Pos

Teknologi Digital Bagi Anak: Dilema Brain Rot dan Second Brain

Belum lama ini, Harian Kompas (28/6-2025) mengangkat topik brain rot dengan ulasan mendalam (baca di sini). Sebanyak 17 pakar lintas disiplin dikumpulkan untuk membahas brain rot dalam beragam sudut pandang. Istilah tersebut menggambarkan keadaan penurunan fungsi kognitif akibat konsumsi konten digital singkat yang cepat dan dangkal secara berlebihan. Paparan konten tersebut memicu sekresi dopamin atau zat rasa senang pada otak yang bermuara pada adiksi.

Hal ini dapat dilihat dari waktu yang tersita berjam-jam untuk menggulir layar ponsel pintar. Awalnya berencana hanya melihat media sosial lima atau sepuluh menit untuk melepas jenuh, tetapi justru berakhir sehari penuh di depan layar. Aktivitas yang terus-menerus ini lantas melahirkan otak yang tumpul untuk berpikir kritis dan analitis.

Menyoal Konten Receh

Meski demikian, apakah semua ini salah konten receh yang berseliweran di media sosial? Tulisan Anwar Kurniawan beberapa waktu lalu di Harian Kompas (18/07/2025) menarik untuk dicermati (baca di sini). Mengambil tajuk “Membela Konten Receh”, ia menegaskan: “Jangan-jangan brain rot hanyalah jelmaan baru untuk kecemasan lama. Ia laksana ketakutan elite budaya pada cara anak muda menikmati dunia dan merepresentasikan realitas. Sejarah mencatat hal serupa. Dulu, komik juga disebut perusak moral. Musik rock dianggap liar. Film horor dituduh membodohi. Bahkan kajian agama di internet sempat dianggap banal.”

Memang konten receh tak selamanya merusak. Bahkan konten receh itu bisa jadi ekspresi masyarakat untuk mengkritik fenomena sosial dan politik yang sudah kebablasan. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan video pendek di Tiktok dan Instagram untuk mengkritik kebijakan pemerintah dengan nada sarkasme.

Di sinilah perlu melihat “konten receh” tidak dengan kaca mata dualitas benar salah. Apa yang selama ini dianggap remeh temeh nyatanya mempunyai kompleksitas. Bagi kebanyakan orang, mengonsumsi konten receh adalah cara instan dan gratis untuk meraih kesenangan di tengah tuntutan kehidupan. Sebaliknya, sebagian kecil orang mempunyai keuntungan untuk membaca buku berlama-lama di perpustakaan atau menikmati pemandangan alam di pelosok negeri.

Dengan kata lain, konten receh itu adalah hal yang sangat aksesibel bagi masyarakat. Sayangnya, sebagaimana diungkapkan berbagai penelitian, berlebihan mengonsumsi informasi receh dapat menurunkan daya serap otak. Banyak cerita dari kawan, ketika terlalu lama terpapar konten di media sosial yang menghibur justru menghasilkan stres baru di dunia nyata. Mereka jadi malas bertemu dengan orang dan terus sibuk dengan scrolling media sosial.

Dampak Brain Rot Bagi Anak

Nah, yang lebih mengkhawatirkan ketika brain rot ini menyerang anak-anak. Pemikiran mereka harusnya lebih dikembangkan lagi, tetapi justru tenggelam dalam buaian semu konten receh. Hal ini dapat dilihat dan dirasakan oleh para orang tua, guru dan dosen yang berinteraksi dengan anak muda. Memang belum ada penelitian kuantitatifnya, tetapi dari pengamatan penulis selama mengajar, banyak mahasiswa yang mengeluh dan cepat jenuh dengan artikel yang hanya beberapa halaman saja.

Daya baca manusia modern jauh menurun karena sering dimanjakan dengan visual di dunia digital. Meski demikian, salah satu hal penting dari teknologi, sebagaimana kata Harari adalah mekanisme pengoreksi diri. Mekanisme inilah yang membuat teknologi terus berkembang pesat. Maka konten receh itu sebenarnya bisa diatasi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Alih-alih melawan atau justru menghapus media sosial, yang perlu dilakukan adalah penyesuaian diri, beradaptasi seraya mempertahankan nilai-nilai moral manusia yang diyakini.

Kalau mau menggunakan analogi, telur atau ayam dulu, sama seperti konten receh atau pembuatnya dulu. Konten receh itu bisa hadir di media sosial juga karena pembuat kontennya sudah terpapar dengan narasi populis yang singkat dan menjenuhkan. Dengan kata lain, konten receh adalah respons dari kualitas sumber daya manusia Indonesia hari ini ditambah dengan permainan algoritma media sosial. Sehingga untuk melawan brain rot sebagai dampak dari maraknya konten receh, yang perlu dibenahi adalah manusianya. Teknologi tak dapat disalahkan karena ia ibarat pisau yang bergantung pada si empunya. Justru yang perlu diberi pemahaman adalah sang pemilik pisau, bagaimana cara menggunakan pisau dengan tepat.

Terlebih bagi generasi muda, dunia mereka adalah dunia digital dengan kecanggihan teknologi. Karenanya melarang mereka untuk hidup berdampingan dengan teknologi juga tidak tepat. Sebaliknya ada beberapa poin yang dapat dilakukan bagi siapa saja yang mau meminimalisir brain rot bagi manusia.

Membudayakan Membaca Buku

Upaya pertama yang perlu dilakukan adalah membudayakan membaca buku. Banyak penelitian yang menyebutkan membaca dapat meningkatkan kecerdasan otak dan memperlambat atau mengurangi risiko terjangkit penyakit demensia dan alzheimer. Sedangkan bagi anak, membaca buku dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan literasi terutama dengan terserapnya berbagai kosakata baru yang diperolehnya dari membaca buku.

Proses memahami setiap kata yang dibaca menjadi usaha yang menstimulus otak untuk terus bekerja. Makin sering otak diajak untuk berpikir, potensi terjangkit brain rot pun kian kecil. Nah, agar anak mau membaca buku, teladan pertama yang dilihatnya adalah dari orang tua. Karenanya lingkungan berperan penting menciptakan budaya literasi. Akan sangat mudah menanamkan kebiasaan membaca pada anak yang orang tuanya sudah lahap membaca buku.

Namun, bukan berarti orang tua yang tidak terbiasa membaca, secara otomatis melahirkan anak yang juga malas membaca. Orang tua bisa mengondisikan lingkungan yang ramah literasi. Misal dengan mengoleksi buku bacaan atau jika itu dirasa berat, membawa anak setiap pekan ke perpustakaan juga bisa menumbuhkan minat baca. Dengan mencintai buku, anak akan tumbuh dengan literasi yang bermutu. Juga terhindar dari kecanduan gawai setiap waktu.

Menekankan Penghargaan pada Proses

Selain membaca, anak juga perlu ditanamkan nilai menghargai proses. Ini juga hal penting yang sering kali dilupakan di era digital yang serba instan. Kecepatan meraih sesuatu yang diinginkan juga memperparah rusaknya otak (brain rot). Orang akan dengan mudah marah ketika hal yang diinginkan tidak segera didapatkan. Ketika sedang asyik berselancar di media sosial, lalu jaringan nirkabel bermasalah, anak akan mudah mengeluh dan gusar.

Meski kecepatan juga penting, tetapi keakuratan dan ketepatan juga genting. Tidak semua yang cepat berakhir tepat. Di sinilah perlunya memberikan pemahaman kepada anak bahwa alih-alih menuntut cepat, menghargai proses begitu nikmat. Menanamkan arti penting sebuah proses dapat dilakukan dalam segala lini kehidupan.

Contohnya anak tidak langsung dituruti keinginannya untuk mendapatkan gawai yang diinginkan, tetapi ada proses yang perlu dia lewati: membaca buku, belajar dengan giat agar mendapat prestasi di kelas, atau usaha lain yang membuatnya bekerja dengan optimal. Ini metode reward and punishment dengan penekanan pada prosesnya, bukan tujuannya.

Mengoptimalkan Teknologi sebagai Second Brain

Setelah anak terbiasa membaca dan menghargai proses, barulah mereka juga dikenalkan bahwa kehadiran teknologi dapat membantu kehidupan manusia. Meski demikian, teknologi tidak akan dapat menggantikan interaksi manusia seluruhnya. Jika dioptimalkan, teknologi bisa menjadi otak kedua (second brain) yang membantu, bukan merusak otak hingga membuat buntu.

Dalam buku “Building a Second Brain”, Tiago Forte membagikan langkah praktis bagaimana menggunakan teknologi sebagai otak kedua. Dari istilahnya saja dapat kita cermati, otak kedua bukan pertama. Otak yang utama tetaplah kecerdasan bawaan yang dimiliki manusia. Barulah otak kedua yang dilakukan oleh akal imitasi (artificial intelligence) dapat difungsikan dengan maksimal. Pola pikir ini melihat bahwa teknologi dapat menjadi otak kedua manusia. Sebab bagaimana pun canggihnya otak manusia, ia terbatas. Ada hal-hal yang tak mampu diingat seluruhnya oleh manusia.

Manusia dapat mengingat narasi umum, tetapi akan kesulitan menghafalkan narasi spesifik seperti kode sandi berbagai fitur yang dimiliki. Manusia dapat menjadwalkan berbagai kegiatan, tetapi kadang ada saja yang berbenturan karena terlupakan. Nah, hal tersebut dapat dilimpahkan pada otak kedua manusia yaitu teknologi. Aplikasi yang paling sederhana misalnya adalah Notes yang dapat membantu mencatat segala aktivitas manusia. Mengapa tidak mencatat di kertas? Sebab kertas bisa hilang, rusak dan terbakar. Jika sudah demikian, tak ada memori yang tersisa. Dengan bantuan teknologi, informasi yang dicatat bisa tersimpan dengan rapi tanpa takut hilang atau rusak lagi.

Dalam konteks kehidupan anak, second brain dapat digunakan dengan mengatur waktu aktivitasnya melalui alarm. Kapan dia bangun tidur, mandi, sekolah, dan sebagainya. Tentu orang tua tetap jadi pengingat utama sang anak, tetapi kehadiran orang tua dibantu dengan nada alarm yang juga mengingatkan buah hati. Begitu pula dalam mengakses konten di media sosial. Anak diberikan waktu, screen time, untuk mengakses informasi di internet. Tetapi ketika waktunya sudah habis, aplikasi yang ada di gadget secara otomatis tak dapat digunakan.

Orang Tua Pionir Pendidikan

Memang yang menjadi PR pada poin ini adalah pemahaman orang tua yang komprehensif terkait teknologi. Sebelum menggunakan teknologi sebagai second brain pada anak, orang tua atau pun guru sudah harus familiar dengan berbagai fitur yang ada. Sebagaimana kata Imam Ali: “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, bukan zamanmu”. Mafhumnya, untuk bisa mendidik anak sesuai dengan zamannya, orang tua harus dengan rendah hati belajar lagi, bagaimana zaman ini berputar.

Ketika orang tua dan pendidik mau membuka diri untuk belajar hal-hal baru, di situlah kearifan akan muncul. Bukan semata melarang apalagi menegasikan teknologi sepenuhnya sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa generasi old yang memang tidak dibesarkan dengan teknologi. Tetapi membiarkan sepenuhnya penggunaan teknologi mempunyai catatan besar. Karenanya pilihan bersikap pada teknologi sekarang berada pada tangan manusia: apakah mau menciptakan brain rot atau second brain?

Terpinggir di Dunia Digital: Perlindungan Anak Disabilitas di Era Teknologi

Setiap anak adalah aset dan generasi penerus yang memiliki hak atas akses layanan kesehatan, pendidikan dan dukungan sosial tanpa terkecuali anak-anak dengan penyandang disabilitas (difabel). Tentunya, untuk dapat menikmati hak-haknya, anak dengan disabilitas memerlukan dukungan ekstra dibandingkan anak tanpa disabilitas. Sayangnya, tidak sedikit anak penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam rumah tangga miskin (UNICEF, 2021).

Terlebih di era digital, teknologi juga menjadi “barang mewah” bagi anak-anak penyandang disabilitas yang menyebabkan ketimpangan akses dengan anak tanpa disabilitas semakin terlihat jelas. Padahal dengan akses teknologi yang memadai, anak dengan disabilitas dapat lebih mudah mendapatkan layanan pemerintah secara mandiri, mendapatkan pendidikan dan mengakses informasi pekerjaan (Raja 2016 dalam Poerwanti 2024).

Faktanya, banyak anak dengan disabilitas tidak mampu mengakses perangkat digital, saluran internet dan akses teknologi lainnya, karena ketidakmampuan keluarga mengaksesnya. Selain itu, perangkat digital yang berkembang belakangan ini tidak dirancang secara khusus untuk anak dengan disabilitas bahkan platform-platform digitalnya banyak yang bisa dibilang tidak ramah disabilitas.

Hal ini karena tidak adanya fitur text to speech (TTS), subtitle, navigasi, suara dan lainnya yang dapat memudahkan anak dengan disabilitas untuk mengaksesnya. Tentunya hal ini menghambat ruang bagi anak dengan disabilitas untuk dapat berkembang dalam era teknologi. Hal ini diperkuat oleh hasil kajian UNICEF di Indonesia tahun 2021 berjudul “Analisis Lanskap tentang Anak Penyandang Disabilitas di Indonesia”, bahwa anak penyandang disabilitas lebih mengalami ketidaksetaraan daripada anak tanpa disabilitas dalam mengakses berbagai pelayanan dan program di Indonesia.

Dalam kajian yang sama, UNICEF juga mengemukakan bahwa anak-anak penyandang disabilitas di Indonesia lebih rentan mengalami kekerasan seksual dibandingkan bentuk kekerasan lainnya. Hal ini juga dipengaruhi oleh kecenderungan anak dengan disabilitas yang mudah percaya pada orang asing atau “nurut” dengan iming-iming tertentu sehingga sulit membedakan ancaman secara online.

Tidak sedikit pula, anak dengan disabilitas menerima banyak ujaran kebencian, stereotip bahkan dikucilkan dalam dunia digital karena dianggap ‘aneh’ dan ‘tidak normal’ oleh segelintir orang. Hal ini memberikan gambaran bagaimana jahat dan tidak adilnya dunia pada anak-anak dengan disabilitas termasuk dalam dunia digital.

Di Indonesia, payung hukum untuk anak-anak penyandang disabilitas tertuang dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Meskipun demikian, UU Disabilitas ini nyatanya masih bersifat general dan tidak secara khusus ditujukan untuk anak penyandang disabilitas. Terlebih pada regulasi di tingkat subnasional (provinsi dan kab/kota) komitmen dan implementasinya masih jauh dari harapan karena peraturan terkait anak penyandang disabilitas sangat minim. Hal ini pula yang menjadikan pemerintah di tingkat subnasional masih bergantung penuh pada kebijakan dan program-program dari pusat terkait anak-anak penyandang disabilitas.

Untuk mewujudkan kesetaraan hak bagi anak penyandang disabilitas, seluruh elemen mencakup pemerintah, masyarakat, infrastruktur, program, dan layanan harus bersifat inklusif dan mudah diakses. Hal ini termasuk fasilitas dalam akses teknologi bagi anak penyandang disabilitas harus bersifat ramah dan sesuai dengan kebutuhan yang mereka perlukan.

Selain itu, mengingat banyak anak penyandang disabilitas hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang rentan, tentunya peran pemerintah sangat krusial untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak penyandang disabilitas. Pasalnya dalam banyak kasus yang ditemukan di Indonesia, banyak anak penyandang disabilitas hidup bersama “keluarga tertinggal” yang belum memiliki kapasitas maupun sumber daya memadai untuk menjadi pendamping dan pelindung bagi mereka dalam ruang digital.

Maka dari itu, sudah saatnya intervensi sistemik yang berpihak dan berkelanjutan dalam akses digital yang setara menjadi prioritas dalam mewujudkan hak-hak anak penyandang disabilitas. Ruang digital tidak boleh menjadi ruang ekslusif bagi segelintir orang, ia harus menjadi ruang yang aman, ramah dan mendukung proses tumbuh kembang tidak terkecuali anak dengan disabilitas. Mari upayakan dari apa yang kita bisa sembari mengawal kebijakan pemerintah beserta implementasinya yang berpihak pada kesetaraan dan inklusivitas.

Referensi:

UNICEF. 2021. Analisis Lanskap tentang Anak Penyandang Disabilitas di Indonesia. Jakarta: UNICEF Indonesia. Diakses dari lihat di sini

Menjaga Tumbuh Kembang Anak di Era Digital

Dulu, saat kita masih kecil, bermain petak umpet di halaman atau menghabiskan sore dengan menerbangkan layang-layang mungkin jadi aktivitas favorit. Tapi sekarang, anak-anak tumbuh dalam dunia yang jauh berbeda. Dunia mereka sekarang penuh dengan dunia digital dan internet yang tanpa batas. Di satu sisi, ini membuka peluang luar biasa untuk belajar dan berkembang. Namun di sisi lain, dunia digital juga menghadirkan berbagai risiko yang tidak bisa dianggap remeh.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah anak-anak di Indonesia mencapai 79,4 juta jiwa atau sekitar 28,82 persen dari total populasi. Data BPS 2024 menunjukkan bahwa penggunaan gawai dan akses internet di kalangan anak usia dini di Indonesia sangat tinggi. Sebanyak 39,71 persen anak usia dini sudah menggunakan telepon seluler, dan 35,57 persen telah mengakses internet. Bahkan, 5,88 persen anak di bawah usia satu tahun tercatat telah menggunakan gawai, dengan 4,33 persen dari mereka sudah mengakses internet. Persentase ini meningkat drastis pada kelompok usia 1–4 tahun, dengan 37,02 persen menggunakan ponsel dan 33,80 persen online, serta pada usia 5–6 tahun yang mencatatkan angka 58,25 persen pengguna gawai dan 51,19 persen akses internet.

Survei Kementerian PPPA dan UNICEF tahun 2023 menunjukkan bahwa hampir 95 persen anak usia 12–17 tahun di Indonesia mengakses internet minimal dua kali sehari. Meski internet memberi manfaat dalam hal pendidikan, pengembangan diri, dan hiburan, anak-anak dan remaja juga semakin rentan terhadap kejahatan siber. Data dari Kemenko Polhukam mengungkapkan bahwa Indonesia berada dalam status darurat kasus pornografi anak, dengan 5,5 juta konten bermuatan tersebut ditemukan selama 2019–2023. Selain itu, 2 persen dari 4 juta pemain judi online di Indonesia ternyata masih berusia di bawah 10 tahun.

Ancaman nyata terlihat dari laporan National Center for Missing & Exploited Children yang menempatkan Indonesia di peringkat keempat dunia dalam kasus pornografi digital anak, serta peringkat kedua di kawasan ASEAN. Situasi ini mendorong Presiden Prabowo untuk segera menginstruksikan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI agar menerbitkan Peraturan Pemerintah khusus tentang perlindungan anak di ruang digital.

Meskipun begitu, di era digital yang serba cepat, keluarga tetap menjadi tokoh utama dalam tumbuh kembang anak. Perlindungan terhadap anak tidak cukup hanya dengan membatasi akses ke dunia digital, tetapi juga harus disertai dengan pemberian pemahaman yang mendorong anak menjadi pengguna teknologi yang cerdas dan bijak. Orang tua memiliki peran penting untuk memperkenalkan anak pada internet secara sehat, termasuk mengajarkan tentang privasi, memilah konten yang sesuai usia, dan berpikir kritis terhadap informasi yang ditemui secara daring.

Komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak sangat penting dalam membangun hubungan dan kesadaran. Percakapan tentang media sosial, game, dan teknologi perlu dijadikan bagian dari interaksi harian agar anak merasa nyaman untuk berbagi pengalaman, terutama ketika mereka menghadapi masalah di dunia maya. Selain itu, orang tua dapat menggunakan fitur kontrol orang tua dan menetapkan batas waktu penggunaan ponsel agar anak tetap memiliki keseimbangan antara aktivitas digital dan kehidupan nyata.

Menjadi panutan dalam penggunaan teknologi juga merupakan tanggung jawab orang tua. Anak-anak cenderung meniru kebiasaan yang mereka lihat di rumah. Jika orang tua terlalu sibuk dengan ponsel atau media sosial, anak akan menilai hal tersebut sebagai perilaku yang wajar. Oleh karena itu, orang tua perlu memberi contoh penggunaan teknologi secara sehat, produktif, dan bijak untuk menciptakan lingkungan digital yang aman dan mendukung pertumbuhan anak.

Keluarga, terutama orang tua, memiliki peran yang sangat penting sebagai pembimbing, pelindung, dan panutan. Dengan komunikasi yang hangat dan terbuka, edukasi yang tepat, dan pengawasan yang bijak, kita bisa menciptakan lingkungan digital yang aman, menyenangkan, dan mendidik bagi anak-anak. Karena pada akhirnya, teknologi bukanlah musuh. Ia adalah alat. Dan seperti alat lainnya, ia harus digunakan dengan bijak, terutama oleh anak-anak yang sedang belajar mengenal dunia.

Perlindungan Anak di Era Disrupsi Informasi Perspektif Maqashid Shariah

Di era digital, anak-anak hidup di dunia yang serba terhubung dan penuh informasi. Mereka mudah mengakses berbagai konten melalui gawai kapan saja dan di mana saja. Kemajuan teknologi ini memang memudahkan proses belajar dan komunikasi, tetapi juga menghadirkan tantangan serius bagi perlindungan anak. Risiko paparan konten negatif seperti kekerasan, pornografi, perundungan daring, hingga kecanduan gadget menjadi ancaman nyata bagi perkembangan fisik, psikologis, dan spiritual mereka.

Data UNICEF Indonesia (2023) menunjukkan bahwa hanya 37,5 persen anak yang memiliki pengetahuan cukup tentang cara menjaga diri di dunia digital. Ironisnya, lebih dari separuh anak pernah terpapar konten yang tidak layak, termasuk gambar atau video seksual. Risiko serupa juga tercatat secara global. Menurut Digital Quotient Institute (2020), 60 persen anak yang aktif di internet menghadapi bahaya seperti cyberbullying, paparan konten dewasa, dan gangguan kesehatan mental akibat kecanduan teknologi.

Di Indonesia, Badan Pusat Statistik bersama NCMEC mencatat bahwa sejak 2019 hingga 2023 ada lebih dari 5,5 juta konten pornografi anak yang tersebar luas. Sekitar 48 persen anak pernah mengalami bullying digital yang berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.

Fenomena ini bukan hanya persoalan teknologi dan aturan, melainkan juga persoalan nilai dan tanggung jawab keluarga sebagai lingkungan utama pendidikan dan perlindungan anak. Di sinilah maqashid al-shariah menjadi pijakan penting. Maqashid al-shariah adalah konsep tujuan utama syariat Islam yang bertujuan menjaga lima hal utama dalam kehidupan manusia, yaitu: agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Dalam konteks perlindungan anak di era digital, kelima aspek ini wajib menjadi panduan holistik bagi keluarga dan masyarakat.

Pertama, hifz al-din atau menjaga agama, menuntut keluarga agar mampu menjaga anak dari pengaruh konten yang dapat merusak keimanan dan nilai-nilai agama mereka. Banyak konten di dunia maya yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan spiritual Islam. Jika anak tidak dibimbing dengan baik, mereka rentan kehilangan pegangan agama sebagai pijakan hidup. Kedua, hifz al-nafs berarti menjaga jiwa dan keselamatan anak, termasuk kesehatan mental dan fisik.

Ketiga, hifz al-‘aql atau menjaga akal adalah aspek yang paling relevan di era informasi. Anak-anak harus dilindungi dari misinformasi, propaganda negatif, serta konten yang mengganggu perkembangan kognitif dan mental mereka. Orang tua perlu menyeleksi dan membimbing anak dalam memilih konten yang bermanfaat, serta mengajarkan literasi digital agar anak mampu berpikir kritis. Keempat, hifz al-nasl menegaskan pentingnya menjaga kelangsungan generasi melalui pendidikan moral dan karakter. Anak harus tumbuh menjadi pribadi yang beradab, bertanggung jawab, dan memiliki integritas.

Kelima, hifz al-mal, menjaga harta, dalam konteks digital berarti anak harus diajarkan tentang etika penggunaan teknologi, keamanan data pribadi, dan tanggung jawab dalam mengelola aset digital. Penggunaan teknologi yang tidak terkontrol dapat berujung pada penyalahgunaan informasi, pencurian data, dan kerugian finansial. Keluarga harus mendidik anak agar memahami nilai kepemilikan dan perlindungan terhadap harta dalam konteks digital.

Kitab klasik Islam seperti Tuhfatul Maudud karya Ibnul Qayyim memberikan landasan penting bagi orang tua dalam menjalankan tugas mendidik anak secara terpadu berdasarkan kelima maqashid tersebut. Di era digital, tantangan pengasuhan menjadi lebih kompleks karena ancaman tidak hanya datang dari lingkungan fisik, tetapi juga dari dunia maya yang terus mengalir tanpa batas.

Jika orang tua gagal menjaga lima aspek maqashid ini, maka risiko kerusakan jiwa, akal, dan moral anak menjadi sangat besar. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin juga menegaskan bahwa pendidikan akhlak harus dimulai sejak dini dan dilakukan secara konsisten melalui interaksi penuh kasih dan teladan orang tua.

Menghadapi kondisi ini, konsep “digital parenting” menjadi sangat penting. UNICEF menekankan pentingnya pengawasan, pendampingan, dan komunikasi terbuka antara orang tua dan anak dalam menghadapi dunia digital. Model pengasuhan “asah–asih–asuh” dapat diadaptasi untuk implementasi maqashid al-shariah. “Asah” berarti mengasah akal anak dengan bimbingan dan konten edukatif. “Asih” berarti memberikan rasa aman dan dukungan emosional agar anak berani berbagi pengalaman dan masalah digitalnya. “Asuh” adalah pengaturan penggunaan teknologi dengan aturan jelas, membatasi durasi, dan menentukan zona bebas gadget agar anak tidak kecanduan.

Selain aspek teknis, internalisasi nilai-nilai Islam dalam keluarga harus terus diperkuat. Pendidikan akhlak digital menjadi kunci agar anak tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tapi juga pribadi yang bertanggung jawab dan beretika. Anak perlu dibiasakan membaca doa sebelum menggunakan gadget, berdiskusi tentang konten yang mereka konsumsi, dan diajari nilai-nilai seperti sopan santun, menghormati privasi orang lain, serta menjaga kehormatan diri sendiri dan keluarga.

Pemerintah Indonesia telah berupaya melalui program literasi digital keluarga dan penyusunan regulasi perlindungan anak daring. Namun, tanpa adanya internalisasi nilai yang kuat, kebijakan ini tidak akan berdampak optimal. Oleh karena itu, para ulama, pendidik, dan komunitas Islam harus aktif merumuskan pedoman pengasuhan digital berbasis maqashid shariah agar perlindungan anak dapat berlangsung secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Kajian akademik juga mendukung pentingnya maqashid sebagai kerangka perlindungan anak. Studi oleh Disemadi, Al-Fatih, dan Yusro (2020) dalam Brawijaya Law Journal menjelaskan bahwa maqashid al-shariah merupakan landasan normatif kuat dalam melindungi anak dari eksploitasi seksual dan kekerasan, termasuk dalam ruang digital. Perlindungan terhadap akal dan keturunan merupakan hak fundamental yang wajib dipenuhi keluarga dan masyarakat, bukan hanya sebagai tambahan moral atau legal.

Dunia digital adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi sarana pembelajaran dan pengembangan kreativitas, namun juga dapat merusak jika tidak diawasi dan diimbangi dengan pendidikan nilai. Keluarga yang memahami maqashid al-shariah akan mampu menjaga anak agar tumbuh menjadi manusia seutuhnya yang sehat secara fisik, mental, dan spiritual. Perlindungan anak di era digital bukanlah opsi, melainkan kewajiban moral dan agama yang harus dijalankan bersama. Bila keluarga gagal menjalankan perannya sebagai madrasah pertama, maka pondasi nilai yang menjadi pijakan generasi mendatang akan goyah.

 

Referensi

UNICEF Indonesia. (2023). Pengetahuan dan kebiasaan daring anak di Indonesia: Sebuah kajian dasar. UNICEF.

Digital Quotient Institute. (2020). Digital safety index for children. DQI.

Disemadi, H. S., Al-Fatih, S., & Yusro, M. A. (2020). Indonesian children protection against commercial sexual exploitation through Siri marriage practices in Maqashid Al-Shariah perspective. Brawijaya Law Journal, 7(2), 195–212. https://doi.org/10.21776/ub.blj.2020.007.02.04

Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.

Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin, Kitab Adab al-Walad.

Menjaga Amanah, Merawat Jiwa: Jalan Sunyi Orang Tua di Zaman Serba Gawai

Delapan juta kanak‑kanak/ menghadapi satu jalan panjang/ tanpa pilihan…

Sajak Sebatang Lisong, karya W.S Rendra

 

Sebaris sajak W.S Rendra di atas menggambarkan nasib pilu anak-anak Indonesia. Mereka menghadapi jalan panjang tanpa pilihan. Kasus kekerasan kepada anak di Indonesia sudah berada pada titik nadir. Hampir tiap hari kita mendengar berita anak menjadi korban kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, maupun yang mati akibat ulah orang dewasa maupun teman sebaya mereka.

Hati dan pikiran kita seolah dibuat was-was setiap hari. Apakah anak anak kita bisa selamat melewati hari-hari berikutnya dalam kehidupan mereka. Kita menghadapi situasi dimana ruang aman untuk anak kita semakin menyempit, bahkan tidak ada. Ancaman terhadap anak-anak kita bisa datang dari sudut mana saja.

Di lingkungan keluarga yang menjadi ruang tumbuh dan berkembangnya mereka, anak juga menghadapi masalah dan ancaman kekerasan. Saya jadi ingat catatan menarik dari M.A.W Brouer yang menulis buku “Bapak, Ibu Dengarlah” (2015). Kehidupan kota, desa (saat ini), makin banyak orangtua sibuk mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan anaknya. Sementara anaknya sendiri justru kurang mendapat kasih sayang di rumahnya sendiri.

Cerita orang tua yang kehilangan waktu untuk anaknya ini mengingatkan kita pada cerita seorang anak yang mau membeli waktu ayahnya. Cerita itu saat ini bukan lagi dongeng, atau mitos tetapi terjadi pada keluarga Indonesia saat ini.

Keluarga Indonesia saat ini seperti keluarga yang terseok-seok mencari pendapatan untuk menghidupi anak-anak mereka. Sementara, waktu untuk anak-anak mereka terbengkalai.

Fenomena ini cukup berdampak pada bergesernya kekerasan terhadap anak dan perempuan yang semula didominasi di ruang publik ke ranah personal atau domestik.

Tahun 2024, Komnas Perempuan mencatat peningkatan signifikan jumlah kekerasan perempuan dan anak, yaitu 330.097 kasus—naik 14,17% dari tahun sebelumnya—dengan dominasi kasus di ranah personal.

Peran Keluarga

Berdasarkan data yang dilaporkan kepada Kemen PPPA di tahun 2024, terdapat 28.789 kasus kekerasan. 17,9% anak mengalami kekerasan fisik dan 76 % menjadi korban kekerasan orang tua atau wali.

Dari ragam penelitian kasus tersebut, orang tua atau keluarga menjadi pelaku kekerasan karena beragam faktor. Faktor ekonomi, faktor pengangguran, kurangnya kesadaran hukum, kurangnya pendidikan dan lain-lain.

Keluarga tetaplah menjadi lingkungan pertama dan utama dalam mencegah kekerasan terhadap anak dan perempuan. Mohammad Said (1955) menulis buku Pendidikan Keluarga Pangkal Keselamatan Negara. Buku itu menerangkan, dengan pendidikan keluarga yang baik, maka negara akan makmur dan tertib. Tanpa pendidikan keluarga yang baik, maka anak-anak dan masa depan mereka akan terhambat, termasuk pembangunan negara.

Keluarga memiliki peran penting dalam menjaga, merawat, dan menumbuhkembangkan cinta kasih di rumah. Cinta kasih, perhatian, dan juga pendidikan dari rumah itulah yang dipegang anak sebelum anak mendapatkan pendidikan di luar rumah seperti sekolah, dan tempat lainnya.

Komunikasi, momen kebersamaan, hingga makan bersama keluarga sangat penting dalam menjaga hubungan, dan juga efektif menyelesaikan masalah dalam keluarga. Momen kebersamaan yang kurang, komunikasi yang gagal, serta memendam dan menyimpan masalah pribadi secara psikologis dapat mempengaruhi hubungan dalam keluarga sendiri.

Anak-anak berhak mendapatkan perhatian, kasih sayang serta kebutuhan psikis dan juga fisik secara sempurna agar kesehatan fisik dan mentalnya terjaga.

Tantangan

Anak-anak saat ini juga menghadapi tantangan baru, yakni tantangan di dunia digital. Sikap orang tua yang melepaskan begitu saja anak untuk memegang smartphone tanpa literasi yang cukup bukan hanya merusak otak anak, tetapi membawa anak pada ancaman kekerasan digital. Salah satu yang signifikan adalah membiarkan data privasi mereka bertebaran di dunia maya.

Kita belum cukup memiliki aturan yang rigit tentang perlindungan data pribadi anak dan pencegahannya. Edukasi di kalangan keluarga penting sekali untuk mencegah terjadinya kekerasan pada anak terhadap data, penyalahgunaan dan juga kekerasan kepada anak.

Anak-anak di era digital juga menghadapi tantangan pornografi. Banyak gambar dan situs-situs pornografi yang tanpa filter muncul dalam pencarian di internet amat berbahaya bagi anak.

Penelitian Haidar (2000) mencatat, konten  pornografi  yang  didapatkan oleh anak dapat bersumber dari, internet/media sosial, iklan, games, film, video klip. Kecanduan pornografi sama bahayanya dengan kecanduan narkoba yang sama-sama merusak otak/PFC anak (Winarti et al., 2020).

Tanpa pendidikan dari lingkungan keluarga yang tepat dan efektif, anak-anak bisa terjerumus dan terjebak dalam bahaya dan ancaman di dunia digital. Membiarkan anak berselancar di dunia digital tanpa pengawasan, pendidikan dan perlindungan dari orangtua sama saja melepas mereka ke hutan yang penuh ancaman.

Di tengah ancaman dari pihak internal maupun eksternal, keluarga perlu menguatkan pendidikan, perhatian, komunikasi dan juga strategi preventif untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan baik di dunia nyata maupun digital.

 

Referensi:

  1. Brouwer, M.A.W. (2015). Bapak, Ibu Dengarlah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  2. Haidar, A. (2000). Dampak Konten Pornografi terhadap Anak. Jakarta: Pusat Studi Anak dan Remaja (PSAR).
  3. Komnas Perempuan. (2024). Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2024. Jakarta: Komnas Perempuan.
  4. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). (2024). Laporan Tahunan Kasus Kekerasan terhadap Anak. Jakarta: Kemen PPPA.
  5. Rendra, W.S. (1978). Sajak Sebatang Lisong, dalam Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Balai Pustaka.
  6. Said, Mohammad. (1955). Pendidikan Keluarga Pangkal Keselamatan Negara. Jakarta: Balai Pustaka.
  7. Winarti, S., dkk. (2020). Efek Paparan Pornografi terhadap Otak Anak. Yogyakarta: Pusat Kajian Kesehatan Anak dan Remaja.
  8. Yudistira, Arif. (2021). Momong: Seni Mendidik Anak. Surakarta : Perisai Pena.

Mengurai Benang Kusut Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik yang Menjerat Anak

Beberapa luka tidak meninggalkan memar. Tidak ada robekan baju. Tidak ada suara teriakan. Tapi rasanya nyata. Dan mereka yang menanggungnya adalah anak manusia yang belum selesai tumbuh, tetapi telah dicegat oleh rasa takut, malu, dan bingung yang tak mereka mengerti.

Hari ini, anak-anak tidak hanya hidup di dunia nyata. Mereka juga tumbuh di dunia digital tempat bermain, belajar, tertawa, dan mencari pengakuan. Ruang maya bukan sekadar pelengkap, tetapi telah menjadi bagian dari keseharian anak-anak usia sekolah, terutama mereka yang duduk di usia bangku SMP dan SMA. Seperti semua ruang, dunia digital tidak selalu aman.

Di balik fitur pertemanan lengkap di media sosial, tersembunyi bahaya yang tak selalu dikenali anak. Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) terjadi ketika seseorang memanfaatkan teknologi untuk melecehkan, memaksa, mengancam, atau mengeksploitasi anak secara seksual. Wujudnya bisa berupa ajakan mengirim foto bagian-bagian tubuh vital, rekaman video call, hingga pemerasan menggunakan konten pribadi. Semua itu bisa dilakukan tanpa sentuhan fisik, namun dampaknya sangat mendalam.

Sering kali, anak tidak tahu bahwa yang mereka alami adalah kekerasan. Apalagi jika pelaku adalah orang yang sebelumnya memberi perhatian, pujian, atau bahkan tampak seperti teman sebaya bahkan orang dewasa sekitar. Ketika perhatian itu berubah jadi tekanan, ancaman, atau permintaan yang melampaui batas, anak sering kali merasa bersalah. Padahal mereka tidak salah.

Pada proses pendampingan, usia korban kerap kali jadi kendala tersendiri dalam proses penyelesaiannya. Laporan TaskForce KBGO, menegaskan bahwa mereka merasa terbata-bata saat menyelesaikan perkara kasus KBGO pada anak. Dengan batas usia legal 18 tahun, sering kali pendamping mengalami kesulitan saat meminta persetujuan perwalian orang dewasa ketika kasusnya ingin dilanjut ke ranah hukum. Persepsi wali dan pihak sekolah terhadap KBGO pun menjadi penting dalam penyelesaian kasusnya.  Bukan karena tidak ingin, tapi karena takut tidak dipercaya, takut disalahkan, atau bahkan takut dianggap “nakal”.

Padahal, anak tidak pernah bisa dianggap bersalah atas kekerasan yang terjadi pada mereka, baik di dunia nyata maupun digital. Bahkan ketika mereka mengirim konten pribadi karena dibujuk atau dirayu, anak tetap berstatus korban.

Dalam hukum Indonesia, anak belum dapat memberikan persetujuan sah atas aktivitas seksual, baik fisik maupun digital. Ini ditegaskan dalam Pasal 14–16 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), serta Pasal 59 dan 64 UU Perlindungan Anak, yang menjamin perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan seksual berbasis teknologi.

Sayangnya, hukum yang sudah cukup progresif ini belum sepenuhnya hadir dalam praktik. Banyak kasus KBGO tidak dilaporkan karena prosesnya dianggap rumit, memalukan, atau menakutkan. Tidak semua polisi, guru, atau orang tua tahu bagaimana merespons laporan anak dengan empati dan kepekaan. Kadang anak bahkan diminta untuk “mengakui kesalahan” sebelum dibantu. Maka, anak terluka dua kali, pertama oleh pelaku, kedua oleh sistem yang tidak berpihak.

KBGO bukan hanya soal teknologi. Kejahatan dari ketimpangan relasi kuasa, kurangnya literasi digital, serta budaya yang masih menyalahkan korban. Pelaku memanfaatkan kesenjangan itu, dalam kepercayaan diri anak, lalu mengubahnya menjadi alat kendali.

Solusinya bukan melarang internet atau menyita gawai. Teknologi bukan musuh. Dunia digital akan tetap menjadi bagian hidup anak, dan kita tidak bisa membangun dunia tanpa mereka di dalamnya. Hal yang diperlukan adalah pendampingan yang lembut, ketegasan dan pencegahan yang sadar dibarengi sistem hukum yang berpihak.

Orang tua tidak harus jadi ahli teknologi, tetapi bisa mulai dari kalimat sederhana: “Kalau kamu merasa tidak nyaman, kamu boleh cerita.” Bukan dengan marah, tetapi dengan mendengar. Tidak dengan larangan, tetapi dengan menemani. Rumah harus menjadi ruang aman pertama bagi anak, bukan tempat anak takut dikira pembuat masalah.

Di sekolah, guru bisa menyisipkan isu perlindungan digital dalam mata pelajaran, diskusi kelas, atau layanan konseling. Bahkan saat pelajaran PPKn, tema seperti “hak atas tubuh”, “batasan relasi sehat”, atau “cara melaporkan pelecehan online” bisa jadi topik penting. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga penjaga keamanan psikologis bagi pertumbuhan anak.

Negara juga punya peran besar. Layanan pelaporan kekerasan seksual digital harus mudah, cepat, dan ramah anak. Pendampingan hukum dan psikologis harus menjangkau hingga daerah yang belum punya fasilitas. Penegak hukum perlu dibekali dengan pendekatan trauma dan keahlian dalam menangani bukti digital. Platform media sosial perlu didorong bertanggung jawab dengan fitur pelaporan ramah anak, penghapusan cepat konten berbahaya, dan kerja sama dengan lembaga perlindungan anak.

Dan kita, masyarakat luas, netizen, tetangga, teman sekolah, komunitas bisa memilih untuk tidak menyebarkan konten bersifat asusila dan intim, tidak menyalahkan korban, tidak memberi komentar merendahkan di foto anak, dan menjadi pendukung yang bisa dipercaya.

Karena anak-anak tidak menunggu kita jadi sempurna. Mereka hanya ingin tahu: “Kalau aku cerita, apa ada yang percaya?” Maka jawablah, dengan kata-kata yang tulus  “Iya. Kami percaya. Kamu tidak sendiri. Dan kami akan bantu.”

Itulah awal dari dunia digital yang aman bukan hanya lewat aturan, tapi lewat keberanian kolektif untuk percaya dan menjaga. Dunia tempat anak bisa tumbuh, bermain, belajar, dan bermimpi tanpa rasa takut yang seharusnya tidak pernah mereka tanggung sendiri.

Era Digital: Amanah Anak di Tengah Layar

Anak-anak hari ini lahir dan tumbuh di tengah layar. Kita hidup di zaman kala HP lebih mudah dijangkau daripada buku cerita. Anak-anak lebih dulu kenal ikon skip ad daripada huruf hijaiyah. Sebagai seorang ibu dari dua anak (usia 7 dan 4 tahun), saya melihat langsung betapa mudahnya anak-anak kita masuk ke pusaran digital.

Kita sebagai orang tua, berada di tengah dilema. Ingin anak melek teknologi tapi juga takut mereka tenggelam di dalamnya. Laporan UNICEF (2021) menegaskan bahwa anak-anak yang terpapar dunia digital tanpa pendampingan memiliki risiko lebih tinggi terhadap kesehatan mental dan perkembangan sosial.

Di sinilah peran kita diuji. Kita tidak sedang menghadapi anak ‘nakal’ atau keras kepala, tapi anak yang sedang tumbuh di zaman yang sangat berbeda dari masa kecil kita dulu. Mereka butuh bimbingan, bukan hanya larangan.

Jujur saja, kadang saya sendiri juga merasa terdistraksi. Ingin main HP saat anak-anak butuh ditemani. Namun saya ingat, Islam mengajarkan bahwa anak adalah amanah, dan tugas orang tua bukan hanya mencukupi kebutuhan fisik mereka, tapi juga menjaga hati, akhlak, dan arah hidupnya (Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam).

Dalam Surat At-Tahrim ayat 6, Allah Swt berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

Ayat ini tidak hanya memerintahkan perlindungan fisik, tapi juga perlindungan nilai, akhlak, dan orientasi hidup anak. Di era digital, maknanya menjadi semakin relevan. Orang tua harus mampu membimbing anak, memilah mana yang baik dan mana yang merusak dari dunia maya.

Dalam pendekatan psikologi Islam dan pengasuhan anak yang kami lakukan sehari-hari, kami belajar bahwa orang tua perlu menjalankan tiga peran penting, berdasarkan literatur pengasuhan “Kompilasi Makna dari Berbagai Sumber Islam Klasik dan Aplikatif dalam Parenting”, sebagai berikut: Pertama, orang tua sebagai teladan (qudwah). Anak meniru apa yang orang tua lakukan, bukan apa yang orang tua katakan. Jika orang tua sibuk dengan layar, maka anak pun akan merasa itu hal yang wajar.

Kedua, orang tua sebagai pendamping (murafiq). Anak-anak butuh ditemani saat mereka mengenal dunia digital. Kita perlu hadir, bukan hanya mengawasi, tapi juga memahami apa yang mereka lihat, mainkan, dan rasakan. Dan ketiga, orang tua sebagai pelindung (haris). Bukan berarti menjauhkan mereka sepenuhnya dari teknologi, tapi memberikan pondasi nilai agar mereka kuat menghadapi godaan dunia maya. Nilai agama, rasa percaya diri, dan hubungan yang hangat di rumah (Panduan KPAI dan KemenPPPA tentang Pengasuhan Era Digital).

Berikut beberapa langkah kecil tetapi berdampak besar yang kami terapkan dalam keluarga:

  1. Zona Bebas Gawai. Kami menciptakan ruang dan waktu tanpa gawai, seperti saat makan bersama dan menjelang tidur.
  2. Pilih Konten Bersama. Anak-anak boleh menonton video, tapi kami pilih dan tonton bersama mereka. Lalu kami ajak diskusi nilai-nilai yang muncul. Atau bermain game yang sudah dimainkan lebih dulu oleh ayahnya untuk memastikan anak-anak bermain sesuai usia dan bebas konten kekerasan dan pornografi atau pornoaksi.
  3. Batasan Waktu Layar. Anak hanya boleh memakai gawai dan laptop maksimal satu jam per hari atau durasi disesuaikan dengan usianya. Durasi satu jam per hari dibagi menjadi empat sesi: sepulang sekolah, setelah mandi sore, setelah isya dan saat di rumah nenek. Hanya di hari tertentu, dan tidak setiap hari.
  4. Aktivitas Offline yang Bermakna. Bermain block brick, gowes, camping, berenang, bermain catur, atau membaca buku bersama menjadi alternatif nyata untuk distraksi digital.

Era digital adalah keniscayaan, tapi fitrah anak tetap harus dijaga. Anak-anak kita butuh lebih dari sekadar sinyal WiFi. Mereka butuh sinyal cinta, batasan, kehadiran nyata orang tua, dan siap belajar. Perangkat mungkin boleh canggih. Namun yang lebih dibutuhkan anak adalah pelukan, obrolan ringan, dan batasan yang hangat. Saya percaya, gadget tidak akan mengambil peran kita sebagai orang tua kecuali jika kita sendiri yang melepaskannya.