Pos

Menyuarakan Kekerasan Sistemik, Kekerasan yang Tidak Berisik

Beberapa tahun lalu, sebagai seorang guru yang turut terlibat di acara Wisuda Santri, meski bukan sebagai orang yang berdiri di atas panggung aku wara-wiri memastikan acara berjalan lancar karena bertugas sebagai pelatih MC. Mengarahkan ke sana-sini sampai kemudian aku baru sadar satu hal janggal, bahwa saat pemanggilan ulang nama-nama santri berprestasi yang diwisuda, yang disebut hanyalah nama seorang ayah.

Mengapa Hanya Nama Ayah?

Saat aku klarifikasi mengapa hanya nama ayah yang ditampilkan, santri menjawab bahwa itu instruksi dari pimpinan lembaga mengingat bahwa hanya nama ayah yang disebut dalam panggilan bin atau binti.

Dengan cepat aku bertanya dan memastikan apakah semua santri yang disebut namanya sebagai santri berprestasi hadir di lapangan sekarang saat geladi latihan terakhir sebelum acara benar-benar dimulai, ketiga MC yang berada dalam latihan segera mengangguk, dan aku langsung meminta mereka mengumpulkan anak-anak yang namanya tertulis dalam daftar tersebut dan menanyai nama ibu mereka satu per satu agar dibacakan juga saat pemanggilan ke atas panggung.

Mungkin terkesan ribet, tapi aku tahu bahwa itu adalah hari penting bagi seorang anak, dan tak boleh hanya nama ayah yang dicantumkan.

Sebagai seorang perempuan yang sudah punya anak, aku akan sangat sedih jika aku berada di posisi seorang ibu yang namanya sendiri bahkan tak disebut saat kelulusan anakku, padahal akulah yang membesarkan, mendidiknya penuh cinta, dan bahkan aku yang lebih banyak terlibat turun tangan memperhatikan pendidikannya.

Cerita dari Ibuku

Ini bukan pertama kali.

Ibuku yang seorang guru pun mengalami hal serupa. Pernah suatu ketika ibuku bercerita tentang anak yang tiba-tiba mencoret-coret berkas rapornya sesaat setelah dibagikan, yang kemudian ditanya oleh pihak sekolah mengapa ia melakukan itu. Ia menjawab dengan kesal karena yang dicantumkan adalah nama ayahnya.

Belakangan ibuku tahu bahwa ternyata, sang ayah adalah orang yang tak diketahui rimbanya, tak pernah bertanggung jawab atas dia, bahkan ia sendiri tak pernah ingin mengenal ayahnya karena pengabaian pengasuhan itu. Sedangkan ibunya yang selama ini berjuang sendiri dan bekerja mati-matian untuk membiayai pendidikan dan hidupnya, tak ditulis sama sekali. Dan ayah sambungnya, yang sangat menyayangi dan punya banyak kontribusi dalam kehidupannya juga tak boleh dicantumkan dalam berkas pendidikannya.

Luka yang Berulang di Banyak Cerita

Ini bukan pertama kali.

Film Pangku baru-baru ini yang disutradarai oleh Reza Rahadian juga mengulik sedikit luka itu melalui scene di mana Sartika sebagai ibu tunggal yang terus berjuang untuk bertahan hidup dengan menjadi perempuan yang bekerja di warung kopi pangku, duduk di hadapan pihak sekolah dan mendapatkan kalimat: “karena cuma nama bapak yang dicantumkan di ijazah.”

Perempuan dan Perjuangan yang Tak Diakui

Ini bukan pertama kali.

Aku sering melihat perempuan berjuang sendirian setelah menjadi ibu tunggal, entah karena perceraian atau kematian. Setelah banyak perjuangan yang dilakukannya, lagi-lagi hanya nama ayah yang disebutkan pada momen kelulusan anak.

Tanpa kita sadar ini adalah kekerasan sistemik yang telah di-setting dan diterima bertahun-tahun dan tentu saja meninggalkan luka yang besar bagi perempuan. Luka yang berjalan lindap dan tidak kita sadari hanya karena telah menjadi kebiasaan.

Ada banyak orang yang tidak menyadari bahwa aturan administrasi semacam itu sangat mungkin menimbulkan luka sosial. Tak perlu dinafikan, kita semua tahu bahwa perempuan—dalam hal ini ibu, adalah orang yang justru bertindak sebagai sosok primer yang turun tangan langsung dalam pengasuhan anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, begadang, mengantar ke sekolah, hingga merawat saat sakit. Bukan berarti tak ada ayah yang terlibat, tapi proporsinya jelas berbeda.

Luka Berlapis bagi Ibu Tunggal

Mirisnya, bagi ibu tunggal, luka ini menjadi berlapis-lapis. Selain stigma “janda”, mereka dipaksa mengisi formulir yang meminta nama laki-laki yang mungkin tidak hadir, tidak diketahui rimbanya, atau bahkan pernah menyakiti mereka.

Di sinilah kita harus sadar bahwa administrasi bisa berubah menjadi kekerasan yang tidak tampak secara fisik, tapi menimbulkan jejak sangat traumatis.

Pencantuman nama ayah dalam administrasi menempatkan seakan-akan garis keturunan hanya punya satu arah. Seolah-olah kontribusi perempuan selama ini membesarkan anak tidak cukup penting untuk dianggap sebagai dasar identitas. Dan mungkin, kita juga tidak sadar bahwa nilai-nilai patriarki ini sering kali telah mengendap dan bekerja dalam senyap di dalam aturan-aturan yang kita anggap sebagai standar prosedur atau kebiasaan yang memang “sedari dulu begitu.”

Akar Kekerasan Sistemik

Akar kekerasan sistemik tumbuh lahir dari hal-hal semacam ini yaitu kebiasaan yang tidak pernah kita pertanyakan secara kritis. Kekerasan sistemik ini kemudian hadir menjadi kekerasan simbolik yang justru mengikis martabat perempuan.

Dengan hanya mencantumkan nama ayah di dalam dokumen negara seakan-akan memberi pesan atau sinyal bahwa kehadiran Ibu sebenarnya tidak sepenting itu. Sebuah hal yang sangat bertentangan dengan kondisi langsung di lapangan.

Kita tahu siapa yang paling sering mengurus pendidikan anak—tentu saja, perempuan. Tapi ironisnya, nama mereka justru hilang dari dokumen-dokumen resmi.

Fenomena-fenomena semacam itu semakin menguatkan kita bahwa ada banyak sekali kekerasan yang hadir di ruang-ruang masyarakat, mulai dari agama, pendidikan, dan rumah tangga, yang semuanya bisa mendiskriminasi perempuan dengan alasan yang tak masuk logika.

Perempuan yang telah bertarung dalam banyak hal masih harus menghadapi kekerasan sistemik yang menghapus perannya dalam dokumen pendidikan anak.

Kekerasan yang Lindap, Senyap, dan Harus Disuarakan

Kita sering membayangkan bahwa kekerasan itu sesuatu yang meninggalkan luka seperti lebam, ucapan-ucapan kasar, atau tindakan-tindakan membahayakan. Sampai kita sering lupa bahwa kekerasan juga sangat mungkin hadir dalam bentuk yang lindap, senyap, tidak berisik, tapi menyakitkan.

Jelang 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, mungkin ini salah satu yang sangat penting kita suarakan, bahwa menyoroti kekerasan terhadap perempuan sering kali tidak harus dalam bentuk melihat luka-luka lebam yang muncul di permukaan, tapi juga meneliti lebih jauh tentang bagaimana luka-luka psikologis, luka-luka yang bergerak dalam senyap, sangat berpotensi mendiskriminasi perempuan melalui penghapusan kebenaran tentang siapa yang sebenarnya membesarkan anak-anak bangsa.

Ijazah Jokowi dan Potret Pendidikan Kita

Polemik Ijazah Jokowi tak kunjung selesai. Meskipun pihak kepolisian sudah menghentikan kasus ini, namun orang-orang yang tak puas dan selama ini menggugat keaslian Ijazah Jokowi, tetap bersikukuh menolak dan menuntut dilanjutkan.

Ijazah merupakan “penanda” seseorang pernah menempuh pendidikan di institusi pendidikan tertentu, tetapi belum tentu sepenuhnya mewakili kompetensi dan keilmuan dari lembaga tersebut. Di Indonesia untuk menjadi sarjana atau mendapat gelar akademik (embel-embel di depan atau di belakang nama), sebetulnya sangat mudah. Anda tinggal mengikuti sejumlah mata kuliah dalam jumlah tertentu dan menyelesaikan tugas akhir (skripsi, tesis, atau disertasi).

Selama proses menghabiskan mata kuliah itu, Anda cukup mendengarkan dosen menyampaikan materi kuliah dan menyelesaikan tugas-tugasnya. Semakin rajin mendengar ceramah dosen (3D: duduk, dengar dan diam), biasanya Anda akan mendapat nilai bagus.

Untuk menyusun tugas akhir, Anda cukup membeli atau mencari buku-buku di perpustakaan sesuai penelitian dan mengolah data-data dalam buku tersebut dalam satu kesatuan sesuai arahan dosen pembimbing. Jangan takut, selama proses menulis tugas akhir, baik tugas lapangan maupun riset kepustakaan, Anda akan dipandu oleh beberapa dosen pembimbing. Poin yang terpenting Anda punya uang untuk membayar seluruh biaya kuliah. Selesai.

Itulah gambaran singkat bagaimana seseorang bisa meraih gelar kesarjanaan dengan sebuah ijazah kelulusan dari institusi perguruan tinggi. Tentu, ilustrasi ini bukan ingin menyimplifikasi sebuah proses pendidikan. Hanya saja, saya ingin mengatakan bahwa paradigma pendidikan kita masih memandang perguruan tinggi sebagai pabrik yang menghasilkan manusia sarjana sesuai kebutuhan dan keinginan pasar.

Manusia-manusia sarjana ini sudah dikelompok-kelompokkan berdasarkan jurusan yang ada di kampus tersebut. Akhirnya, lembaga pendidikan tidak lagi menciptakan manusia sebagai manusia, melainkan manusia yang secara khusus dipersiapkan menjadi “sekrup” dari mesin besar bernama kapitalisme. Singkatnya, kampus menciptakan tenaga kerja, mempersiapkan buruh-buruh baru yang diharapkan dapat mengisi pabrik-pabrik dan sektor-sektor industri lainnya.

Inilah yang dikritik Paulo Freire, seorang aktivis dan pendidik asal Brasil, dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas”. Menurutnya, kegagalan dunia pendidikan saat ini karena menjadikan murid sebagai objek. Ia mengistilahkan sebagai pendidikan a la bank (banking education). Pendidikan model ini membayangkan murid sebagai sebuah wadah atau celengan yang setiap hari diisi pengetahuan oleh gurunya.

Kegiatan belajar mengajar di kelas bisa disederhanakan sebagai berikut: guru bercerita dan murid mendengarkan. Guru dianggap sebagai satu-satunya pemilik kebenaran. Karena itu, prestasi murid diukur berdasarkan seberapa banyak ia menerima ilmu pengetahuan dari gurunya itu yang direpresentasikan ke dalam angka. Kelemahan dari model pendidikan ini, kata Freire, menjadikan murid pasif, patuh, dan tidak kritis terhadap realitas. Freire tidak tertarik terhadap model ini karena cenderung mempertahankan status quo.

Sebagai gantinya Paulo Freire menawarkan model pendidikan partisipatif. Pendidikan partisipatif lebih mengedepankan dialog dibanding ceramah. Proses pendidikan berjalan dua arah: murid belajar dari guru, guru juga belajar dari murid. Guru dan murid sama-sama dihadapkan pada problem dan realitas kehidupan sehari-hari. Belajar dari pengalaman kongkret, mereka dituntut untuk memahami, menganalisis dan mencarikan jalan keluarnya.

Di dalam ruang kelas murid tak hanya dijejali dengan teori-teori keilmuan, mereka juga harus turun ke lapangan untuk belajar mengubah keadaan. Proses pendidikan kritis mengajari siswa untuk menggabungkan antara refleksi ‘berpikir’ dan aksi ‘bertindak praksis’.

Sebab, kata Freire, refleksi tanpa aksi akan melahirkan verbalisme, sedangkan aksi tanpa refleksi hanya akan melahirkan aktivisme. Hal yang dibutuhkan bukan hanya bagaimana memahami dunia tapi juga mengubahnya. Inilah pentingnya pendidikan. Ijazah hanyalah penanda saja.