Pos

Menelaah Ragam ‘Suara’ dalam Al-Quran

Akhir-akhir ini, kita dihebohkan dengan aneka suara. Ada suara sound horeg yang memekikkan telinga bahkan menghancurkan kehidupan. Meski fatwa ulama sudah mengharamkan, ada seribu pembenaran untuk membolehkan.

Ada pula suara musik yang ditarik pajak royalti. Memang, sebagai sebuah karya seni, sudah selayaknya diapresiasi. Tapi apresiasi juga perlu dilakukan dengan transparansi regulasi.

Ada lagi suara tangisan rakyat yang rekeningnya diblokir. Padahal memang tidak ada transaksi, karena uangnya yang kosong. Alih-alih memberikan pekerjaan bagi pengangguran, justru rekening yang nganggur yang diberikan ‘perhatian’. Duh, Gusti.

Dari semua kasus itu, ada satu benang merah yang menghubungkannya: suara. Ada suara yang tak layak didengar. Ada yang bisa dinikmati dengan bayaran. Ada pula yang menjerit tak didengarkan.

Suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia. Demikian makna yang diuraikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Suara adalah kemampuan dasar manusia. Sejak awal manusia mengenal dunia, suara tangisanlah yang menjadi penanda bahwa sang bayi siap menjalani kehidupan. Dari suara, manusia menuturkan cerita. Kata Yuval Harari, manusia adalah makhluk pencerita. Kemampuan dasar kita, menyebarkan narasi.

Al-Quran yang diyakini oleh umat Islam pun merupakan suara Tuhan atau sering disebut kalamullah. Ulama teolog masa lampau sudah banyak berdebat apakah kalam Tuhan itu adalah entitas sendiri atau menyatu dalam zat Ilahi. Tulisan ini tak akan mengungkit kembali perdebatan klasik itu. Poinnya adalah bahwa kitab suci pun bagian dari suara Ilahi yang disampaikan para nabi. Bahkan suara jenis ini diimani sebagai otoritas tertinggi kebenaran.

Sayangnya, sebagaimana kata Imam Ali, “Wa hadza al-Qur’an innama huwa khatthun masthur baina daffatain, la yanthiqu. Innama yatakallamu bihi al-rijal”, Al-Qur’an  adalah teks tertulis yang diapit dua sampul. Al-Qur’an tidak dapat berbicara. Manusialah yang berbicara melaluinya.”

Jadi, meskipun Al-Quran itu kalamullah, tetapi kebenarannya perlu disuarakan oleh umat Islam. Tanpa disuarakan, Al-Quran hanya berupa lembaran yang tak mampu membebaskan. Dalam konteks ini juga, menyoroti berbagai suara-suara bising yang akhir-akhir ini mencuat, kita dapat mengambil pelajaran dari Al-Quran.

Dalam bahasa Arab, kata suara disebut shaut, dengan bentuk jamak al-ashwat. Dengan menggunakan dua redaksi tersebut, ditemukan empat ayat yang membahasnya.

Janji Manis dan Tipu Daya

Dalam Al-Quran surah al-Isra` ayat 64, Allah Swt berfirman:

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَاَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِ وَعِدْهُمْۗ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطٰنُ اِلَّا غُرُوْرًا

Perdayakanlah (wahai Iblis) siapa saja di antara mereka yang engkau sanggup dengan ajakanmu. Kerahkanlah pasukanmu yang berkuda dan yang berjalan kaki terhadap mereka. Bersekutulah dengan mereka dalam harta dan anak-anak, lalu berilah janji kepada mereka.” Setan itu hanya menjanjikan tipuan belaka kepada mereka.

Dalam ayat ini, Allah Swt menyandingkan kata shaut dengan karakter iblis yang suka memberikan janji manis dan tipu daya kepada manusia. Ayat tersebut memberikan kebebasan kepada iblis untuk membujuk dan menggoda keimanan manusia.

Keseluruhan ayat tersebut berbicara tentang rasa ingkar sekaligus sombong iblis kepada Tuhan ketika diperintah sujud menghormati Adam. Mereka menolak dengan angkuh. Lantas Allah pun mengusir mereka dari surga dan mempersilakan iblis untuk mencari kawan di neraka. Kawannya adalah mereka yang terperdaya dengan bujukannya selama hidup di dunia.

Realitasnya, kita menyaksikan iblis berhasil menggoda banyak manusia. Mereka yang punya tabiat sama dengan iblis, yaitu pandai mengeluarkan janji manis. Betapa sering kita mendengar janji para pemimpin setiap lima tahun, tetapi begitu terpilih tiba-tiba amnesia berjamaah.

Suara Bising Tak Bermanfaat

Selain janji manis, dalam ayat lain Allah Swt memberikan ilustrasi seburuk-buruk suara adalah suara keledai. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Luqman ayat 19:

وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ ࣖ

“Berlakulah wajar dalam berjalan dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Imam Mujahid memahami ilustrasi suara keledai itu sebagai simbol suara yang jelek sekali. Maka orang yang bersuara keras, menghardik-hardik, sampai seperti akan pecah kerongkongannya, suaranya jadi terbalik, menyerupai suara keledai, tidak enak didengar.

Dalam konteks ini juga, suara keledai bisa dianalogikan dengan suara yang memekikkan telinga sampai dapat menghancurkan pendengaran seperti penggunaan sound horeg.

Suara Ketundukan dan Kasih Sayang

Selain suara yang menyesatkan dan menyakitkan, ada pula jenis suara yang menenteramkan. Sebagaimana firman Allah dalam surah Thaha ayat 108:

يَوْمَىِٕذٍ يَّتَّبِعُوْنَ الدَّاعِيَ لَا عِوَجَ لَهٗ ۚوَخَشَعَتِ الْاَصْوَاتُ لِلرَّحْمٰنِ فَلَا تَسْمَعُ اِلَّا هَمْسًا

Pada hari itu mereka mengikuti (panggilan) penyeru (Israfil) tanpa berbelok-belok. Semua suara tunduk merendah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga yang kamu dengar hanyalah bisik-bisik.

Ayat ini menggambarkan fenomena akhir zaman ketika semua makhluk menghadap Tuhan dengan suara penuh ketundukan dan mengharap pertolongan. Inilah suara hati nurani yang jauh dari tipu daya dan bualan belaka. Jika di dunia banyak orang yang mengobral janji, maka obralan itu semua dipertanggungjawabkan saat itu.

Kala itu, tak ada lagi suara kebohongan dan kepalsuan, yang ada hanyalah kebenaran. Suara inilah yang seharusnya dirawat sejak masih hidup di dunia. Alih-alih menebar suara ketakutan, kebencian, kesengsaraan, yang diperlukan adalah suara persatuan, kemanusiaan dan keadilan.

“Giving voice to the voiceless”, memberikan ruang kepada mereka yang tak kuasa bersuara. Ada banyak rintihan yang tak terdengar atau memang dibungkam dengan kasar. Spirit agama seharusnya memberikan suara kepada mereka.

Di sinilah relevansi penuturan Imam Ali di atas menemukan konteksnya. Kitab suci harus disuarakan untuk menolong mereka yang lemah dan dilemahkan. Dan orang yang pertama kali membunyikan kalam Ilahi adalah para nabi dan rasul pembawa risalah.

Suara Kenabian

Dalam awal surah al-Hujurat, Allah menegaskan satu kaidah dalam berinteraksi dengan Nabi sekaligus meneruskan suara kenabian sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْٓا اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَهٗ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَالُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah meninggikan suaramu melebihi suara Nabi dan janganlah berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain. Hal itu dikhawatirkan akan membuat (pahala) segala amalmu terhapus, sedangkan kamu tidak menyadarinya.

Ayat tersebut mempunyai dua makna sekaligus berkaitan dengan suara. Pertama, secara zahir, ayat tersebut menegaskan adab dalam bersuara. Etikanya, berbicara dengan orang lain harus memperhatikan intonasinya, apalagi kepada yang lebih tua. Tekanan suara bisa memberikan makna yang berbeda. Sama-sama mengucapkan kata “itu anjing” dengan penekanan yang berbeda, menghasilkan makna yang beragam pula. Bisa berarti umpatan, bisa juga pemberitahuan. Semua tergantung pada intonasi.

Kedua, secara makna, ayat itu bisa dipahami sebagai larangan menyelisihi suara kenabian. Apa yang disampaikan oleh Nabi harus ditaati dan diikuti, bukan justru dilanggar dengan suara lantang dan sikap yang sombong. Ketika Nabi sepanjang hidupnya lebih banyak berinteraksi dengan kelompok al-mustadh’afin, mereka yang tak mampu bersuara, maka sebagai umat Nabi, kita perlu melanjutkan akhlak beliau.

Setidaknya, ketika kita tidak mampu memberikan ruang kepada kelompok tertindas, jangan justru bersahabat dengan para penindas. Ini jelas melukai hati Nabi.

Suara Hati

Inilah pentingnya memahami suara hati. Ia memang tidak terucap dalam verbal, tetapi menghunjam dalam kalbu. Sebagai manusia, Tuhan telah memberikan potensi suara hati. Apa itu suara hati? Nabi Saw pernah memberikan nasihat kepada sahabatnya yang bernama Wabishah. “Istafti qalbak, mintalah fatwa pada hatimu, karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan guncang dadamu.”

Inilah suara hati, meskipun orang bisa berbohong dalam lisannya, tetapi hati kecilnya pasti mengingkari. Sayangnya, suara hati itu tersembunyi, tak dapat didengar kecuali oleh mereka yang masih punya hati.

Prahara Sound Horeg

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa terbaru tentang penggunaan sound horeg. Fatwa ini mengundang pro-kontra di masyarakat, mengingat sound horeg sudah mentradisi dan kadung dianggap bagian dari hiburan rakyat. Tak hanya menghadirkan musik yang menggelegar dan menggetarkan (horeg), sound horeg biasanya dibarengi dengan pesta dan hiburan rakyat, seperti karnaval, perayaan hari-hari besar, pesta perkawinan, dll.

Artikel pendek ini akan mencoba menjelaskan dari sudut pandang keagamaan, mengapa MUI Jawa Timur menghukumi haram?

Ditilik dari sisi kebahasaan, “sound horeg” merupakan gabungan dari bahasa Inggris dan Jawa. Sound artinya suara, sedangkan horeg artinya bergetar. Dalam kamus Jawa-Indonesia (KBJI) yang diterbitkan Kemendikbud, horeg artinya bergerak atau bergetar. Horeg juga berasal dari Jawa kuno yang berarti gampa atau berguncang. Sound horeg merupakan sebuah fenomena di masyarakat yang memanfaatkan alat penghasil suara (sound system) dengan volume tinggi (DetikJateng, 18/08).

MUI Jawa Timur mengaku mengeluarkan fatwa ini berdasarkan permintaan dari masyarakat yang merasa risih dan terganggu oleh fenomena sound horeg. Suara yang dikeluarkannya dianggap mengganggu “ketertiban umum”, menimbulkan kebisingan dan polusi suara. Sebagaimana namanya, sound horeg menimbulkan “kegaduhan” dan “guncangan” di masyarakat.

Hal yang menarik buat saya, fatwa MUI tentang keharaman sound horeg ini bukan berangkat dari hukum mendengarkan dan memainkan alat-alat musik, sebagaimana disinggung ulama-ulama klasik. MUI menggunakan pendekatan saintifik sebagai pijakan dan dasar hukum.

MUI mengakui bahwa fenomena sound horeg ini tak sepenuhnya negatif, melainkan mengandung sisi positif, salah satunya membawa dampak ekonomi bagi masyarakat. Manfaat itu bukan saja kembali kepada pemilik sound horeg, tetapi juga bagi masyarakat sekitar melalui kegiatan perdagangan. Namun, MUI menimbang bahwa terkadang mudaratnya lebih besar dibanding manfaatnya.

Fatwa MUI merujuk pada Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang ambang batas kebisingan yang aman buat manusia, yaitu tidak melebihi 85 desibel (dB) untuk durasi maksimal 8 jam. Sementara menurut penelitian yang dilakukan MUI di sejumlah daerah, suara yang dihasilkan sound horeg bisa menembus 120-135 desibel. Jika terpapar terlalu lama bisa membahayakan kesehatan.

Sebelum menentukan status hukum sound horeg ini, MUI menghadirkan pakar di bidang spesialisas Tenggorokan Hidung Telinga (THT) dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya, yaitu Nyilo Purnami. Menurutnya, intensitas kebisingan dari besaran desibel harus memperhatikan batas paparan, seperti 85 dB selama 8 jam/hari, 88 dB selama 4 jam/hari, 91 dB selama 2 jam/hari, dan seterusnya. Semakin besar desibel maka semakin pendek toleransinya bagi pendengaran manusia.

Berdasarkan temuan medis mengungkapkan bahwa kebisingan di luar batas toleransi dapat menimbulkan penyakit kardiovaskular, gangguan kognitif, gangguan tidur, tinitus dan mengganggu secara sosial. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang kemudian dijadikan landasan dalam menghukumi sound horeg.

Oleh karena itu, setelah melakukan tabayyun secara menyeluruh, MUI mengeluarkan beberapa pertimbangan hukum. Pertama, pemanfaatan teknologi audio digital seperti penggunaan sound horeg untuk kegiatan sosial dan kebudayaan diperbolehkan selagi tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-undang dan tidak menyalahi hukum syariat.

Kedua, setiap individu memiliki hak berekspresi selama tidak melanggar dan mengganggu hak orang lain. Ketiga, penggunaan sound horeg yang melebihi batas toleransi bagi kesehatan pendengaran, sehingga mengganggu dan membahayakan kesehatan, merusak fasilitas umum atau barang milik orang lain, atau dibarengi dengan kemaksiatan dan kemungkaran, maka hukumnya haram. Keempat, penggunaan sound horeg dalam batas kewajaran untuk kegiatan positif, seperti pesta pernikahan, pangajian atau selawatan, hukumnya diperbolehkan.

Yang perlu dicatat di sini bahwa MUI tak menghukumi haram secara mutlak. Sound horeg selama digunakan secara wajar (tingkat kebisingannya tak melebihi batas toleransi) dan memperhatikan nilai-nilai dan etika sosial, maka diperbolehkan. Yang dilarang (haram) adalah sound horeg yang melebihi batas, seperti membahayakan kesehatan, merusak nilai-nilai sosial, mengganggu ketertiban umum, menimbulkan polusi suara, dll.

Dalam Al-Quran, Allah SWT mewanti-wanti kepada umat manusia untuk tidak membuat kerusakan dan diminta untuk berbuat baik (QS. al-Baqarah:195), tidak menyakiti orang lain (QS al-Ahzab:58), menaati segala perintah Allah dan rasul-Nya (QS. al-Hasyr:74), dan tidak mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan (QS. al-Baqarah:42).

Di samping itu, Nabi Muhammad SAW berkali-kali mengatakan kepada sahabat-sahabatnya untuk menghindari kerusakan (mudarat) dan berbuat baik kepada sesama manusia. Sebagaimana hadis yang sangat populer yang diriwayatkan Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Tabrani bahwa Nabi Muhammad SAW mengatakan: “Jangan menyakiti diri sendiri dan orang lain”.

Dalam kesempatan lain, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW berkata: “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslim selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.”

Jangankan suara sound horeg, dalam Hasyiah alSyarqawi dan I’anatu al-Thalibin disebutkan bahwa haram hukumnya mengeraskan bacaan salat apabila berpotensi mengganggu orang lain, semisal salat di dekat orang yang sedang tertidur pulas. Saya pikir ulama kita sejak dulu masih tetap konsisten soal ini.