Pos

Peran Kekhalifahan Keluarga dalam Krisis Iklim


Manusia sebagai Khalifah di Bumi: Tanggung Jawab Menjaga Lingkungan dalam Islam

Dalam ajaran Islam, manusia diberi amanah oleh Allah SWT sebagai khalifah di bumi. Ini berarti manusia bertugas memelihara dan menjaga kelestarian bumi beserta isinya. Dalam menghadapi ancaman krisis iklim yang semakin parah, keluarga menjadi tempat pertama dan utama untuk menanamkan tanggung jawab menjaga lingkungan. Tindakan ini harus selaras dengan nilai-nilai Islam yang merupakan fitrah manusia. Literasi iklim yang berlandaskan nilai-nilai Islam dapat melahirkan generasi yang tidak hanya peduli terhadap lingkungan, tetapi juga meyakini bahwa menjaga alam adalah bentuk syukur kepada Allah SWT yang bernilai ibadah—hablum minal alam.

Literasi Iklim: Upaya Menjalankan Amanah dari Allah SWT

Berbagai ayat dalam Al-Qur’an menekankan pentingnya menjaga kelestarian bumi. Salah satu ayat yang relevan adalah Surah Al-Baqarah ayat 30, yang menjelaskan peran manusia sebagai khalifah di bumi. Allah SWT menjadikan manusia sebagai representasi-Nya di bumi, bertugas untuk menjaga alam dan memastikan kelestariannya. Menanamkan literasi iklim di rumah adalah salah satu cara untuk menjalankan amanah besar ini.

Langkah awal untuk melahirkan generasi masa depan yang tangguh dalam menghadapi krisis iklim adalah melalui literasi iklim di rumah. Dengan memperkenalkan nilai-nilai keberlanjutan dan tanggung jawab terhadap lingkungan, keluarga dapat menjadi agen perubahan dalam mengupayakan adaptasi dan mitigasi terhadap krisis iklim. Anak-anak yang tumbuh dengan pemahaman tentang isu ini diharapkan lebih siap berkontribusi dalam menjaga kelestarian bumi.

Di rumah, literasi iklim dapat ditanamkan melalui kebiasaan sehari-hari, seperti menghemat air, bijak dalam menggunakan listrik, tidak menyia-nyiakan makanan, memilah sampah, dan mengurangi penggunaan barang sekali pakai. Peran orang tua, baik ibu maupun ayah, sama pentingnya dalam mengajarkan kebiasaan ini. Pendidikan perubahan iklim yang dimulai dari keluarga memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa menjaga bumi bukan hanya tugas pemerintah atau organisasi lingkungan, tetapi tanggung jawab setiap individu sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas segala sumber daya yang diberikan.

Kesetaraan Gender dalam Islam: Tanggung Jawab Bersama dalam Literasi Iklim

Islam menekankan kesetaraan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks keluarga, baik ibu maupun ayah memiliki kewajiban yang sama dalam mendidik anak. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini berarti tanggung jawab menjaga kelestarian bumi juga merupakan tanggung jawab bersama, antara laki-laki dan perempuan.

Dalam pendidikan literasi iklim, ayah dan ibu dapat berperan aktif dan kolaboratif. Ayah dapat menjadi panutan dalam menjalankan gaya hidup ramah lingkungan, seperti bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Ibu dapat mengajarkan bahwa menjaga alam adalah implementasi dari hablum minal alam (hubungan dengan alam), yang penting dipahami sejak dini. Dengan demikian, kesetaraan gender tidak hanya berlaku dalam peran domestik, tetapi juga dalam menjalankan amanah kekhalifahan di muka bumi.

Krisis Iklim dan Larangan Berbuat Kerusakan di Bumi

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT secara tegas melarang manusia berbuat kerusakan di bumi. Surat Al-A’raf ayat 56 berbunyi, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah [diciptakan] dengan baik; dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut [tidak akan diterima] dan harapan [akan dikabulkan]. Sesungguhnya rahmat Allah SWT dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Ayat ini menjadi dalil bagi umat Islam tentang kewajiban menjaga kelestarian alam dan mencegah kerusakan, seperti eksploitasi sumber daya secara berlebihan.

Dalam pendidikan literasi iklim di rumah, ayat ini dapat dijadikan pegangan untuk mendidik anak-anak agar senantiasa menjaga kelestarian alam dan menggunakan nikmat Allah dengan bijaksana. Mengajarkan anak-anak untuk tidak boros dalam mengonsumsi energi, air, dan sumber daya adalah implementasi dari ajaran Al-Qur’an.

Keluarga sebagai Madrasah Pertama dalam Literasi Iklim

Peran ibu dalam mendidik anak-anak sangat penting, seperti yang diungkapkan oleh Hafiz Ibrahim: “Al-umm madrasatul ‘ula, idza adadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq,” yang berarti, “Ibu adalah sekolah pertama; jika engkau mempersiapkannya dengan baik, maka engkau akan mempersiapkan generasi yang baik pula.” Ungkapan ini merupakan pengakuan teologis atas peran perempuan, terutama pada masa ketika perempuan sering mengalami diskriminasi.

Islam mengajarkan bahwa tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara ibu dan ayah. Kolaborasi dalam mendidik anak, khususnya dalam literasi iklim, mencerminkan kesetaraan yang diajarkan dalam Islam. Peran ibu dan ayah diakui dan dihormati secara teologis oleh Islam.

Pendidikan di rumah bertujuan untuk mempersiapkan generasi yang tidak hanya paham tentang tanggung jawab terhadap lingkungan, tetapi juga tangguh dalam menghadapi krisis iklim dengan mengamalkan nilai-nilai Islam.

Kesimpulan

Dalam menghadapi krisis iklim, keluarga memiliki peran strategis sebagai tempat pertama dalam menanamkan literasi iklim, yang selaras dengan ajaran Islam. Islam menekankan peran manusia sebagai khalifah di bumi, yang bertugas menjaga kelestarian dan keseimbangan alam.

Dengan menanamkan literasi iklim yang berlandaskan nilai-nilai Islam dan mempraktikkan kesetaraan gender, keluarga dapat melahirkan generasi yang bertanggung jawab dalam menjaga bumi. Generasi ini akan cerdas secara intelektual dan moral, serta memahami bahwa menjaga alam adalah bagian dari fitrah manusia dan ibadah kepada Allah SWT yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab serta prinsip keadilan.

Mengurai Benang Visi Kekhalifahan dan Misi Pelestarian Lingkungan

Indonesia adalah negara dengan populasi umat Muslim terbesar kedua di dunia, setelah Pakistan. Terdapat lebih dari 230 juta penduduk Muslim di Indonesia, yang setara dengan 87,2% dari keseluruhan populasi. Namun, di saat yang sama, Indonesia menempati peringkat kelima sebagai negara penghasil sampah terbesar di dunia, ketiga sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di laut, dan kesepuluh sebagai negara paling berpolusi di dunia. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi?

Islam dikenal sebagai agama yang bersih, yang menekankan nilai-nilai menjaga lingkungan serta menolak segala praktik yang merusak alam. Mengapa permasalahan lingkungan justru muncul dari negara yang hampir 88% populasinya beragama Islam? Ini jelas bertolak belakang dan “tidak masuk akal.” Seharusnya, Indonesia menjadi salah satu negara paling bersih, ramah lingkungan, dan bebas polusi.

Visi Kekhalifahan

Terdapat satu visi utama mengenai tujuan diciptakannya manusia. Hal ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan mensucikan-Mu?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'” (QS. Al-Baqarah: 30)

Ayat ini dengan jelas menyebutkan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi. “Khalifah fi al-Ardh” merujuk pada makna sebagai wakil Tuhan di bumi. Sebagai wakil Tuhan, manusia diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan Tuhan, yang menciptakan, merawat, memelihara, dan melestarikan alam serta segala isinya.

Ayat ini juga mengandung amanat bahwa manusia bertanggung jawab untuk memimpin dan menjaga segala sesuatu yang telah Allah titipkan, termasuk alam. Allah menciptakan alam dan seisinya untuk kemaslahatan manusia. Sebagai manusia, kita memiliki kewajiban untuk menjaga dan merawat apa yang telah Allah berikan demi kelangsungan hidup. Tuntutan menjadi pemimpin yang bijaksana dan memegang amanah harus dipegang teguh, bukan malah menjadi pemimpin yang serakah, rakus, dan sombong.

Pelestarian Lingkungan

Konsep menjaga alam dan lingkungan sejatinya sesuai dengan cara bermuamalah yang diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Islam, terdapat tiga ajaran utama dalam bermuamalah, yaitu hablumminallah (hubungan manusia dengan Tuhan), hablumminannaas (hubungan manusia dengan manusia), dan hablumminalalam (hubungan manusia dengan alam). Sayangnya, masyarakat kita cenderung hanya fokus pada poin pertama dan kedua, sementara poin ketiga seringkali terabaikan.

Kesenjangan ini menyebabkan adanya ketidakselarasan antara ajaran agama dan praktik kehidupan sehari-hari. Ketika umat Muslim di Indonesia tidak menjalankan tanggung jawab lingkungan seperti yang diperintahkan dalam Al-Qur’an, maka ajaran mengenai hablumminalalam tidak diterapkan dengan baik. Ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari iman dan ibadah masih kurang.

Dengan pemahaman bahwa menjaga lingkungan adalah bentuk ibadah dan tanggung jawab khalifah, seharusnya Indonesia bisa menjadi contoh dalam pelestarian alam. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengintegrasikan ajaran agama yang kaya akan nilai-nilai keberlanjutan lingkungan ke dalam kesadaran dan perilaku sehari-hari masyarakat.

Tanpa kesadaran ini, nilai-nilai lingkungan dalam Islam hanya akan menjadi retorika tanpa aksi nyata. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih serius untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya menjaga alam, baik melalui pendekatan agama, kebijakan pemerintah, maupun gerakan sosial yang lebih luas.