Pos

Filter Wajah dan Luka Batin: Tubuh Anak Perempuan dalam Tekanan Algoritma

Di sebuah pagi yang biasa, anak perempuan berusia sembilan tahun duduk di depan kamera ponsel, memiringkan wajahnya ke kiri, lalu ke kanan. Ia tak sedang bermain. Ia sedang mencari sudut terbaik dari wajahnya.

Tiga kali ia mencoba tersenyum, dua kali mengerutkan bibir seperti influencer idolanya. Setelah lima belas menit, ia memutuskan: filter nomor tiga membuatnya terlihat paling cantik. Lalu ia unggah fotonya, berharap ada yang bilang, “Kamu glowing banget!”

Ini bukan kisah fiksi. Ini fragmen kecil dari kenyataan banyak anak perempuan hari ini, anak-anak yang mengenal wajah mereka bukan dari cermin, tetapi dari kamera. Anak-anak yang belajar mencintai diri bukan dari pelukan orang tua, tetapi dari like dan komentar di media sosial.

Kita tengah menghadapi era baru luka batin. Luka yang bukan datang dari kekerasan fisik, tetapi dari tekanan algoritma terhadap tubuh. Luka yang tak berdarah, tapi terus mengikis harga diri. Luka yang kian dalam ketika orang tua sendiri tak melihatnya sebagai luka.

Tubuh Anak dalam Cengkeraman Filter

Aplikasi seperti TikTok, Instagram, dan Snapchat tidak hanya menyediakan tempat bermain bagi anak-anak, tapi juga membentuk cara mereka melihat diri. Dengan sekali klik, filter bisa memperbesar mata, menghaluskan kulit, melangsingkan pipi. Wajah anak perempuan yang tadinya polos berubah menjadi versi yang dianggap “lebih pantas untuk dilihat.”

Tak ada yang salah dengan bermain-main dengan filter, kecuali ketika anak-anak mulai membandingkan wajah asli mereka dengan versi digital. Banyak anak yang menolak difoto tanpa filter. Beberapa bahkan merasa jijik melihat wajah mereka sendiri di cermin. Bagi mereka, filter bukan lagi hiburan, melainkan topeng untuk merasa berharga.

Anak-anak perempuan, sejak dini, diajari bahwa tubuh mereka bukan semata tempat tinggal, melainkan etalase. Mereka tumbuh dikelilingi oleh budaya visual yang menekankan bahwa untuk diterima, mereka harus tampil sesuai standar tertentu: cantik, bersih, manis, menggemaskan.

Masalahnya bukan pada keberadaan filter itu sendiri, melainkan pada bagaimana filter telah menjadi ukuran kebenaran visual. Banyak anak perempuan tak mau difoto tanpa filter. Beberapa merasa wajah mereka di cermin tidak pantas dipamerkan. Ini adalah bentuk baru dari gangguan citra tubuh, namun berlangsung dengan senyap dan sistematis. Luka batin ini tumbuh dalam sorotan kamera, tapi tak banyak orang dewasa yang menyadarinya.

Banyak keluarga justru ikut memperkuat luka itu. Sejak bayi, anak perempuan difoto, didandani, di-posting. Pujian demi pujian datang bukan karena karakter, tetapi karena penampilan. Orang tua dengan bangga memamerkan anak mereka di media sosial, tanpa bertanya: untuk siapa semua ini? Siapa yang melihat? Siapa yang menilai?

Anak perempuan pun tumbuh dengan kesadaran bahwa tubuh mereka adalah properti publik. Mereka belajar bahwa ada ekspresi tertentu yang lebih disukai, ada gaya tertentu yang lebih viral. Mereka belajar bahwa tubuh bukan milik mereka sepenuhnya, melainkan milik kamera dan algoritma.

Luka yang Tak Terlihat

Tak mudah mengenali luka ini, sebab ia tidak membiru, tidak berdarah. Tapi ia hidup dalam cara anak-anak mulai menyembunyikan bagian dari diri mereka, dalam keengganan mereka tampil polos, dalam ketakutan menghadapi kamera tanpa ‘polesan’. Anak perempuan mulai menyamakan harga diri dengan validasi eksternal, dan ketika validasi itu tak datang, yang tumbuh adalah kecemasan, keraguan diri, bahkan depresi.

Penelitian menunjukkan bahwa keterpaparan pada media sosial—terutama dengan fitur visual seperti filter—berkorelasi dengan gangguan makan, tekanan citra tubuh, dan rendahnya kepercayaan diri. Anak-anak perempuan mulai mendefinisikan nilai diri mereka bukan dari kasih sayang keluarga, melainkan dari komentar singkat seperti “cakep bgt” atau “ga glowing sih.”

Dan di saat yang sama, orang tua sering kali buta huruf digital. Mereka mengira anak sedang bermain, padahal anak sedang membentuk konsep dirinya. Mereka mengira dengan memberi gadget, anak akan diam dan aman. Padahal gawai itu sedang membisikkan nilai-nilai baru yang tak pernah diajarkan di rumah.

Apakah ini bentuk perlindungan? Ataukah bentuk baru eksploitasi dengan bungkus kekinian?

Menciptakan Ruang Aman

Perlindungan anak di era digital tak cukup dengan fitur pengunci, waktu layar, atau larangan aplikasi. Ia dimulai dari perubahan nilai yang diajarkan di rumah: bahwa tubuh adalah bagian dari martabat, bukan performa. Bahwa wajah tak harus selalu tersenyum, tak harus selalu rapi, dan tak perlu selalu disesuaikan dengan selera publik.

Anak perempuan perlu tahu bahwa mereka cukup, tanpa filter, tanpa likes, tanpa penilaian eksternal. Dan mereka hanya akan tahu itu jika orang tua berhenti memuji penampilan sebagai nilai utama. Jika orang tua mulai bertanya, bukan soal bagaimana anak tampil, tapi bagaimana perasaannya hari ini.

Keluarga seharusnya menjadi ruang aman pertama, tempat anak boleh tampil polos, boleh menangis, boleh salah. Tapi itu tak akan mungkin jika keluarga sendiri terobsesi pada citra, pada unggahan, pada komentar.

Di tengah dunia yang terus menekan anak perempuan untuk tampil sempurna, tugas keluarga adalah sederhana tapi krusial: menjadi tempat anak bisa tampil utuh. Wajah apa adanya. Emosi apa adanya. Hidup apa adanya.

Barangkali luka paling dalam yang dialami anak-anak kita hari ini bukan berasal dari kekurangan, melainkan dari keyakinan bahwa diri mereka tak pernah cukup. Dan luka itu tumbuh pelan-pelan, di balik senyum tipis yang dibentuk oleh filter kamera.

Akun Anonim, Komentar Seksis, Mengapa Mereka Menyebalkan?

Tiktok kini telah menjadi platform media sosial raksasa yang menguasai jagat maya Indonesia. Dengan lebih dari 106 juta pengguna aktif di tanah air pada Oktober 2023, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia.

Platform media sosial TikTok memang dikenal dengan kebebasan berekspresi, di mana pengguna dapat memproduksi konten tentang diri mereka, mulai dari dance challenge, makeup tutorial, kuliner, hingga curhatan personal. Tapi, kebebasan ini ternyata juga dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk berkomentar secara tidak etis, non substansial, bahkan melecehkan.

Di balik beragam keseruan dan kreativitas yang ada, sayangnya muncul fenomena yang memprihatinkan: kekerasan seksual verbal yang tersebar dalam bentuk komentar sarat ambiguitas seperti “Crt”, “Tbrt” maupun “Logo Tesla”. Dari sekian banyak komentar, kosa kata tersebut tak hanya bersifat merendahkan, tapi juga memperlihatkan betapa bebasnya individu bersembunyi di balik anonimitas atau akun palsu untuk melakukan pelecehan tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.

Tak sedikit konten kreator hingga musisi diterpa gelombang komentar dengan nada yang serupa. Tak hanya terhadap konten yang menampilkan busana terbuka, bahkan kreator dengan pakaian tertutup yang isi kontennya sebatas aktivitas keseharian pun masih terkena imbasnya. Jadi, akar masalah fenomena ini pada dasarnya bukan soal cara kreator berpakaian atau isi konten yang ditampilkan, tapi dari bagaimana cara akun anonim berkomentar yang selalu melibatkan selangkangan dalam mengambil keputusan.

Membongkar Akar Komentar Menyebalkan

Kekerasan seksual verbal merupakan bentuk kekerasan yang kerap terabaikan, dianggap sebatas hal remeh atau hanya “lelucon” digital belaka. Tak sedikit yang menganggap pelecehan seksual hanya sebatas kekerasan fisik, padahal ucapan maupun komentar di atas juga masuk dalam kategori kekerasan seksual. Faktanya, pelecehan verbal yang menyebar melalui kolom komentar, meski tak menyentuh tubuh secara langsung, tetap dapat menimbulkan luka mendalam pada korban.

Beberapa dari kita mungkin pernah melihat atau bahkan sudah muak membaca serbuan komentar di konten pengguna seperti “Crt”, “Tbrt” maupun “Logo Tesla” yang kerap didominasi oleh akun anonim. “Crt”, yang awalnya diterjemahkan dari “ceritanya” ini, diungkapkan dengan cara yang sengaja mengolok-olok atau merendahkan seseorang dengan bermain di wilayah abu-abu dan multi-tafsir.

Sementara itu, kata “Tbrt” jauh lebih frontal, sebab istilah tersebut kerap ditujukan terhadap mereka yang mempunyai ukuran payudara tertentu. Bahkan penggunaan istilah dalam berkomentar ini ditanggapi serius oleh Komnas Perempuan lantaran mempunyai makna yang melecehkan perempuan secara verbal.

Maraknya penggunaan kosa kata seperti ini di kolom komentar telah merefleksikan betapa kuatnya budaya misoginis dan seksis yang mengakar dalam masyarakat kita. Hal ini telah memperlihatkan pada kita semua betapa inflasinya empati dan nir-etika di antara pengguna sosial media.

Sejumlah komentar template ini bukan hanya sebatas candaan tanpa arah, tapi lebih kepada wujud nyata dari budaya kekerasan seksual verbal yang sudah mengakar di dunia maya. Istilah-istilah serupa “Crt” maupun “Tbrt” seringkali dipergunakan tanpa rasa malu atau penyesalan. Bahkan, yang lebih parah lagi, komentar semacam ini bukan hanya dilontarkan oleh satu dua akun, tapi bisa sampai puluhan dengan pesan yang hampir serupa.

Kata maupun kalimat jorok, ejekan, bahkan lelucon bernada seksual yang kerap kita temui di TikTok adalah bentuk kekerasan yang semestinya tidak boleh dianggap sepele. Efeknya bisa sangat berbahaya: mulai dari perasaan malu, marah, insecure hingga trauma psikologis yang mendalam.

Karena merasa tak sendiri dan banyak akun mempergunakan istilah serupa, kosa kata ini seolah menjadi tren dan dibiasakan. Meski tak menyentuh secara fisik, mereka secara terang mengobjektifikasi, merendahkan bahkan memanipulasi persepsi publik perihal tubuh dan identitas seseorang.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Rape Abuse & Incest National Network (RAINN) bahwa pelecehan seksual tak hanya soal sentuhan fisik, tetapi juga bisa berupa rayuan yang tak diinginkan, lelucon yang menyentuh ranah seksual, atau komentar yang merendahkan orientasi seksual seseorang.

Membangun Kepedulian Ruang Digital yang Aman

Maraknya komentar bernada pelecehan seperti “Crt” dan “Tbrt” di TikTok bukan sekedar candaan yang tak perlu diseriusi atau diabaikan. Masalah ini merupakan fenomena puncak gunung es dari mengakarnya isu kekerasan seksual verbal yang terus-menerus bertransformasi seiring perkembangan dunia digital tanpa disertai dengan upaya pembenahan. Jika parasit ini dibiarkan begitu saja, maka ia akan segera merusak ekosistem ruang digital yang semestinya didesain inklusif dan aman untuk semua kalangan.

Pelecehan seksual verbal ini berpotensi menimbulkan daya rusak yang luar biasa, terutama bagi korban. Perasaan terintimidasi, dihina, atau dipermalukan mempunyai efek jangka panjang bahkan mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Terlebih, di dunia maya, para pelaku akan selalu merasa aman berlindung di balik akun anonim karena tidak ada konsekuensi langsung yang mereka hadapi baik sosial maupun hukum.

Untuk memutus praktik kekerasan seksual verbal di TikTok yang tengah terjadi saat ini, kita perlu andil aktif untuk mendetoksifikasi ruang digital yang aman. Salah satunya dengan merubah cara berpikir bahwa istilah “Crt” atau “Tbrt” sama sekali tidak lucu untuk dipergunakan sebagai bahan candaan, bahkan harus dianggap sebagai kejahatan.

Kekerasan seksual verbal kian berkembang di balik anonimitas, harus dianggap sebagai problem kompleks dan mengakar. TikTok sebagai pengelola semestinya mempunyai regulasi yang tegas dalam membuat akun dan memfilter jenis komentar tertentu yang diduga bermuatan kebencian maupun bernada pelecehan seksual.

Platform ini harus lebih proaktif dalam memberikan edukasi kepada penggunanya terkait etika digital dan apa yang dianggap sebagai perilaku yang tak pantas. Setiap komentar yang nir-etika atau bernada merendahkan seyogyanya secara otomatis dihapus dan para pelaku harus diberikan sanksi yang jelas dan tegas. Dengan demikian, kita bisa berhenti berkata: akun anonim benar-benar menyebalkan!