Pos

Kiai Feminis (Bagian 3)

Pemikiran Buya Husein tentang keadilan gender berangkat dari pandangan teologis tentang kesetaraan dalam penciptaan dan kedudukan di hadapan Allah. Buya Husein menginterpretasikan QS. An-Nisa: 1 yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari diri yang satu (nafs wahidah) sebagai sebuah deklarasi kesetaraan dalam Islam. Beliau menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari sumber yang sama dan tidak ada perbedaan dalam urusan kemanusiaan.

Lebih lanjut, QS. Al-Ahzab: 35 menjadi rujukan untuk mempertegas bahwa pahala dan kedudukan spiritual bagi laki-laki dan perempuan adalah sama. Penilaian ketakwaan tidak didasarkan pada gender, yang secara tegas membantah anggapan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Karena itu, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama baik dalam  pendidikan, pekerjaan maupun kepemimpinan. Buya Husein menekankan bahwa mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan.

Beliau mengkritik pembatasan kesempatan pendidikan bagi perempuan sebagai hal yang tidak logis dan bertentangan dengan ajaran Islam. Beliau juga mendukung reformasi kurikulum pendidikan Islam agar lebih inklusif, menciptakan generasi yang menghargai hak individu tanpa memandang gender.

Begitu juga dalam hal pekerjaan. Menurut Buya Husein, Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja selama pekerjaan tersebut tidak melanggar syariat. Beliau mencontohkan Khadijah binti Khuwalid, istri Nabi Muhammad SAW, sebagai pengusaha sukses di masanya. QS. An-Nahl: 97 mendukung pandangan ini, di mana Islam menghargai setara amal saleh laki-laki dan perempuan, termasuk dalam bekerja, yang harus berdasarkan pilihan, bukan paksaan.

Buya Husein berpandangan bahwa perempuan memiliki kemampuan dan keahlian yang sama dengan laki-laki, sehingga memungkinkan mereka untuk menjadi pemimpin. Beliau berpendapat bahwa tidak ada larangan tekstual maupun kontekstual yang tegas bagi perempuan untuk memimpin. Beliau bahkan mendukung perempuan menjadi imam salat, mengkritik alasan “khauful fitnah” (kekhawatiran akan godaan) yang sering disematkan pada perempuan. Baginya, kriteria imam adalah kapabilitas dan kemampuan, bukan jenis kelamin.

Reinterpretasi Hukum Keluarga

Buya Husein secara tegas menyatakan bahwa Islam tidak membenarkan kekerasan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Beliau mereinterpretasi frasa “wadhribūhunna” dalam QS. An-Nisa: 34, yang secara tradisional diartikan sebagai “pukullah mereka.”

Beliau menafsirkan dharaba tidak hanya memiliki satu makna, dan dalam konteks ini, mengartikan “wadhribūhunna” sebagai “penyelesaian melalui pengadilan” atau “rujuk ke pengadilan”. Kekerasan terhadap perempuan, dalam pandangannya, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan sama sekali tidak Islami, meskipun pelakunya mencoba menggunakan legitimasi agama.

Reinterpretasi frasa “wadhribūhunna” ini merupakan pergeseran paradigma yang radikal dari pemahaman tradisional yang literal, yang secara historis sering digunakan untuk membenarkan kekerasan dalam rumah tangga di komunitas Muslim. Dengan mengalihkan makna dharaba dari pemukulan fisik ke jalur hukum, Buya Husein secara efektif menghilangkan legitimasi agama untuk kekerasan dalam perkawinan.

Langkah ini bukan sekadar penafsiran linguistik, melainkan sebuah tindakan etis dan hukum yang mendalam, menyelaraskan teks Al-Qur’an dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia universal dan nilai keadilan Islam yang lebih luas. Ini menyediakan alat teologis yang kuat untuk mengadvokasi anti-KDRT dalam masyarakat Muslim.

Salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah poligami. Dalam masalah poligami Buya Husein berpendapat bahwa poligami bukanlah praktik yang diinisiasi oleh Islam, melainkan tradisi patriarkis pra-Islam yang ingin diubah atau dieliminasi secara bertahap oleh Al-Qur’an.

Meskipun diizinkan, beliau memperketat syarat keadilan, terutama keadilan mental-psikologis, yang menurutnya sangat sulit diwujudkan oleh seorang laki-laki kepada istri-istrinya. Beliau melihat monogami sebagai puncak kehendak Allah SWT yang harus terus diperjuangkan.

Begitu juga tentang pembagian harta waris. Ayat-ayat warisan yang mengatur bagian 2:1 untuk pria dan wanita dianggap sebagai ayat mutashâbihât (dapat diinterpretasikan) yang relevan dengan konteks masyarakat Arab saat itu, di mana perempuan tidak memiliki hak waris sama sekali.

Buya Husein berpendapat bahwa seiring perkembangan peran perempuan di era modern, di mana banyak perempuan juga menjadi pencari nafkah utama, porsi warisan perlu direformasi dan disesuaikan dengan realitas sosial budaya kontemporer. Pendekatan hermeneutika feminis, historis, dan sosiologis digunakan untuk reinterpretasi ini.

Pendekatan Buya Husein terhadap poligami dan warisan bukanlah tentang pelarangan total, tetapi tentang reformasi bertahap yang strategis. Dengan membuat syarat poligami menjadi hampir tidak mungkin dipenuhi (terutama keadilan mental-psikologis), beliau secara efektif “menutup pintu secara perlahan” terhadap praktik tersebut.

Demikian pula, dengan merekontekstualisasi ayat-ayat warisan, beliau membuka kemungkinan untuk distribusi yang lebih adil dalam masyarakat kontemporer tanpa secara langsung menghapus teks. Ini mencerminkan strategi reformis yang pragmatis, bekerja dalam kerangka keagamaan yang ada untuk mencapai hasil yang progresif. Pendekatan inkremental ini sangat penting untuk mencapai reformasi dalam praktik-praktik keagamaan yang sudah mengakar kuat.

Pemikiran progresif dan kritis Buya Husein telah memberikan kontribusi signifikan dalam mereformasi pemahaman masyarakat tentang Islam di Indonesia, khususnya terkait kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Beliau telah memengaruhi pengembangan hukum keluarga di Indonesia, termasuk melalui kontribusinya pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Karyanya yang terkenal, “Fiqh Perempuan,” telah menjadi referensi penting bagi aktivis perempuan dan sulit dibantah karena landasan argumennya yang kuat dan berbasis pada tradisi keilmuan Islam.

Pengakuan akademis atas pemikirannya semakin mengukuhkan posisinya. Pemberian gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Walisongo Semarang pada tahun 2019 merupakan pengakuan atas keberhasilannya dalam membedah interpretasi terkait keadilan sosial, khususnya gender. Ini menunjukkan bahwa pemikirannya diterima dan dihargai dalam lingkungan akademis Islam, memberikan legitimasi tambahan bagi gerakan keadilan gender.

Relevansi pemikiran Buya Husein di era kontemporer sangat tinggi. Pendekatan tafsirnya yang dinamis dan kontekstual menunjukkan bahwa ajaran Islam dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa mengorbankan nilai-nilai dasarnya. Pemikirannya mengarah pada pemahaman hukum keluarga yang lebih inklusif, progresif, humanis, dan kontekstual, yang adaptif terhadap dinamika masyarakat modern.

Beliau menjadi teladan bagi ulama laki-laki dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, membuktikan bahwa feminisme bukanlah gerakan yang eksklusif bagi perempuan atau semata-mata sekuler, melainkan dapat berakar kuat dalam tradisi keagamaan Islam itu sendiri.

Domestikasi Perempuan: Antara Ketetapan Syariat dan Parsialitas Pemahaman

Patriarki merupakan suatu sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pemegang kekuasaan utama. Dalam keluarga yang menganut sistem ini, laki-laki dipandang sebagai sosok yang pantas untuk berkarir karena ia adalah pemimpin keluarga yang bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga. Sedangkan perempuan merupakan sosok yang paling bertanggungjawab atas pekerjaan domestik.[1]

Pada sebagian kasus, perempuan dituntut untuk meninggalkan cita-cita dan karirnya demi  fokus mengurus rumah. Mengutip dari website Indonesia Bussiness Coalition for Women Empowermemt (IBCWE), sebanyak 40% perempuan Indonesia meninggalkan dunia kerja setelah menikah dan memiliki anak.[2] Selain itu, sebuah riset yang dilakukan oleh para peneliti Australia menemukan bahwa lebih dari 46% perempuan Indonesia tidak bekerja setelah satu tahun dari kelahiran anak pertama mereka. Diperkirakan sekitar 8,5 juta perempuan Indonesia berusia 20-24 tahun keluar dari pekerjaan mereka setelah memiliki anak pertama.[3]

Sebagian kalangan mengatakan bahwa pembagian tugas ini telah ditetapkan dalam syariat secara mutlak. Oleh karena itu, tidak seharusnya seorang laki-laki mengerjakan pekerjaan domestik yang hanya menjadi kewajiban perempuan secara mutlak. Perempuan yang berkarir juga dianggap sebagai perempuan yang telah menyalahi kodrat dan ketetapan syariat. Pertanyaannya, apakah benar pembagian tugas ini telah ditetapkan syariat secara mutlak atau sekadar hasil dari pemahaman parsial dari syariat?

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengungkap makna yang tepat dari teks keagamaan. Pertama, Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin yang berarti rahmat bagi seluruh makhluk di alam semesta tanpa memandang jenis kelamin. Tidak ada satu pun syariat Islam yang merugikan perempuan. Sebaliknya, Islam datang untuk mengangkat derajat perempuan yang sebelumnya dipandang hina. Jika ada suatu pernyataan yang merugikan satu pihak, maka dipastikan terjadi kekeliruan dalam menafsirkan teks keagamaan.[4]

Kedua, pengetahuan tentang latar belakang historis dari turunnya suatu dalil sangat penting agar tidak terjadi kekeliruan dalam melakukan penafsiran. Pengetahuan ini merupakan langkah untuk mengetahui pesan utama dari sebuah dalil sehingga dapat dikontekstualisasikan dengan problem masa kini.[5]

Ketiga, suatu ayat tidak dapat berdiri sendiri, melainkan membutuhkan penafsiran dari ayat lainnya. Hal ini dikarenakan setiap ayat dalam Al-Qur’an saling berkaitan satu sama lain. Adapun posisi hadis dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an menempati posisi kedua setelah penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an lainnya.[6]

Untuk menjawab pertanyaan mengenai peran laki-laki dan perempuan, mari kita terlebih dahulu merujuk kepada surah An-Nisa’ ayat 1 yang merupakan dalil kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pada ayat ini dijelaskan bahwa umat manusia berasal dari nafs wahidah atau satu esensi, yakni sama-sama berasal dari bapak dan ibu yang sama. Dari keduanya lahirlah umat manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Keduanya sama-sama mengemban tugas kekhalifahan, yakni bertakwa dan menjalin relasi yang baik satu sama lain.[7]

Pada surah At-Taubah ayat 71 dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan merupakan auliya’ atau penolong bagi satu sama. Relasi keduanya diibaratkan seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan dan ibarat tubuh yang akan merasakan sakit seluruh tubuh jika ada satu saja anggota tubuh yang terluka.[8]

Dalam konteks keluarga, relasi keduanya bukan hanya sekadar akad yang menghalalkan hubungan keduanya. Lebih dari itu, akad nikah disebut dengan mitsaqan ghalidza atau perjanjian agung dikarenakan akad yang dilakukan merupakan janji keduanya kepada Allah SWT untuk saling berbuat baik satu sama lain.[9] Relasi keduanya diibaratkan seperti pakaian bagi satu sama lain yang menghangatkan di musim dingin dan menyejukkan di musim panas. Maksudnya ialah hendaknya keduanya saling memberi kenyamanan dan ketenangan.[10]

Lalu bagaimana dengan redaksi ar-rijalu qawwamuna ala an-nisa dalam surah an-Nisa’ ayat 34 yang seringkali dijadikan sebagai dalil tingginya kedudukan laki-laki dibandingkan kedudukan perempuan? Asbab an-nuzul dari surah an-Nisa’ ayat 34 berkenaan dengan seorang suami yang memukul istrinya hingga berbekas. Tindakan tersebut tidak dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Maka turunlah ayat ini.[11] Jika seorang istri melakukan kesalahan, ia tidak boleh dipukul dengan pukulan yang menyebabkan luka fisik bahkan psikis. Pukulan yang dimaksud ialah tindakan suami yang membuat istri sadar akan kesalahan yang diperbuatnya yang tidak sampai melukai fisik dan psikisnya.[12]

Sedangkan lafadz qawwamuna pada ayat ini berasal dari kata qama yang berari berdiri. Kata qama dan derivasinya tersebar di banyak tempat dalam al quran. Meskipun memiliki banyak derivasi, makna intinya adalah berdiri mengerjakan sesuatu sesuai dengan yang telah diperintahkan Allah SWT. Seperti kata aqama as sholah dalam surah al-Baqarah ayat 177 yang memiliki arti mendirikan, mengerjakan, menyempurnakan, mengerjakan sholat sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Adapun kata qawwamuna dalam surah an-nisa ayat 34 memiliki arti mengurus, merawat, memperbaiki, melindungi, menafkahi, mengingatkan kepada kebaikan, serta mencegah pada kemungkaran. Singkatnya, qawwamuna adalah sosok yang memberi kenyamanan secara fisik maupun psikis.[13]

Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling bagus akhlaknya dan orang yang paling bagus akhlaknya ialah yang paling baik perilakunya terhadap perempuan yang ada di keluarganya.[14] Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri. Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Sayyidah Aisyah mengenai kegiatan yang dilakukan Nabi SAW ketika berada di rumah. Sayyidah Aisyah menjawab bahwa Nabi SAW membantu mengerjakan pekerjaan rumah.[15]

Status laki-laki yang menjadi qawwam bagi perempuan juga berlaku sebaliknya, perempuan juga dapat menjadi qawwam bagi laki-laki dengan merujuk kepada ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan kesalingan dan kesetaraan antara keduanya.

Tak hanya melulu berkutat pada ranah domestik, perempuan juga memiliki kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk berkarir dan menggapai cita-citanya. Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah melarang istri-istrinya untuk bekerja. Sayyidah Khadijah merupakan seorang pengusaha sukses yang menggunakan hartanya untuk mendukung perjuangan Nabi SAW mendakwahkan Islam.[16] Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Ummu Salamah meriwayatkan hadis dari Nabi SAW dan mengajarkannya kepada murid-muridnya.[17]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Islam sejatinya membuka kesempatan bagi siapa pun untuk mengejar karir dan cita-citanya. Di saat yang bersamaan, Islam juga mengajarkan relasi kesalingan antara  keduanya, terutama dalam ranah domestik. Hidup berkeluarga dengan berlandaskan pemahaman tentang ajaran Islam yang baik dan benar akan menciptakan suasana kekeluargaan yang nyaman, penuh cinta, dan tentunya senantiasa dirahmati oleh Allah SWT.

 

[1] Raewyn Connell, Gender In World Perspective (Cambridge : Polity Press, 2009), hlm.3. Lihat juga Allan G. Johnson, The Gender Knot : Unvarelling Our Patriarchial Legacy (Philadelphia : Temple University Press, 2005), hlm. 40.

[2] Motherhood Penalty Affects Women’s Career, IBCW, diakses 29 Juli 2025, https://ibcwe.id/motherhood-penalty-affects-womens-careers/

[3] Lisa Cameron, Diana Contreras Suarez, Yi-Ping Tseng, Women’s Transitions in The Labour Market as a Result of Childbearing: The Challenges of Formal Sector Employment in Indonesia, Melbourne Institute Working Paper No. 06/23 (Melbourne : Melbourne Institute, 2023), hlm. 4

[4] Helmi Basri, Fiqih Muwazanah dan Moderasi Islam : Menyingkap Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perspektif Maqasid Syari’ah (Bogor : Guepedia, 2020), hlm. 61.

[5] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid 1 (Mesir : Al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), hlm. 107-108. Lihat juga Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Maktabah al-Ma’arif li an-Nasyr a a-Tauzi’, 2000), hlm. 75.

[6] Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, Jilid 1 (Riyadh : Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999), 7.

[7] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 9 (Beirut : Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 475-481.

[8] Al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, Jilid 4, hlm. 73.

[9] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,Vol. 2 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), 386-387. Lihat juga Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 4 (Mesir: Penerbit Mustafa al-Babi al-Halabi,1946), hlm. 216. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 4 (Damaskus : Dar al-Fikr, 1991), 304.

[10] A-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 2 (Kairo :Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 316-317. Lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah :Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 411.

[11] Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, Jilid 2 (Riyadh : Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999), 256.

[12] Al-Syafi’i, Tafsir al-Imam al-Syafi’i, Vol. 2 (Arab Saudi : Dar al-Tadmuriyyah, 2006), 600-601. Lihat juga Muhammad Asad, The Message of The Qur’an, (Inggris : The Book Foundation, 2003), 127.

[13] Muhammad al-Thahir bin Muhammad bin Muhammad al-Thahir al-Tunisi, Al-Tahrir wa al-Tanwir, Vol. 5 (Tunisia : Al-Dar al-Tunisiyyah li al-Nasyr, 1984), 37-38. Lihat juga Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘an Haqaiq Ghawamid al-Tanzil, Jilid 1 hlm 505. Lihat juga Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhith fi a-Tafsir, Vol 3 (Beirut : Dar al-Fikr), 622.

[14] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Vol. 2 (Beirut : Dar al-Gharb al-Islami, 1996), 454.

[15] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 1 (Damaskus : Dar Ibn Katsir, 1993), hlm. 239

[16] Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, Vol. 1 (Kairo : Dar al-Hadits, 2006), hlm. 171.

[17] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Vol. 6 (Beirut : Dar al-Gharb al-Islami, 1996), 182.