Seyyed Hossein Nasr dan Seruan untuk Taubat Ekologis
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-Rum: 41)
Ayat tersebut terdengar seperti gema masa kini. Setiap kali kita membaca berita tentang banjir yang menenggelamkan rumah, kebakaran hutan yang menutupi langit dengan asap, atau laut yang dipenuhi limbah, seolah-olah Al-Qur’an sedang berbicara langsung kepada kita. Bahwa alam memberi tanda, dan manusia diajak untuk menyadari kerusakan yang terjadi bukan tanpa sebab, ia lahir dari tangan kita sendiri, tangan manusia.
Singkatnya, bumi yang rusak adalah cermin dari manusia yang kehilangan arah. Dan di balik krisis ekologis yang kita hadapi, sesungguhnya ada krisis yang lebih dalam yakni krisis spiritual. Filsuf muslim asal Iran, Seyyed Hossein Nasr, sejak lama sudah banyak menulis bahwa akar dari bencana lingkungan bukan sekadar salah urus sumber daya, melainkan perubahan cara pandang manusia terhadap alam. Karena dalam peradaban modern, alam tak lagi dipahami sebagai makhluk hidup, melainkan benda mati yang bisa dieksploitasi. Alam dijadikan objek, sementara manusia menempatkan diri sebagai penguasa.
Manusia telah belajar bagaimana menaklukkan gunung, membendung sungai, membelah bumi untuk tambang, dan mengubah udara menjadi energi. Manusia juga tahu bagaimana memecah atom, tapi lupa bagaimana mendengarkan suara hujan. Menurut Nasr, disitulah letak akar malapetaka modern, ia menyebutnya sebagai “desakralisasi alam” atau hilangnya kesadaran bahwa alam ini suci, bahwa ia adalah tanda-tanda Tuhan yang terbentang.
Menurutnya, ketika alam kehilangan kesuciannya di mata manusia, relasi spiritual yang harusnya terjalin menjadi runtuh. Manusia merasa terpisah dari alam dan karena itu, merasa berhak menguasai dan mengeksploitasinya. Padahal, dalam pandangan Islam, manusia bukan penguasa mutlak. Al-Qur’an menyebut manusia sebagai khalifah fil ardh, sebagai wakil Tuhan di bumi. Tapi sesungguhnya, wakil bukan berarti penguasa, ia justru pemegang amanah untuk menjaga keseimbangan dan keadilan di muka bumi, bukan merusaknya.
Dalam pandangan Islam, alam juga makhluk Tuhan yang hidup. Pohon, air, tanah, bahkan batu, semuanya bertasbih dengan caranya masing-masing. Maka ketika manusia menebang hutan sembarangan, mencemari air, atau menutup tanah dengan beton, sesungguhnya ia sedang menindas makhluk-makhluk yang turut berzikir kepada Tuhan. Dan ketika itu terjadi, keseimbangan kosmis pun turut terganggu.
Jadi krisis lingkungan yang kita lihat hari ini: banjir, kekeringan, pencemaran, perubahan iklim bukan hanya gejala alam, melainkan juga gejala spiritual. Dalam titik tertentu, ia adalah refleksi dari batin manusia yang kehilangan kesadaran tentang tempatnya di alam semesta. Menurut Nasr, manusia modern telah menjadikan dirinya sebagai pusat dari segala hal, fenomena itu ia sebut sebagai antroposentrisme sekuler, ketika dunia dilihat hanya dari kacamata manusia, sementara Tuhan dan alam disingkirkan ke pinggir.
Nasr tidak berhenti pada kritik saja. Ia menawarkan jalan keluar dengan membangun kembali sains dan pengetahuan di atas dasar spiritualitas. Ia menyebutnya sebagai “sains sakral” atau ilmu yang tidak hanya mencari tahu bagaimana alam bekerja, tapi juga mengapa ia ada. Dalam sains sakral, pengetahuan tidak terlepas dari makna dan peneliti bukan pengendali, tetapi penafsir tanda-tanda Tuhan.
Alam tidak dipelajari untuk dieksploitasi, melainkan untuk dikenali dan dihormati.
Melalui pandangan itu, menjaga lingkungan bukan urusan aktivisme belaka, melainkan bagian dari ibadah. Bahkan dalam titik tertentu, merawat bumi adalah cara manusia menegakkan tauhid di dunia fisik. Misalnya, Ketika seseorang menanam pohon, menghemat air, atau menolak keserakahan industri, ia sejatinya sedang menjalankan peran spiritualnya sebagai khalifah.
Bahkan Nasr menyebut bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Jika kiamat datang sementara di tanganmu ada benih, maka tanamlah.” Pesan nabi sederhana, bahkan ketika dunia akan berakhir, manusia tetap diperintahkan menanam, karena menanam adalah bentuk harapan, bentuk cinta, dan bentuk kesetiaan kepada Tuhan.
Nasr juga melihat bahwa tobat ekologis adalah kunci penyembuhan bumi. Bahwa maksud kembali ke jalan yang benar, bukan hanya berarti berhenti merusak lingkungan secara fisik, tetapi juga memulihkan hubungan batin antara manusia, alam, dan Tuhan. Taubat ekologis berarti kembali melihat alam dengan mata yang suci, dengan kesadaran bahwa semua yang ada di bumi ini memiliki ruh dan makna.
Ketika hati manusia dipenuhi rasa cukup, bukan keserakahan, maka pola hidupnya pun berubah. Ia tidak akan mengambil lebih dari yang dibutuhkan dan akan menjaganya karena merasa terhubung. Krisis ekologis, dengan demikian, bukanlah sekadar persoalan lingkungan, tapi panggilan untuk memperbarui iman, untuk menghidupkan kembali kesadaran bahwa segala sesuatu di alam ini adalah tanda kasih Tuhan.
Kita sering mencari Tuhan di tempat-tempat suci, di masjid, mihrab, kitab, dan doa. Tapi mungkin, sebagaimana diingatkan Nasr, Tuhan juga menunggu kita di tempat yang paling dekat: di daun yang gugur, di aliran air sungai, di aroma tanah setelah hujan. Krisis lingkungan bisa menjadi panggilan bagi manusia untuk menemukan Tuhan di balik ciptaan-Nya.
Pada akhirnya, menyelamatkan bumi berarti menyelamatkan diri sendiri dari keterasingan. Karena ketika manusia kehilangan hubungan dengan bumi, ia juga kehilangan hubungan dengan Penciptanya. Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, bumi tidak butuh diselamatkan dari manusia, melainkan manusialah yang butuh diselamatkan dari dirinya sendiri. Bagaimanapun bumi masih berputar, masih menumbuhkan pohon, masih menurunkan hujan. Justru yang perlu disembuhkan adalah cara kita memandangnya.
*Tulisan ini merupakan ringkasan dari penelitian skripsi di Program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir berjudul “Konsep Ekologi Islam dalam Q.S Ar-Rum ayat 41 Studi atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr”

