Suara yang Tertimbun di Balik Industri Ekstraktif di Sulawesi

Di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, tiap pagi, debu dan asap akan menutupi halaman rumah warga desa sekitar. Kehidupan masyarakat berubah drastis sejak industri tambang nikel mulai dijalankan. Sungai yang awalnya sangat jernih kini berubah warna, dan perempuan yang selama ini menjadi penjaga kehidupan rumah dan ladang mereka, harus berjuang lebih keras untuk tetap memastikan bahwa keluarga mereka punya persediaan air bersih yang cukup. Di Sulawesi, khususnya bagian Morowali dan Konawe, industri pertambangan ini bukan hanya mengubah alam, tapi juga cara masyarakat sekitar untuk hidup.

Tercatat bahwa perempuan adalah kelompok yang paling terdampak karena mereka kehilangan ruang untuk hidup, sumber air bersih, dan waktu untuk dirinya sendiri (AEER 2024). Mereka dulunya bergantung pada alam dan sekarang harus bergantung pada air galon dan bahan pangan pabrik. Ironisnya, di balik kata “kemajuan” yang sering digemparkan orang-orang, banyak perempuan yang justru hidup dalam ketidakstabilan dan kerapuhan.

Fakta bahwa tambang membawa pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipatahkan. Dalam data World Bank, sektor ini menaikkan PDB lokal hingga 8% di beberapa wilayah Sulawesi. Namun, pertumbuhan ekonomi ini tidak berjalan seimbang. Keuntungan lebih banyak mengalir ke perusahaan besar dan investor asing, sementara masyarakat lokal, khususnya perempuan menghadapi dampak sosial dan ekologis yang berat (Bank 2022).

Banyak dari mereka yang harus melepaskan tempat tinggal dan mata pencaharian yang sudah ada sejak lama. Pencemaran air dan tanah membuat aktivitas harian yang dulunya mudah menjadi semakin sulit dan mahal, dari mencuci hingga menanam sayuran di halaman rumah.

Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks ini jarang sekali terlihat dengan mata kepala. Hal ini hadir secara struktural dan sistematik. Mereka sangat jarang dilibat aktifkan saat terjadi pengambilan keputusan terkait perizinan atau pengelolaan tambang. Ketika perusahaan beroperasi, dampaknya langsung mengenai kehidupan sehari-hari mereka.

Perempuan yang berada di area pertambangan di Sulawesi mengalami double burden karena kehilangan mata pencaharian mereka dan meningkatnya tekanan sosial (Dutt et al. 2007). Pekerjaan domestik mereka tidak dianggap sebagai bagian dari “dampak ekonomi” sektor industri.

Banyak perempuan di Morowali yang baru menyadari pengaruh dari aktivitas pertambangan setelah lahan mereka tidak bisa ditanami dan sumur menjadi kering. Padahal, data dari World Bank dengan jelas mengatakan bahwa hanya sekitar 7,1% tenaga kerja di sektor ini adalah perempuan dan sebagian besar berada di posisi informal atau non-teknis dengan upah yang terbilang rendah. Suara mereka hampir tidak terdengar dalam pengambilan tiap kebijakan, baik itu dari tingkat desa maupun perusahaan. Situasi ini menggambarkan bagaimana industri besar bisa mempersempit ruang hidup perempuan.

Selain itu, fakta bahwa kurangnya transparansi atau keterbukaan dari perusahaan pertambangan juga memperparah keadaan ini. Data Informasi tentang limbah, izin operasi, atau efek jangka panjang terhadap kesehatan sulit diakses, sehingga perempuan kehilangan dasar untuk memperjuangkan hak-haknya (Atikah 2024). Ketertutupan ini menjadi salah satu bentuk kekerasan yang tidak terlihat dan sering kali tidak disadari oleh masyarakat umum.

Meski begitu, di beberapa desa terdampak ada perempuan yang mulai berani untuk bersuara dan melawan dengan cara mereka sendiri. Mereka membentuk sebuah komunitas dan mendokumentasikan dampak lingkungan, menulis laporan komunitas, dan menuntut hak atas air bersih. Ada juga mengembangkan pertanian pertanian organik dan usaha pangan lokal. Dari langkah-langkah kecil itu, muncul harapan baru bahwa perubahan bisa dimulai dari tangan mereka.

Kisah perempuan-perempuan ini mengingatkan bahwa kekerasan tidak selamanya berbentuk fisik. Kadang, kekerasan itu hadir karena ada kebijakan yang menyingkirkan suara dari berbagai pihak, atau lewat pembangunan yang tidak berpihak. Ketika air, tanah, dan suara mereka diabaikan, maka lahirlah kekerasan ekologis, luka yang tidak tampak dan akan terus diingat. Perjuangan mereka penting karena menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi juga agen perubahan.

Membangun sektor industri tanpa melibatkan perempuan sama dengan membangun di atas luka. Dalam membangun, seharusnya kita tidak hanya fokus pada keuntungan saja,  tapi juga tentang kehidupan masyarakat daerah sekitarnya. Perempuan bukan hanya sekadar pihak yang terdampak, tapi bagian penting dari sebuah solusi. Memberi mereka ruang berarti memastikan bumi tetap bisa menjadi rumah. Mengangkat isu ini bukan sekadar soal empati semata. Ini tentang keadilan sosial dan ekologis. Perempuan bukan hanya pihak yang terdampak, tetapi juga penjaga terakhir ruang hidup yang sehat dan berkelanjutan.

Memberi mereka hak suara dalam narasi pembangunan berarti membersamai dan memastikan bahwa industri tidak hanya menggerakkan ekonomi, tapi juga menjaga martabat dan hak-hak warga yang terdampak.

 

Referensi:

AEER. 2024. “The Impact of Nickel on the Lives of Women in the Morowali Nickel Smelter Circle.” AEER (Aksi Ekologi Dan Emansipa Rakyat). 2024. https://www.aeer.or.id.

Atikah, Gita Ayu. 2024. “TRANSPARENCY IN CORPORATE REPORTING: Assessment of Mining Companies in Indonesia.”

Bank, World. 2022. “Sulawesi Development Diagnostic : Achieving Shared Prosperity Sulawesi Development Diagnostic.” World Bank Group. Washington, D.C. https://documents.worldbank.org.

Dutt, Lahiri, Kuntala, Mahy, and Petra. 2007. “Impacts of Mining on Women and Youth in Indonesia : Two Mining Locations.” Canberra. https://internationalwim.org.

Ketika Bumi dan Tubuh Perempuan Sama-sama Terluka

Di berbagai wilayah industri ekstraktif yang ada di Indonesia, perempuan menanggung dampak paling berat dari hilangnya ruang hidup atas tanah dan sumber air akibat konsesi tambang yang ada di sekitarnya. Mereka juga yang tentu akan merasakan dan menghadapi tekanan ekonomi, sosial, hingga kekerasan yang sering kali tak terlihat.

Namun di tengah situasi itu, perempuan tidak berhenti pada peran sebagai korban. Kehidupan sehari- hari mereka yang tak lepas dari keberadaan tanah dan air membuat perempuan berada di garis terdepan perlawanan. Mereka semakin sulit untuk mencari air, kehilangan ladang-ladang pertanian akibat alih fungsi lahan, menanggung biaya pangan yang juga kian meningkat, serta harus memastikan keluarga mereka tetap hidup di tengah lingkungan yang kian rusak.

Kekerasan yang dialami oleh perempuan di sekitar kawasan tambang merupakan bentuk kriminalisasi yang tak hanya berwujud pukulan atau ancaman fisik. Ia menyelinap secara halus menembus batas-batas tubuh, ruang serta budaya. Ketika sumber air tercemar limbah industri dan tanah kehilangan kesuburannya, beban kerja domestik perempuan pun secara bersamaan akan semakin bertambah. Ketika lahan pertanian telah berganti menjadi lubang-lubang tambang, perempuan pun akan kehilangan ruang produktifnya. Kemudian, ketika suara mereka sering kali terabaikan dalam musyawarah atas nama pembangunan, di situlah wujud dari kekerasan kultural sedang berlangsung.

Tubuh perempuan dan tubuh bumi sama-sama dieksploitasi dalam logika yang serupa, keduanya dipandang sebagai sumber daya yang bisa diambil, dikendalikan, dan dieksploitasi tanpa batas. Namun di tengah luka dan kehilangan itu, tumbuh pula keberanian, resistensi perempuan dan aksi perlawanan ekologis yang menunjukkan bahwa dalam aktivitas ekstraktif, perempuan tidak berhenti sebagai korban. Mereka justru berdaya membangun solidaritas kolektif, menjadikannya sebagai sumber kekuatan untuk melawan ketidakadilan yang merampas ruang hidup mereka.

Kekerasan perempuan dalam industri ekstraktif dan bagaimana wujud perlawanan perempuan terhadapnya merupakan sebuah fenomena sosial-ekologis yang mengingatkan saya pada sebuah buku yang pernah saya baca. Buku ini menampilkan realitas sosial yang diterbitkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) berjudul Berontak Sebagai Syarat Kehidupan: Kebengisan Industri Tambang di Mata Perempuan Kepulauan (2023).

Membaca buku ini, saya menemukan sebuah pola yang sama di berbagai daerah industri tambang. Perempuan merupakan sosok yang berdiri paling depan ketika ruang hidup mereka terancam. Dari Amungme hingga Wae Sano, dari Sangihe hingga Wadas dan Dairi, mereka menolak logika yang sama bahwa alam dan tubuh perempuan bisa dieksploitasi tanpa batas.

Perlawanan Perempuan terhadap Industri Ekstraktif di Berbagai Daerah

Di Tanah Amungme, Papua Tengah, sosok Yosepha Alomang merupakan sebuah simbol perlawanan terhadap kehadiran PT Freeport sejak akhir 1960-an. Ia menggugat perusahaan hingga ke pengadilan di New Orleans, Amerika Serikat. Yosepha bahkan pernah ditahan dan disiksa, tapi tetap berdiri teguh, menganggap bahwa gunung, sungai, dan tanah sebagai tubuhnya sendiri. Baginya, melindungi tanah berarti melindungi martabat manusia.

Kemudian di Pulau Sangihe, Maria dan kelompok Save Sangihe Island mengorganisir warga untuk menolak tambang emas PT Tambang Mas Sangihe. Mereka tak hanya turun ke jalan, tapi juga menggugat secara hukum hingga Mahkamah Agung dan berhasil memenangkan tuntutan. Di tengah intimidasi dan kriminalisasi, mereka tetap bertahan dengan keyakinan sederhana: menjaga tanah adalah menjaga masa depan anak-anak mereka.

Beralih ke Jawa Tengah, Wadon Wadas menolak penambangan batu andesit untuk proyek Bendungan Bener. Mereka menanam pohon, menganyam besek sebagai simbol ketahanan ekonomi, hingga menggelar doa bersama di jalan untuk menghadang aparat. Solidaritas antarperempuan menjadi tembok yang menjaga desa dari ketakutan, bahkan ketika mereka dilabeli ‘antipembangunan’.

Sementara di Flores, Mathildis Felni dan perempuan-perempuan di Wae Sano menolak proyek panas bumi yang mengancam sumber air mereka. Mereka menolak suap dan janji palsu, menulis surat ke Bank Dunia agar menghentikan pendanaan, dan terus bersuara demi kehidupan yang damai dan aman bersama lingkungan.

Di Sumatera Utara, terdapat Parulian Tambun memimpin perlawanan perempuan di Dairi melalui ritual budaya Mangandung, ratapan yang menjadi ekspresi politik. Ia menyadarkan perempuan di desanya akan bahaya tambang seng yang mencemari air dan tanah. Bagi Parulian, menangis bukan tanda lemah, tapi cara untuk menghidupkan kembali suara perempuan yang terlalu lama dibungkam.

Benang Merah Perjuangan Perempuan

Meski datang dari wilayah dan budaya yang berbeda, tetapi perjuangan mereka terhubung oleh benang merah yang kuat. Mereka sama-sama mempertahankan ruang hidup atas tanah, air, udara, dan budaya dari perampasan industri ekstraktif. Mereka berjuang bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk generasi mendatang agar masih bisa menanam dan minum air bersih.

Mereka menghadapi krisis multidimensi: ekologis, ekonomi, sosial, dan budaya, tapi tetap memilih berdiri di garis depan, bahkan di tengah struktur masyarakat yang patriarkis. Dalam perjuangan itu, kekerasan sering menjadi konsekuensi. Yosepha disiksa dan dipenjara, Imel dari Wadas ditangkap, Maria dan rekan-rekannya diintimidasi, tapi tidak satu pun berhenti melawan. Mereka sadar, diam berarti menyerahkan kehidupan kepada ketidakadilan.

Perlawanan perempuan-perempuan melawan industri ekstraktif ini ibarat sebuah orkestra pertahanan. Setiap tokoh memainkan instrumen yang berbeda, ada yang menempuh jalur hukum, ada yang berorasi dalam bahasa budaya, ada yang menenun solidaritas melalui dapur umum dan doa bersama. Tapi mereka memainkan lagu yang sama yakni menjaga harmoni antara manusia dan bumi. Mereka adalah penjaga kehidupan, menolak membiarkan akar-akar generasi mendatang dicabut oleh mesin tambang.

Perlawanan perempuan terhadap tambang bukan sekadar kisah lokal, melainkan sebuah cermin bahwa di tengah sistem yang eksploitatif, kehidupan selalu mencari jalan untuk bertahan.

 

Bacaan lebih lanjut:

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Berontak Sebagai Syarat Kehidupan: Kebengisan Industri Tambang di Mata Perempuan Kepulauan. Jakarta: JATAM, 2023.