Pos

SEMINAR INTERNASIONAL: PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK DAN PERKAWINAN PAKSA MELALUI KAJIAN BUKU FIKIH PERWALIAN

Lampung, 26 Agustus 2020

 

 

 

Secara historis, praktik perkawinan anak lazim terjadi dan dapat diterima masyarakat, tak hanya di Indonesia, melainkan di seluruh belahan dunia. Namun, di zaman modern, praktik perkawinan anak tak hanya dipertanyakan tapi juga dianggap bermasalah dan berbahaya bagi anak perempuan. Angka perkawinan anak di Indonesia masih cukup tinggi dan Indonesia masih menempati urutan kedelapan terbanyak di seluruh dunia. Karena itu, peran ulama atau tokoh agama sangat penting untuk mencegah perkawinan anak. Hal ini disampaikan Nelly van Doorn perwakilan dari Oslo Coalition dalam Seminar Internasional Pencegahan Perkawinan Anak dan Perkawinan Paksa Melalui Kajian Buku Fikih Perwalian di Aula Saefuddin Zuhri IAIN Metro, Lampung (26/08)

 

Acara ini terselenggara atas kerjasama Rumah KitaB, IAIN Metro, Payungi Universty yang didukung penuh oleh Oslo Coalition. Dalam sambutannya, Direktur Rumah KitaB, Lies Marcoes, mengatakana bahwa pemilihan Lampung sebagai tuan rumah acara ini karena berdasarkan data nasional, angka perkawinan anak di Lampung dalam beberapa tahun belakangan cenderung naik dan masih cukup tinggi. Karena itu, dengan diskusi ini, diharapkan melahirkan solusi dan upaya pencegakan perkawinan anak, khususnya di Lampung. Selain itu diharapkan LPPM IAIN Lampung dapat melakukan penelitian dan kajian akademik atas kemungkinan naiknya angka perkawinan anak akibat wabah covid 19 yang menyebabkan anak perempuan tidak aktif sekolah.

 

Diskusi buku yang diikuti 103 peserta, baik daring maupun luring, menghadirkan empat narasumber, yaitu Dr. Mufliha Wijayanti dari PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) IAIN Metro Lampung, Dharma Setiawan  MA, dari Payungi University, Ahmad Hilmi Lc. MA  peneliti Rumah KitaB. Sementara itu Dr. Lena Larsen dari Oslo Coalition memberikan closing remarks dengan menekankan pentingnya menghindari hal yang buruk akibat kawin anak dengan menekankan kaidah Ushul Fiqh la dharar wala dirar. Acara ditutup sambutan dari rektor IAIN Metro Prof. Dr. Hj. Enizar, M.Ag dan Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama RI Prof. Dr. M. Arskal Salim GP, M.Ag

***

Mufliha membeberkan data tingginya angka perkawinan anak berdasarkan angka dispensasi nikah yang dikeluarkan Pengadilan Agama di seluruh Bandar Lampung. Berdasarkan data tersebut angkanya cukup mencengangkan karena dalam satu bulan lonjakannya sangat signifikan, yaitu menembus angka 297. Menurutnya, dispensasi nikah adalah praktik perkawinan anak yang dilegalkan negara.

 

Di Lampung sendiri, menurut Mufliha, masih berlaku tradisi  selarian atau “kawin lari”, sebagaimana tradisi mararik di Lombok. Belum lagi, dalam masyarakat agraris, ada semacam nilai yang dipahami bahwa “banyak anak banyak rejeki”. Tak sedikit masyarakat petani yang masih menganggap anak sebagai aset dan sumber tenaga kerja. Kawin anak juga terjadi dan digunakan sebagai media untuk memperluas jaringan sosial. “Jika seseorang ingin naik kasta (kelas sosial), pernikahan adalah salah satu cara. Atau ingin mempertahankan darah biru sebuah keluarga. Dia akan menikahkan dengan keluarga yang sama-sama darah biru,” ujar Mufliha

 

Mufliha menegaskan bahwa perkawinan anak harus dihentikan. Yang paling merasakan dan terdampak langsung dari kawin anak adalah perempuan. Ia harus menanggung kehamilan beresiko, rentan terkena penyakit, terputusnya akses pendidikan, KDRT, dan perceraian. Kawin anak merenggut hak dan masa depan anak. Karena itu harus segera diakhiri.

 

Karena itu, Mufliha sangat mengapresiasi kehadiran buku Fikih Perwalian ini. Setidaknya, buku ini memberikan sumbangan wacana keagamaan yang menolak dan melarang praktik perkawinan aanak. Ia berharap kajian fikih perwalian ini bisa diintegrasikan dalam mata kuliah di perguruan tinggi.

 

Tak hanya menjadi korban perkawinan anak, kata Dharma Setiawan dari Payungi University, perempuan juga mengalami proses pemiskinan dan ketidakadilan. Perempuan masih dianggap sebagai penghalang pembangunan. Gaji perempuan lebih rendah, kesempatan kerja sempit, banyak mengalami pengangguran terbuka, angkatan kerja perempuan menurun, sementara beban kerja tinggi. Karena itu, kata Dharma, negara harus memberi ruang dan menguatkan peran perempuan agar tak terjatuh dalam kubangan kemiskinan yang menjadi salah satu penyebab sekaligus mata rantai perkawinan anak di negeri ini.

 

Sementara Ahmad Hilmi, sebagai salah satu penulis buku dan peneliti Rumah KitaB, mencoba menawarkan pendekatan maqasid syariah untuk memahami teks-teks kegamaan agar tidak terjebak pada tekstualisme. Teks-teks kegamaan harus dibaca secara kontekstual dan berorientasi pada kemaslahatan (maqasid syariah) dan kemanusiaan. Oleh karena itu, kata Hilmi, setiap teks yang seolah-olah menjustifikasi ketidakadilan maka harus direkonstruksi dan ditafsiri ulang, seperti pada konsep Walaya dan Qiwamah. Sehingga, sebagaimana ditegaskan Arkal Salim dalam sambutan penutupan seminar ini, pentingnya reinterpretasi ajaran Islam yang berorientasi pada kemaslahatan, keadilan dan tidak bias jender. Wacana kegamaan seperti ini harus menjadi arus utama (mainstreaming) dalam perbincangan publik.

 

Di sinilah, kata Lena Larsen, dibutuhkan ijtihad baru untuk menghasilkan norma baru. Karena, dengan adanya penafsiran-penafsiran baru, akan melahirkan praktik-praktik baru yang lebih baik. Sebagaimana dalam kasus kawin anak, kata Lena, dalam realitasnya sangat membahayakan anak dan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam sebuah hadis yang menjadi prinsip utama semua ajaran Islam dikatakan bahwa “La dharar wa la dhirar” (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain). Prinsip inilah yang harus dijadikan pedoman dalam memahami dan merumuskan hukum-hukum islam. Dengan demikian, Islam sebetulnya tak bertentangan dengan hukum nasional maupun internasional dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia dan perlindungan terhadap kemanusiaan. [] JM

 

 

 

Salam,

Jamaluddin Mohammad