Menyoal Proyek Strategi Nasional
Menjelang Seratus Abad Indonesia Merdeka, mengapa banyak sekali proyek pemerintah berlabel Proyek Strategis Nasional (PSN) malah merugikan rakyat? Kontras mencatat selama periode 2019-2023 sebanyak 79 peristiwa pelanggaran HAM terjadi berkaitan dengan PSN. Peristiwa pelanggaran HAM berkaitan dengan PSN tersebar di 22 Provinsi di Indonesia. Tiga provinsi dominan terjadi di NTT sebanyak 12 peristiwa, Jawa Barat 9 peristiwa, dan Jawa Tengah 9 peristiwa (kontras.org).
Nyatanya, proyek pemerintah yang menumbalkan rakyat sudah berlangsung sejak zaman kolonial. Saya akan memulai dari buku yang ditulis Pramoedya Ananta Toer berjudul “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”. Buku yang ditulis Pram di pengujung usianya ini, mengungkap soal fakta sejarah yang tidak banyak ditulis sejarawan dan seolah telah dilupakan, yakni sisi kelam pembangunan Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels yang banyak memakan korban.
Pembangunan jalan ini, kata Pram, termasuk dari sekian genosida yang dilakukan kolonialisme Belanda. Berdasarkan catatan Inggris, Pram menyebut angka 21.000 rakyat Indonesia yang terkapar mati menjadi “aspal” jalan tersebut.
Genosida pertama dilakukan Jan Pietersz Coen, pendiri Batavia, di Bandanaira (Banda). Seluruh penduduk di pulau ini dihabisi dan diganti dengan budak belian yang didatangkan dari luar. Genosida kedua dilakukan Daendels ketika membangun Jalan Raya Pos, dan yang ketiga adalah cultuurstelsel atau tanam paksa pada masa Van den Bosch.
Dalam buku ini, selain menceritakan pembangunan Jalan Raya Pos, Pram juga menceritakan kota-kota yang dilalui jalan sepanjang ± 1000 km itu. Setiap kota merekam sejarahnya masing-masing. Pram melukiskan keindahan, keunikan, kelebihan, potensi, serta sejarah yang dimiliki setiap kota. Pengetahuan sejarahnya yang matang membuat tulisannya ini terasa hidup dan segar, sehingga seolah-olah buku ini semacam cermin yang memantulkan bayangan masa lalu kota-kota tersebut.
Daendels merampungkan pembangunan jalan yang panjangnya setara Amsterdam-Paris itu hanya dalam waktu satu tahun, sungguh prestasi luar biasa. Meskipun, sebetulnya Daendels tidak membangunnya dari nol. Sebagian besar jaringan jalan itu memang sudah ada, yaitu jalan yang digunakan Sultan Agung ketika menyerang Batavia. Daendels hanya meneruskan, memperbaiki, dan memperlebar hingga 7,5 meter.
Namun, prestasi itu tidak berbanding lurus dengan “ongkos” yang dikeluarkan demi untuk mewujudkan ambisi besarnya itu, terlebih ongkos nyawa, darah, dan keringat rakyat Indonesia. Daendels memang terkenal ganas dan kejam. Saking kejamnya, orang menyebutnya Mas Guntur atau Mas Galak.
Sehingga, tidak aneh, apabila dalam pemerintahannya, terutama kebijakannya membangun Jalan Raya Pos, banyak sekali pemberontakan dan perlawanan dari rakyat kecil. Di Banten, perlawanan datang dari Muhammad Ishak Zainal Muttaqin, sultan Banten waktu itu, bersama-sama rakyatnya.
Begitu juga ketika pembangunan jalan tersebut melewati Sumedang, rencana Daendels itu ditentang Pangeran Kornel (Pangeran Koesoemahdinatan IX). Pun ketika melewati Cirebon, Daendels menghadapi perlawanan kiai dan santri Babakan, Ciwaringin, Cirebon.
Meskipun perlawanan-perlawanan itu dapat dipatahkan, akan tetapi memori perlawanan itu masih terus hidup dan menyala sampai sekarang, bahkan menjadi semacam kebanggaan: bangga bukan bangsa penakut; bukan bangsa yang mudah dijajah, ditundukkan, dan ditaklukkan!
Yang kedua buku “Ekspedisi Anjer-Panaroekan”, sebuah laporan jurnalistik yang dilakukan Kompas. Buku ini juga memotret pembangunan Jalan Raya Pos yang dilakukan Daendels, menyusuri kota-kota tua yang dilalui jalan ini, juga menyinggung rencana pemerintah membangun Mega proyek Tol Trans Jawa yang waktu itu mendapat perlawanan dari kiai dan santri Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Waktu itu mega proyek jalan tol Cikampek-Palimanan itu mencaplok tanah pesantren, menggusur dan menghilangkan sejarah, harapan, impian, dan imajinasi yang terkubur bersama tanah tersebut.
Berbeda dengan buku Pram yang lebih banyak memotret kisah masa lalu, buku ini dilengkapi dengan data-data terbaru, dan lebih banyak berbicara dalam konteks kekinian. Sejatinya, pola dan bentuk perlawanannya sama, hanya aktornya saja yang berbeda.
Jika di zaman kolonialisme-imperialisme yang dilawan adalah VOC, sebuah perusahaan multinasional yang dimiliki Belanda, maka hari ini yang kita lawan dan hadapi adalah jaringan kapitalisme global seperti perusahaan-perusahaan multinasional (MNC), World Bank, IMF, dll. Merekalah yang sering kali berada di belakang PSN di negeri ini.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!