Pos

Menyuarakan Kekerasan Sistemik, Kekerasan yang Tidak Berisik

Beberapa tahun lalu, sebagai seorang guru yang turut terlibat di acara Wisuda Santri, meski bukan sebagai orang yang berdiri di atas panggung aku wara-wiri memastikan acara berjalan lancar karena bertugas sebagai pelatih MC. Mengarahkan ke sana-sini sampai kemudian aku baru sadar satu hal janggal, bahwa saat pemanggilan ulang nama-nama santri berprestasi yang diwisuda, yang disebut hanyalah nama seorang ayah.

Mengapa Hanya Nama Ayah?

Saat aku klarifikasi mengapa hanya nama ayah yang ditampilkan, santri menjawab bahwa itu instruksi dari pimpinan lembaga mengingat bahwa hanya nama ayah yang disebut dalam panggilan bin atau binti.

Dengan cepat aku bertanya dan memastikan apakah semua santri yang disebut namanya sebagai santri berprestasi hadir di lapangan sekarang saat geladi latihan terakhir sebelum acara benar-benar dimulai, ketiga MC yang berada dalam latihan segera mengangguk, dan aku langsung meminta mereka mengumpulkan anak-anak yang namanya tertulis dalam daftar tersebut dan menanyai nama ibu mereka satu per satu agar dibacakan juga saat pemanggilan ke atas panggung.

Mungkin terkesan ribet, tapi aku tahu bahwa itu adalah hari penting bagi seorang anak, dan tak boleh hanya nama ayah yang dicantumkan.

Sebagai seorang perempuan yang sudah punya anak, aku akan sangat sedih jika aku berada di posisi seorang ibu yang namanya sendiri bahkan tak disebut saat kelulusan anakku, padahal akulah yang membesarkan, mendidiknya penuh cinta, dan bahkan aku yang lebih banyak terlibat turun tangan memperhatikan pendidikannya.

Cerita dari Ibuku

Ini bukan pertama kali.

Ibuku yang seorang guru pun mengalami hal serupa. Pernah suatu ketika ibuku bercerita tentang anak yang tiba-tiba mencoret-coret berkas rapornya sesaat setelah dibagikan, yang kemudian ditanya oleh pihak sekolah mengapa ia melakukan itu. Ia menjawab dengan kesal karena yang dicantumkan adalah nama ayahnya.

Belakangan ibuku tahu bahwa ternyata, sang ayah adalah orang yang tak diketahui rimbanya, tak pernah bertanggung jawab atas dia, bahkan ia sendiri tak pernah ingin mengenal ayahnya karena pengabaian pengasuhan itu. Sedangkan ibunya yang selama ini berjuang sendiri dan bekerja mati-matian untuk membiayai pendidikan dan hidupnya, tak ditulis sama sekali. Dan ayah sambungnya, yang sangat menyayangi dan punya banyak kontribusi dalam kehidupannya juga tak boleh dicantumkan dalam berkas pendidikannya.

Luka yang Berulang di Banyak Cerita

Ini bukan pertama kali.

Film Pangku baru-baru ini yang disutradarai oleh Reza Rahadian juga mengulik sedikit luka itu melalui scene di mana Sartika sebagai ibu tunggal yang terus berjuang untuk bertahan hidup dengan menjadi perempuan yang bekerja di warung kopi pangku, duduk di hadapan pihak sekolah dan mendapatkan kalimat: “karena cuma nama bapak yang dicantumkan di ijazah.”

Perempuan dan Perjuangan yang Tak Diakui

Ini bukan pertama kali.

Aku sering melihat perempuan berjuang sendirian setelah menjadi ibu tunggal, entah karena perceraian atau kematian. Setelah banyak perjuangan yang dilakukannya, lagi-lagi hanya nama ayah yang disebutkan pada momen kelulusan anak.

Tanpa kita sadar ini adalah kekerasan sistemik yang telah di-setting dan diterima bertahun-tahun dan tentu saja meninggalkan luka yang besar bagi perempuan. Luka yang berjalan lindap dan tidak kita sadari hanya karena telah menjadi kebiasaan.

Ada banyak orang yang tidak menyadari bahwa aturan administrasi semacam itu sangat mungkin menimbulkan luka sosial. Tak perlu dinafikan, kita semua tahu bahwa perempuan—dalam hal ini ibu, adalah orang yang justru bertindak sebagai sosok primer yang turun tangan langsung dalam pengasuhan anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, begadang, mengantar ke sekolah, hingga merawat saat sakit. Bukan berarti tak ada ayah yang terlibat, tapi proporsinya jelas berbeda.

Luka Berlapis bagi Ibu Tunggal

Mirisnya, bagi ibu tunggal, luka ini menjadi berlapis-lapis. Selain stigma “janda”, mereka dipaksa mengisi formulir yang meminta nama laki-laki yang mungkin tidak hadir, tidak diketahui rimbanya, atau bahkan pernah menyakiti mereka.

Di sinilah kita harus sadar bahwa administrasi bisa berubah menjadi kekerasan yang tidak tampak secara fisik, tapi menimbulkan jejak sangat traumatis.

Pencantuman nama ayah dalam administrasi menempatkan seakan-akan garis keturunan hanya punya satu arah. Seolah-olah kontribusi perempuan selama ini membesarkan anak tidak cukup penting untuk dianggap sebagai dasar identitas. Dan mungkin, kita juga tidak sadar bahwa nilai-nilai patriarki ini sering kali telah mengendap dan bekerja dalam senyap di dalam aturan-aturan yang kita anggap sebagai standar prosedur atau kebiasaan yang memang “sedari dulu begitu.”

Akar Kekerasan Sistemik

Akar kekerasan sistemik tumbuh lahir dari hal-hal semacam ini yaitu kebiasaan yang tidak pernah kita pertanyakan secara kritis. Kekerasan sistemik ini kemudian hadir menjadi kekerasan simbolik yang justru mengikis martabat perempuan.

Dengan hanya mencantumkan nama ayah di dalam dokumen negara seakan-akan memberi pesan atau sinyal bahwa kehadiran Ibu sebenarnya tidak sepenting itu. Sebuah hal yang sangat bertentangan dengan kondisi langsung di lapangan.

Kita tahu siapa yang paling sering mengurus pendidikan anak—tentu saja, perempuan. Tapi ironisnya, nama mereka justru hilang dari dokumen-dokumen resmi.

Fenomena-fenomena semacam itu semakin menguatkan kita bahwa ada banyak sekali kekerasan yang hadir di ruang-ruang masyarakat, mulai dari agama, pendidikan, dan rumah tangga, yang semuanya bisa mendiskriminasi perempuan dengan alasan yang tak masuk logika.

Perempuan yang telah bertarung dalam banyak hal masih harus menghadapi kekerasan sistemik yang menghapus perannya dalam dokumen pendidikan anak.

Kekerasan yang Lindap, Senyap, dan Harus Disuarakan

Kita sering membayangkan bahwa kekerasan itu sesuatu yang meninggalkan luka seperti lebam, ucapan-ucapan kasar, atau tindakan-tindakan membahayakan. Sampai kita sering lupa bahwa kekerasan juga sangat mungkin hadir dalam bentuk yang lindap, senyap, tidak berisik, tapi menyakitkan.

Jelang 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, mungkin ini salah satu yang sangat penting kita suarakan, bahwa menyoroti kekerasan terhadap perempuan sering kali tidak harus dalam bentuk melihat luka-luka lebam yang muncul di permukaan, tapi juga meneliti lebih jauh tentang bagaimana luka-luka psikologis, luka-luka yang bergerak dalam senyap, sangat berpotensi mendiskriminasi perempuan melalui penghapusan kebenaran tentang siapa yang sebenarnya membesarkan anak-anak bangsa.

Ijazah Jokowi dan Potret Pendidikan Kita

Polemik Ijazah Jokowi tak kunjung selesai. Meskipun pihak kepolisian sudah menghentikan kasus ini, namun orang-orang yang tak puas dan selama ini menggugat keaslian Ijazah Jokowi, tetap bersikukuh menolak dan menuntut dilanjutkan.

Ijazah merupakan “penanda” seseorang pernah menempuh pendidikan di institusi pendidikan tertentu, tetapi belum tentu sepenuhnya mewakili kompetensi dan keilmuan dari lembaga tersebut. Di Indonesia untuk menjadi sarjana atau mendapat gelar akademik (embel-embel di depan atau di belakang nama), sebetulnya sangat mudah. Anda tinggal mengikuti sejumlah mata kuliah dalam jumlah tertentu dan menyelesaikan tugas akhir (skripsi, tesis, atau disertasi).

Selama proses menghabiskan mata kuliah itu, Anda cukup mendengarkan dosen menyampaikan materi kuliah dan menyelesaikan tugas-tugasnya. Semakin rajin mendengar ceramah dosen (3D: duduk, dengar dan diam), biasanya Anda akan mendapat nilai bagus.

Untuk menyusun tugas akhir, Anda cukup membeli atau mencari buku-buku di perpustakaan sesuai penelitian dan mengolah data-data dalam buku tersebut dalam satu kesatuan sesuai arahan dosen pembimbing. Jangan takut, selama proses menulis tugas akhir, baik tugas lapangan maupun riset kepustakaan, Anda akan dipandu oleh beberapa dosen pembimbing. Poin yang terpenting Anda punya uang untuk membayar seluruh biaya kuliah. Selesai.

Itulah gambaran singkat bagaimana seseorang bisa meraih gelar kesarjanaan dengan sebuah ijazah kelulusan dari institusi perguruan tinggi. Tentu, ilustrasi ini bukan ingin menyimplifikasi sebuah proses pendidikan. Hanya saja, saya ingin mengatakan bahwa paradigma pendidikan kita masih memandang perguruan tinggi sebagai pabrik yang menghasilkan manusia sarjana sesuai kebutuhan dan keinginan pasar.

Manusia-manusia sarjana ini sudah dikelompok-kelompokkan berdasarkan jurusan yang ada di kampus tersebut. Akhirnya, lembaga pendidikan tidak lagi menciptakan manusia sebagai manusia, melainkan manusia yang secara khusus dipersiapkan menjadi “sekrup” dari mesin besar bernama kapitalisme. Singkatnya, kampus menciptakan tenaga kerja, mempersiapkan buruh-buruh baru yang diharapkan dapat mengisi pabrik-pabrik dan sektor-sektor industri lainnya.

Inilah yang dikritik Paulo Freire, seorang aktivis dan pendidik asal Brasil, dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas”. Menurutnya, kegagalan dunia pendidikan saat ini karena menjadikan murid sebagai objek. Ia mengistilahkan sebagai pendidikan a la bank (banking education). Pendidikan model ini membayangkan murid sebagai sebuah wadah atau celengan yang setiap hari diisi pengetahuan oleh gurunya.

Kegiatan belajar mengajar di kelas bisa disederhanakan sebagai berikut: guru bercerita dan murid mendengarkan. Guru dianggap sebagai satu-satunya pemilik kebenaran. Karena itu, prestasi murid diukur berdasarkan seberapa banyak ia menerima ilmu pengetahuan dari gurunya itu yang direpresentasikan ke dalam angka. Kelemahan dari model pendidikan ini, kata Freire, menjadikan murid pasif, patuh, dan tidak kritis terhadap realitas. Freire tidak tertarik terhadap model ini karena cenderung mempertahankan status quo.

Sebagai gantinya Paulo Freire menawarkan model pendidikan partisipatif. Pendidikan partisipatif lebih mengedepankan dialog dibanding ceramah. Proses pendidikan berjalan dua arah: murid belajar dari guru, guru juga belajar dari murid. Guru dan murid sama-sama dihadapkan pada problem dan realitas kehidupan sehari-hari. Belajar dari pengalaman kongkret, mereka dituntut untuk memahami, menganalisis dan mencarikan jalan keluarnya.

Di dalam ruang kelas murid tak hanya dijejali dengan teori-teori keilmuan, mereka juga harus turun ke lapangan untuk belajar mengubah keadaan. Proses pendidikan kritis mengajari siswa untuk menggabungkan antara refleksi ‘berpikir’ dan aksi ‘bertindak praksis’.

Sebab, kata Freire, refleksi tanpa aksi akan melahirkan verbalisme, sedangkan aksi tanpa refleksi hanya akan melahirkan aktivisme. Hal yang dibutuhkan bukan hanya bagaimana memahami dunia tapi juga mengubahnya. Inilah pentingnya pendidikan. Ijazah hanyalah penanda saja.

Menalar Program ‘Makan Bergizi Gratis’ dari Perspektif Lingkungan

Memberi makan orang-orang miskin memang perbuatan terpuji yang diajarkan oleh semua agama, termasuk Islam. Tapi dalam pelaksanaan yang terpuji itu lantas harus sejalan dengan prinsip kehati-hatian (ihtiyath), keadilan (‘adl), dan tanggung jawab terhadap lingkungan (khalifah fil ardh) yang juga menjadi pilar filosofi dalam Islam. Keracunan makan bergizi gratis (MBG) adalah salah satu bentuk kelalaian pemimpin dalam tata kelola menjamin tiga pilar tersebut.

”Jadi bisa dikatakan yang keracunan, atau perutnya enggak enak itu sejumlah 200, dari 3 koma sekian juta, kalau tidak salah 0,005 (persen). Berarti keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG) 99,99 persen,” tegas Presiden Prabowo Subianto seperti ditulis kompas.com di awal bulan Mei lalu.

Klaim Prabowo Subianto terkait keberhasilan program MBG dengan mengutip angka-angka statistik (kuantitatif) itu masih sangat perlu diperbedatkan secara metodologis. Sementara dari sisi kualitatif, hak anak atas kesehatan, klaim Prabowo Subianto yang mengecilkan anak korban program MBG, juga menjadi persoalan terkait dengan hak asasi manusia (HAM).

Islam mengajarkan untuk menjaga nyawa dan kesehatan manusia (hifzhun nafs). Al-Qur’an menyatakan, ”Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah: 195). Anak-anak korban keracunan program MBG sangat penting untuk diperhatikan. Karenanya jumlah anak yang tidak keracunan menjadi satu-satunya indikator untuk mengukur keberhasilan program MBG, adalah sebuah kesalahan berfikir.

Kasus keracunan bukan satu-satunya cermin kacaunya tata kelola program MBG. Kekacauan dari tata kelola program itu juga akan nampak bila kita melihatnya dari ’kacamata’ lingkungan hidup. Program MBG terkait erat dengan persoalan pangan. Untuk mengukurnya tentu harus menggunakan perspektif sistem pangan. Seperti diungkapkan Koalisi Sistem Pangan Lestari dalam buku sakunya terkait sistem pangan, yang menyatakan bahwa dalam perspektif sistem pangan, kita akan melihat bahwa persoalan pangan tidak berdiri sendiri.

Pangan mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh elemen-elemen lain dari sistem pangan. Kesehatan adalah salah satu elemen dari sistem pangan. Elemen lainnya dari sistem pangan adalah lingkungan hidup.  Lantas, bagaimana bila program MBG dilihat dan dinalar dengan kajian lingkungan hidup?

Untuk itu, kita perlu mengetahui darimana pasokan pangan program ini akan didapatkan. Seperti ditulis detik.com, Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono sejak dilantik sudah memastikan bahwa hasil panen food estate dipakai untuk program MBG. Proyek food estate adalah pertanian skala besar yang merusak biodiversitas alam. Di Merauke, Papua Selatan, konversi lahan gambut dan hutan primer untuk proyek ini jelas termasuk dalam  fasad (kerusakan) yang dilarang. Berpotensi melepas 782,45 juta ton CO₂, setara dengan 47,73 triliun rupiah kerugian karbon. Angka ini dua kali lipat dari emisi tahunan sektor energi Indonesia (386 juta ton CO₂ pada 2023), sekaligus mengancam target Net Zero 2050 dengan memperlambat pencapaian 5-10 tahun.

Deforestasi masif tidak hanya merusak habitat endemik Papua, tetapi juga memicu bencana ekologis berantai: kebakaran lahan gambut di musim kemarau, banjir bandang saat hujan, dan hilangnya keanekaragaman hayati yang menjadi penopang ekosistem. Padahal Islam dalam filosofinya mengajarkan bahwa semua makhluk adalah umat Allah yang berhak dilindungi (QS. Al-An’am: 38).

Dampak sosial-ekonomi dari integrasi MBG-food estate tidak kalah meresahkan. Marginalisasi kaum petani lokal terlihat dari alih fungsi 85.000 hektar lahan adat di Kalimantan Tengah untuk proyek serupa, yang justru menggeser pola pertanian subsisten berbasis kearifan lokal. Bukan hanya dari pasokan bahan pangannya, program MBG juga bisa dinilai dari seberapa besar sampah pangan yang dihasilkannya.

Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) seperti ditulis tempo.co, mengungkapkan bahwa dengan asumsi setiap siswa menghasilkan sampah makanan sebesar 50-100 gram per hari, potensi timbulan dapat mencapai 2.400 ton/hari atau 624 ribu ton/tahun. Filosofi Islam sangat melarang israf (berlebihan) dan pemborosan. Allah SWT berfirman, “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebihan” (QS. Al-A’raf: 31). Nabi SAW juga mengingatkan, “Sesungguhnya membuang sisa makanan adalah perbuatan setan” (HR. Muslim).

Timbunan sampah itu akan semakin meningkat seiring dengan munculnya kasus keracunan akibat MBG. Makanan beracun dari program MBG dapat dipastikan menambah potensi volume sampah dari program ini. Terkait dengan itulah, untuk melihat keberhasilan dari program MBG, tidak bisa tidak, harus menggunakan ukuran-ukuran yang jelas dalam sistem pangan.

Elemen-elemen dari sistem pangan, seperti kesehatan, sistem pertanian, sampah pangan, kebijakan ekonomi-politik dan lingkungan hidup harus menjadi elemen kunci pula untuk mengukur keberhasilan MBG. Dengan ukuran-ukuran yang berasal dari elemen-elemen sistem pangan itu kita bisa melihat persoalan MBG secara utuh bukan parsial. Dengan melihat persoalan MBG secara utuh itu, maka beberapa perbaikan program ini dapat diambil secara tepat sasaran.

Persoalan pangan adalah persoalan krusial bagi masyarakat. Program terkait pangan, termasuk MBG ini tidak bisa dilakukan secara serampangan. Untuk menghindarinya, monitoring dan evaluasi dari program ini harus menggunakan parameter yang tepat, seperti sistem pangan, bukan klaim-klaim keberhasilan sepihak tanpa dasar.

Pendidikan Merosot, Salah Siapa?

Kemerosotan pendidikan di bumi pertiwi sudah menjadi sorotan sejak lama. Namun, semakin ke sini semakin tampak keburukannya. Mulai dari siswa yang tidak bisa baca tulis (lihat di sini), tidak paham penjumlahan dan perkalian dasar, budaya joki tugas, sampai pada bullying dan kekerasan lainnya. Setidaknya yang tercatat ada 573 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2024 (lihat di sini). Satgas kekerasan yang dibentuk di sekolah pun banyak yang tidak tahu bagaimana mengatasi permasalahan tersebut. Belum lagi problem kebijakan yang gonta-ganti tiap lima tahunan. Personifikasi menteri seakan ingin menunjukkan bahwasanya negara tidak memiliki arah yang jelas terkait pendidikan anak bangsa.

Tulisan ini tidak ingin menyudutkan ataupun  membela pemerintah, apalagi mencari kambing hitam lainnya. Tulisan pendek ini akan mengajak untuk memikirkan bersama tentang permasalahan pendidikan kita.

Negara memang diamanati untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun tanggung jawab pendidikan ini bukanlah tanggung jawab pemerintah semata. Dalam mewujudkan pendidikan yang baik setidaknya ada tiga kelompok yang harus saling mendukung, saling bahu membahu untuk mewujudkan generasi yang bermartabat. Peran orang tua, masyarakat dan sekolah dalam pendidikan tidak bisa dipilih salah satunya saja. Seperti yang banyak terjadi pada saat ini. Orang tua mengandalkan sekolah, pasrah pada sekolah begitu saja tanpa ingin terlibat dalam proses perkembangan anaknya. Sekolah kualahan dan mendidik asal-asalan saja, yang penting nama baik sekolah tetap terjaga. Selebihnya masyarakat diacuhkan atau kemungkinan terburuknya sudah tidak ingin terlibat lagi dengan anak-anak sekolah.

Kita mengenal ungkapan “Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya”. Ungkapan ini mengajarkan bahwasanya pendidikan dalam keluarga amatlah penting. Untuk itu diperlukan bekal yang cukup untuk mendidik seorang anak. Ketika orang tua menyekolahkan anaknya bukan berarti tugas mendidik orang tua telah selesai. Bukankah orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengetahui kondisi anaknya karena telah memercayakannya pada sebuah lembaga atau institusi pendidikan?  Bagaimana kondisi anaknya di sana, hal-hal apa saja yang menyulitkannya, apakah anaknya sudah bisa berbaur dengan teman-teman yang lain, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan serupa. Dengan menaruh anak di sekolah, boarding school, ataupun pesantren tidak menjadikan orang tua melepaskan anaknya begitu saja.

Sekolah pada mulanya hanyalah kegiatan untuk mengisi waktu luang. Akar kata sekolah berasal dari bahasa Latin, schola yang berarti waktu senggang atau waktu luang.

Dahulu dalam tradisi Yunani, orang-orang mengisi waktu luang dengan mengunjungi suatu tempat yang di situ terdapat orang bijaksana yang dianggap banyak orang bisa menjadi tempat rujukan pertanyaan-pertanyaan. Dari sana orang-orang belajar hal-hal yang dirasa perlu diketahui. Dahulu sekolah tidak diwajibkan, tapi masyarakat memiliki kesadaran untuk mencari tahu suatu hal sehingga memanfaatkan waktu luangnya untuk mempelajari berbagai macam hal. Sekarang sekolah diwajibkan, tapi apakah yang datang ke sekolah adalah orang-orang yang berkesadaran untuk ingin mencari suatu pengetahuan?

Sekolah pada saat ini memiliki citra yang kurang begitu baik. Banyak problem yang belum terselesaikan, bahkan bertambah-tambah problemnya. Guru-guru sekolah mengeluhkan administrasi yang lebih ribet sehingga menguras waktu dan tenaga. Belum lagi honor guru yang kembang-kempis. Akreditasi yang seharusnya menjadi penjaga atau penjamin kualitas pendidikan menjelma jadi ajang cari nama belaka. Sekolah disibukkan bagaimana cara mendapatkan akreditasi unggul dan terkuras tenaganya sehingga tidak ada waktu untuk benar-benar memikirkan problem yang dihadapi anak didiknya. Banyak sekolah yang dipandang tidak ramah anak, praktik bullying yang akibat buruknya menimbulkan rasa trauma, praktik kecurangan, manipulasi, kekerasan seksual dan isu-isu lainnya.

Masyarakat tidak lagi memiliki peranan yang berarti dalam pendidikan. Sekolah menutup diri dari masyarakat. Membangun tembok tinggi-tinggi. Pendidikan hanya dipandang pekerjaan dari lembaga sekolah. Kepedualian masyarakat sebatas memberikan sumbangan semampunya kepada lembaga pendidikan yang membutuhkan. Mindset pendidikan kita menjadi sempit dan terbatas pada pendidikan formal saja. Ada yang hilang di tengah-tengah masyarakat modern saat ini, kepedulian. Kesalahan yang memalukan adalah ketika kita mulai pura-pura tidak melihat, pura-pura tidak mendengar dan mengabaikan kenyataaan. Kita pura-pura tidak melihat anak yang seharian main game, yang penting anak bisa diam di rumah. Kita pura-pura tidak melihat tetangga yang kesulitan menyekolahkan anaknya. Kita tidak peduli dana pendidikan kita apakah dipakai betul untuk pendidikan atau terjadi kebocoran di mana-mana.

Dengan banyaknya problem pendidikan yang sedang kita hadapi, bukan berarti kita patah arang untuk mengidamkan pendidikan yang baik. Masih banyak orang-orang yang sedang berjuang untuk pendidikan bersama. Banyak guru-guru yang terus berkembang dan mengupayakan pendidikan yang baik bagi para muridnya. Tidak seluruhnya kepedulian itu hilang dari masyarakat. Orang tua, masyarakat dan sekolah perlu kembali menemukan jati dirinya dalam mendidik anak-anak zamannya.

Tiga pilar utama pendidikan perlu sama-sama merumuskan ulang peranannya dalam mendidik generasi penerus bangsa. Mungkin bisa dimulai dari peran aktif orang tua yang menjadi partner dalam pendidikan anak. Orang tua bisa mulai bertanya terkait proses belajar di sekolah, kebutuhan anak, tantangan yang dihadapi anak. Orang tua tidak harus pasif dan hanya bereaksi ketika mendapat laporan atau panggilan dari sekolah. Sekolah bisa kembali pada asal mula peranannya sebagai tempat dialektika dari berbagai macam pertanyaan. Sekolah tidak menjadi tempat yang menyeramkan yang penuh kekerasan atau penghakiman. Tidak pula tempat yang menyeragamkan pemikiran, mematikan kreatifitas dengan menanamkan fixed mindset.

Pemerintah atau para menteri pendidikan perlu menurunkan ego untuk berlomba menciptakan kebijakan baru sebagai legacy. Jangan-jangan anggaran pendidikan banyak terkuras untuk proses perumusan kebijakan-kebijakan tersebut. Kebijakan yang pada akhirnya akan diganti sebelum diterapkan. Masyarakat perlu kembali menemukan ruang-ruang untuk terlibat dalam mendidik generasi berikutnya. Fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial dan juga agen pendidikan perlu menemukan format yang relevan. Orang tua, masyarakat dan sekolah perlu menjaga naluri anak untuk terus mencari dan mengeksplorasi hal-hal di sekitarnya. Sekolah dari awalnya adalah kegiatan untuk melakukan proses penemuan, bertemunya keresahan, problem dan pengetahuan-pengetahuan kehidupan.

 

Sumber bacaan refleksi

  1. Ki Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan
  2. Toto Rahardjo, Sekolah Biasa Saja
  3. Asep Sunandar, “Memotret Permasalahan Mendasar Pendidikan Indonesia”, id
  4. Hoirunnisa, “JPPI: 2024, Kekerasan di Lingkungan Pendidikan Melonjak Lebih dari 100 Persen”, id