Mengingat Jasa, Menjaga Asa: Suara Khalifah Ahmadiyah dalam Kemerdekaan Indonesia

Kemerdekaan adalah sebuah kata yang terdengar indah di telinga setiap anak bangsa. Ia dahulu bagaikan cahaya yang didambakan para pejuang di tengah gelapnya penjajahan. Cahaya yang kini telah bersinar berkat darah, keringat, dan air mata. Dari Sabang di Barat sampai Merauke di Timur, dari para raja sampai rakyat jelata, dari mayoritas hingga minoritas, semua bahu membahu demi meraih cahaya itu. Usaha dan doa dikerahkan demi satu asa, yaitu merdeka.

Kini (katanya) cahaya itu telah menyebar ke setiap sudut negeri, dimulai sejak pembacaan teks Proklamasi serta pengibaran Sang Saka Merah Putih 80 tahun lalu. Mestinya di usia yang sudah tidak muda lagi, bangsa ini tidak perlu menggunakan semprong kaca yang digantung di sudut-sudut. Namun realitas bersaksi, belum semua sudut negeri ini terisi cahaya itu. Masih ada sudut kemiskinan, keterbelakangan, ketakutan dan diskriminasi terjebak dalam kegelapan.

Mereka yang hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan diskriminasi masih terus mencari penerangan. Adilkah jika cahaya hanya dirasakan oleh segelintir bagian negeri ini? Mereka yang lahir dan tumbuh di bumi ini, mencintai negeri ini dengan segenap jiwa dan raga juga berhak atas terangnya merdeka.

Kelompok minoritas seperti Ahmadiyah yang sudah ada di tanah ini jauh sebelum merdeka acap kali mendapatkan perlakuan-perlakuan diskriminasi yang menakutkan. Beberapa Mesjid mereka disegel, bahkan dibakar dan dihancurkan tanpa belas kasih. Padahal mereka membangunnya secara mandiri.

Apakah hal semacam ini bisa dikatakan merdeka? Meskipun negara sudah menjamin hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan jaminan keadilan pada sila ke-5 Pancasila, tapi praktiknya mereka belum mendapatkan kebebasan dan keadilan itu sepenuhnya.

Jika kita telusuri sejarah, ternyata Ahmadiyah ikut berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Salah satunya adalah suara Khalifah Ahmadiyah yang kedua, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad dalam harian Al-Fadhl edisi 10 Desember 1946, mengemukakan:

“Jika bangsa Indonesia mendapat kemerdekaan 100%, tentu hal ini akan berfaedah besar bagi dunia Islam, untuk hal itu ada baiknya jika negara-negara Islam pada masa ini dengan serentak memperdengarkan suaranya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia serta meminta supaya negara-negara lain juga mengakuinya.

Selain itu saya berharap supaya seluruh Mubaligh Ahmadiyah yang kini berada di India dan luar India seperti Palestina, Mesir, Iran, Afrika, Eropa, Kanada, Amerika Selatan dan lain-lain mendengungkan serta menulis dalam surat-surat kabar harian dan majalah-majalah yang mereka keluarkan, karangan-karangan yang berhubungan dengan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya meminta kepada negara-negara Islam untuk membantu bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya.

Perihal kemerdekaan Indonesia, harus setiap waktu didengungkan, supaya negara-negara di dunia ini memperhatikan hal itu. Sudah menjadi haknya bangsa Indonesia untuk merdeka di masa ini. Bangsa ini adalah bangsa yang maju, memiliki peradaban yang tinggi, serta mempunyai pemimpin-pemimpin yang bijaksana. Mereka adalah suatu bangsa yang besar dan bersatu. Bangsa Belanda yang jumlahnya begitu kecil sekali-kali tidak berkah untuk memerintah.”

Betapa besarnya perhatian pemimpin Ahmadiyah tentang perjuangan kemerdekaan bangsa kita dapat diketahui dari surat-surat kabar harian dan risalah-risalah dalam Bahasa Urdu. Dalam surat-surat kabar tersebut dijumpai banyak sekali berita dan karangan yang membentangkan sejarah perjuangan bangsa ini, perihal yang berhubungan dengan keadaan ekonomi dan politik negara, biografi pemimpin-pemimpin kita, terjemahan UUD 1945 dan lain-lain. Juga seruan kepada pemimpin-pemimpin negara Islam, supaya mereka secara serentak mengakui berdirinya Republik Indonesia.

Hal yang menyentuh adalah ketika beliau menyerukan kepada seluruh Ahmadi (sebutan bagi pengikut Ahmadiyah) di dunia, selama bulan September dan Oktober, setiap hari Senin dan Kamis berpuasa dan memohonkan doa kepada Allah Ta’ala guna menolong bangsa Indonesia dalam perjuangannya, memberi semangat hidup untuk tetap bersatu padu dalam cita-citanya, memberi ilham dan pikiran kepada pemimpinnya guna memajukan negaranya, menempatkan ketakutan di dalam hati musuhnya, serta tercapainya cita-cita bangsa Indonesia.

Beberapa tokoh perjuangan yang juga ternyata anggota Ahmadiyah di antaranya, Wage Rudolf Supratman Pencipta lagu Indonesia Raya (termuat dalam buku “Kenang-kenangan 10 Tahun Kabupaten Madiun” karya Soejono Tjiptomiharjo), Arif Rahman Hakim Pahlawan Ampera, Sayyid Shah Muhammad Mubaligh Ahmadiyah asal Pakistan yang juga seorang Penyiar RRI yang menggaungkan kemerdekaan Indonesia dalam Bahasa Urdu, Raden Mohammad Muhyiddin Ketua HUT Proklamasi yang juga sebagai Pengurus Besar Ahmadiyah, E. Moh. Tayyib anggota KNI Singaparna dan ikut gerakan BKR-TKR, dll.

Dari uraian tersebut menjadi bukti bahwa Ahmadiyah memiliki kiprah bagi kemerdekaan Indonesia dan kecintaan kepada negeri Ini. Mereka tidak meminta perlakuan istimewa. Mereka hanya ingin hak yang sama sebagai warga negara. Mereka hanya ingin merasakan bahwa merah putih di dadanya berarti sama dengan merah putih di dada siapa pun di negeri ini.

Maka pada hari-hari kemerdekaan ini, mari kita tegakkan kembali semangat para pejuang. Mari wujudkan Indonesia yang damai, kala kemerdekaan bukan lagi milik segelintir orang, tetapi menjadi milik seluruh rakyat Indonesia.

Mengenal Raden Ayu Lasminingrat: Memerdekakan Perempuan Lewat Aksara

Saat ini dalam suasana hari kemerdekaan yang terus dirayakan. Namun, rasa-rasanya setiap kali perayaan momentum ini, kita sering lupa untuk mengenang serta mengucapkan terima kasih pada para tokoh perempuan yang berjuang memerdekakan Indonesia.

Karena itu, tidak heran jika dalam buku sejarah atau catatan pahlawan kemerdekaan, sosok yang sering muncul hanya tokoh laki-laki. Padahal, dalam proses kemerdekaan Indonesia ada banyak perempuan yang ikut andil bahkan bertaruh nyawa untuk memerdekakan Indonesia. Bukan hanya melalui gerakan melawan penjajah secara langsung, tetapi juga lewat ruang-ruang senyap.

Salah satu tokoh yang ikut andil dalam memerdekakan Indonesia adalah Raden Ayu Lasminingrat. Ia adalah salah satu pahlawan nasional yang namanya jarang disebut dalam momen-momen bersejarah.

Padahal selama hidupnya Lasminingrat terus berjuang untuk memerdekakan perempuan dari ketertinggalan. Lewat aksara dan dunia pendidikan, ia membebaskan perempuan dari kebodohan.

Sekilas tentang Raden Ayu Lasminingrat

Dilansir dari historia.id, Raden Ayu Lasminingrat lahir di Garut pada 29 Maret 1854. Ia merupakan anak pertama dari pasangan Raden Haji Muhammad Musa dan Raden Ajoe Rija. Lasminingrat memiliki tiga adik perempuan yakni Raden Ayu Ratnaningrum, Nyi Raden Peorbakoeseomah, dan Raden Ajoe Lenggang Kencana.

Raden Haji Muhammad Musa adalah kepala penghulu di Garut, pendiri Sekolah Raja, sekaligus penasihat pemerintah kolonial Belanda. Posisi ini membuatnya banyak bersahabat dengan orang-orang Belanda, di antaranya Karel Fredrik Holle, penasihat honorer pemerintah untuk urusan bumiputra sekaligus tuan tanah di wilayah Garut, serta Levyson Norman, yang pernah menjabat sebagai controleur di Sumedang.

Dikutip dari buku “Kehidupan Kaum Menak Priangan”, sejak kecil Lasminingrat diangkat sebagai anak asuh oleh Levyson Norman dan ikut tinggal bersamanya di Sumedang.  Di sana, ia belajar menulis, membaca, berbahasa Belanda, dan berbagai pengetahuan lain yang berhubungan dengan isu perempuan.

Lasminingrat dikenal cerdas dan tekun mempelajari berbagai pengetahuan yang diajarkan kepadanya, sehingga cepat menguasainya. Karena kemahirannya dalam membaca dan menulis bahasa Belanda, ia dijuluki sebagai perempuan Sunda pertama yang fasih berkomunikasi dengan orang Belanda di wilayah Garut.

Jasa dan Perjuangan Raden Ayu Lasminingrat

Melansir dari Tirto.id, setelah suami pertamanya meninggal, Lasminingrat kembali lagi ke tanah kelahirannya, Garut pada 1871. Di kampung halamannya, ia bekerja bersama saudara dan ayahnya untuk menerjemahkan buku-buku bacaan anak-anak sekolah. Di sisi lain, untuk menghilangkan kegundahan hati setelah ditinggal suami, Lasminingrat menyibukkan diri dengan membaca dan menulis.

Lewat tangan sahabat ayahnya, Holle, Lasminingrat dan saudara-saudaranya mendapatkan banyak buku bacaan. Lewat Holle, mereka juga belajar mengarang dan menerjemahkan buku-buku yang bagus dalam bahasa Sunda.

Dilansir dari Kompas.com, di tahun tersebut Lasminingrat juga mulai menulis buku berbahasa Sunda khusus untuk anak-anak sekolah. Bahkan pada 1875, ia juga menerbitkan sebuah buku berjudul “Cerita Erman”. Buku ini terjemahan dari Christoph von Schmid.

Setelah itu, pada 1876 Lasminingrat kembali menerbitkan karya tulisnya yang berjudul “Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng” Jilid I dalam Aksara Jawa. Buku ini adalah hasil terjemahan dari tulisan Marchen von Grimm dan JAA Goevernur, yaitu Vertelsels uit het wonderland voor kinderen, klein en groot (1872), dan beberapa cerita dari Eropa lainnya

Bersamaan dengan itu, gagasan pendidikan bagi kaum perempuan mulai tumbuh di kepala Lasminingrat, dan cita-cita tersebut ia wujudkan ketika suami keduanya, R.A.A. Wiratanudatara VIII berhasil menjadi bupati Garut. Di ruang gamelan lingkungan Pendopo Garut ia mendirikan Sekolah Keutamaan Istri pada 1907.

Melalui jabatan suaminya, Lasminingrat mendapat kemudahan. Bahkan ia juga mendapat banyak bantuan dari pejabat-pejabat pemerintah kolonial. Namun meski begitu, ia tetap harus berjuang untuk mendapatkan murid sekolah.

Di masa itu, masyarakat masih menganggap bahwa perempuan tidak perlu mendapatkan pendidikan. Sehingga, sekolah-sekolah yang didirikan untuk perempuan masih sulit mendapatkan murid, termasuk sekolah yang didirikan oleh Lasminingrat.

Namun, Lasminingrat tidak pantang menyerah. Ia mengerahkan anak-anak gadis sanak familinya dan anak-anak gadis para pegawai negeri untuk menjadi murid di sekolahnya. Ia bersama kerabatnya mengajarkan murid-murid menulis, membaca, dan berbagai keterampilan perempuan seperti menjahit, membuat kerajinan tangan, menyulam, merenda, merajut hingga membatik.

Dilansir dari Historia.id, demi memperkuat status sekolahnya, Lasminingrat menghadap Gubernur Jenderal di Istana Bogor untuk memohon izin pendirian sekolah gadis tersebut. Usahanya berhasil, dan sekolah itu kemudian disahkan sebagai organisasi bernama Vereeneging Kautamaan Istri Schoalen melalui akta nomor 12, tertanggal 12 Februari 1913.

Dengan pengesahan tersebut lambat laun jumlah Sekolah Kautamaan Istri berkembang. Di Garut bertambah dua sekolah, sementara sekolah sejenis mulai bermunculan di wilayah lain.

Buku-buku Terjemahan Lasminingrat

Tidak hanya sebagai pendidik, Lasminingrat juga memiliki minat dalam dunia sastra. Ia kerap menerjemahkan buku-buku bahasa Belanda ke dalam bahasa Sunda. Buku-buku yang diterjemahkan Lasminingrat umumnya adalah buku anak-anak berbahasa Belanda yang populer di negeri asalnya dan dibawa ke Hindia Belanda.

Kegemaran Lasminingrat dalam menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda melahirkan buku-buku bahasa Sunda seperti Warnasari Jilid I dan II. Karya-karyanya kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka dan dijadikan salah satu koleksi Perpustakaan Rakyat di setiap sekolah dasar, sehingga anak-anak dan masyarakat umum bisa membacanya secara bebas.

Salah satu alasan mengapa Lasminingrat lebih tertarik memperkenalkan cerita-cerita Eropa kepada orang Sunda adalah agar mereka terdorong untuk memiliki kegemaran membaca.

Kegigihan Lasminingrat memajukan pendidikan perempuan mengantarkannya meraih penghargaan dan gaji dari pemerintah Hindia Belanda. Setelah ia wafat, pada 10 April 1948, sekolah-sekolahnya diteruskan oleh Raden Purnamaningrat, murid pertamanya sekaligus anak dari adik sepupunya.

Merawat Ingatan tentang Pejuangan Lasminingrat

Perjalanan Lasminingrat dalam memperjuangkan pendidikan bagi perempuan Indonesia merupakan peristiwa penting. Sehingga bukan hanya perlu untuk dilanjutkan, tapi juga mengenangnya sebagai pahlawan kemerdekaan Indonesia.

Mengingat namanya dalam momen-momen bersejarah Indonesia bukan hanya sebagai bentuk penghormatan, tetapi bagian dari merawat ingatan kolektif tentang perjuangan perempuan.

Kemerdekaan (Belum) Milik Semua Ekspresi Gender

Menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-80, kita melihat antusiasme masyarakat yang diwujudkan dalam berbagai ekspresi. Baik di masyarakat sekitar hingga di lini masa sosial media, ada beragam peristiwa menjelang perayaan hari kemerdekaan ini. Mulai dari kontroversi pengibaran bendera One Piece, aksi masyarakat Pati menolak kenaikan PBB 250%, kisruh pernyataan pejabat pemerintahan yang sembrono, dan sebagainya.

Namun, pagi ini saya terpaku oleh salah satu posting-an yang dibagikan oleh salah seorang teman di media sosialnya tentang penolakan bahkan sanksi kepada waria yang terlibat dalam kegiatan HUT RI. Tidak hanya berharap pemerintah setempat turut memberlakukan peraturan serupa, tetapi posting-an tersebut sukses memantik ujaran kebencian kepada waria di kolom komentarnya.

Larangan melibatkan waria dalam segala bentuk kegiatan seperti turnamen, pertandingan, serta hajatan pada mulanya dikeluarkan dalam Surat Edaran Bupati Gorontalo, Sofyan Puhi nomor 800/BKBP/76/IV/2025. Bahkan dengan tegas menyatakan untuk camat yang lalai menegakkan aturan tersebut akan dikenai sanksi.

Saya pun bertanya-tanya, apakah waria bukan bagian dari warga negara sehingga untuk turut merayakan hari kemerdekaan saja dilarang bahkan terancam mendapat sanksi? Setakut itukah masyarakat terhadap waria?

Waria: Kelompok Marginal dan Diskriminasi yang Melingkupinya

Dalam beberapa waktu terakhir, diskriminasi terhadap waria cukup mengkhawatirkan. Di tahun 2020 misalnya, waria menjadi korban pembakaran yang dilakukan oleh sekelompok preman hanya karena dicurigai mencuri sebuah handphone.

Diskriminasi yang berujung kekerasan tidak hanya datang dari sekelompok masyarakat, pihak pemerintah seperti polisi yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat justru menjadi pelaku. Di mana pihak-pihak ini sering kali melakukan razia yang disertai kekerasan terhadap waria.

Segala jenis diskriminasi dan kekerasan yang diterima oleh waria baik dari kelompok masyarakat hingga pihak pemerintah seperti Polisi dan Satpol PP jelas berlawanan dengan prinsip Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 yang menegaskan semua orang pantas atas proteksi individu, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta yang di bawah kendalinya, juga layak dengan rasa aman dan proteksi dari kecaman ketakutan guna berbuat atau tidak melakukan hal yang merupakan hak asasi.

Umumnya, diskriminasi terhadap waria terjadi dalam beberapa bentuk. Pertama, diskriminasi sosial dan ekonomi, ketika waria tidak memiliki kesempatan yang sama dengan warga negara lain dalam mengenyam pendidikan formal. Selain itu, waria juga dikucilkan di lingkungan masyarakat yang menyebabkan akses terhadap pekerjaan menjadi sulit.

Kedua, diskriminasi hukum, saat kebijakan hukum yang justru diskriminatif terhadap hak-hak dasar waria sebagai warga negara. Ketiga, diskriminasi politik, kala waria tidak memiliki kesempatan yang sama untuk tampil dalam wilayah politik praktis dan menyuarakan suara hak politiknya.

Waria dan Prinsip Universal dalam Islam

Dalam sejarahnya, kehidupan masyarakat Indonesia selama ini dikonstruksi untuk hanya mengenal dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Laki-laki dengan kemaskulinannya dan perempuan untuk kefeminimannya. Kedua sifat ini tidak boleh tertukar sehingga apabila dari salah satu jenis kelamin tersebut memiliki sifat di luar paten yang ditentukan masyarakat akan dianggap abnormal.

Meskipun, kita ketahui, ‘normal’ dalam suatu masyarakat bukanlah hal yang baku. Normal di satu masyarakat tertentu bisa jadi bukan ‘normal’ di masyarakat lain. Nah, oleh karena dianggap ‘abnormal’ itu, waria menjadi kelompok yang rentan mendapat diskriminasi dan termasuk kelompok yang terpinggirkan sehingga posisinya lemah atau tidak berdaya.

Dalam Islam, kelompok-kelompok marginal dan lemah ini disebut sebagai mustadha’fin dan dianjurkan untuk dilindungi (Q.S. an-Nisa ayat 98). Adapun waria meskipun redaksinya tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara eksplisit, namun terekam dalam hadis Nabi berikut:

أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى أَنَّهُ سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ يُحَدِّثُ عَنْ عَلِيٍّ فِي الرَّجُلِ يَكُونُ لَهُ مَا لِلرَّجُلِ وَمَا لِلْمَرْأَةِ مِنْ أَيِّهِمَا يُوَرَّثُ فَقَالَ مِنْ أَيِّهِمَا بَالَ

“Telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Musa dari Isra`il dari Abdul A’la bahwa ia mendengar Muhammad bin Ali menceritakan dari Ali tentang seorang laki-laki yang memiliki alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan, sebagai apa statusnya ia mewarisi (laki-laki atau perempuan)? Ia menjawab; Dilihat dari alat kelaminnya yang mengeluarkan kencing (dari situlah ditetapkan statusnya).”

Dalam hadis tersebut, waria tidak hanya dilindungi tetapi juga diberi penghargaan hingga hak waris. Di mana tentu bertolak belakang dengan saat ini, selain dipersekusi, banyak waria ditolak oleh keluarganya hingga tidak mendapatkan hak waris. Perlu diketahui pula, hadis ini menunjukkan bahwa waria sudah ada dan dikenal sejak masa Rasulullah dengan sebutan khunsa atau mukhannas (Zunly Nadia, 2002).

Selain itu, Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin memiliki prinsip-prinsip universal berupa upaya pembebasan dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi. Kita bisa menelusuri, awal-awal kedatangan Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah spirit pembebasan manusia dari kezaliman orang jahiliyah. Bahkan wujud nyata dari upaya pembebasan ini adalah pembebasan manusia dari perbudakan. Lantas, masih relevankah masyarakat Indonesia yang disebut sebagai negara beragama menebar kebencian dan diskriminasi yang berujung pada kekerasan terhadap waria yang merupakan kelompok rentan dan minoritas?

Melihat Waria Sebagai Warga Negara

Dalam konteks bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan persamaan sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila sebagai dasar negara, sangat penting untuk melihat waria tidak hanya sebagai individu tetapi juga sebagai sesama warga negara. Artinya, sebagai sesama warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Dengan pandangan demikian, maka sebagai sesama warga negara alih-alih sebagai ‘sampah masyarakat’ kita akan lebih melihat waria sebagai bagian integral yang penting dalam masyarakat. Pada akhirnya, kita dapat menciptakan narasi yang berfokus pada martabat, kontribusi, dan hak-hak asasi yang universal.

Demonstrasi Pati: Luka Mendalam di Bulan Kemerdekaan

Agustus selalu identik dengan semangat kemerdekaan. Setiap sudut kota dihiasi bendera merah putih, lagu-lagu nasional berkumandang, dan masyarakat disibukkan dengan perayaan. Namun, di balik euforia itu, sebagian warga mengalami realitas yang jauh dari kata merdeka.

Pada 13 Agustus 2025, ribuan warga Pati, Jawa Tengah, turun ke jalan menuntut pembatalan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Demonstrasi ini menjadi sorotan nasional dan viral di media sosial, tetapi di balik itu, kelompok marginal merasakan luka yang lebih mendalam daripada sekadar kerusuhan jalanan.

Data dari Polda Jawa Tengah mencatat 34 orang mengalami luka-luka selama aksi, meski isu adanya korban tewas segera dibantah. Angka ini mungkin terlihat sebagai catatan statistik, tetapi bagi kelompok perempuan, penyandang disabilitas, dan warga miskin, pengalaman menghadapi ketidakadilan jauh lebih kompleks. Mereka bukan hanya menghadapi risiko fisik di jalanan, tetapi juga realitas sosial yang membatasi akses terhadap hak dasar, kesempatan ekonomi, dan perlindungan hukum.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah 2024, sekitar 15 persen perempuan di wilayah tersebut mengalami kesulitan akses pendidikan tinggi karena keterbatasan ekonomi. Sementara itu, penyandang disabilitas menghadapi tantangan ganda: keterbatasan fisik dan minimnya perhatian kebijakan publik terhadap kebutuhan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan penyandang disabilitas di Indonesia sering mengalami diskriminasi ganda, baik secara sosial maupun politik, sehingga akses mereka terhadap partisipasi demokrasi terbatas (Ruslin, Alamsyah, & Wulandari, 2024).

Demonstrasi di Pati, meskipun sah secara hukum, memperlihatkan paradoks kemerdekaan ini. Mereka yang memiliki akses transportasi, informasi, dan waktu lebih luang mampu hadir dan menyuarakan tuntutannya, sedangkan kelompok marginal seringkali tersisih.

Selain itu, demo ini menyoroti kesenjangan dalam representasi dan partisipasi sosial. Perempuan dan penyandang disabilitas, yang seharusnya menjadi bagian integral dari proses demokrasi, sering tidak terlihat dalam pengambilan keputusan. Aspirasi mereka jarang dipertimbangkan dalam kebijakan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan formal belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam kemerdekaan substantif, di mana setiap warga negara dapat merasakan haknya secara setara (Rahakbauw & Salakory, 2017).

Kebijakan publik yang tidak inklusif terhadap kelompok marginal mencerminkan ketimpangan struktural yang lebih luas. Dalam konteks masyarakat adat, buku Difabel (Perempuan) dalam Masyarakat Adat menekankan bahwa budaya dan tradisi sering memperburuk eksklusi sosial terhadap perempuan penyandang disabilitas (Sasmitha & Zubaedah, 2017).

Mereka menghadapi hambatan ganda: diskriminasi berdasarkan gender dan keterbatasan fisik, yang membatasi kemampuan mereka untuk berpartisipasi penuh dalam proses sosial maupun politik. Dalam konteks demonstrasi, hal ini membuat kelompok marginal sulit menyuarakan hak-haknya, meski aspirasi mereka sama sahnya dengan warga lainnya.

Lebih jauh, demonstrasi Pati juga menjadi cermin bagaimana media dan opini publik membentuk persepsi tentang legitimasi aksi. Media sosial memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi, namun sering kali narasi yang dominan menekankan kerusuhan, massa, atau konflik dengan aparat, sementara pengalaman kelompok marginal nyaris hilang.

Ketidakmerataan representasi ini menambah luka psikologis, karena aspirasi dan hak mereka tidak diakui secara serius oleh publik maupun pembuat kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak hanya soal hak formal, tetapi juga soal pengakuan dan representasi yang adil dalam ruang publik.

Konteks ini membuka ruang refleksi yang lebih luas menjelang Hari Kemerdekaan. Merdeka bukan sekadar hak formal yang tercatat dalam undang-undang. Merdeka berarti setiap warga negara dapat menikmati hak dasar secara setara, akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan perlindungan hukum. Demonstrasi publik, kebijakan pemerintah, dan peran media sosial harus menjadi sarana untuk memperkuat keadilan dan inklusi, bukan justru memperdalam ketimpangan. Jika hak-hak kelompok marginal tetap diabaikan, perayaan kemerdekaan hanya menjadi simbol kosong tanpa makna substansial bagi mereka yang selama ini terpinggirkan.

Fenomena di Pati menunjukkan bahwa luka mendalam di bulan kemerdekaan bukan sekadar luka fisik akibat demonstrasi. Lebih dari itu, ini adalah luka sosial, politik, dan psikologis bagi mereka yang selama ini tidak memiliki akses setara dalam kehidupan bernegara.

Kemerdekaan nasional harus diterjemahkan ke dalam pengalaman nyata yang inklusif, di mana suara marginal didengar, hak-hak mereka dihormati, dan kesetaraan benar-benar dijalankan. Hanya dengan demikian, kemerdekaan tidak lagi menjadi simbol semu, melainkan pengalaman yang dirasakan oleh seluruh warga, tanpa terkecuali.

Selain itu, perlunya reformasi kebijakan publik yang inklusif menjadi semakin jelas. Setiap keputusan pemerintah, mulai dari pajak hingga alokasi fasilitas publik, harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kelompok marginal. Perempuan penyandang disabilitas, misalnya, sering kali menghadapi hambatan akses fisik dan sosial yang membuat mereka sulit ikut serta dalam proses sosial maupun politik. Buku Sasmitha & Zubaedah (2017) menggarisbawahi bahwa kelompok ini membutuhkan perlindungan tambahan agar kesetaraan substantif dapat tercapai, bukan sekadar formalitas hukum.

Lebih jauh lagi, pendidikan publik tentang inklusi sosial dan kesetaraan gender menjadi penting untuk membangun budaya demokrasi yang benar-benar merata. Ketimpangan akses pendidikan dan informasi memperkuat siklus marginalisasi. Jika kelompok marginal tidak memiliki ruang untuk didengar, demokrasi itu sendiri menjadi cacat. Demonstrasi Pati, meski berhasil menarik perhatian media, tetap menyisakan pertanyaan besar: seberapa jauh suara kelompok yang paling rentan didengar dan diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan?

Akhirnya, luka mendalam di bulan kemerdekaan harus dipahami sebagai refleksi nyata dari ketimpangan sosial yang masih terjadi. Demonstrasi bukan sekadar aksi jalanan, tetapi panggilan bagi pemerintah dan masyarakat untuk menegakkan keadilan sosial, inklusi, dan kesetaraan. Kemerdekaan sejati baru akan tercapai ketika semua warga, terutama yang selama ini marginal, benar-benar merasakan haknya, tanpa terkecuali. Dengan demikian, perayaan kemerdekaan bukan hanya simbol nasional, tetapi juga cerminan keadilan yang nyata di tengah masyarakat.

 

Referensi

BPS Jawa Tengah. (2024). Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Tahun 2024 Provinsi Jawa Tengah. https://jateng.bps.go.id

Ruslin, I. T., Alamsyah, A., & Wulandari, N. (2024). Sosialisasi politik pada perempuan disabilitas: Suatu perspektif collaborative governance. Vox Populi: Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 7(2), 109–127. https://tes-ojs.uin-alauddin.ac.id/index.php/voxpopuli/article/download/52502/21146

Rahakbauw, N., & Salakory, D. M. (2017). Perlindungan sosial bagi perempuan disabilitas: Studi di Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maluku. Aristo: Jurnal Sosial dan Humaniora, 6(1), 145–163. https://www.researchgate.net/publication/322017224

Sasmitha, T., & Zubaedah, A. (2017). Difabel (Perempuan) dalam Masyarakat Adat. Lembaga SAPDA.

Ilusi Kemerdekaan Berdoa dan Gincu Politik Moderasi

“Saya semakin hopeless atau hilang harapan dengan program kedamaian dalam keberagaman, khususnya dengan umat Muslim, selain Ahmadiyah tentunya. Mungkin satu-satunya Islam yang saya percaya dan tidak membuat saya resah hanya Ahmadiyah saja.”

Demikian cuplikan pesan dari seorang teman Kristen di sebuah grup WA. Ia membuka pesan dengan memohon maaf untuk berbagi uneg-uneg yang telah lama ia dekap sendiri.

Ungkapan jujur itu tidak menetas dari batu. Ia lahir dari keresahan tentang betapa banyak kasus perpecahan dan perusakan rumah ibadah, terutama menjelang kedatangan Zakir Naik yang dibebaskan begitu saja oleh pemerintah untuk memprovokasi warga. Belum lagi kasus terakhir perusakan rumah doa di Padang, milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) pada Minggu, 27 Juli 2025.

Orang-orang itu mengepung, membanting kursi-kursi plastik berwarna hijau, menendangnya penuh rasa amuk, dan mengepruknya dengan balok kayu berulang kali. Seolah kursi yang benda mati itu telah melakukan perbuatan keji yang tak layak diampuni.

Kasus perusakan bangunan milik jemaat GKSI yang diobrak-abrik itu menyingkapkan banyak hal terkait isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di tanah air kita. Bahwa masih terlalu banyak situasi yang rumpang dan memprihatinkan, khususnya relasi antarumat beragama. Peristiwa di Padang itu hanyalah satu dari sekian daftar panjang persoalan KBB yang perlu sorotan dan penanganan serius.

Jika menengok data tahun 2023 saja, sekurang-kurangnya terdapat 329 tindakan pelanggaran KBB dan 114 di antaranya melibatkan aktor negara (Setara Institute, 2024). Pelanggar terbanyak ternyata adalah pemerintah daerah dan kepolisian.

Di sini muncul ironi getir: pihak yang bertugas untuk menjamin rasa aman dan hak-hak warga sipil, malah terbalik menjadi pelaku kekerasan (baik itu simbolik maupun struktural).

Kendati sembilan pelaku perusakan di Padang tersebut sudah diciduk, namun penanganannya kurang serius. Terlebih lagi banyak redaksi media mengutip keterangan dari pihak kepolisian yang menggunakan diksi “diamankan”.

Tak kaget jika muncul komentar miring, salah satunya dari sosiolog Ariel Heryanto, “agar punya rasa aman, masyarakat umum dan khususnya kelompok rentan, butuh keamanan dan pengamanan. Tapi jika ada gangguan keamanan, mengapa yang diamankan oleh petugas malah pelakunya, bukan korbannya?” Di tahap inilah kita akan tiba pada gambaran yang lebih besar mengenai ilusi kemerdekaan beragama dan inklusi bersyarat.

Inklusi Bersyarat dan Kewarganegaraan Separo (Parsial)

Berulangnya kasus-kasus perusakan dan pelarangan rumah ibadah di tanah air sejatinya menyandikan dua potret ganjil yang perlu dikritisi bersama. Pertama, adanya inklusi bersyarat. Dengan kata lain, “kamu diterima, namun ada tapinya …” seolah ada tanda bintang kecil di pojok atas: syarat dan ketentuan berlaku. Kamu diterima, tapi jangan bangun rumah ibadah. Kamu diterima, tapi jangan menyanyi lagu gereja keras-keras (tapi kalau kami takbiran, boleh keras-keras).

Pola inklusi semacam ini berbakat, terlalu berbakat, dalam mencitrakan dirinya sebagai pengusung toleransi yang merangkul berbagai golongan. Namun, itu semua hanya bersifat performatif—alias pertunjukan semata. Tidak sedikit sistem pemerintahan yang mendayagunakan strategi semacam ini, tetapi secara praksis mereka justru membiarkan tindakan diskriminasi dan vigilantisme (main hakim sendiri) dari kelompok mayoritas.

Takashi Kazama (2020), peneliti isu toleransi asal Jepang, menjabarkan bahwa dalam politik inklusi bersyarat (conditional inclusion), hak-hak sebagai warga negara dari kelompok minoritas dan rentan hanya terjamin sebagian saja, alias dikorting. Di sinilah potret kedua yang perlu disoroti: “kewarganegaraan parsial” (partial citizenship). Kondisi ini apabila dinormalisasi, tentu akan mempertajam segregasi sosial dan keterbelahan masyarakat ke dalam sangkar-sangkar budaya (cultural aviaries) yang tidak saling berinteraksi satu sama lain.

Sering kali, situasi demikian diabaikan pemerintah atas dasar menjaga kesatuan, ketertiban (dengan memuaskan hasrat kuasa dan dominasi dari kaum mayoritas), padahal justru mewajarkan aksi-aksi pelanggaran hak-hak sipil setiap individu. Narasi nasionalisme, persatuan, dan alibi mujarab lainnya kerap menyerbuki praktik inklusi bersyarat dan mempermulus kewarganegaraan separo.

Padahal, kalau kita coba menguping bapak-bapak di warung kopi yang muak dan sarkas, mungkin kita akan sejenak berefleksi. Bapak bercelana pendek berkaos partai lusuh berseloroh, “Hilih, rumah kita bersama, mbelpret! Wong kelakuan tidak jauh berbeda dengan Zionis Israel gitu, yang melarang warga Palestina beribadah, ini melarang warga Kristen bahkan memporak-porandakan tempat ibadahnya. Terus apa bedanya?”

Satu lagi nimbrung, “Ngaku-ngaku rahmatan lil-‘alamin, namun dalam praktiknya malah rahmatan lil-muslimin, hingga bahkan semakin sempit: lil-nahdliyyin, lil-muhammadiyyin, lil-ormasku.”

Tak tertamparkah kita? Apalagi setelah mendengar jerit lirih kawan di grup WA awal tadi. Padahal, bumi berisi segala unsur yang beraneka, keragaman ekstrem, multi-spesies, beragam kerajaan, ordo, hingga di level partikel! Mengapa membiarkan orang dengan tenang berdoa dan beribadah saja kita tak sanggup? Sebegitu lemahnya-kah imanmu, Kisanak?

Ompongnya Politik Moderasi dan Upaya Mencari Sila Kedua

Dari rentetan narasi tersebut, kita bisa kembali bertanya. Ke mana program moderasi beragama? Apa signifikansi dan dampaknya? Sepertinya program yang dibiayai sampai Rp 3,2 T  sejak 2021 ini semakin tampil ompong, alias mandul. Kalau hanya kecaman, bocil putus sekolah pun bisa. Persoalannya ini program yang direstui negara, pemerintah juga menganggarkan dananya, kenapa hanya kecaman yang keluar, alih-alih turun langsung dan terlibat aktif mengatasi konflik?

Dengan lapang hati mesti diakui bahwa kita masih berada di tengah arena sosial yang semerbak oleh “ilusi kemerdekaan”—terutama dalam hal berdoa. Politik moderasi hanya berakhir sebagai gincu. Lipstik yang ramai dalam seremonial, namun kurang berdampak ke perilaku warga secara menyeluruh.

Dana dihabiskan di mimbar-mimbar ber-AC, hotel-hotel berbintang, hidangan mewah prasmanan, namun begitu pulang, tak membekaskan apa-apa kecuali rasa berjasa semu dan (mungkin) perbaikan gizi. Kalau demikian, kenapa tidak diserahkan ke Badan Gizi Nasional saja?

Hal semacam ini jika dibiarkan tanpa kritik tajam, mereka para penunggang politik moderasi dan politisi yang mendiamkan kekerasan struktural bisa semakin jumawa, merasa tak tersentuh dan menjelma impunitas toksik. Dan yang menjadi korban selalu saja masyarakat yang terpinggir, terkucil, dan asing. Kelompok minoritas pada akhirnya berdiri tanpa perlindungan di tengah amuk bernafaskan narsisisme kolektif yang dibiarkan begitu saja—tanpa konsekuensi hukum.

Selalu saja modusnya sama: bila pelaku adalah kerumunan, petugas kepolisian kita mangkir dan cepat-cepat cuci tangan. Alasan sudah damai dan telah “dikondisikan”, “diamankan”. Dan hal ini akan membekaskan luka-luka baru bagi generasi mendatang yang boleh jadi semakin kecewa dengan pemerintah yang tak becus mengurus isu KBB di bumi keragaman ini.

Apabila kasus perusakan semacam ini tidak ditangani secara tepat dan serius, mungkin akan banyak warga negara kita yang bertanya: ke mana perginya sila kedua?[]

Merdeka di Kursi Roda: Hak Penyandang Disabilitas untuk Hidup Setara

Kemerdekaan sejati tak hanya soal bebas dari penjajahan. Ia juga tentang kebebasan bergerak, berkarya, dan terlibat penuh dalam kehidupan sosial. Sayangnya, kebebasan itu belum sepenuhnya dirasakan penyandang disabilitas di Indonesia. Di jalanan, di tempat kerja, hingga di ruang publik; hambatan fisik, sosial, dan struktural masih membatasi langkah mereka. Janji kemerdekaan yang seharusnya berlaku untuk semua, nyatanya belum sepenuhnya sampai pada mereka yang memerlukan dukungan khusus.

Bagi sebagian orang, perjalanan ke sekolah atau kantor hanyalah rutinitas biasa. Namun, bagi pengguna kursi roda, itu bisa menjadi perjuangan harian. Trotoar yang sempit dan tak rata memaksa mereka memutar jauh. Transportasi umum kerap tak menyediakan jalur landai. Bangunan publik—mulai dari kantor pemerintah, rumah sakit, hingga kampus—sering kali tak punya fasilitas ramah disabilitas. Hambatan seperti ini bukan hanya merepotkan, tetapi juga menghalangi kemandirian dan partisipasi mereka di tengah masyarakat.

Padahal, hak-hak penyandang disabilitas sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. Aturan ini menjamin kesetaraan di bidang pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, dan akses fasilitas publik. Bahkan, ada kewajiban bagi pemerintah dan dunia usaha untuk menyediakan lingkungan inklusif. Namun, di lapangan, aturan ini sering hanya berhenti di atas kertas. Masih banyak sekolah yang belum punya akses kursi roda, halte yang tak ramah disabilitas, dan kantor yang membangun tangga curam tanpa jalur alternatif.

Persoalan ini tak hanya berhenti pada akses fisik. Stigma sosial dan diskriminasi di dunia kerja juga menjadi tembok tak kasat mata. Tak jarang, lamaran kerja ditolak karena anggapan bahwa penyandang disabilitas kurang produktif atau akan membebani perusahaan. Padahal, dengan penyesuaian sederhana dan dukungan yang tepat, mereka mampu berkontribusi sama baiknya dengan siapa pun. Sayangnya, prasangka ini sudah cukup untuk menutup pintu kesempatan sekaligus memudarkan rasa percaya diri mereka.

Dari sudut pandang keadilan, kondisi ini jelas bertolak belakang dengan prinsip bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama untuk hidup setara. Mengabaikan kebutuhan penyandang disabilitas berarti mengingkari makna kemerdekaan itu sendiri. Negara punya kewajiban melindungi dan memenuhi hak tersebut, sementara masyarakat wajib menghapus stigma yang membuat mereka tersisih.

Nilai-nilai keislaman pun menegaskan hal yang sama. Menghormati dan memudahkan kehidupan orang lain adalah ajaran pokok. Islam memandang semua manusia memiliki martabat setara di hadapan Tuhan. Prinsip rahmatan lil ‘alamin mendorong kita menciptakan lingkungan yang memudahkan, bukan menghalangi. Jika kita menutup akses dan kesempatan bagi penyandang disabilitas, berarti kita melanggar amanah kemanusiaan yang diajarkan agama.

Dalam perspektif kemanusiaan, menyediakan akses setara adalah wujud penghormatan terhadap hak asasi. Fasilitas publik yang inklusif, peluang kerja yang terbuka, dan pendidikan yang mudah diakses adalah kunci untuk menjaga martabat manusia. Sebuah bangsa belum bisa disebut benar-benar merdeka jika sebagian warganya masih terhalang hambatan yang seharusnya bisa dihapuskan.

Kemerdekaan penyandang disabilitas hanya akan nyata jika pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha bekerja bersama membangun ekosistem inklusif. Pembangunan infrastruktur yang ramah kursi roda, pembukaan lapangan kerja tanpa diskriminasi, dan kampanye publik yang mengikis stigma adalah langkah awal yang tak bisa ditunda. Kesadaran ini harus menjadi gerakan bersama, bukan sekadar tanggung jawab segelintir pihak.

Indonesia yang ramah disabilitas adalah Indonesia yang adil bagi semua. Kemerdekaan sejati baru akan terwujud ketika setiap orang—termasuk mereka yang duduk di kursi roda—bisa bergerak bebas, berkarya, dan berkontribusi tanpa hambatan. Selama hal itu belum terjadi, kemerdekaan kita masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Sebab, kemerdekaan bukan hanya hak mereka yang mampu berjalan tegak, tetapi juga milik mereka yang mengayuh roda demi masa depan dan mimpinya.

Perjuangan mewujudkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas bukanlah tugas yang bisa diselesaikan dalam semalam. Ia membutuhkan komitmen jangka panjang, kesadaran kolektif, dan keberanian untuk mengubah cara pandang. Setiap pintu kerja yang dibuka dan setiap stigma yang dihapus adalah langkah kecil yang akan mengantarkan kita pada kemerdekaan yang benar-benar inklusif. Pada akhirnya, bangsa yang besar bukan diukur dari seberapa cepat ia membangun gedung-gedung tinggi, melainkan dari sejauh mana ia memastikan bahwa semua warganya—tanpa terkecuali—dapat berdiri sejajar menikmati buah kemerdekaan.

Belajar dari Anime One Piece: Membela Kelompok al-Mustadh’afin

Menyambut kemerdekaan, publik dihebohkan dengan kehadiran bendera One Piece. Alih-alih mempersiapkan lingkungan untuk mengibarkan Sang Saka Merah Putih, yang terjadi justru pengibaran bendera animasi. Lebih riskan lagi, pemerintah menanggapi dengan serius bahkan mengancam pidana bagi siapa pun yang mengibarkan bendera tersebut.

Padahal pengibaran bendera One Piece perlu dilihat sebagai gerakan perlawanan masyarakat yang jenuh dengan drama di negara ini. Sebatas mempersoalkan atribut justru kontraproduktif untuk melihat hal yang lebih substansial. Mengapa harus One Piece? Apa pesan tersirat dari gerakan masif ini?

Bagi para penikmat anime terlaris sepanjang sejarah ini tentu tidak susah untuk mengambil pelajaran berharga. Sebab meski fiksi, kisahnya begitu nyata terasa terjadi. Anime One Piece berisi cerita perjalanan Monkey D. Luffy dalam mengarungi lautan luas. Sebagai bajak laut, ia mencoba mencari harta karun terpendam yang disebut One Piece. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan banyak orang dan membentuk aliansi gerakan melawan ketidakadilan. Aliansi tersebut kemudian berkumpul menjadi kru bajak laut topi jerami.

Uniknya, berbeda dengan bajak laut lain yang justru menindas, Luffy memilih jalan sepi sebagai bajak laut yang berdiri bersama kelompok tertindas. Spirit perlawanan, teologi pembebasan, atau merangkul kelompok al-mustadh’afin begitu kuat. Al-Mustadh’afin adalah mereka yang lemah dan dilemahkan oleh sistem yang mengakar.

Eiichiro Oda, sang kreator anime ini begitu sering mengangkat kelompok lemah melawan para penjajah. Dalam ceritanya, kita disuguhkan dengan maraknya konflik sengketa tanah, penindasan dan kerusakan lingkungan. Pelakunya adalah pemerintah dunia yang bekerja sama dengan bajak laut kuat yang dilindungi, disebut Shichibukai. Kedua peran ini menjadi simbol bertemunya kepentingan oligarki dan pengusaha yang saling menguntungkan, tetapi dengan mengorbankan hajat masyarakat.

Luffy adalah simbol dari perlawanan melawan oligarki dan keserakahan. Ia berdiri bersama bahkan merangkul orang-orang yang terpinggirkan. Dalam kru bajak lautnya, ada Nami dan Robin yang merupakan perempuan sekaligus korban penggusuran.

Nami adalah simbol perempuan yang menjadi korban berlapis. Keluarganya dibantai, kebun jeruknya diambil alih, ia dipaksa tunduk serta kampungnya dikuasai bajak laut. Robin pun demikian, ia adalah sosok anak perempuan yang menjadi korban pembantaian. Dia satu-satunya penyintas yang berhasil bertahan hidup. Kampungnya dibakar total oleh pemerintah karena mengkaji sejarah yang sengaja ditutupi oleh otoritas dunia. Dalam bagian ini pula, tergambar dengan jelas bagaimana otoritas mempunyai kuasa untuk mengatur ilmu pengetahuan mana yang boleh disebarkan dan mana yang harus dilarang.

Kisah tersebut memang fiktif, tetapi dapat dijumpai relevansinya dalam kehidupan nyata. Ada banyak korban penggusuran di negeri ini. Mereka yang terusir dari kampung dengan dalih pembangunan nasional. Pun korban pembantaian juga tak kalah mengerikan. Negara ini punya masa lalu kelam, seperti kejadian tahun 1965 dan 1998. Banyak korban yang dipaksa diam dan sejarah yang dibungkam.

Ada lagi sosok Sanji yang ditolak oleh keluarganya. Ia menjadi korban pengucilan dari orang terdekat. Ia ditendang dan dibuang dari rumah. Ada berapa banyak anak-anak yang terlantar, dibuang ketika baru mengenal dunia. Lantas tumbuh menjadi anak yang tak pernah merasakan kasih sayang.

Kalau mau didata, sepuluh anggota kru bajak laut Luffy merupakan representasi dari kelompok al-mustadh’afin. Perempuan, anak-anak, buruh, hewan, orang tua dan kelompok difabel. Inilah pesan utama yang seharusnya menggema dari perlawanan mengibarkan bendera One Piece.

Bendera hanyalah sebatas atribut yang tak punya spirit kalau tidak dihayati dengan semangat perlawanan. Sebab boleh jadi, banyak pula orang di luar sana yang mengibarkan bendera One Piece sebatas mengikuti tren. Maka bagi mereka yang saat ini masih ikut-ikutan, edukasi inilah yang penting untuk disebarluaskan. Bendera ini adalah simbol perjuangan. Tetapi kita tidak boleh diam hanya karena benderanya gagal dikibarkan.

Kisah yang serupa dapat dijumpai juga dalam kitab suci. Dalam surah al-Kahfi yang sering dilantunkan pada hari Jumat, ada kisah Raja Zulqarnain melawan kelompok Ya’juj dan Ma’juj. Zulqarnain adalah sosok pengelana yang berkeliling dunia. Ia berlabuh di satu tempat, kemudian lanjut ke tempat lain. Hingga pada satu kesempatan, ia tiba di satu tempat yang dikuasai oleh kelompok pembuat onar. Sebagaimana yang termaktub dalam surah al-Kahfi ayat 94:

قَالُوْا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِنَّ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ مُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلٰٓى اَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا

Mereka berkata, “Wahai Zulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj adalah (bangsa) pembuat kerusakan di bumi, bolehkah kami memberimu imbalan agar engkau membuatkan tembok penghalang antara kami dan mereka?”

Ayat tersebut menghadirkan tiga kelompok dengan perannya masing-masing. Ada warga yang tempatnya ditindas, Ya’juj dan Ma’juj sang penindas, dan Zulqarnain sang pembebas. Sebagaimana Luffy, Raja Zulqarnain berdiri bersama kelompok yang dizalimi.

Karenanya, kehadiran bendera One Piece harus disikapi dengan cara kritis. Tidak sebatas gerakan populis, euforia One Piece menjadi semangat baru melahirkan gerakan perlawanan. Terutama karena agama pada dasarnya bersama kelompok yang lemah dan dilemahkan.

Mengenal Sosok Rahmah El-Yunusiyyah dalam Memperjuangkan Kemerdekaan

Perjalanan panjang melawan kelaliman ratusan tahun akhirnya mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan. Tahun ini, Bumi Pertiwi menginjak usia kepala delapan. Namun, setelah pembacaan proklamasi pada 17 Agustus 1945 silam, apakah Indonesia benar-benar telah merdeka?

Jika berkaca pada masa lalu, kita kerap mendefinisikan kemerdekaan sebagai kondisi bebas dari segala bentuk kolonialisme dan imperialisme bangsa lain. Namun dewasa ini, banyak orang yang masih merasa “terjajah”, meskipun negaranya telah merdeka. Maka, kemerdekaan tidak lagi diartikan secara sempit seperti dulu. Lebih dari itu, merdeka dapat dimaknai sebagai kondisi ketika seseorang memperoleh segala bentuk hak, sembari tetap menjalankan kewajibannya.

Hemat saya, saat ini masih banyak orang yang mengalami penjajahan secara tidak langsung. Bentuk penjajahan semacam ini bahkan telah terjadi sejak masa pengaruh langsung Belanda dan Jepang. Dahulu, bangsa kita harus menghadapi dua bentuk penjajahan sekaligus: secara langsung dan tidak langsung. Meski demikian, sejarah mencatat kehadiran tokoh-tokoh yang berjuang memberantas berbagai bentuk penjajahan itu.

Seperti tokoh bernama Rahmah El-Yunusiyyah. Ia menyaksikan rakyat yang dijajah bukan hanya secara fisik, tapi juga secara non-fisik. Ia kerap menyuarakan keadilan, khususnya bagi para perempuan Minangkabau. Perjuangannya tidak hanya ditujukan untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman para penjajah, tetapi juga untuk membebaskan para perempuan tanah air dari stigma dan belenggu budaya yang mengungkung mereka.

Sekilas tentang Rahmah El Yunusiyyah

Rahmah El Yunusiyyah merupakan tokoh perempuan dari tanah Minangkabau yang berjasa bagi Indonesia. Ia lahir pada 20 Desember tahun 1900 di Bukit Surungan, Padang Panjang, dan wafat pada tahun 1969.

Mengutip visitbeautifulwestsumatra.id, Rahmah El-Yunusiyyah merupakan putri bungsu dari lima bersaudara: Zainuddin Labay El-Yunusy, Mariah, Muhammad Rasyad, dan Rihanah. Ayahnya, Syekh Muhammad Yunus, merupakan seorang ulama ternama, sementara ibunya bernama Rafi’ah.

Rahmah kecil termasuk anak yang bisa dikatakan beruntung karena memperoleh akses pendidikan—sebuah hal langka bagi perempuan pada masa itu. Ia menempuh pendidikan formal di Diniyyah School yang didirikan oleh kakaknya, Zainuddin Labay El-Yunusy. Di sana, ia mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti bahasa Arab, bahasa Belanda, tulisan Latin, dan lain-lain.

Mengutip Dispersip Kabupaten Kampar, selain belajar di sekolah, Rahmah juga memperdalam ilmu agama di masjid-masjid terdekat dan dari para ulama ternama. Beberapa di antaranya adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul—ayahanda Buya Hamka, Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh Mohammad Jamil Jambek, serta Syekh Daud Rasyidi.

Meski mendapatkan pendidikan di lembaga formal dan informal, Rahmah tidak lantas berbangga diri. Justru, melalui privilege yang dimilikinya, ia berusaha memberdayakan masyarakat pribumi—terutama perempuan—agar bisa mendapatkan hak pendidikan yang sama.

Apalagi, sistem patriarki telah mengakar sejak lama di Indonesia—dan mungkin di berbagai belahan dunia. Sekolah atau pendidikan bagi perempuan kala itu masih dianggap tabu. Perempuan dididik untuk menjadi sosok yang tinggal di rumah dan mengurus urusan domestik. Melihat kenyataan ini, Rahmah pun turun tangan dalam perjuangan mencerdaskan bangsa.

Seiring berjalannya waktu, mulai muncul kesadaran bahwa perempuan juga berhak memperoleh kesempatan yang sama seperti laki-laki. Seperti halnya R.A. Kartini, Rahmah El-Yunusiyyah juga turut mewakili suara perempuan Indonesia. Di kemudian hari, ia mendirikan sekolah khusus perempuan yang kelak memberi pengaruh besar, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga hingga ke luar negeri.

Perjuangan Memperoleh Kemerdekaan

Kemerdekaan menjadi sesuatu yang sangat didambakan bangsa Indonesia, khususnya di abad ke-20. Namun jauh sebelum masa kolonialisme, perempuan sebenarnya telah mendambakan kemerdekaan atas hak-hak dasarnya. Dalam upaya menjembatani para perempuan, Rahmah El-Yunusiyyah mendirikan sekolah khusus perempuan dan membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan yang setara.

Pada 1 November 1923, berkat dukungan saudara dan rekan-rekannya, Rahmah berhasil mendirikan sekolah Diniyah School Putri atau Diniyah Putri. Murid angkatan pertama sekolah ini berjumlah 71 orang, sebagian besar merupakan ibu-ibu muda. Tak lama kemudian, pada 1925/26, ia mendirikan Sekolah Menyesal (Menjesal School), yang berfokus pada pengajaran membaca dan menulis bagi perempuan dewasa. Selain dua lembaga tersebut, Rahmah juga merintis berbagai bentuk pendidikan lainnya yang menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

Diniyah Putri mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat. Murid-muridnya tidak hanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Karena tingginya minat, cabang-cabang sekolah ini kemudian dibuka di beberapa wilayah di Indonesia. Pengaruhnya pun menembus batas Asia Tenggara. Sistem pendidikan sekolah ini menginspirasi Universitas Al-Azhar di Kairo untuk mendirikan Kulliyat Al-Banat (Fakultas Perempuan).

Atas kontribusinya itu, Rahmah El-Yunusiyyah menerima gelar kehormatan Syaikhah dari Universitas Al-Azhar, dan menjadi perempuan pertama yang mendapat gelar dari lembaga tersebut.

Memasuki masa pendudukan Jepang (1942-1945), Rahmah menggunakan warna baru dalam membela hak-hak perempuan. Ia bergabung dengan organisasi Gyu Gun Ko En Kai Haha no Kai, wadah perempuan di bawah pemerintahan militer Jepang. Ketika Perang Asia Pasifik berkecamuk, kompleks Diniyah Putri bahkan sempat difungsikan sebagai rumah sakit darurat.

Selain itu, Rahmah juga menunjukkan keberpihakan aktif terhadap perjuangan kemerdekaan. Ia mendukung pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padang Panjang. Di masa proklamasi, ia tercatat sebagai tokoh pertama yang berani mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Perjuangannya terus berlanjut hingga masa Agresi Militer Belanda. Ia tetap aktif, baik di bidang pendidikan maupun sosial, sampai akhir hayatnya pada tahun 1969.

Segala usaha yang dilakukan Rahmah El-Yunusiyyah bukan semata untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan fisik saja. Lebih dalam dari itu, ia berjuang agar perempuan mendapatkan kemerdekaan sejati—yakni kebebasan berpikir, belajar, dan berkontribusi di masyarakat. Ia adalah bukti nyata bahwa Sumatera Barat pernah melahirkan seorang tokoh perempuan yang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sekaligus membebaskan perempuan dari stigma diskriminatif yang membelenggu mereka selama berabad-abad.

 

Sumber:

Hemdi, Yoli. Be an Inspiring Muslimah (Jakarta: Zikrul Hakim, 2015)

Rahmah El Yunusiyah. Visit Beautiful West Sumatra. Diakses 6 Agustus 2025. https://visitbeautifulwestsumatra.id/rahmah-el-yunusiyah/

Rahmah El Yunusiyah: Syaikhah Dunia Pendidikan Perempuan. Dispersip Kabupaten Kampar. Diakses 6 Agustus 2025. https://pustakaarsip.kamparkab.go.id/artikel-detail/1198/rahmah-el-yunusiyah–syaikhah-dunia-pendidikan-perempuan/

Kemerdekaan Tertunda: Ketika Buruh Perempuan Masih Menunggu Keadilan

Setiap hari kemerdekaan diperingati dengan lautan merah putih dan derap semangat nasionalisme, tetapi untuk sebagian perempuan pekerja di Indonesia, kemerdekaan itu belum pernah menyentuh realitas hidup mereka.

Mereka bekerja dengan volume yang besar, tanggung jawab ganda, di tengah sistem yang diskriminatif. Buruh perempuan adalah tulang punggung perekonomian informal maupun formal, namun seringkali menjadi yang paling tertinggal dalam distribusi keadilan sosial dan perlindungan hak-hak dasar.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa pada Februari 2024 tingkat partisipasi ekonomi perempuan sebesar 54,25%, jauh tertinggal dari laki‑laki yakni 83,40%. Perbedaan ini bukan semata soal akses kerja, melainkan juga janji kemerdekaan yang kandas dalam realitas ketimpangan struktural.

Sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal dengan upah rendah, jam kerja panjang, tanpa jaminan sosial maupun perlindungan hukum. Data BPS lainnya menunjukkan rata-rata upah per jam perempuan sekitar Rp 16.779, sedangkan laki‑laki Rp 20.125, selisih hampir 22% meskipun beban kerja relatif sama.

Penelitian akademik memberikan gambaran lebih jauh. Tjitrajaya dan Handoko (2025), dalam jurnal Gender Segregation in the Indonesian Labor Market: Insights from a Multigroup Analysis, menemukan bahwa perempuan secara sistemik terkonsentrasi di pekerjaan yang dianggap “feminin” dengan upah stagnan dan sedikit peluang karier, sementara laki‑laki dominan di sektor yang lebih strategis dan ekonomis. Segregasi ini ditentukan oleh status perkawinan dan tanggung jawab domestik yang membelenggu mobilitas vertikal pekerjaan perempuan, menghasilkan ketimpangan yang tidak tertangani.

Fenomena ketidakmerdekaan semakin kuat ketika kita menyimak realitas kerja perempuan secara utuh. Setelah menyelesaikan shift di pabrik atau layanan, mereka kembali ke “shift kedua” sebagai pengurus rumah tanpa kompensasi. Hak-hak seperti cuti haid dan melahirkan, ruang laktasi, atau fasilitasi anak hampir tidak tersedia.

Liputan Solidarity Center (2022) memperlihatkan realitas buruh garmen wanita di Jawa Barat bekerja lebih dari sepuluh jam setiap hari, menerima upah di bawah UMR, tanpa perlindungan dari pelecehan atau intimidasi serikat. Ketika mereka mencoba membentuk serikat demi memperjuangkan haknya, tekanan dan ancaman pemecatan menjadi balasan yang lazim.

Konsekuensi dari sistem yang meminggirkan perempuan juga terlihat lebih tajam untuk kelompok marginal, seperti perempuan adat, buruh migran, maupun penyandang disabilitas. Mereka menghadapi hambatan berlapis, akses pendidikan terbatas, pelatihan minim, stereotip sosial, serta norma yang menempatkan perempuan sebagai pengurus rumah tangga bukan sebagai pekerja produktif.

Juliette Suryakusuma (2017) dalam Feminism and the Politics of the Commons in Indonesia mencatat bahwa sistem patriarkal menormalkan subordinasi perempuan, meminggirkan mereka dari ruang sosial, politik, dan ekonomi.

Naluri kemerdekaan bagi buruh perempuan bukan hanya simbol merah putih, tetapi hak untuk menyuarakan, memilih, bekerja dengan martabat, tanpa takut eksploitasi. Jika mereka bersuara, seringkali respons datang penuh tekanan dan stigma, buntutnya tidak sedikit yang kehilangan pekerjaan. Serikat buruh yang mestinya menjadi instrumen kebebasan pun sering terhalang. Ketimpangan ini bukan sekadar persoalan individu, melainkan sistemik, dan melibatkan bias struktural yang memerlukan intervensi politik nyata.

John Rawls, dikutip oleh Michael Sandel dalam Justice: What’s the Right Thing to Do? (2010), menyatakan bahwa ketimpangan dalam suatu masyarakat hanya dapat dibenarkan jika menaruh kepentingan tertinggi pada mereka yang paling rentan. Buruh perempuan Indonesia, terutama yang berada di ujung strata sosial harus menjadi pusat perhatian dalam upaya mewujudkan keadilan struktural dan kemerdekaan substantif.

Selain upaya hukum dan regulasi, data juga menunjukkan potensi ekonomi yang besar. McKinsey Global Institute (2020) memperkirakan bahwa kesetaraan gender di tempat kerja bisa meningkatkan PDB Indonesia hingga 135 miliar dolar AS pada 2025. Realitas ini menegaskan bahwa investasi terhadap keadilan gender bukan hanya moral, tetapi juga strategis ekonomi.

Namun sayangnya, kebijakan sering bergerak lambat. Undang-undang ketenagakerjaan masih lemah dalam menjamin perlindungan gender di tempat kerja. Komnas Perempuan dalam laporan tahunannya mencatat lebih dari 1.000 kasus kekerasan berbasis gender di tempat kerja pada 2023, yang sebagian besar dialami oleh buruh perempuan. Padahal, jika kemerdekaan benar-benar dijadikan pijakan kebijakan, negara punya tanggung jawab untuk melindungi tubuh perempuan pekerja dari eksploitasi fisik maupun simbolik.

Agar kemerdekaan substantif bisa terwujud, perlu reformasi total: sistem pengupahan yang menjamin kesetaraan, fasilitas kerja yang ramah gender, kebijakan cuti dan pengasuhan anak di tempat kerja, serta pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Dunia usaha harus membuka peluang pelatihan kompetensi dan promosi bagi pekerja perempuan, serta menerapkan pengaduan internal yang efektif dan aman dari intimidasi.

Gerakan sipil dan organisasi perempuan juga tidak boleh tinggal diam. Pendidikan kesetaraan gender harus diintegrasikan dalam kurikulum sekolah, pelatihan perusahaan, dan media. Narasi dominan soal perempuan sebagai tenaga kerja murah perlu digugat dan dibalik: perempuan adalah pelaku ekonomi, bukan objek yang dieksploitasi. Serikat buruh perempuan mesti diperkuat; mereka harus diberi ruang untuk membangun solidaritas dan memperjuangkan haknya kolektif.

Kemerdekaan sejati adalah ketika perempuan buruh tidak lagi dipandang sebagai tenaga kerja tidak terlihat dan murah, melainkan sebagai aktor pembangunan yang dihargai. Ketika mereka mendapatkan pilihan, pengakuan, perlindungan, dan kesempatan berkembang, maka makna kemerdekaan akan kembali kepada hakikatnya, keadilan bagi semua tanpa kecuali.

 

Referensi

Tjitrajaya, Y. A., & Handoko, M. (2025). Gender Segregation in the Indonesian Labor Market: Insights from a Multigroup Analysis. ARPHA Preprints. DOI: 10.3897/arphapreprints.e152732

Badan Pusat Statistik. (2024). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia – Februari 2024.

Badan Pusat Statistik. (2024). Upah Rata‑Rata per Jam Pekerja menurut Jenis Kelamin.

Suryakusuma, J. (2017). Feminism and the Politics of the Commons in Indonesia. Yogyakarta: Obor Foundation.

McKinsey Global Institute. (2020). The Power of Parity: Advancing Women’s Equality in Asia Pacific. laporan McKinsey.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). (2023). Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan di Tempat Kerja.

Merdeka dalam Bayang-bayang Gentrifikasi

Hingga 29 Juli 2025, sebagian warga Kampung Bayam masih bertahan di rumah-rumah lama mereka, menolak pindah ke Kampung Susun Bayam yang digadang-gadang sebagai hunian baru yang lebih manusiawi. Meski bangunan susun itu sudah berdiri kokoh di bawah bayang-bayang Stadion JIS yang megah, tak semua orang merasa itu rumah.

Kampung Bayam hanyalah satu dari sekian contoh bagaimana kota-kota besar di Indonesia merayakan pembangunan, tetapi melupakan siapa yang seharusnya turut merayakannya. Di tengah jargon kemerdekaan yang tiap tahun dikumandangkan, warga kampung kerap menjadi korban diam-diam dari proyek ambisius pemerintah dan investor. Proses ini punya satu nama: gentrifikasi.

Gentrifikasi adalah proses ketika wilayah-wilayah yang sebelumnya dihuni kelas bawah atau pekerja, tiba-tiba “diangkat” menjadi ruang konsumsi dan investasi bagi kelas menengah ke atas. Rumah-rumah dirapikan, fasilitas dipercantik, dan lahan dimahalkan dengan satu efek tak terhindarkan: warga lama tergusur.

Tak seperti penggusuran paksa yang vulgar, gentrifikasi bekerja lebih halus, lebih sistematis. Ia masuk lewat narasi pembangunan, peremajaan kota, modernisasi, estetika. Warga digoda untuk merasa tinggal di kampung itu sebagai sebuah “aib keterbelakangan”, lalu diajak pindah ke tempat yang katanya lebih layak meski tanpa jaminan hak milik, tanpa kejelasan tarif sewa, dan sering kali tanpa partisipasi nyata dalam perencanaannya.

Riwayat Lama Penyingkiran

Apa yang terjadi di Kampung Bayam bukanlah peristiwa tunggal. Kota-kota besar Indonesia dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, telah lama menjadikan kampung kota sebagai korban utama pembangunan yang tak berpihak.

Jakarta mencatat sejumlah penggusuran paling masif dalam satu dekade terakhir. Tahun 2016 menjadi titik balik. Di Bukit Duri, bantaran Ciliwung, ratusan rumah warga diratakan dengan tanah demi pembangunan jalan inspeksi dan proyek normalisasi sungai. Sembilan RT lenyap. Sebanyak 379 keluarga kehilangan rumah mereka dalam hitungan hari.

Setahun kemudian, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa penggusuran Bukit Duri melanggar hukum. Namun keputusan itu tak mampu menghentikan gerak pembangunan. Proyek jalan tetap berlanjut. Di tempat lain, Kampung Akuarium di Penjaringan mengalami nasib serupa. Digusur pada 2016, kawasan ini dijadikan bagian dari proyek reklamasi. Sekitar 300 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal.

Data dari LBH Jakarta menunjukkan bahwa antara 2015 hingga 2021, terjadi lebih dari 80 titik penggusuran di Jakarta saja. Hampir semuanya dilakukan tanpa musyawarah, ganti rugi layak, atau kepastian relokasi.

Bandung menyusul dengan pola gentrifikasi yang lebih kultural. Tidak ada buldoser, tapi yang hadir adalah taman-taman cantik, proyek rumah deret, dan estetika kota yang memikat. Mulai 2017 hingga 2019, wajah-wajah lama kota mulai menghilang dari kawasan Braga, Tamansari, hingga Cikapundung. Lonjakan harga tanah mendorong warga keluar dari ruang hidupnya.

Tahun 2020 hingga 2023 menjadi era ledakan properti seperti rusun, apartemen, dan skywalk tumbuh seperti jamur. Tapi di balik pertumbuhan vertikal itu, warga miskin kota justru menyusut jumlahnya. Mereka hilang dari peta pembangunan.

Mengapa Gentrifikasi Masif Terjadi?

Gentrifikasi tidak hanya soal pembangunan fisik. Ia adalah bentuk dominasi nilai dan kuasa. Kota diimajinasikan sebagai ruang konsumsi dan pertunjukan, bukan lagi sebagai tempat tinggal bersama.

Kampung dianggap jelek, kotor, kumuh. Padahal kampung menyimpan nilai gotong-royong, solidaritas, dan sejarah panjang kota. Pemerintah kota lebih memilih membuat taman dengan lampu warna-warni daripada memperbaiki infrastruktur kampung yang ada. Hasilnya adalah kota yang cantik secara visual tapi dingin secara sosial.

Begitu sebuah kawasan “dibersihkan”, harga tanah melambung. Pengembang masuk. Properti dijual dengan narasi “hunian eksklusif tengah kota”. Sementara warga lama tidak sanggup membayar sewa atau cicilan. Mereka terpinggirkan secara ekonomi dan simbolik.

Sebagian besar warga kampung kota tidak memiliki sertifikat tanah. Meskipun mereka tinggal puluhan tahun, status hukumnya lemah. Ini memudahkan penggusuran atas nama penataan. Proyek-proyek raksasa seperti reklamasi, MRT, tol dalam kota, dan properti mixed-use berdiri di atas tanah yang sebelumnya dihuni komunitas padat.

Meskipun gentrifikasi sering terjadi tanpa perlawanan terbuka, dalam beberapa kasus warga berhasil menolak.

Kampung Akuarium, misalnya, sempat menjadi simbol perlawanan. Setelah penggusuran brutal, warga bersama arsitek, aktivis, dan akademisi merancang ulang kampung mereka dengan pendekatan kampung susun. Pada 2023, sebagian besar warga bisa kembali tinggal di tempat lama, dengan desain baru yang lebih manusiawi.

Pada 2 Juli 2025, sekitar 1.200 warga dari 18 kampung kota dan komunitas PKL melakukan aksi di depan Balai Kota Jakarta. Mereka menuntut hak atas tanah, penghentian gentrifikasi terselubung, serta reformasi agraria perkotaan.

Aksi ini menjadi sinyal bahwa warga kota mulai sadar dan bersuara. Mereka tak hanya menolak digusur, tapi juga menuntut hak atas kota. Kota sebagai milik bersama, bukan hanya milik investor, pengembang, atau pemilik modal.

Apa Arti Merdeka bagi Mereka yang Terusir?

Setiap tahun Indonesia merayakan kemerdekaan dengan parade, karnaval, dan mural warna-warni. Tapi bagi warga yang digusur, kemerdekaan terasa seperti perayaan orang lain. Bagaimana bisa bicara merdeka kalau seseorang tidak tahu akan tinggal di mana minggu depan?

Mereka yang tinggal di kolong jembatan, di bantaran sungai, di pasar semi permanen, adalah bagian dari kota. Mereka bekerja sebagai pemulung, penjaga warung, pengasuh anak, tukang sapu jalan. Tanpa mereka, kota tidak hidup. Namun suara mereka tak pernah masuk rencana tata ruang. Nama kampung mereka tidak tertulis dalam peta pembangunan. Keberadaan mereka dianggap “sementara”, “ilegal”, atau “mengganggu estetika”. Padahal mereka telah berakar.

Kota bukan sekadar beton, taman, dan jalan. Kota adalah tempat manusia hidup, bertumbuh, dan saling berbagi. Menghapus kampung berarti menghapus sejarah, memotong akar, dan menyisakan ruang-ruang sunyi yang hanya berisi gemerlap lampu tanpa cerita.

Merdeka, bagi mereka yang terpinggirkan, adalah hak untuk tinggal tanpa takut digusur. Hak untuk diakui sebagai bagian sah dari kota. Hak untuk ikut menentukan masa depan tempat mereka hidup. Selama itu belum diberikan, maka kemerdekaan masih semu. Hanya untuk mereka yang punya sertifikat dan modal.