Mengingat Jasa, Menjaga Asa: Suara Khalifah Ahmadiyah dalam Kemerdekaan Indonesia
Kemerdekaan adalah sebuah kata yang terdengar indah di telinga setiap anak bangsa. Ia dahulu bagaikan cahaya yang didambakan para pejuang di tengah gelapnya penjajahan. Cahaya yang kini telah bersinar berkat darah, keringat, dan air mata. Dari Sabang di Barat sampai Merauke di Timur, dari para raja sampai rakyat jelata, dari mayoritas hingga minoritas, semua bahu membahu demi meraih cahaya itu. Usaha dan doa dikerahkan demi satu asa, yaitu merdeka.
Kini (katanya) cahaya itu telah menyebar ke setiap sudut negeri, dimulai sejak pembacaan teks Proklamasi serta pengibaran Sang Saka Merah Putih 80 tahun lalu. Mestinya di usia yang sudah tidak muda lagi, bangsa ini tidak perlu menggunakan semprong kaca yang digantung di sudut-sudut. Namun realitas bersaksi, belum semua sudut negeri ini terisi cahaya itu. Masih ada sudut kemiskinan, keterbelakangan, ketakutan dan diskriminasi terjebak dalam kegelapan.
Mereka yang hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan diskriminasi masih terus mencari penerangan. Adilkah jika cahaya hanya dirasakan oleh segelintir bagian negeri ini? Mereka yang lahir dan tumbuh di bumi ini, mencintai negeri ini dengan segenap jiwa dan raga juga berhak atas terangnya merdeka.
Kelompok minoritas seperti Ahmadiyah yang sudah ada di tanah ini jauh sebelum merdeka acap kali mendapatkan perlakuan-perlakuan diskriminasi yang menakutkan. Beberapa Mesjid mereka disegel, bahkan dibakar dan dihancurkan tanpa belas kasih. Padahal mereka membangunnya secara mandiri.
Apakah hal semacam ini bisa dikatakan merdeka? Meskipun negara sudah menjamin hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan jaminan keadilan pada sila ke-5 Pancasila, tapi praktiknya mereka belum mendapatkan kebebasan dan keadilan itu sepenuhnya.
Jika kita telusuri sejarah, ternyata Ahmadiyah ikut berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Salah satunya adalah suara Khalifah Ahmadiyah yang kedua, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad dalam harian Al-Fadhl edisi 10 Desember 1946, mengemukakan:
“Jika bangsa Indonesia mendapat kemerdekaan 100%, tentu hal ini akan berfaedah besar bagi dunia Islam, untuk hal itu ada baiknya jika negara-negara Islam pada masa ini dengan serentak memperdengarkan suaranya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia serta meminta supaya negara-negara lain juga mengakuinya.
Selain itu saya berharap supaya seluruh Mubaligh Ahmadiyah yang kini berada di India dan luar India seperti Palestina, Mesir, Iran, Afrika, Eropa, Kanada, Amerika Selatan dan lain-lain mendengungkan serta menulis dalam surat-surat kabar harian dan majalah-majalah yang mereka keluarkan, karangan-karangan yang berhubungan dengan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya meminta kepada negara-negara Islam untuk membantu bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya.
Perihal kemerdekaan Indonesia, harus setiap waktu didengungkan, supaya negara-negara di dunia ini memperhatikan hal itu. Sudah menjadi haknya bangsa Indonesia untuk merdeka di masa ini. Bangsa ini adalah bangsa yang maju, memiliki peradaban yang tinggi, serta mempunyai pemimpin-pemimpin yang bijaksana. Mereka adalah suatu bangsa yang besar dan bersatu. Bangsa Belanda yang jumlahnya begitu kecil sekali-kali tidak berkah untuk memerintah.”
Betapa besarnya perhatian pemimpin Ahmadiyah tentang perjuangan kemerdekaan bangsa kita dapat diketahui dari surat-surat kabar harian dan risalah-risalah dalam Bahasa Urdu. Dalam surat-surat kabar tersebut dijumpai banyak sekali berita dan karangan yang membentangkan sejarah perjuangan bangsa ini, perihal yang berhubungan dengan keadaan ekonomi dan politik negara, biografi pemimpin-pemimpin kita, terjemahan UUD 1945 dan lain-lain. Juga seruan kepada pemimpin-pemimpin negara Islam, supaya mereka secara serentak mengakui berdirinya Republik Indonesia.
Hal yang menyentuh adalah ketika beliau menyerukan kepada seluruh Ahmadi (sebutan bagi pengikut Ahmadiyah) di dunia, selama bulan September dan Oktober, setiap hari Senin dan Kamis berpuasa dan memohonkan doa kepada Allah Ta’ala guna menolong bangsa Indonesia dalam perjuangannya, memberi semangat hidup untuk tetap bersatu padu dalam cita-citanya, memberi ilham dan pikiran kepada pemimpinnya guna memajukan negaranya, menempatkan ketakutan di dalam hati musuhnya, serta tercapainya cita-cita bangsa Indonesia.
Beberapa tokoh perjuangan yang juga ternyata anggota Ahmadiyah di antaranya, Wage Rudolf Supratman Pencipta lagu Indonesia Raya (termuat dalam buku “Kenang-kenangan 10 Tahun Kabupaten Madiun” karya Soejono Tjiptomiharjo), Arif Rahman Hakim Pahlawan Ampera, Sayyid Shah Muhammad Mubaligh Ahmadiyah asal Pakistan yang juga seorang Penyiar RRI yang menggaungkan kemerdekaan Indonesia dalam Bahasa Urdu, Raden Mohammad Muhyiddin Ketua HUT Proklamasi yang juga sebagai Pengurus Besar Ahmadiyah, E. Moh. Tayyib anggota KNI Singaparna dan ikut gerakan BKR-TKR, dll.
Dari uraian tersebut menjadi bukti bahwa Ahmadiyah memiliki kiprah bagi kemerdekaan Indonesia dan kecintaan kepada negeri Ini. Mereka tidak meminta perlakuan istimewa. Mereka hanya ingin hak yang sama sebagai warga negara. Mereka hanya ingin merasakan bahwa merah putih di dadanya berarti sama dengan merah putih di dada siapa pun di negeri ini.
Maka pada hari-hari kemerdekaan ini, mari kita tegakkan kembali semangat para pejuang. Mari wujudkan Indonesia yang damai, kala kemerdekaan bukan lagi milik segelintir orang, tetapi menjadi milik seluruh rakyat Indonesia.










