Diskursus Perempuan Bekerja dalam Pandangan Ulama Klasik – Islam Tidak Melarang Perempuan Bekerja (4)

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

Aurat: antara Fitrah dan Fitnah

Secara bahasa aurat artinya “kekurangan” (al-naqsh), sedangkan menurut istilah artinya: sesuatu yang tidak boleh dilihat dan diperlihatkan.[1] Dalam al-Qur`an kata aurat disebut empat kali, dua kali dalam bentuk tunggal (singular) dan dua kali dalam bentuk plural.

Aurat dalam bentuk tunggal (mufrad) disebut dalam Q.S. al-Ahzab: 13

 

وَإِذۡ قَالَت طَّآئِفَةٞ مِّنۡهُمۡ يَٰٓأَهۡلَ يَثۡرِبَ لَا مُقَامَ لَكُمۡ فَٱرۡجِعُواْۚ وَيَسۡتَ‍ٔۡذِنُ فَرِيقٞ مِّنۡهُمُ ٱلنَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوۡرَةٞ وَمَا هِيَ بِعَوۡرَةٍۖ إِن يُرِيدُونَ إِلَّا فِرَارٗا

Dan [ingatlah] ketika segolongan di antara mereka berkata, Wahai penduduk Yasrib (Madinah)! Tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu.’ Dan sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi [untuk kembali pulang] dengan berkata, ‘Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).’ Padahal rumah-rumah itu tidak terbuka, mereka hanyalah hendak lari,” [Q.S. al-Ahzab: 13].

Sementara dalam bentul plural disebutkan dalam Q.S. al-Nur: 31

 

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan muslimah, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan [terhadap perempuan] atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung,” [Q.S. al-Nur: 31].

 

Aurat dalam Q.S. al-Ahzab: 13 diartikan oleh sebagian besar mufassir sebagai celah (peluang) yang terbuka terhadap musuh atau celah yang memungkinkan orang lain (musuh) mengambil kesempatan untuk menyerang. Sementara aurat dalam Q.S. al-Nur: 31 diartikan sebagai bagian tubuh yang tak pantas diperlihatkan, atau secara sosial buruk ketika ditampakkan di hadapan publik. (Husein Muhammad, Jilbab dan Aurat, Cirebon: Aksarasatu, 2020, hal. 33)

Secara umum, para ulama membedakan antara aurat laki-laki dan perempuan di dalam maupun di luar shalat (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1985, Cet. 2, Vol. 1, hal. 583). Menurut Abu Hanifah, aurat (bagian tubuh yang harus ditutupi) laki-laki ketika shalat adalah antara pusar dan lutut kaki. Sedangkan bagi perempuan adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Batasan ini berlaku baik di dalam maupun di luar shalat. Sedangkan menurut Imam Malik, aurat laki-laki di dalam shalat adalah “mughallazhah” (zakar dan anus), sementara aurat “mughallazhah” perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali dada, wajah, tangan dan kaki. Aurat “mughallazhah” hanya berlaku ketika shalat. Di luar shalat, aurat perempuan sama seperti batasan yang dibuat Abu Hanifah. Selain “mughallazhah” Imam Malik membuat istilah aurat “mukhaffafah” (ringan) untuk batasan aurat di luar shalat.

Batasan aurat di dalam dan di luar shalat menurut Imam al-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal sama seperti Abu Hanifah: laki-laki antara pusar dan lutut, sementara perempuan seluruh tubuhnya kecual wajah dan telapak tangan. Hal ini berlaku di dalam shalat. Adapun batas aurat perempuan di luar shalat ketika bersama mahram, sesama jenis, atau sedang sendiri adalah antara pusar dan lutut. Namun, ketika bersama laki-laki lain adalah selain wajah dan telapak tangan.[2]

 

Dalil-dalil Aurat

Para ulama mendasarkan dalil tentang batas aurat berdasarkan Q.S. al-Nur: 31

 

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

 

Mereka menafsiri “illâ mâ zhahara minhâ” pada ayat tersebut sebagai wajah dan telapak tangan. Penafsiran ini didukung hadits Nabi Muhammad Saw.,

 

عن عائشة أن آسماء بنت أبي بكر دخلت علي رسول الله صلي الله عليه وسلم وعليها ثياب رقاق فأعرض عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال ىا أسماء إن المرأة آذا بلغت المحيض لم يصلح ان يري منها الا هذا وهذا وأشار الى وجهه وكفيه أخرجه أبو داود

Dari Aisyah bahwa Asma binti Abi Bakar menghadap Nabi dengan memakai pakaian tipis. Nabi Saw. memalingkan mukanya sambil berkata, ‘Wahai Asma! Sesungguhnya perempuan yang sudah mencapai masa haid, maka tidak pantas untuk memperlihatkan tubuhnya kecuali ini dan itu. Nabi memberikan isyarat pada wajah dan telapak tangannya.”

 

Sebagian ulama mengatakan “ma zhahara minhâ” artinya terbuka secara tak sengaja, seperti tersingkap angin, terjatuh, tersangkut atau terkena hal-hal lain yang tanpa disengaja membuka aurat. Bagi pendapat terakhir ini, seluruh anggota tubuh perempuan, termasuk muka, telapak tangan, dan telapak kaki adalah aurat yang wajib ditutupi tanpa pengecualian.

Yang berpendapat seluruh tubuh perempuan aurat berpedoman pada hadits Nabi Saw.,

 

عن عائشة ان النبي صلي الله عليه واله وسلم قال لا يقبل الله صلاة حائض الا بحمار  رواه أبو داود ، والترمذي وابن ماجة

Dari Aisyah ra. bahwa sesungguhnya Nabi Saw. berkata, Allah tidak menerima salatnya perempuan yang sudah haid kecuali dengan menutup kepala,” [H.R. Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah].

 

Hadits tersebut memberikan informasi tentang “khimar”. Dalam Arab, khimar artinya kerudung atau penutup kepala. Menurut sebagian ulama, hadits ini menunjukkan bahwa kepala termasuk aurat, meskipun hadits ini tidak menyebut secara eksplisit apakah tangan, wajah, dan kaki juga termasuk di dalamnya. Namun, untuk menetapkan seluruh tubuh perempuan aurat, Ulama mazhab Hanbali berpegang pada hadits:

 

قال النبي صلي الله عليه وسلم المرأة عورة مستورة

Nabi Saw. berkata, ‘Perempuan adalah aurat yang harus ditutupi.”

 

Teks al-Qur`an sendiri tidak secara eksplisit menyebut batas-batas aurat bagi perempuan dan laki-laki. Sejumlah hadis hanya memberikan penjelasan pendukung. Batas-batas tersebut hasil ijtihad para ulama dalam memahami maksud “mâ zhahara minhâ” dalam teks ayat tersebut. Pendapat seperti ini tak bisa lepas dari kondisi sosio-kultural masyarakat di mana mujtahid hidup. Artinya, dalam memahami dan menafsiri teks, para mujtahid tidak berangkat dari ruang kosong. Mereka hidup dalam komunitas masyarakat yang tidak hampa budaya. Mereka memiliki sistem nilai dan norma-norma sebagai acuan sekaligus tuntutan bersama. Dalam hal ini agama hanya memberikan ruh, nilai-nilai universal, dan prisip-prinsip dasar. Ekspresinya bisa mengambil bentuk kebudayaan.

Karena itu, kata Kiyai Husein, seorang ulama feminis muslim dari Cirebon, perintah menutup aurat berasal dari agama (teks-teks keagamaan). Namun, dalam menentukan batas-batasnya, perlu mempertimbangkan segala aspek kemanusiaan. Untuk itu, dalam menentukan batas aurat, baik laki-laki maupun perempuan, diperlukan mekanisme tertentu yang akomodatif dan responsif terhadap segala nilai yang berkembang di masyarakat. Sehingga dala tingkat tertentu batasan itu bisa diterima oleh sebagian besar komponen masyarakat. Dalam hal ini, pertimbangan khawf al-fitnah (takut terjadi fitnah) yang sudah dikembangkan oleh ulama fikih juga harus menjadi penentu pertimbangan, agar tubuh manusia tidak dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan rendah dan murahan yang bahkan mungkin bisa menimbulkan gejolak (fitnah) yang bisa mengakibatkan kerusakan yang tidak diinginkan terhadap tatanan kehidupan masyarakat.[3]

Begitu juga dalam menentukan pakaian sebagai penutup aurat. Identitas pakaian “islami” dan “non-islami” tidak dilihat dari bentuk dan wujudnya, melainkan dari fungsinya sebagai penutup aurat. Karena itu, menurut  Sayyid Thantawi, identitas pakaian tergantung pada kondisi sosial budaya masyarakat. Yang terpenting, katanya, tidak memperlihatkan lekuk tubuh dan tidak menampakkan aurat. Itulah pakaian islami.[4]

Tiga argumen di atas yang selama ini menghalangi perempuan untuk bekerja ternyata tidak bernada tunggal. Oleh karena itu sangat besar peluang dari sisi teks keagamaan untuk mendukung perempuan berada di ruang publik, atau bekerja di luar rumah. Berikut adalah hak-hak yang dapat diperjuangkan oleh perempuan terkait dengan hak mereka sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai istri atau sebagai anak perempuan.[]

 

____________________________

[1]. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Vol. 1, hal. 579

[2]. Abdurahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqhi ala al-Mazahib al-Arba’ah, Lebanon: Dar al-Fikr, 1996, Vol 1, hal. 184

[3]. Husein Muammad, Fiqh Perempuan: Relasi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yograkarta: Lkis, 2009, Cet. 5, hal. 86

[4]. Mahmud Hamdi Zaqzuq (ed.), al-Niqab Adatun Laysa Ibadatan: al-Ra’yu al-Syar’iy fi al-Niqab bi Aqlami Kibar al-Ulama, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 2008, hal. 13

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.