Pos

Jalan Moderat Mengatasi Serbuan Gawai dalam Kehidupan Anak

“Akses pertama pendidikan anak-anak adalah ibu, ketika seorang ibu mempersiapkan dirinya semaksimal mungkin, seraya itu dipersiapkan untuk masa depan anak-anak bangsa.”

Penggalan pesan tersebut, disampaikan Dr. Wahbah Zuhaili dalam karyanya yang berjudul al-Muslimah al-Mu’ashirah (2007). Secara literal, pesan tersebut memiliki nilai penting untuk seorang perempuan agar mempersiapkan dirinya, baik dari aspek kognitif maupun etikanya, sebelum ia menjadi ibu. Karena betapa pun itu, anak-anak dalam membangun karakternya tidak meniru dari sumber lain, melainkan dari orang terdekatnya, yaitu ibu—bahkan sejak ia di dalam kandungan.

Namun jika pesan di atas, dimaknai secara resiprokal (makna kesalingan), seorang ayah pun dituntut untuk mempersiapkan dirinya sebelum ia menjadi ayah. Sehingga keduanya, sama-sama memikul beban terhadap masa depan seorang anak, baik secara kognitif maupun etik.

Terlepas dari keduanya sebagai penjaga gawang moral seorang anak, setidaknya ada dua faktor yang berkontribusi penting terhadap kehidupan anak dalam membangun karakter, yaitu faktor internal dan eksternal. Segala tindakan orang tua yang terlihat oleh anak merupakan faktor internal, yang dapat membentuk karakter seorang anak dari wilayah domestik (rumah tangga). Tentu saja faktor yang pertama ini, berperan penting untuk menimbang faktor-faktor lain yang datang dari luar (eksternal).

Dalam realitas modern yang kian maju, tempat bermain anak-anak bukan lagi petak umpet, sepak bola, manjer layang-layang, dan permainan lainnya yang masih bersifat tradisional. Dunia modern telah berhasil membuat anak-anak lebih cenderung suka dan terhibur dengan gawai kecil yang bisa mengakses dunia lebih cepat, yang di dalamnya menyediakan berbagai macam jenis hiburan.

Yang pada gilirannya, hal itu menjadi kecemasan tersendiri bagi orang tua—mengingat hampir semua yang dapat diakses melalui gawai, seperti halnya pisau bermata dua. Di satu sisi, anak-anak bisa terhibur dan terdidik melalui gawai dan internet yang tersedia di dalamnya. Namun di sisi lain, gawai juga menyediakan banyak akses kejahatan dan konten-konten yang nir-faedah, yang sering kali menjadikan anak lupa makan, malas belajar, bahkan tindakan yang radikal sekalipun.

Informasi Dangkal dan Sensasional yang Menggempur Media Sosial

Mengutip dari esai yang ditulis M. Ikhsan Shiddieqy yang berjudul Brain Rot, Detoks Informasi, dan Reformasi Nutrisi (Harian Kompas pada tanggal 13 Juli 2025). Shiddieqy mengutarakan bahwa dampak kemunduran kognitif akibat konten-konten receh yang memberikan sensasi menarik, telah banyak dirasakan oleh Gen Z dan Gen Alpha, yang seharusnya menjadi kelompok usia yang paling produktif dan kreatif.

Dan ketika mereka kecanduan dengan layar gawai dan seisinya, itu berdampak pula pada kepekaan sosial Gen Z dan Gen Alpha yang menjadikannya malas untuk bersosialisasi. Bukan hanya itu, beberapa konten makanan yang menjadi trending topik di media sosial, berdampak pula pada kesehatan Gen Z dan Gen Alpha.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam catatan laporannya yang bertajuk Marketing of Unhealthy Foods and Drinks mengemukakan, bahwa anak-anak dan remaja menjadi target utama pemasaran produk makanan dan minuman yang kurang sehat yang dilakukan melalui konten media sosial.

Dan dalam keadaan seperti ini, tanggung jawab orang tua sangat dipertaruhkan untuk menopang masa depan anak-anaknya. Sehingga pertanyaan yang layak diajukan adalah bagaimana dan seperti apa orang tua menyikapi anak-anaknya yang sudah kadung nyemplung teradiksi gawai dan konten-konten receh tersebut?

Mendongeng: Solusi Literasi dari Kungkungan Teknologi

Dalam keadaan yang sedemikian adanya, orang tua berada di posisi yang dilematis. Karena ketegasan sikap orang tua dalam agenda pengurangan gawai dalam kehidupan anak, seringkali tergelincir dalam tindakan destruktif yang menjadikan anak trauma dan sakit mental bahkan melawan. Pun juga membiarkan anak dalam menggunakan gawai, yang secara tidak langsung orang tua telah membuka lebar gawang kemunduran intelektual dan degradasi moral seorang anak.

Dalam konteks psikologi modern, terdapat istilah emotional contagion atau penularan emosi. Kiranya, istilah itu dapat menjadi ukuran orang tua dalam menyikapi fenomena gempuran gawai yang hampir menyelimuti di seluruh sela-sela aktivitas anak.

Secara netral, istilah itu menggambarkan perihal emosional orang tua yang akan menular secara alami pada sisi emosional anak. Yang mana, ketika orang tua sedang dilanda emosi, tanpa disadari, gelombang emosional tersebut dapat menular pada anak, baik melalui ekspresi verbal, intonasi suara, maupun suasana psikisnya.

Oleh sebab itu, bagi penulis, emotional contagion adalah kata kunci bagi orang tua untuk bersikap lebih arif tanpa harus melahirkan dampak lain yang berpotensi negatif. Secara ilustrasi, ketika orang tua hendak mencegah anak untuk bermain gawai, di samping mengontrol emosi yang meliputi kata-kata kasar dan intonasi tinggi yang hendak dikeluarkannya, orang tua harus mengalihkan fokus keinginan anak kepada hal lain yang lebih positif.

Sebagai penggantinya, dengan mengutip apa yang disampaikan Agus Nur Amal, sosok seniman tutur dan pendongeng ulung dari tanah Aceh, dalam Festival Dongeng Internasional Indonesia yang digelar pada tanggal 1-2 November di Museum Bahari, Jakarta, ialah, mengajak anak membaca bukan sebatas pada buku saja, namun juga dapat diupayakan melalui gerak dan suara. Bagi Salim, literasi dapat tumbuh dari telinga yang mendengar, hati yang terbuka, dan imajinasi yang mengalir (Harian Kompas, 9 November 2025).

Dan apa yang disampaikan Salim, menjadi inspirasi baru bagi para orang tua dalam menyikapi anak di era kungkungan teknologi. karena setidaknya, lewat keajaiban mendongeng, anak-anak akan bersedia meletakkan gawai untuk berinteraksi dan bersuka-cita bersama. Di sisi lain, aktivitas mendongeng adalah ruang bagi anak-anak untuk kembali ke dunia nyata, tempat di mana ia bercengkerama dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Melalui emotional contagion, mendongeng adalah solusi moderat dari permasalahan anak dengan aktivitas bergawai, karena untuk membaca, anak-anak masih cenderung belum menyukainya.