Diskursus Perempuan Bekerja dalam Pandangan Ulama Klasik – Islam Tidak Melarang Perempuan Bekerja (5)

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

 

Hak Perempuan Bekerja

Maqashid Syariah (tujuan-tujuan syariat) sangat penting digunakan dalam merumuskan hukum syariat. Pendekatan Maqasid tidak hanya berhenti pada teks melainkan mencoba menggali makna dan tujuan yang terkandung di balik teks dan konteks (realitas) ketika teks tersebut dihadirkan kembali di masa kini.

Al-Juwaini (1028 M – 1085 M), ulama besar Abad Pertengahan, yang diteruskan oleh Imam al-Ghazali (1028 M – 1085 M), Sang Hujjatul Islam, pengarang kitab monumental “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn”, membuat sebuah rumusan dan tujuan besar dan universal dari syariat yang kemudian dikenal dengan “al-ushûl al-khamsah” atau “al-kullîyyât al-khams” (lima pokok tujuan syariat), yaitu: (1). Menjaga agama (hifzh al-dîn); (2). Menjaga jiwa (hifzh al-nafs); (3). Menjaga akal (hifzh al-aql); (4). Menjaga keturunan (hifzh al-nasl); dan (5). Menjaga harta (hifzh al-mâl)

Kelima tujuan syariat (maqâshid al-syarî’ah) ini adalah kebutuhan pokok/asasi setiap orang yang harus dipenuhi hak-hak dan kewajibannya. Untuk memenuhi kelima hak dasar tersebut, al-Syathibi (w. 790 H), ulama ushul fikih kenamaan dari Spanyol, membagi kebutuhan manusia dalam tiga tingkatan:

Pertama, al-dharûrîyyât (primer), yaitu kebutuhan pokok manusia yang jika tidak dipenuhi maka kehidupan tidak akan tercapai. Ini adalah hak-hak dasar yang harus dimiliki dan dipenuhi manusia.

Kedua, al-hâjjîyyât (sekunder), yaitu kebutuhan manusia yang jika tidak terpenuhi maka kehidupan manusia tidak sempurna.

Ketiga, al-tahsînîyyât (tersier) yang sifat dan kedudukannya sekadar komplementer dari kehidupan manusia.

Maqashid syariah yang terdiri dari al-kullîyyât al-khams (lima tujuan universal) adalah untuk menjamin dan memenuhi hak dan kebutuhan dasar manusia. Karena itu, untuk mewujudkan dan mempertimbangkan kemaslahatan manusia, maka pembacaan kritis teks tidak boleh terlepas dari konteksnya (realitas). Prinsip utamanya, seorang pembaca teks harus memiliki keberpihakan, berpihak pada kemanusiaan untuk keadilan.

Oleh karena itu, sudah saatnya menilai dan melihat persoalan perempuan bekerja di ruang publik berdasarkan pendekatan hak. Bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk bekerja sebagai bagian dari pemenuhan terhadap salah satu dari al-kullîyyât al-khams, yaitu hak atas kepemilikan harta (hifzh al-mâl). Hal ini semata-mata untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia (mashâlih al-anâm) baik di hadapan Tuhan maupun manusia.

Menurut Muhammad Said Ramdhan al-Buthi (1929 M – 2013 M), ulama besar berpengaruh dari Suriah, segala jenis pekerjaan yang diperbolehkan untuk laki-laki juga diperbolehkan untuk perempuan. Begitu pun sebaliknya. Dalam hak bekerja, antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dan setara. Hanya saja, kata al-Buthi, dalam memilih pekerjaan, baik laki-laki maupun perempuan, harus tetap memperhatikan kapasitas individu dan etika sosial.[1]

Seorang ulama kontemporer, Abdullah bin Bayyah, menyebutkan bahwa keterlibatan perempuan dalam ruang publik bisa menjadi wajib demi untuk kesempurnaan kehidupan manusia, selama tidak bertentangan dengan syariat.[2]

 

___________________________________

[1]. Muhammad Said Ramdhan al-Buthi, al-Mar`ah: Bayna Tughyân al-Nizhâm al-Gharbîy wa Lathâ`if al-Tasyrî’ al-Islâmîy, Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’asir, t.t, hal. 63

[2]. Abdullah bin Bayyah, Shinâât Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, Dubai: Markaz al-Muta, 2018, hal. 531

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.