Perhatian Islam Terhadap Hak Anak

PADA 1 Juni 2023 dunia internasional memperingati “Hari Anak Internasional” atau tepatnya “Hari Perlindungan Anak Internasional” (The International Day for Protection of Children), yang ditetapkan berdasarkan hasil kongres Women’s International Democratic Federation di Moskow, Rusia pada 4 November 1949. Selanjutnya negera-negara di seluruh dunia memperingatinya sejak tahun 1950.

Dibandingkan dengan isu-isu lain seperti radikalisme, terorisme, atau bahkan isu perempuan dan kelompok-kelompok rentan lain, isu mengenai anak selalu menjadi isu pinggiran yang tak mendapatkan porsi perhatian yang semestinya. Padahal, semua orang tahu, anak-anak adalah harapan masa depan. Mereka yang akan membuat masa depan, karena mereka adalah aset seluruh bangsa dan harapan yang lahir untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan cita-cita masa depan.

Sungguh merupakan hal yang sangat memalukan bagi umat manusia dan bisa saja layak dituduh telah melakukan kejahatan, bahwa di dunia saat ini terdapat ratusan juta anak korban berbagai bentuk pelanggaran kemanusiaan yang mengerikan. Pelanggaran hak anak dan pembiarannya akan menjadi ancaman nyata tidak saja bagi anak-anak, kesejahteraan, dan masa depan mereka, tetapi juga masa depan dunia secara keseluruhan, di mana seorang korban kejahatan akan menjelma menjadi pelaku kehajatan karena pengaruh kebencian yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Laporan tahunan UNICEP (United Nations Children’s Fund) tahun 2010 pernah menyebut bahwa anak telah menjadi bahan bakar perang dalam lebih dari 30 konflik bersenjata di Afrika sejak tahun 1970 akibat ledakan bom dan ranjau yang menargetkan individu serta operasi mobilisasi anak. Dilaporkan juga pada tahun 2003 bahwa selama 15 tahun sebelumnya sebanyak lebih dari 2 juta anak di dunia tewas dalam konflik bersenjata, sebagaimana sekitar 6 juta anak lainnya terkena ledakan bom, sebagian dari mereka menderita cacat permanen, dan puluhan juta anak lainnya menderita gangguan psikologis dan trauma cukup parah.

Jelas, konflik-konflik bersenjata telah melanggar seluruh hak anak termasuk hak hidup, hak untuk berada di dalam keluarga dan masyarakat, hak kesehatan, hak kembang-tumbuh, serta hak pengasuhan dan perlindungan.

Kehadiran Islam pada abad ke-5 atau 6 sebenarnya membawa angin segar bagi pemenuhan hak-hak anak. Islam memberikan banyak hak dan perlindungannya kepada anak. Ini merupakan nilai sangat tinggi yang dimiliki umat Muslim sebagaimana digambarkan di dalam al-Qur`an, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan,” [Q.S. al-Kahfi: 46].

Di dalam al-Qur`an, sumber utama seluruh hukum Islam, tertulis banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai hak-hak anak, di antaranya ancaman Allah bagi pelaku dosa pembunuhan anak, apapun alasannya, bahwa mereka akan menderita kerugian yang sangat besar, “Sungguh merugi orang yang membunuh anak-anak mereka, karena kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah karuniakan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk,” [Q.S. al-An’am: 140]. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian agama dan dunia sekaligus karena mereka membunuh anak-anak mereka.

Islam menolak keras banyak kebiasaan masyarakat Arab saat itu, di antaranya pembunuhan anak-anak perempuan dengan alasan menghindari aib, “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh?” [Q.S. al-Takwir: 8 – 9]. Ayat merupakan sindiran dan teguran keras bagi orang yang membunuh anak perempuannya yang tak berdosa dan tak melakukan kesalahan apapun yang membuatnya layak dibunuh dan dijauhkan dari haknya untuk hidup. Ancaman Allah bagi pelaku dosa ini adalah perhitungan yang keras kelak di hari Akhir.

Islam menggariskan persamaan dan kesetaraan di antara umat Muslim, sehingga pembedaan dan diskriminasi bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya [dengan berfirman], ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, [karena] sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain,” [Q.S. Ali Imran: 195]. Laki-laki dan perempuan, keduanya berada dalam posisi yang seimbang, tidak ada yang lebih tinggi daripada yang lain kecuali dengan ketakwaan. Allah tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam balasan atas apa yang mereka kerjakan dan tidak menyia-nyiakan perbuatan baik dari mereka.

Islam mendorong umat Muslim untuk melindungi anak-anak dan membela mereka dari ketidakadilan dan penindasan, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan maupun anak-anak,” [Q.S. al-Nisa`: 75]. Para mufassir melihat bahwa penyebutan “anak-anak” (al-wildân) di dalam ayat ini adalah untuk menunjukkan kejamnya penganiayaan dan penyiksaan penduduk Makkah terhadap umat Muslim, bahkan anak-anak pun mereka siksa demi memaksa orangtua-orangtua mereka untuk kembali ke ajaran lama mereka.

Dalam suasana perang, Islam meletakkan prinsip-prinsip dasar moralitas dan mewajibkan umat Muslim untuk menjalankannya, yaitu melarang pembunuhan orang yang tidak ikut berperang dengan tujuan menjaga hak manusia untuk hidup. Umat Muslim tidak diperintah untuk memerangi kecuali terhadap orang yang memerangi mereka. Para penduduk sipil, laki-laki, perempuan dan anak yang tidak ikut berperang dilarang untuk dibunuh, “Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan,” [QS. al-Nisa`: 98].

Di dalam sebuah hadits, Nabi Saw. menggambarkan dunia anak-anak (al-thufûlah) seperti dunia yang dekat dengan surga, “Anak-anak itu seperti kupu-kupu surga,” [H.R. al-Bukhari, No. 145]. Secara tegas Nabi memberikan hak kepada anak perempuan untuk hidup dengan melarang pembunuhan anak perempuan. “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada ibu-ibu kalian, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menolak kewajiban dan menuntut sesuatu yang bukan menjadi haknya,” [H.R. Muslim, No. 1407]. Dalam hadits lain disebutkan, “Barangsiapa yang memiliki seorang anak perempuan, ia tidak menyakitinya, tidak pula menghinakannya, tidak mengutamakan anak laki-lakinya atas anak perempuannya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga,” [H.R. Abu Dawud, No. 5146].

Nabi Saw. menjaga kehormatan anak perempuan dan seluruh haknya dengan tidak membedakannya dengan anak laki-laki. Anak perempuan punya hak untuk hidup sebagaimana anak laki-laki dan keduanya harus diperlakukan sama, tidak boleh ada yang lebih diutamakan daripada yang lain. Nabi menentang keras tindakan pengutamaan anak laki-laki atas anak perempuan, bahkan beliau mengingatkan umat Muslim mengenai kebaikan mempunyai anak perempuan, “Sebaik-baik anak kamu adalah anak-anak perempuan.”

Di dalam banyak haditsnya Nabi Saw. mendorong umat Muslim untuk memperhatikan pendidikan anak-anak perempuan guna menegaskan prinsip anti-diskriminasi antara anak laki-laki dan anak perempuan. Bila keduanya diperlakukan setara, maka bangunan keluarga, masyarakat, dan dunia secara keseluruhan akan berdiri kokoh.

Terkait hubungan negara-negara Muslim dan negara-negara non-Muslim pada masa-masa perang, Nabi Saw. menggariskan prinsip-prinsip khusus mengenai perlindungan para warga sipil terutama anak-anak. Beliau melarang keras serangan terhadap anak-anak, perempuan, dan orang-orang tua renta. Beliau bahkan meminta para panglima perang Muslim untuk tidak memerangi orang-orang yang belum mencapai usia perang, “Berperanglah, jangan melampaui batas. Jangan melarikan diri. Jangan melakukan mutilasi. Jangan membunuh anak-anak,” [H.R. Muslim, No. 1731].

Diriwayatkan dari al-Aswad ibn Sari’ bahwa Nabi Saw. bersabda, “Janganlah kalian membunuh anak-anak di dalam perang.” Para tentara bertanya, “Bukanlah mereka adalah anak-anak kaum Musyrik?” Nabi Saw. bersabda, “Bukankah orang-orang terbaik di antara kalian adalah anak-anak kaum Musyrik?” [H.R. Ahmad, No. 15713]. Nabi sangat marah ketika mendengar bahwa sebagian tentaranya membunuh anak-anak, beliau berkata lantang, “Ada apa dengan kaum yang melebihi batas dalam membunuh sehingga mereka membunuh anak-anak? Bukankah tidak boleh membunuh anak-anak, bukankah tidak boleh membunuh anak-anak, bukankah tidak boleh membunuh anak-anak?!” [H.R. Ahmad].

Para sahabat dan para ahli fikih menyepakati larangan membunuh anak-anak di dalam perang. Abu Bakr al-Shiddiq ra. memberikan nasihat kepada Yazid ibn Abi Sufyan, Amr ibn al-Ash, dan Syarahbil ibn Hasanah sebelum perang di Syam, “Jangan membunuh anak kecil.” Hal ini dimaksudkan untuk menjauhkan para penduduk sipil umumnya dan anak-anak khususnya dari bahaya dan kekejaman perang.

Prinsip-prinsip luhur dan nilai-nilai kemanusiaan agung ini sedikit demi sedikit mulai memudar di kalangan umat Muslim seiring dengan perjalanan waktu. Di era Dinasti Utsmani, para tawanan, terutama anak-anak, dijadikan budak lalu dilatih berperang dan dididik untuk loyal kepada sultan dan penguasa. Sebagian dari mereka diambil untuk dibentuk menjadi kelompok Janisari (unit pasukan infanteri elit).

Mobilisasi dan pelibatan anak di dalam perang biasa dilakukan di masa-masa Dinasti Utsmani. Sebagian besar tentara perang Dinasti Utsmani adalah para budak yang dibeli sejak mereka masih kecil dari bangsa Turki, Sirkasia, Kurdi, Romawi, Armenia, dan Turkmenistan. Budak-budak ini dibeli sejak kecil untuk dididik dan dilatih gerakan-gerakan perang.

Dinasti Utsmani mewajibkan “pajak manusia” kepada keluarga-keluarga Kristen di negeri-negeri taklukannya seperti Makedonia, Serbia, Bulgaria, Albania, Hungaria, dan lain sebagainya. Setiap keluarga Kristen harus menyerahkan satu orang anak laki-laki. Negara mengirim agen-agennya ke daerah-daerah Kristen, masing-masing orang dari mereka akan tinggal di rumah seorang pendeta desa, dan mereka akan meminta daftar nama anak laki-laki yang pernah dibaptis oleh setiap pendeta itu. Saat itu tidak ada aturan atau hukum khusus yang mengatur cara memilih dan menyeleksi anak-anak. Para agen itu umumnya mengambil anak-anak laki-laki yang berusia antara 8 – 10 tahun. Dan setiap agen terkadang mengambil untuk dirinya sendiri dengan cara tidak legal sejumlah anak kecil, terutama anak-anak perempuan, untuk dijual.

Karena sebagian besar orangtua dari anak-anak itu adalah kaum petani, mereka merelakan anak-anak mereka direkrut menjadi tentara supaya mereka tetap dibiarkan bertani dan sawah-sawah mereka tidak dirampas dari mereka.

Sejarah mencatat mengenai kekejaman Dinasti Utsmani dalam memperbudak orang-orang yang berada di bawah kekuasaan mereka. Apalagi ketika mereka berperang di Bosnia dan Balkan, mereka merampas secara paksa anak-anak kecil langsung dari pangkuan ibu-ibu mereka.

 

Upaya Pengembangan Hak-hak Anak

Situasi yang dihadapi anak saat ini berupa pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-haknya dalam skala internasional yang telah melewati batas kemanusiaan merupakan tema penting dan membawa ancaman besar bagi masyarakat internasional dan dunia secara keseluruhan. Karenanya setiap upaya pengembangan bagi hak-hak ini akan membawa dampak yang besar bagi kemanusiaan secara menyeluruh.

Namun, meskipun tema ini sangat penting, hanya saja—karena minimnya data yang memperlihatkan situasi-situasi anak—, dan kendati banyaknya kaidah-kaidah hukum internasional mengenai perlindungan anak, para akademisi dan peneliti di bidang hukum dan agama belum memberikan perhatian memadai dan tidak melakukan studi-studi mendalam mengenai berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak, situasi yang melatari fenomena pelanggaran ini, dan kemungkinan pengembangan hak-hak anak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman kontemporer.

Kurangnya sumber dan kelangkaan referensi menjadi halangan terbesar dalam studi pengembangan hak-hak anak. Alasan utama kurangnya sumber-sumber ini mungkin karena isu mengenai anak dipandang kurang menarik dibandingkan dengan isu-isu lain terkait kelompok-kelompok rentan, sehingga tidak mudah menemukan literatur-literatur yang secara memadai dapat membantu studi dan penelitian mengenai hak-hak anak, khususnya dari sisi hukum Islam, mengingat situasi saat ini di mana pemenuhan hak-hak anak di negara-negara mayoritas Muslim hanyalah harapan semu.

Jarang sekali ditemukan kelompok besar penelitian sebelumnya di bidang hukum Islam yang berhubungan dengan studi ini, dan oleh karena itu tidak diperoleh informasi yang cukup kecuali dari sumber-sumber sekunder seperti jurnal ilmiah, buku, dan laporan. Meskipun ada, muatan-muatan yang dikandung cenderung sama dan lebih merupakan penafsiran-penafsiran normatif terhadap teks-teks keagamaan sehingga tidak ditemukan hal-hal baru yang sesuai dengan tuntutan realitas. Penafsiran terhadap teks-teks keagamaan memang penting. Tetapi masalahnya, penafsiran cenderung bersifat spekulatif, sehingga potensi untuk memicu kontroversi dan perdebatan sangat besar, terutama yang terkait anak-anak perempuan.

Hal itu menjelaskan perbedaan pendapat di antara para pemikir Muslim di masa lalu, bahkan di masa kini. Sehingga masalah-masalah yang dihadapi anak-anak saat ini tidak akan selesai hanya dengan mengandalkan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan, melainkan akan menemukan solusi sejatinya melalui pemahaman terhadap teks dengan melihat konteks sosial di masa-masa Islam awal mengenai kehidupan Nabi Saw. dan bagaimana beliau berinteraksi dengan umat Muslim, khususnya anak-anak.[]

Al-Haqâ`iq fî Al-Tawhîd

TUJUAN terbesar, paling abadi dan paling mulia hidup manusia adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah Swt., Tuhan Penguasa bumi dan langit, mengesakan-Nya dengan penuh ketundukan dan ketaatan, serta membersihkan diri dari perbuatan menyekutukan-Nya. Karenanya, di dalam Islam, tauhid menempati kedudukan tertinggi, dan merupakan fondasi keimanan seorang muslim dalam hubungannya dengan Allah, Tuhan alam semesta.

Mengingat kedudukan penting tauhid ini, sebagian besar ulama Muslim dari berbagai sekte, baik di masa klasik maupun di masa-masa setelahnya, menulis buku khusus tentang akidah yang menjelaskan mengenai tauhid. Kita tentu mengenal kitab “Ushûl al-Sunnah” karya Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), “Sharîh al-Sunnah” karya al-Thabari (w. 310 H), “al-Aqîdah al-Thahâwîyyah” karya Abu Ja’far al-Thahawi (w. 321 H), “Kitâb I’tiqâdi Ahli al-Sunnah” karya Abu Bakr Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili (w. 371 H), “Lum’ah al-I’tiqâd” karya Ibn Qudamah (w. 620 H), “al-Aqîdah al-Wâsithîyyah”, karya Ibn Taimiyah (w. 728 H), “Kitâb al-Tawhîd alladzîy huwa Haqq li al-‘Abîd” karya Muhammad ibn Abdil Wahab (w. 1206 H), “Risâlah al-Tawhîd” karya Muhammad Abduh (w. 1905 M), dan masih banyak lagi yang lain.

Buku “al-Haqâ`iq fî al-Tawhîd” adalah buku lain mengenai tauhid yang ditulis oleh Ali ibn Khudhair al-Khudhair. Kalau ditelisik lebih dalam, buku ini sebenarnya adalah kumpulan hadits Nabi Saw., atsar sahabat Nabi Saw., dan pendapat para ulama khususnya Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taimiyah, dan Muhammad ibn Abdil Wahab. Secara umum buku ini berbicara tentang hakikat-hakikat tauhid (monoteisme) sebagai hakikat Islam, juga tentang hakikat kesyirikan (politeisme), nama-nama agama dan hukum-hukumnya, serta mengenai takfir (pengkafiran) terhadap segala hal yang disebutnya sebagai thawâghît (kata plural dari thâghût).

Ali ibn al-Khudhair merupakan salah seorang ulama Wahabi yang lahir pada tahun 1374 di Riyadh. Ia adalah lulusan dari Fakultas Ushuluddin di Universitas Al-Imam, Qassim, tahun 1403 H. Ia menimba ilmu dari sejumlah ulama, di antaranya yang paling menonjol adalah Syaikh Hamud ibn Aqla al-Syuaibi, darinya ia mempelajari akidah, tauhid, dan bidang-bidang ilmu keislaman yang lain.

Ia mulai mengajar pada tahun 1405 H di masjid-masjid dalam bidang fikih dan musthalah hadits. Banyak pelajar dari berbagai negara belajar kepadanya. Di kalangan murid-muridnya ia dikenal dengan keteguhannya dalam membela kebenaran, menyeru kepada tauhid, dan meningkari (mengkafirkan) thaghut, yang membuatnya tidak disukai oleh pemerintah Arab Saudi, bahkan ia beberapa kali ditangkap untuk dipenjara dan dilarang mengajar.

Banyak karya yang terlahir darinya, di antaranya: “al-Zanad fi Syarh Lum’ah al-I’tiqad”, “al-Masâ`il al-Mardhîyyah ‘alâ al-‘Aqîdah al-Wâsithîyyah”, “al-Jam’ wa al-Tajrîd fî Syarh Kitâb al-Tawhîd”, “al-Wijâzah fî Syarh Ushûl al-Tsalâtsah”, “al-Tawdhîh w al-Tatimmât ‘alâ Kasyf al-Syubuhât”,  “Qawâ`id wa Ushûl fî al-Muqallidîn wa al-Juhhâl”, “Kitâb al-Thabaqât”, “al-Wasîth fî Syarh Awwal Risâlah fî Majmû’ah al-Tawhîd”, “al-Mutammimah li Kalâm A`immah al-Da’wah fî Mas`alah al-Jahl fî al-Syirk al-Akbar”, dan yang paling terkenal adalah al-Jam’ wa al-Tajrîd fî Syarh Kitâb al-Tawhîd” yang merupakan penjelasan terjadap buku “Kitâb al-Tawhîd alladzîy huwa Haqq li al-‘Abîd” karya Muhammad ibn Abdil Wahab, dan buku “al-Haqâ`iq fî al-Tawhîd” yang merupakan penegasan terhadap kandungan buku tersebut. Oleh para pengikutnya ia dijuluki “Singa Tauhid” karena hampir seluruh karyanya mengulas tentang tauhid dan akidah Islam.

Dengan buku “al-Haqâ`iq fî al-Tawhîd” ini, Ali ibn al-Khudhair hendak menjelaskan tiga hal. Pertama, hakikat Islam, yaitu bahwa Islam memiliki syarat-syarat, di antaranya adalah: (1). Ilmu, dalam arti syahadat (kesaksian), sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah,” [QS. Muhammad: 19]; (2). Keyakinan, Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu,” [QS. al-Hujurat: 15]; (3). Keikhlasan, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka atas orang-orang yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ yang dia mengharapkan wajah Allah,” [HR. al-Bukhari dan Muslim], dan; (4). Mengingkari dan mengkafirkan thaghut, Allah berfirman, “Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus,” [QS. al-Baqarah: 256].

Menurut Ali ibn al-Khudhair, itulah hakikat Islam, bahwa seseorang tidak bisa menjadi muslim kecuali dengan memenuhi syarat-syarat syahadat. Ia mengutip perkataan Sulaiman ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abdil Wahab yang menyebutkan, “Mengucapkannya tanpa mengetahui maknanya, tidak mengamalkannya sebagai bentuk komitmen tauhid, tidak meninggalkan kesyirikan serta tidak mengkafirkan thaghut, menurut ijma’ itu tidak bermanfaat.”

Kedua, hakikat kesyirikan, yaitu “kau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Dia-lah yang menciptakanmu,” sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Saw., di antaranya meminta pertolongan dan meminta perlindungan kepada selain Allah, juga menyembelih, bersumpah, dan berhukum demi selain Allah. Ishaq ibn Abdirrahman berkata, “Berdoa kepada para penghuni kuburan, memohon kepada mereka, dan meminta pertolongan kepada mereka, tidak ada perbedaan di kalangan umat Muslim melainkan semuanya sepakat bahwa itu adalah kesyirikan.” Ia juga berkata, “Bagaimana umat Muslim dilarang mengkafirkan orang yang berdoa kepada orang-orang saleh dan meminta pertolongan mereka di sisi Allah serta melakukan perbuatan-perbuatan peribadatan yang tidak selayaknya dilakukan melainkan kepada Allah, ini adalah batil berdasarkan teks al-Qur`an, Sunnah, dan kesepakatan umat.” Sulaiman ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abdil Wahab berkata, “Para mufassir bersepakat bahwa ketaatan dalam menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah termasuk ibadah kepada semua itu dan merupakan kesyirikan dalam ketaatan.” Dijelaskan juga bahwa para ulama sepakat bahwa mengingkari dan mengkafirkan thaghut adalah tauhid yang benar.

Ketiga, tauhid dan kesyirikan adalah dua hal yang saling bertentangan dan tidak pernah menyatu. Artinya, orang yang melakukan suatu kesyirikan tidak bisa disebutnya orang yang  bertauhid, meskipun ia bodoh, atau bahkan meskipun ia dari kalangan ahlul fatrah (orang-orang yang tak pernah mendapatkan dakwah Islam namun tak memiliki sifat buruk: orang yang menghiraukan ajaran Islam pada masa hidupnya, baik karena isolasi geografi, atau hidup sebelum masa Nabi). Allah Swt. berfirman, “Dialah yang menciptakan kamu, lalu di antara kamu ada yang kafir dan di antara kamu [juga] ada yang mukmin,” [QS. al-Taghabun: 2]. Ibn Taimiyah berkata, “Dan untuk alasan ini, orang yang tidak menyembah Allah pasti ia menyembah kepada selain-Nya, dan orang yang menyembah kepada selain-Nya adalah musyrik. Di antara anak-anak Adam (manusia) tidak ada golongan ketiga, yang ada hanya golongan tauhid dan golongan musyrik.” Abdurrahman berkata, “Orang yang melakukan kesyirikan, maka ia telah meninggalkan tauhid. Keduanya (tauhid dan kesyirikan) adalah dua hal yang saling berlawanan dan tidak akan pernah berkumpul, saling bertentangan dan tidak akan pernah menyatu.”

Ali ibn al-Khudhair secara terang-terangan mengkafirkan golongan Asy’ariyah yang dianggapnya sebagai ahli bid’ah karena menyembah kuburan. Selain itu, yang tidak kalah menarik, di dalam buku ini Ali ibn al-Khudhair menyinggung soal demokrasi. Menurutnya, demokrasi adalah salah satu contoh thaghut yang harus diingkari oleh setiap orang yang mendaku dirinya muslim bertauhid. Bagaimana mengingkari demokrasi? Pertama, meyakini kebatilannya; kedua, meninggalkannya, yaitu dengan tidak menjadi anggota parlemen dan dewan legislatif di negara-negara demokratis kafir; ketiga, membencinya; keempat, membenci orang-orang yang meyakini kebenaran demokrasi, dan; kelima, mengkafirkan orang-orang yang meyakini kebenaran demokrasi.

Dari sini bisa dipahami mengapa ISIS dalam banyak aksi-aksi terornya di antaranya mengambil pembenaran dari berbagai pendapat Ali ibn al-Khudhair di dalam karya-karyanya, di samping sejumlah ulama Arab Saudi lainnya seperti Khalid al-Rasyid, Nasir al-Fahd, Sulaiman ibn Nashir al-Alwan, Umar ibn Ahmad al-Hazmi, Hamud ibn Aqla al-Syuaibi, dan seterusnya.

ISIS mengandalkan tulisan para ulama yang mendukung posisinya dalam berperang melawan orang-orang yang dianggap muslim tetapi hanya sebatas nama saja alias “muslim KTP”. Para ulama ini menganut seperangkat gagasan yang sangat berbeda dari pandangan umum umat Muslim. Biasanya, ISIS menggunakan pandangan-pandangan mereka untuk membenarkan pengkafiran terhadap negara Arab Saudi dan para penguasa Muslim di seluruh Timur Tengah, serta mendukung penolakan terhadap semua kekuatan dan institusi resmi di negara-negara tersebut. Karena permusuhan antara ISIS dan banyak tokoh agama, para pengamat sering mengabaikan pengaruh para ulama itu terhadap ISIS.

Kita lihat, empat ulama dari Arab Saudi, yaitu Nasir al-Fahd, Sulaiman ibn Nashir al-Alwan, Umar ibn Ahmad al-Hazmi, Hamud ibn Aqla al-Syuaibi, dan Ali ibn al-Khudhair adalah bagian dari jaringan ulama yang memberikan pengaruh besar terhadap Al-Qaeda di Arab Saudi pada awal tahun 2000-an, juga gerakan-gerakan jihadis transnasional. Mereka banyak menulis tentang “kemurtadan” Arab Saudi karena membantu Amerika Serikat dalam intervensi-intervensi regionalnya, terutama selama Perang Teluk I. Bagi ISIS, tulisan-tulisan mereka memberikan dasar fikih untuk kampanye melawan orang-orang murtad. Dan merupakan hal yang berguna bagi ISIS bahwa para ulama ini sangat terlatih di dalam fikih dan pendidikan agama (hal yang sangat jarang dimiliki oleh para ideolog jihadis) dan bahwa mereka berseberangan dengan lembaga-lembaga keagamaan di Arab Saudi. Nasir al-Fahd dikabarkan telah bersumpah setia kepada ISIS, dan organisasi tersebut mengadopsi pandangan Hamud ibn Aqla al-Syuaibi yang menyatakan bahwa tidak boleh meminta bantuan dari orang-orang kafir.

Pandangan Ali ibn al-Khudhair diadopsi secara luas di wilayah-wilayah yang dikuasai ISIS. Secara khusus Ali ibn al-Khudhair memberikan pandangan yang komprehensif tentang salah satu aspek paling khas dari ideologi ISIS. Ia, misalnya, menyatakan bahwa sistem-sistem non-Islam dan para penganutnya tidak sesuai syariat, sehingga kepatuhan terhadap ajaran mereka benar-benar tidak bisa dimaafkan. Hal ini terlihat sangat jelas dalam pendiriannya mengenai sistem legislatif modern dan umat Muslim yang terlibat di dalamnya. Menurutnya, seorang muslim yang secara sukarela bergabung di dalam parlemen adalah kafir, seorang muslim yang bersumpah setia kepada konstitusi negara demokrasi—bahkan meskipun ia dipaksa untuk melakukannya—adalah murtad, dan seorang muslim yang menentang konstitusi negara demokrasi melalui sarana-sarana demokrasi adalah pendosa.[]

Islam Ramah Perempuan

Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Kebanyakan Penghuni Neraka Adalah Perempuan? (6)

Generalisasi perkataan Nabi Saw., “Kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan” dalam sebuah hadits bertentangan dengan belasan ayat di dalam al-Qur`an yang memberikan, tanpa dalih apapun, kapasitas penuh kepada perempuan dan menyamakannya dengan laki-laki dalam hal kewajiban, balasan (pahala), dan hukuman. Perkataan ini diucapkan Nabi Saw. dalam konteks sebuah peristiwa, yang diriwayatkan dalam berbagai versi, di antaranya:

 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ الله عَنْهُمَا، قَالَ: شَهِدْتُ الْفِطْرَ مَعَ النَّبِيِّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ الله عَنْهُمْ يُصَلُّونَهَا قَبْلَ الْخُطْبَةِ، ثُمَّ يُخْطَبُ بَعْدُ، خَرَجَ النَّبِيُّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ حِينَ يُجْلِسُ بِيَدِهِ، ثُمَّ أَقْبَلَ يَشُقُّهُمْ حَتَّى جَاءَ النِّسَاءَ مَعَهُ بِلاَلٌ، فَقَالَ: ‏(‏يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ‏…)‏ الآيَةَ، ثُمَّ قَالَ حِينَ فَرَغَ مِنْهَا:‏ أَنْتُنَّ عَلَى ذَلِكَ‏‏.‏ قَالَتِ امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ لَمْ يُجِبْهُ غَيْرُهَا: نَعَمْ‏، لاَ يَدْرِي حَسَنٌ مَنْ هِيَ‏.‏ قَالَ:‏ فَتَصَدَّقْنَ. فَبَسَطَ بِلاَلٌ ثَوْبَهُ، ثُمَّ قَالَ: هَلُمَّ لَكُنَّ فِدَاءٌ أَبِي وَأُمِّي، فَيُلْقِينَ الْفَتَخَ وَالْخَوَاتِيمَ فِي ثَوْبِ بِلاَلٍ‏

Dari Ibn Abbas ra., ia berkata, ‘Aku pernah menghadiri shalat Idul Fitri bersama Nabi Saw., Abu Bakr, Umar dan Utsman, mereka semua shalat terlebih dahulu sebelum khutbah, dan baru kemudian menyampaikan khutbah.’ Ibn Abbas lalu berkata, ‘Rasulullah Saw. kemudian turun dari mimbar, sepertinya aku sempat melihat beliau ketika menyuruh para jamaah laki-laki untuk duduk dengan isyarat tangan beliau lalu beliau lewat di tengah sehingga beliau mendatangi kaum perempuan disertai Bilal, dan beliau membaca ayat, ‘Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia …’ beliau membaca ayat itu hingga selesai. Setelah itu, beliau bertanya, ‘Apakah kalian ingin termasuk seperti yang disebutkan ayat itu?’ Seorang perempuan menjawab—ketika itu tidak ada perempuan lain yang menjawab—, ‘Benar.’ Saat itu, beliau tidak tahu siapa perempuan itu. Beliau bersabda, ‘Kalau demikian, bersedekahlah.’ Lalu Bilal membentangkan kainnya, kemudian ia mengatakan, ‘Ayolah! Sungguh, sedekah ini menjadi penebus kalian dari [siksa neraka].’ Akhirnya para perempuan itu pun meletakkan cincin besar dari emas (yang biasa dipakai pada zaman jahiliah dulu), juga meletakkan cincin ukuran biasa di atas kain yang dihamparkan Bilal,” [H.R. al-Bukhari, Nomor 987].

 

قال ابن عباس رضي الله عنهما: أشهد على رسول الله صلى الله عليه وسلم لصلى قبل الخطبة، فرأى أنه لم يسمع النساء فأتاهن ومعه بلال ناشرًا ثوبه فوعظهن وأمرهن أن يتصدقن فجعلت المرأة تلقي وأشار أيوب إلى أذنه وإلى حلقه

Ibn Abbas ra. berkata, ‘Aku menyaksikan Rasulullah Saw. shalat sebelum khutbah. Beliau melihat bahwa khutbah yang beliau sampaikan belum terdengar jelas oleh para perempuan. Kemudian beliau mendatangi mereka bersama Bilal yang membentangkan kainnya. Beliau menasihati mereka dan menyuruh mereka untuk bersedekah. Maka para perempuan itu mulai melempar, dan Ayub menunjuk ke telinga dan tenggorokannya,” [H.R. al-Bukhari].

 

عن أبي سعيد الخدري: خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم في أضحى أو فطر إلى المصلى ثم انصرف فوعظ الناس وأمرهم بالصدقة فقال: أيها الناس تصدقوا، فمرَّ على النساء فقال: يامعشر النساء تصدقن، فإني رأيتكن أكثر أهل النار، فقُلنَ: وبم ذلك يارسول الله؟، قال: تكثرن اللعن وتكفرن العشير ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن يامعشر النساء

Dari Said al-Khudri, ‘Rasulullah Saw. keluar menuju tempat shalat pada hari raya Idul Adha atau Idul Fitri, kemudian beliau memberikan nasihat kepada orang-orang dan menyuruh mereka bersedekah. Beliau berkata, ‘Wahai manusia! Bersedekahlah.’ Kemudian beliau melewati para perempuan seraya berkata, ‘Wahai kaum perempuan, bersedekahlah. Sesungguhnya aku melihat kalian adalah penghuni neraka paling banyak.’ Mereka bertanya, ‘Karena apa itu ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Karena kalian banyak melaknat dan mengingkari [pemberian nikmat] dari suami. Tidaklah aku melihat orang yang lebih kurang akal dan agamanya melebihi seorang dari kalian, wahai para perempuan,” [H.R. al-Bukhari].

 

عن ابن عباس قال: شهدتُ صلاة الفطر مع نبي الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان، فكلهم يصليها قبل الخطبة ثم يخطب، قال: فنزل نبي الله صلى الله عليه وسلم كأني أنظر إليه حين يجلس الرجال بيده ثم أقبل يشقهم حتى جاء النساءَ ومعه بلال فقال: (يا أيها النبي إذا جاءك المؤمنات يبايعنك على أن لا يشركن بالله شيئا)، فتلا هذه الآية حتى فرغ منها ثم قال حين فرغ منها: أنتن على ذلك؟ فقالت امرأة واحدة لم يجبه غيرها منهن: نعم يا نبي الله، لايدري حينئذ من هي، قال: فتصدقن، فبسط بلال ثوبه ثم قال: هلمّ فدى لكن أبي وأمي، فجعلن يلقين الفتخ والخواتيم في ثوب بلال

Dari Ibn Abbas ra., ia berkata, ‘Aku pernah menghadiri shalat Idul Fitri bersama Nabi Saw., Abu Bakr, Umar dan Utsman, mereka semua shalat terlebih dahulu sebelum khutbah, dan baru kemudian menyampaikan khutbah.’ Ibn Abbas lalu berkata, ‘Nabi Saw. kemudian turun dari mimbar, sepertinya aku sempat melihat beliau ketika menyuruh para jamaah laki-laki untuk duduk dengan isyarat tangan beliau lalu beliau lewat di tengah sehingga beliau mendatangi kaum perempuan disertai Bilal, dan beliau membacakan, ‘Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia …’ Beliau membaca ayat itu hingga selesai. Setelah itu, beliau bertanya, ‘Apakah kalian ingin termasuk seperti yang disebutkan ayat itu?’ Seorang perempuan menjawab—ketika itu tidak ada perempuan lain yang menjawab—, ‘Benar.’ Saat itu, beliau tidak tahu siapa perempuan itu. Beliau bersabda, ‘Kalau demikian, bersedekahlah.’ Lalu Bilal membentangkan kainnya, kemudian ia mengatakan, ‘Ayolah! Sungguh, sedekah ini menjadi penebus kalian dari [siksa neraka].’ Akhirnya para perempuan itu pun meletakkan cincin besar dari emas (yang biasa dipakai pada zaman Jahiliyah dulu), juga meletakkan cincin ukuran biasa di atas kain yang dihamparkan Bilal,’” [H.R. Muslim].

 

قال ابن عباس: أشهد على رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه صلى قبل الخطبة، قال: ثم خطب، فرأى أنه لم يسمع النساء، فأتاهن فذكرهن ووعظهن وأمرهن بالصدقة، وبلال قائل بثوبه، فجعلت المرأة تلقي الخاتم والخرص والشيء

Ibn Abbas berkata, ‘Aku pernah menyaksikan Rasulullah Saw. shalat sebelum khutbah.’ Ia lalu berkata, ‘Beliau kemudian menyampaikan khutbah, dan beliau melihat bahwa khutbah itu belum terdengar jelas oleh para perempuan maka beliau datang kepada mereka, memperingatkan mereka, menasihati mereka, dan memerintahkan mereka untuk bersedekah dan bersamanya ada Bilal yang memegang kain sehingga para perempuan itu melemparkan kalung dan benda/perhiasan lainnya [ke kain tersebut],” [H.R. Muslim].

 

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ، فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ، ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ، فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ، وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ، ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ، فَقَالَ: تَصَدَّقْنَ، فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ. فَقَامَتْ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ: لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ. فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ

Dari Jabir ibn Abdillah, ia berkata, ‘Aku telah mengikuti shalat hari raya bersama Rasulullah Saw. Beliau memulainya dengan shalat sebelum menyampaikan khutbah, tanpa disertai adzan dan iqamah. Setelah itu beliau berdiri sambil bersandar pada tangan Bilal. Kemudian beliau memerintahkan untuk selalu bertakwa kepada Allah, dan memberikan anjuran untuk selalu mentaati-Nya. Beliau juga memberikan nasihat kepada manusia dan mengingatkan mereka. Setelah itu, beliau berlalu hingga sampai di tempat kaum perempuan. Beliau pun memberikan nasihat dan peringatan kepada mereka. Beliau bersabda, ‘Bersedekahlah kalian, karena kebanyakan kalian akan menjadi bahan bakar neraka jahanam.’ Maka berdirilah seorang perempuan terbaik di antara mereka dengan wajah pucat seraya bertanya, ‘Kenapa begitu wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Karena kalian lebih banyak mengadu (mengeluh) dan mengingkari kelebihan dan kebaikan suami.’ Akhirnya mereka pun menyedekahkan perhiasan yang mereka miliki dengan melemparkannya ke dalam kain yang dihamparkan Bilal, termasuk cincin dan kalung-kalung mereka,” [H.R. Muslim].

 

Riwayat-riwayat di atas, yang tercatat dengan sangat baik di dalam “Shahîh al-Bukhârîy” dan “Shahîh Muslim”, menceritakan peristiwa yang sama dari sudut pandang yang berbeda-beda, mulai dari sabda Nabi kepada para perempuan, “Sedekah ini menjadi penebus kalian dari [siksa neraka]” hingga menuduh mereka “kurang akal dan agama”, dan bahwa mereka “adalah sebagian besar penghuni neraka”.

Siapa pun yang membaca riwayat-riwayat di atas barangkali tidak memerlukan lebih dari pertimbangan nalar dan logika untuk menilai riwayat yang benar yang sesuai dengan akhlak Rasulullah Saw., apalagi itu adalah momen khusus Idul Fitri dan himbauan untuk bersedekah.

Namun, peristiwa khusus ini, yang diriwayatkan dengan cara yang berbeda-beda, adalah peristiwa yang sama yang darinya pandangan-pandangan fikih disimpulkan dan ditulis di dalam ribuan buku selama lima belas abad, untuk membuktikan bahwa perempuan—menurut syariat Islam—kurang akal dan agama dan sebagian besarnya adalah penghuni neraka.

Jelas, itu merupakan salah satu contoh sangat nyata bagaimana pandangan suatu zaman, juga adat istiadat serta tradisinya direfleksikan kepada sesuatu yang sakral (agama) dan kemudian memasuki jalinannya sehingga seolah-olah menjadi inti dari akidah dan keyakinannya.

Contoh lainnya,

عن عبد الله بن عمر، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: الشؤم في ثلاثة، في المرأة والمسكن والدابة

Dari Abdullah ibn Umar, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ‘Kesialan itu terdapat pada tiga hal, yaitu: perempuan, tempat tinggal, dan kendaraan,” [H.R. al-Tirmidzi].

 

عن حكيم بن معاوية قال: سمعتُ النبي صلى الله عليه وسلم يقول: لا شؤم وقد يكون اليمن في الدار والمرأة والفرس

Dari Hakim ibn Muawiyah, ia berkata, ‘Aku mendengar Nabi Saw. bersabda, ‘Tidak ada kesialan, dan adakalanya kesialan itu ada pada rumah, perempuan, dan kuda (tunggangan),” [H.R. al-Tirmidzi].

 

Kita bandingkan dengan hadits berikut,

 

عن ابن أبي الجهم، قال: سمعتُ فاطمة بنت قيس تقول: أرسل إليّ زوجي بطلاقي، فشددت عليّ ثيابي، ثم أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: كم طلقكِ؟ فقلتُ: ثلاثًا، قال: ليس لكِ نفقة واعتدّي في بيت ابن عمك ابن أم مكتوم فإنه ضرير البصر تلقين ثيابك عنده فإذا انقضت عدتك فآذنيني

Dari Ibn Abi al-Jahm, ia berkata, ‘Aku mendengar Fathimah binti Qais berkata, ‘Suamiku mengirim seseorang untuk mentalakku, jadi aku mengencangkan pakaianku lalu datang kepada Nabi Saw., dan beliau bertanya, ‘Berapa banyak ia mentalakmu?’ Aku berkata, ‘Tiga kali.’ Beliau bersabda, ‘Kamu tidak punya uang, dan tunaikan masa iddahmu di rumah sepupumu Ibn Ummu Maktum, karena ia buta. Bawalah pakaianmu bersamanya, dan jika masa iddahmu berakhir, maka beritahu aku,” [H.R. al-Nasa`i].

 

عن نبهان مولى أم سلمة أنه حدثه أن أم سلمة حدثته أنها كانت عند رسول الله صلى الله عليه وسلم وميمونة. قالت: فبينا نحن عنده أقبل ابن أم مكتوم فدخل عليه وذلك بعد ما أمرنا بالحجاب، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: احتجِبا منه، فقلتُ: يارسول الله، أليس هو أعمى لا يبصرنا ولا يعرفنا؟، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أفعمياوان أنتما ألستما تبصرانه؟

Dari Nabhan budak Ummu Salamah, ia berkata bahwa Ummu Salamah bercerita kepadanya, bahwa suatu saat Ummu Salamah bersama Rasulullah Saw. dan Maimunah, lalu Ibn Ummi Maktum hendak masuk ke rumah. Itu terjadi setelah kami diperintahkan untuk berhijab (setelah turun ayat hijab). Lalu Rasulullah Saw. berkata, ‘Kalian berdua hendaklah berhijab darinya.’ Ummu Salamah berkata, ‘Wahai Rasulullah, bukankan Ibn Ummi Maktum itu buta tidak melihat kami dan tidak mengenali kami?’ Rasulullah Saw. berkata, ‘Apakah kalian berdua juga buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?’” [H.R. al-Tirmidzi].

 

Sekarang kita renungkan hadits berikut,

 

عن جابر بن عبد الله، أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى امرأة، فدخل على زينب، فقضى حاجته وخرج وقال: إن المرأة إذا أقبلت أقبلت في صورة شيطان؛ فإذا رأى أحدكم امرأة فأعجبته، فليأت أهله فإن معها مثل الذي معها

Dari Jabir ibn Abdillah, bahwa Nabi Saw. melihat seorang perempuan, lalu beliau mendatangi Zainab (istrinya) dan menunaikan hajatnya. Kemudian beliau keluar dan bersabda, ‘Sesungguhnya perempuan, jika ia datang, ia datang dalam rupa setan. Jika salah seorang di antara kalian melihat seorang perempuan yang membuatnya tertarik, maka segeralah mendatangi istrinya. Karena sesungguhnya kenikmatan bercumbu bersama perempuan itu (yang dilihat) sama dengan kenikmatan bercumbu bersama istri,” [H.R. al-Tirmidzi].

 

عن أنس رضي الله عنه قال: رأى النبي صلى الله عليه وسلم النساء والصبيان مقبلين، قال: حسبت أنه قال: من عرس؟ فقام النبي صلى الله عليه وسلم ممثلًا فقال: اللهم أنتم من أحب الناس إلي. قالها ثلاث مرار

Dari Anas ra., ia berkata, ‘Nabi Saw. melihat beberapa perempuan dan anak-anak datang. Anas berkata, ‘Aku menduga beliau bertanya, ‘Siapa yang menikah?’ Kemudian Nabi Saw. bertindak sebagai wakil seraya berkata, ‘Ya Allah, kalian termasuk orang yang paling aku cintai.’ Beliau mengatakannya tiga kali,” [H.R. al-Bukhari].

 

Kita juga merenungkan hadits, “Perempuan mana pun yang meninggal sementara suaminya ridha kepadanya, akan masuk surga,” [H.R. al-Tirmidzi]. Tidakkah hal ini bertentangan dengan pandangan perempuan sebagai manusia seutuhnya yang berhak atas pahala dan hukuman atas perbuatannya, sebagaimana yang ditegaskan di dalam al-Qur`an?

Bukan hanya puluhan puluhan, bahkan mungkin ratusan peristiwa di dalam masa hidup Nabi Saw., juga para sahabat, yang diriwayatkan dengan narasi-narasi berkisar dari penghormatan yang meninggikan derajat perempuan hingga penghinaan yang merendahkannya.[]

Diskursus Perempuan Bekerja dalam Pandangan Ulama Klasik – Islam Tidak Melarang Perempuan Bekerja (5)

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

 

Hak Perempuan Bekerja

Maqashid Syariah (tujuan-tujuan syariat) sangat penting digunakan dalam merumuskan hukum syariat. Pendekatan Maqasid tidak hanya berhenti pada teks melainkan mencoba menggali makna dan tujuan yang terkandung di balik teks dan konteks (realitas) ketika teks tersebut dihadirkan kembali di masa kini.

Al-Juwaini (1028 M – 1085 M), ulama besar Abad Pertengahan, yang diteruskan oleh Imam al-Ghazali (1028 M – 1085 M), Sang Hujjatul Islam, pengarang kitab monumental “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn”, membuat sebuah rumusan dan tujuan besar dan universal dari syariat yang kemudian dikenal dengan “al-ushûl al-khamsah” atau “al-kullîyyât al-khams” (lima pokok tujuan syariat), yaitu: (1). Menjaga agama (hifzh al-dîn); (2). Menjaga jiwa (hifzh al-nafs); (3). Menjaga akal (hifzh al-aql); (4). Menjaga keturunan (hifzh al-nasl); dan (5). Menjaga harta (hifzh al-mâl)

Kelima tujuan syariat (maqâshid al-syarî’ah) ini adalah kebutuhan pokok/asasi setiap orang yang harus dipenuhi hak-hak dan kewajibannya. Untuk memenuhi kelima hak dasar tersebut, al-Syathibi (w. 790 H), ulama ushul fikih kenamaan dari Spanyol, membagi kebutuhan manusia dalam tiga tingkatan:

Pertama, al-dharûrîyyât (primer), yaitu kebutuhan pokok manusia yang jika tidak dipenuhi maka kehidupan tidak akan tercapai. Ini adalah hak-hak dasar yang harus dimiliki dan dipenuhi manusia.

Kedua, al-hâjjîyyât (sekunder), yaitu kebutuhan manusia yang jika tidak terpenuhi maka kehidupan manusia tidak sempurna.

Ketiga, al-tahsînîyyât (tersier) yang sifat dan kedudukannya sekadar komplementer dari kehidupan manusia.

Maqashid syariah yang terdiri dari al-kullîyyât al-khams (lima tujuan universal) adalah untuk menjamin dan memenuhi hak dan kebutuhan dasar manusia. Karena itu, untuk mewujudkan dan mempertimbangkan kemaslahatan manusia, maka pembacaan kritis teks tidak boleh terlepas dari konteksnya (realitas). Prinsip utamanya, seorang pembaca teks harus memiliki keberpihakan, berpihak pada kemanusiaan untuk keadilan.

Oleh karena itu, sudah saatnya menilai dan melihat persoalan perempuan bekerja di ruang publik berdasarkan pendekatan hak. Bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk bekerja sebagai bagian dari pemenuhan terhadap salah satu dari al-kullîyyât al-khams, yaitu hak atas kepemilikan harta (hifzh al-mâl). Hal ini semata-mata untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia (mashâlih al-anâm) baik di hadapan Tuhan maupun manusia.

Menurut Muhammad Said Ramdhan al-Buthi (1929 M – 2013 M), ulama besar berpengaruh dari Suriah, segala jenis pekerjaan yang diperbolehkan untuk laki-laki juga diperbolehkan untuk perempuan. Begitu pun sebaliknya. Dalam hak bekerja, antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dan setara. Hanya saja, kata al-Buthi, dalam memilih pekerjaan, baik laki-laki maupun perempuan, harus tetap memperhatikan kapasitas individu dan etika sosial.[1]

Seorang ulama kontemporer, Abdullah bin Bayyah, menyebutkan bahwa keterlibatan perempuan dalam ruang publik bisa menjadi wajib demi untuk kesempurnaan kehidupan manusia, selama tidak bertentangan dengan syariat.[2]

 

___________________________________

[1]. Muhammad Said Ramdhan al-Buthi, al-Mar`ah: Bayna Tughyân al-Nizhâm al-Gharbîy wa Lathâ`if al-Tasyrî’ al-Islâmîy, Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’asir, t.t, hal. 63

[2]. Abdullah bin Bayyah, Shinâât Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, Dubai: Markaz al-Muta, 2018, hal. 531

Diskursus Perempuan Bekerja dalam Pandangan Ulama Klasik – Islam Tidak Melarang Perempuan Bekerja (4)

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

Aurat: antara Fitrah dan Fitnah

Secara bahasa aurat artinya “kekurangan” (al-naqsh), sedangkan menurut istilah artinya: sesuatu yang tidak boleh dilihat dan diperlihatkan.[1] Dalam al-Qur`an kata aurat disebut empat kali, dua kali dalam bentuk tunggal (singular) dan dua kali dalam bentuk plural.

Aurat dalam bentuk tunggal (mufrad) disebut dalam Q.S. al-Ahzab: 13

 

وَإِذۡ قَالَت طَّآئِفَةٞ مِّنۡهُمۡ يَٰٓأَهۡلَ يَثۡرِبَ لَا مُقَامَ لَكُمۡ فَٱرۡجِعُواْۚ وَيَسۡتَ‍ٔۡذِنُ فَرِيقٞ مِّنۡهُمُ ٱلنَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوۡرَةٞ وَمَا هِيَ بِعَوۡرَةٍۖ إِن يُرِيدُونَ إِلَّا فِرَارٗا

Dan [ingatlah] ketika segolongan di antara mereka berkata, Wahai penduduk Yasrib (Madinah)! Tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu.’ Dan sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi [untuk kembali pulang] dengan berkata, ‘Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).’ Padahal rumah-rumah itu tidak terbuka, mereka hanyalah hendak lari,” [Q.S. al-Ahzab: 13].

Sementara dalam bentul plural disebutkan dalam Q.S. al-Nur: 31

 

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan muslimah, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan [terhadap perempuan] atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung,” [Q.S. al-Nur: 31].

 

Aurat dalam Q.S. al-Ahzab: 13 diartikan oleh sebagian besar mufassir sebagai celah (peluang) yang terbuka terhadap musuh atau celah yang memungkinkan orang lain (musuh) mengambil kesempatan untuk menyerang. Sementara aurat dalam Q.S. al-Nur: 31 diartikan sebagai bagian tubuh yang tak pantas diperlihatkan, atau secara sosial buruk ketika ditampakkan di hadapan publik. (Husein Muhammad, Jilbab dan Aurat, Cirebon: Aksarasatu, 2020, hal. 33)

Secara umum, para ulama membedakan antara aurat laki-laki dan perempuan di dalam maupun di luar shalat (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1985, Cet. 2, Vol. 1, hal. 583). Menurut Abu Hanifah, aurat (bagian tubuh yang harus ditutupi) laki-laki ketika shalat adalah antara pusar dan lutut kaki. Sedangkan bagi perempuan adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Batasan ini berlaku baik di dalam maupun di luar shalat. Sedangkan menurut Imam Malik, aurat laki-laki di dalam shalat adalah “mughallazhah” (zakar dan anus), sementara aurat “mughallazhah” perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali dada, wajah, tangan dan kaki. Aurat “mughallazhah” hanya berlaku ketika shalat. Di luar shalat, aurat perempuan sama seperti batasan yang dibuat Abu Hanifah. Selain “mughallazhah” Imam Malik membuat istilah aurat “mukhaffafah” (ringan) untuk batasan aurat di luar shalat.

Batasan aurat di dalam dan di luar shalat menurut Imam al-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal sama seperti Abu Hanifah: laki-laki antara pusar dan lutut, sementara perempuan seluruh tubuhnya kecual wajah dan telapak tangan. Hal ini berlaku di dalam shalat. Adapun batas aurat perempuan di luar shalat ketika bersama mahram, sesama jenis, atau sedang sendiri adalah antara pusar dan lutut. Namun, ketika bersama laki-laki lain adalah selain wajah dan telapak tangan.[2]

 

Dalil-dalil Aurat

Para ulama mendasarkan dalil tentang batas aurat berdasarkan Q.S. al-Nur: 31

 

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

 

Mereka menafsiri “illâ mâ zhahara minhâ” pada ayat tersebut sebagai wajah dan telapak tangan. Penafsiran ini didukung hadits Nabi Muhammad Saw.,

 

عن عائشة أن آسماء بنت أبي بكر دخلت علي رسول الله صلي الله عليه وسلم وعليها ثياب رقاق فأعرض عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال ىا أسماء إن المرأة آذا بلغت المحيض لم يصلح ان يري منها الا هذا وهذا وأشار الى وجهه وكفيه أخرجه أبو داود

Dari Aisyah bahwa Asma binti Abi Bakar menghadap Nabi dengan memakai pakaian tipis. Nabi Saw. memalingkan mukanya sambil berkata, ‘Wahai Asma! Sesungguhnya perempuan yang sudah mencapai masa haid, maka tidak pantas untuk memperlihatkan tubuhnya kecuali ini dan itu. Nabi memberikan isyarat pada wajah dan telapak tangannya.”

 

Sebagian ulama mengatakan “ma zhahara minhâ” artinya terbuka secara tak sengaja, seperti tersingkap angin, terjatuh, tersangkut atau terkena hal-hal lain yang tanpa disengaja membuka aurat. Bagi pendapat terakhir ini, seluruh anggota tubuh perempuan, termasuk muka, telapak tangan, dan telapak kaki adalah aurat yang wajib ditutupi tanpa pengecualian.

Yang berpendapat seluruh tubuh perempuan aurat berpedoman pada hadits Nabi Saw.,

 

عن عائشة ان النبي صلي الله عليه واله وسلم قال لا يقبل الله صلاة حائض الا بحمار  رواه أبو داود ، والترمذي وابن ماجة

Dari Aisyah ra. bahwa sesungguhnya Nabi Saw. berkata, Allah tidak menerima salatnya perempuan yang sudah haid kecuali dengan menutup kepala,” [H.R. Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah].

 

Hadits tersebut memberikan informasi tentang “khimar”. Dalam Arab, khimar artinya kerudung atau penutup kepala. Menurut sebagian ulama, hadits ini menunjukkan bahwa kepala termasuk aurat, meskipun hadits ini tidak menyebut secara eksplisit apakah tangan, wajah, dan kaki juga termasuk di dalamnya. Namun, untuk menetapkan seluruh tubuh perempuan aurat, Ulama mazhab Hanbali berpegang pada hadits:

 

قال النبي صلي الله عليه وسلم المرأة عورة مستورة

Nabi Saw. berkata, ‘Perempuan adalah aurat yang harus ditutupi.”

 

Teks al-Qur`an sendiri tidak secara eksplisit menyebut batas-batas aurat bagi perempuan dan laki-laki. Sejumlah hadis hanya memberikan penjelasan pendukung. Batas-batas tersebut hasil ijtihad para ulama dalam memahami maksud “mâ zhahara minhâ” dalam teks ayat tersebut. Pendapat seperti ini tak bisa lepas dari kondisi sosio-kultural masyarakat di mana mujtahid hidup. Artinya, dalam memahami dan menafsiri teks, para mujtahid tidak berangkat dari ruang kosong. Mereka hidup dalam komunitas masyarakat yang tidak hampa budaya. Mereka memiliki sistem nilai dan norma-norma sebagai acuan sekaligus tuntutan bersama. Dalam hal ini agama hanya memberikan ruh, nilai-nilai universal, dan prisip-prinsip dasar. Ekspresinya bisa mengambil bentuk kebudayaan.

Karena itu, kata Kiyai Husein, seorang ulama feminis muslim dari Cirebon, perintah menutup aurat berasal dari agama (teks-teks keagamaan). Namun, dalam menentukan batas-batasnya, perlu mempertimbangkan segala aspek kemanusiaan. Untuk itu, dalam menentukan batas aurat, baik laki-laki maupun perempuan, diperlukan mekanisme tertentu yang akomodatif dan responsif terhadap segala nilai yang berkembang di masyarakat. Sehingga dala tingkat tertentu batasan itu bisa diterima oleh sebagian besar komponen masyarakat. Dalam hal ini, pertimbangan khawf al-fitnah (takut terjadi fitnah) yang sudah dikembangkan oleh ulama fikih juga harus menjadi penentu pertimbangan, agar tubuh manusia tidak dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan rendah dan murahan yang bahkan mungkin bisa menimbulkan gejolak (fitnah) yang bisa mengakibatkan kerusakan yang tidak diinginkan terhadap tatanan kehidupan masyarakat.[3]

Begitu juga dalam menentukan pakaian sebagai penutup aurat. Identitas pakaian “islami” dan “non-islami” tidak dilihat dari bentuk dan wujudnya, melainkan dari fungsinya sebagai penutup aurat. Karena itu, menurut  Sayyid Thantawi, identitas pakaian tergantung pada kondisi sosial budaya masyarakat. Yang terpenting, katanya, tidak memperlihatkan lekuk tubuh dan tidak menampakkan aurat. Itulah pakaian islami.[4]

Tiga argumen di atas yang selama ini menghalangi perempuan untuk bekerja ternyata tidak bernada tunggal. Oleh karena itu sangat besar peluang dari sisi teks keagamaan untuk mendukung perempuan berada di ruang publik, atau bekerja di luar rumah. Berikut adalah hak-hak yang dapat diperjuangkan oleh perempuan terkait dengan hak mereka sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai istri atau sebagai anak perempuan.[]

 

____________________________

[1]. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Vol. 1, hal. 579

[2]. Abdurahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqhi ala al-Mazahib al-Arba’ah, Lebanon: Dar al-Fikr, 1996, Vol 1, hal. 184

[3]. Husein Muammad, Fiqh Perempuan: Relasi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yograkarta: Lkis, 2009, Cet. 5, hal. 86

[4]. Mahmud Hamdi Zaqzuq (ed.), al-Niqab Adatun Laysa Ibadatan: al-Ra’yu al-Syar’iy fi al-Niqab bi Aqlami Kibar al-Ulama, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 2008, hal. 13