Prahara Sound Horeg
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa terbaru tentang penggunaan sound horeg. Fatwa ini mengundang pro-kontra di masyarakat, mengingat sound horeg sudah mentradisi dan kadung dianggap bagian dari hiburan rakyat. Tak hanya menghadirkan musik yang menggelegar dan menggetarkan (horeg), sound horeg biasanya dibarengi dengan pesta dan hiburan rakyat, seperti karnaval, perayaan hari-hari besar, pesta perkawinan, dll.
Artikel pendek ini akan mencoba menjelaskan dari sudut pandang keagamaan, mengapa MUI Jawa Timur menghukumi haram?
Ditilik dari sisi kebahasaan, “sound horeg” merupakan gabungan dari bahasa Inggris dan Jawa. Sound artinya suara, sedangkan horeg artinya bergetar. Dalam kamus Jawa-Indonesia (KBJI) yang diterbitkan Kemendikbud, horeg artinya bergerak atau bergetar. Horeg juga berasal dari Jawa kuno yang berarti gampa atau berguncang. Sound horeg merupakan sebuah fenomena di masyarakat yang memanfaatkan alat penghasil suara (sound system) dengan volume tinggi (DetikJateng, 18/08).
MUI Jawa Timur mengaku mengeluarkan fatwa ini berdasarkan permintaan dari masyarakat yang merasa risih dan terganggu oleh fenomena sound horeg. Suara yang dikeluarkannya dianggap mengganggu “ketertiban umum”, menimbulkan kebisingan dan polusi suara. Sebagaimana namanya, sound horeg menimbulkan “kegaduhan” dan “guncangan” di masyarakat.
Hal yang menarik buat saya, fatwa MUI tentang keharaman sound horeg ini bukan berangkat dari hukum mendengarkan dan memainkan alat-alat musik, sebagaimana disinggung ulama-ulama klasik. MUI menggunakan pendekatan saintifik sebagai pijakan dan dasar hukum.
MUI mengakui bahwa fenomena sound horeg ini tak sepenuhnya negatif, melainkan mengandung sisi positif, salah satunya membawa dampak ekonomi bagi masyarakat. Manfaat itu bukan saja kembali kepada pemilik sound horeg, tetapi juga bagi masyarakat sekitar melalui kegiatan perdagangan. Namun, MUI menimbang bahwa terkadang mudaratnya lebih besar dibanding manfaatnya.
Fatwa MUI merujuk pada Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang ambang batas kebisingan yang aman buat manusia, yaitu tidak melebihi 85 desibel (dB) untuk durasi maksimal 8 jam. Sementara menurut penelitian yang dilakukan MUI di sejumlah daerah, suara yang dihasilkan sound horeg bisa menembus 120-135 desibel. Jika terpapar terlalu lama bisa membahayakan kesehatan.
Sebelum menentukan status hukum sound horeg ini, MUI menghadirkan pakar di bidang spesialisas Tenggorokan Hidung Telinga (THT) dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya, yaitu Nyilo Purnami. Menurutnya, intensitas kebisingan dari besaran desibel harus memperhatikan batas paparan, seperti 85 dB selama 8 jam/hari, 88 dB selama 4 jam/hari, 91 dB selama 2 jam/hari, dan seterusnya. Semakin besar desibel maka semakin pendek toleransinya bagi pendengaran manusia.
Berdasarkan temuan medis mengungkapkan bahwa kebisingan di luar batas toleransi dapat menimbulkan penyakit kardiovaskular, gangguan kognitif, gangguan tidur, tinitus dan mengganggu secara sosial. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang kemudian dijadikan landasan dalam menghukumi sound horeg.
Oleh karena itu, setelah melakukan tabayyun secara menyeluruh, MUI mengeluarkan beberapa pertimbangan hukum. Pertama, pemanfaatan teknologi audio digital seperti penggunaan sound horeg untuk kegiatan sosial dan kebudayaan diperbolehkan selagi tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-undang dan tidak menyalahi hukum syariat.
Kedua, setiap individu memiliki hak berekspresi selama tidak melanggar dan mengganggu hak orang lain. Ketiga, penggunaan sound horeg yang melebihi batas toleransi bagi kesehatan pendengaran, sehingga mengganggu dan membahayakan kesehatan, merusak fasilitas umum atau barang milik orang lain, atau dibarengi dengan kemaksiatan dan kemungkaran, maka hukumnya haram. Keempat, penggunaan sound horeg dalam batas kewajaran untuk kegiatan positif, seperti pesta pernikahan, pangajian atau selawatan, hukumnya diperbolehkan.
Yang perlu dicatat di sini bahwa MUI tak menghukumi haram secara mutlak. Sound horeg selama digunakan secara wajar (tingkat kebisingannya tak melebihi batas toleransi) dan memperhatikan nilai-nilai dan etika sosial, maka diperbolehkan. Yang dilarang (haram) adalah sound horeg yang melebihi batas, seperti membahayakan kesehatan, merusak nilai-nilai sosial, mengganggu ketertiban umum, menimbulkan polusi suara, dll.
Dalam Al-Quran, Allah SWT mewanti-wanti kepada umat manusia untuk tidak membuat kerusakan dan diminta untuk berbuat baik (QS. al-Baqarah:195), tidak menyakiti orang lain (QS al-Ahzab:58), menaati segala perintah Allah dan rasul-Nya (QS. al-Hasyr:74), dan tidak mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan (QS. al-Baqarah:42).
Di samping itu, Nabi Muhammad SAW berkali-kali mengatakan kepada sahabat-sahabatnya untuk menghindari kerusakan (mudarat) dan berbuat baik kepada sesama manusia. Sebagaimana hadis yang sangat populer yang diriwayatkan Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Tabrani bahwa Nabi Muhammad SAW mengatakan: “Jangan menyakiti diri sendiri dan orang lain”.
Dalam kesempatan lain, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW berkata: “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslim selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.”
Jangankan suara sound horeg, dalam Hasyiah al–Syarqawi dan I’anatu al-Thalibin disebutkan bahwa haram hukumnya mengeraskan bacaan salat apabila berpotensi mengganggu orang lain, semisal salat di dekat orang yang sedang tertidur pulas. Saya pikir ulama kita sejak dulu masih tetap konsisten soal ini.