya kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
Karena itu, perempuan menciptakan ruang sendiri untuk berbagi keluh kesah, pendapat, dan pandangan tentang berbagai persoalan yang mereka hadapi. Ruang aman itu adalah hutan perempuan. Hingga kini, Mama-mama Enggros tetap menjaganya agar tidak dirusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Tantangan dalam Menjaga Hutan Perempuan
Meskipun Mama-mama Enggros terus berupaya menjaga hutan perempuan, ancaman kerusakan ekosistem bakau tetap ada. Salah satunya adalah banyaknya sampah yang menyangkut di akar-akar pohon bakau.
Meskipun dari jauh tampak hijau, tetapi di dalam hutan ternyata penuh dengan tumpukan sampah. Di antara akar pohon bakau, sampah botol plastik, kulkas, mesin cuci, bantal, tikar, penanak nasi, tas, sepatu, hingga kursi semuanya menyangkut di sana.
Pemandangan ini tidak seberapa, karena jumlah sampah yang sudah tenggelam dan bercampur dengan lumpur jauh lebih banyak. Sehingga mengganggu ekosistem hutan bakau. Bahkan karena sampah-sampah ini, hasil tangkapan pun menjadi berkurang karena tertutup oleh sampah. Di sisi lain, di hutan perempuan juga kini banyak nyamuk, membuat orang yang beraktivitas di sana tidak nyaman.
Melansir dari Mongabay.co.id, sampah-sampah ini datang dari arah Abepura, Entrop dan Hamadi. Saat hujan sampah datang melalui beberapa daerah aliran sungai menuju ke kampung dan hutan ini. Saat air naik sampah-sampah ini masuk hingga ke tengah hutan bakau, lalu tenggelam bersama lumpur saat air turun.
Selain persoalan sampah, hutan perempuan juga kian terancam karena alih fungsi lahan. Banyaknya pembangunan di kawasan Teluk Youtefa membuat pencemaran di kawasan hutan perempuan meningkat. Seiring diresmikannya Jembatan Holtekamp yang menghubungkan Kota Jayapura dengan Skouw, perbatasan Papua Nugini, alih fungsi lahan hutan bakau di kawasan hutan perempuan terus-menerus terjadi.
Bahkan pembangunan arena dayung Pekan Olahraga Nasional (PON) XX pada tahun 2021 yang membuka kawasan hutan perempuan juga sangat berdampak pada masyarakat Kampung Enggros. Rumah mereka sempat kebanjiran akibat tidak adanya pohon bakau yang menahan air laut.
Berangkat dari keresehan tersebut, sampai saat ini Mama-mama Enggros terus menjaga tradisi “Tonotwiyat” (mengunjungi hutan bakau oleh perempuan). Dikutip dari Econusa.id, tradisi ini telah dilakukan secara turun temurun, sejak sebelum tahun 1850an.
Tidak ada yang mencatat bagaimana tradisi tonotwiyat dimulai. Tetapi sudah sejak lama para perempuan di Kampung Enggros mengunjungi hutan bakau untuk mencari pasokan bahan pangan seperti kerang (dalam bahasa lokal disebut bia), udang, kepiting dan ikan.
Karena diyakini sebagai warisan turun temurun, Mama-mama Enggros terus menjaga tradisi ini. Mereka tidak ingin, keberadaan hutan perempuan hanya tinggal dongeng sebelum tidur. Karena bagi mereka menjaga hutan, sama dengan menjaga kehidupan tetap ada. []
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!