Kembali Fitrah

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

Idul Fitri merupakan “peristiwa besar” yang dirayakan umat Muslim se-dunia. Keduanya dilaksanakan setelah menjalankan rukun Islam ke tiga.

Secara bahasa “Idul Fitri” artinya “kembali berbuka” setelah satu bulan penuh berpuasa. Juga bisa bermakna tunas kurma yang baru tumbuh (al-fithr habbah al-inab awwala ma tabdu). Masih dalam rumpun kata yang sama, al-fithrah, artinya “asal penciptaan”, sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw.: “Kullu maulud yuladu ‘ala al-fithrah” atau pada Q.S. al-Rum: 30-31.

Puasa Ramadhan menjadikan setiap muslim terlahir kembali seperti tunas kurma yang baru menyembul ke permukaan tanah (al-fithr) atau seperti bayi-bayi yang baru dilahirkan (al-fithrah).

“Barangsiapa berpuasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka dosa-dosanya akan diampuni,” ujar Nabi Muhammad Saw.

Di bulan Ramadhan setiap muslim belajar mengolah batin, memenej dan mengorganisir nafsu, juga meningkatkan spiritualitas di hadapan Allah Swt. Puasa melatih dan mendidik manusia agar tidak semata menjadi “mesin hasrat”.

Berdasarkan potensinya, manusia bisa lebih tinggi derajatnya dari malaikat. Juga bisa lebih rendah dan lebih hina dari iblis. Potensi itu sangat terbuka mengingat manusia diberikan nafsu. Nafsulah yang bisa menurunkan atau menaikkan derajat seseorang. Inilah yang tidak dimiliki malaikat maupun iblis.

Agar bisa meningkatkan kualitas kemanusiaannya di hadapan Tuhan, manusia harus bisa mengatasi, membatasi, menjaga sekaligu mengontrol pergerakan nafsu agar tidak liar. Semua hasrat menuju kepuasan dan kesenangan tidak semua harus dituruti dan dipenuhi. Agama hadir untuk mengontrol dan membatasi.

Orang yang bisa mengendalikan segala hasrat kebinatangannya, jiwanya akan tenang menuju dan selalu dekat pada Allah Swt. (al-nafs al-muthmainnah). Ada juga orang yang masih terus belajar dan berusaha keras melawan impuls-impuls hasratnya yang setiap saat bergejolak dan menuntut untuk dipuaskan (al-nafs al-lawwamah). Sebaliknya tidak sedikit orang yang menjadi budak nafsunya sendiri dengan menuruti seluruh keinginan dan kesenangan hasrat tubuhnya (al-nafs al-lawwamah).

Hasrat berpusat pada perut dan alat kelamin. Karena itu, dalam satu bulan penuh umat Muslim berpuasa (menahan diri) dari hasrat-hasrat yang bersumber dari dua wilayah itu (tidak makan, minum, dan bersetubuh).

Berperang melawan hawa nafsu sendiri, menurut Kanjeng Nabi Muhammad Saw., adalah perang sejati: Jihad Besar! “Musuh terbesarmu adalah nafsumu sendiri yang bersemayam di balik kedua pinggangmu,” kata Nabi.

Jadi, sebelum menilai dan menghakimi orang lain, sebaiknya kita nilai dan kita hakimi dulu diri kita sendiri. “Tengoklah dirimu sebelum bicara,” kata Ebit G Ade. Wallahu a’lam bi al-shawab.[]

 

Ru`yah dan Hisab, Kenapa Diributkan?

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

MENGAPA NU dan Muhamadiyah berbeda dalam menetapkan awal bulan Syawal (Hari Raya Idul Fitri)?

Setidaknya, untuk saat ini ada dua metode dalam menentukan awal bulan, yaitu metode ru`yah dan metode hisab. Dalam filsafat dua metode ini dikenal dengan empirisme (mahsusat) dan rasionalisme (‘aqliyyat). Yang pertama menggunakan pengalaman panca indra, melihat langsung (ru`yah) hilal menggunakan mata telanjang dibantu teleskop, sementara pendekatan kedua melalui penghitungan (hisab).

Kedua pendekatan ini seringkali tidak ketemu bahkan bisa saling membelakangi. Imam al-Ghazali dalam “al-Munqidz min al-Dhalal” mengkritik dua metode pendekatan ini. Katanya, keduanya sama-sama masih menyisakan keragu-raguan. Tidak seperti cahaya pengetahuan yang dipantulkan Allah Swt. ke lubuk hati. Ia membuat semua pengetahuan membuka diri dan menghampiri subjek. Inilah yang disebut pengetahuan intuitif (‘irfaniy). Pengetahuan jenis ini tak didapat melalui spekulasi akal maupun pengalaman indrawi dan hanya bisa disaksikan melalui mata batin (bashirah).

Jika pengetahuan akal dan pengalaman indrawi didapat melalui proses pembuktian (istidlal) dengan cara mendekati dan mengambil jarak dengan objek pengetahuan, pengetahuan intuitif tidak perlu melalui proses pencarian dan pembuktian (iktisabiy) melainkan datang dan menampakkan sendiri (hushuliy/hudhuriy), subjek-objek melebur menjadi satu.

Rasionalisme (‘aqliyyat) dan empirisme (mahsusat) masih dalam tingkat syariat, sedangkan intuitif sudah mencapai hakikat. Jika untuk mendapat uang kita masih harus bekerja membanting tulang, berarti kita masih berada di maqam syariat. Jika rezeki menghampiri kita berarti kita sudah sampai maqam hakikat.

Jadi, perbedaan Hari Raya antara NU dan Muhamadiyah adalah keniscayaan, karena metode yang digunakan keduanya berbeda. Ru`yah dan hisab hanyalah alat (wasilah) berijtihad untuk memperoleh “kebenaran”. Sementara kebenaran ijtihad hanya mencapai tingkat zhanniy, tidak sampai level qath’iy.

Dalam Ushul Fiqh dikenal 4 kualitas kebenaran. Pertama, qath’iy atau yakin. Kebenaran pada tingkat ini mencapai 100%. Kedua, zhanniy, yang sedikit berada di bawah qath’iy, karena masih menyisakan kemungkinan salah sebesar 10%. Ketiga, syakk, bersifat fifty-fifty: 50% benar 50% salah. Dan keempat, wahm, hanya menyisakan 10% kebenaran, sisanya salah.

Dalam ijtihad salah-benar tetap mendapat pahala. Sebagaimana disebut dalam hadits Nabi Saw.: “Barangsiapa berijtihad dan ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala. Dan banrangsiapa berijtihad dan ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala.”

Oleh karena itu kita tidak perlu meributkan perbedaan Hari Raya, karena NU dan Muhamadiyyah sama-sama sedang berijtihad. Wallahu a’lam.[]

Diskursus Perempuan Bekerja dalam Pandangan Ulama Klasik – Islam Tidak Melarang Perempuan Bekerja (3)

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

Domestikasi Perempuan

Perintah merumahkan perempuan bersumber dari Q.S. al-Ahzab: 33

 

وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ وَأَقِمۡنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذۡهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجۡسَ أَهۡلَ ٱلۡبَيۡتِ وَيُطَهِّرَكُمۡ تَطۡهِيرا

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya,” [Q.S. al-Ahzab: 33].

 

Qarna” atau “qirna” berasal dari “qarâr” artinya tinggal atau menetap. Maksudnya adalah tinggal dan menetap di dalam rumah. Ini merupakan perintah Allah kepada istri-istri Nabi untuk tidak meninggalkan rumah kecuali ada keperluan/kebutuhan.[1] Bisa juga bermakna kewibawaan (wiqâr). Menurut makna ini, perempuan-perempuan yang tinggal di dalam rumah mendapat kehormatan dan harga diri.

Jika melihat sabab nuzûl-nya, konteks ayat ini ditunjukkan kepada istri-istri Nabi Muhammad Saw. Namun, sebagaimana dikatakan al-Maraghi, perintah ini berlaku bagi seluruh perempuan muslim.[2] Hal senada disampaikan Ibnu Katsir bahwa selama tidak ada dalil pengecualiannya, maka berlaku secara umum. Untuk memperkuat pendapatnya ini, ia mengutip sejumlah hadits Nabi Saw. yang mendukung interpretasi terhadap ayat ini.[3]

 

لا تمنعوا إما ء الله مساجد الله وليخرجن وهن تفلات

Janganlah melarang perempuan pergi ke masjid.”

 

جئن النساء الي رسول الله صلي الله عليه وسلم فقلن يا رسول الله ذهب الرجال بالفضل والجهاد في سبيل الله تعالي فما لنا عمل ندرك به عمل المجاهدين في سبيل الله؟ فقال رسول الله من قعد منكن في بيتها فإنها تدرك عمل المجاهدين في سبيل الله

Seorang perempuan datang menemui Rasulullah Saw. Ia bertanya, Wahai Rasul, laki-laki punya kesitimewaan berjihad di jalan Allah Swt. Apakah perempuan memiliki amal yang sebanding dengan jihad di jalan Allah? Nabi menjawab, ‘Barangsiapa di antara kalian (perempuan) duduk (berdiam diri) di rumah, maka itu sama seperti jihad di jalan Allah Swt.”

 

ان المرأة عورة فإذا خرجت استشرفها الشيطان وأقرب ما تكون برحمة ربها وهي قعر بيتها

Sesungguhnya perempuan itu adalah aurat. Ketika keluar rumah, setan akan memuliakannya. Dan tempat yang paling dekat dengan rahmat Allah baginya adalah di dalam rumahnya.”

 

Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa Aisyah ra. selalu meneteskan air mata ketika membaca Q.S. al-Ahzab: 33 ini. Ia teringat ketika meninggalkan rumahnya untuk memimpin perang Jamal. Istri Nabi yang lain, Saudah, pernah ditanya, “Kenapa tidak menggunakan hijab seperti saudara-saudaranya yang lain?” Jawabnya, “Sesunggungnya aku berhijab dengan tinggal di rumahku.” Hal itu dibuktikan bahwa sepanjang hidupnya ia tak pernah keluar rumah, kecuali ketika ia sudah menjadi jenazah. Riwayat-riwayat seperti ini semakin mempertegas dan memapankan bahwa ruang lingkup perempuan adalah di dalam rumah. Perempuan diciptakan untuk selalu tinggal dan menetap di dalam rumah. Dengan kata lain, dunia perempuan adalah rumahnya. Sesekali boleh keluar apabila ada keperluan.

Pendapat senada disampaikan oleh Muhammad Sayyid Quthb (1906 – 1966 M), seorang ideolog Ikhwanul Muslimin yang dieksekusi rezim Gamal Abdel Nasser, mengatakan bahwa Q.S. al-Ahzab: 33 sama sekali tidak melarang perempuan bekerja, karena Islam sendiri tidak melarangnya. Namun, Islam tidak senang dan tidak mendorong hal tersebut. Islam membolehkan perempuan bekerja ketika dalam keadaan darurat. Sebagaimana perempuan-perempuan di awal Islam, mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Jadi, persoalannya, bukan pada ada atau tidaknya hak bagi perempuan untuk bekerja. Islam tak mendorong perempuan untuk keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat diperlukan dan dibutuhkan masyarakat atau oleh ia sendiri. Misalnya, perempuan harus bekerja karena tak ada yang membiayai dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Menurut Sayyid Quthb, ayat ini bukan berarti melarang perempuan untuk meninggalkan rumah. Ayat ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya.[4]

Q.S. al-Ahzab: 33 juga melarang istri-istri Nabi Saw. untuk “tabarruj”. Menurut al-Syaukani (1759 – 1834 M), ulama besar Iran Abad Pertengahan, tabarruj artinya menampakkan/memperlihatkan aurat (zînah) dan perhiasan (mahâsin) di hadapan laki-laki yang seharusnya ditutup dan disembunyikan. Ada yang mengatakan bahwa tabarruj artinya “berjalan dengan angkuh dan sombong” (tabakhtar). Atau berjalan dengan “genit” dan menggoda.

Mayoritas ulama menafsiri “qarna” dalam Q.S. al-Ahzab: 33 sebagai perintah bagi perempuan untuk menetap di dalam rumah. Ayat lain yang ikut mengkondisikan perempuan tetap di dalam rumah adalah pandangan bahwa tubuh perempuan adalah aurat yang harus ditutup rapat-rapat (Q.S. al-Nur: 24 – 31). Perempuan tidak boleh tampil di ruang publik karena bisa menimbulkan fitnah. Menurut para ulama, ketika perempuan keluar rumah maka harus dikawal atau didampingi mahram (orangtua/saudara kandung). Jadi, perintah merumahkan perempuan sangat erat kaitannya dengan konsep aurat.

Pandangan/tafsir keagamaan seperti ini ikut melanggengkan sekaligus terus mengkondisikan peran domestik atau domestikasi perempuan. Seolah perempuan tidak boleh dan tidak berhak bekerja di luar rumah. Mungkin, untuk konteks masyarakat pra-modern, merumahkan perempuan tidak bermasalah, mengingat tuntutan, kebutuhan, serta pembagian kerjanya belum sekompleks manusia modern. Seiring kemajuan dan perkembangan masyarakat, telah banyak terjadi pergeseran norma dan nilai dalam keluarga. Tanggungjawab ekonomi tidak lagi dibebankan hanya kepada suami melainkan juga istri. Kedua-duanya memiliki hak dan kewajiban sama dan setara dalam mengurus dan membangun rumah tangga. Karena masyarakat telah berubah, otomatis pandangan dan penafsiran keagamaan pun ikut berubah. Pola pembagian kerja tradisional yang hanya menempatkan perempuan di ruang-ruang domestik tidak lagi memadai dan mustahil dipertahankan sebagai nilai ideal.

Jika kita perhatikan mulai dari ayat 28 – 34, rangkaian ayat ini sebetulnya adalah sebuah nasehat untuk istri-istri Nabi Saw. Dalam sabab al-nuzûl-nya diceritakan bahwa mereka ingin hidup mewah dan kecukupan seperti anak-anak raja, memakai pakaian dan perhiasan mewah. Kemudian Allah Swt. menegur mereka. Pertama, mereka disuruh untuk memilih kehidupan dunia atau akhirat. Kedua dan ketiga, mereka diberikan keistimewaan dibanding perempuan-perempuan lain. Jika mereka melakukan kebajikan atau keburukan maka pahala atau dosanya akan dilipat gandakan. Keempat, tidak berkata lirih atau melembutkan suara kepada laki-laki lain dan selalu berkata baik. Kelima, menetap dan berdiam diri di rumah dan tidak menampakkan aurat di hadapan orang lain. Keenam, mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan ketujuh, menghiasi rumah dengan ayat-ayat Allah Saw.[]

 

____________________________________

[1]. Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Fath al-Qadîr, (Lajnah Darul Wafa), Vol. 5, hal. 365

[2]. Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghîy, (Mesir: Musthofa al-Bab al-Halabi, 1946), Vol 22, hal. 6

[3]. Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-Azhîm, (Riyadh: Dar al-Thayyibah, 1997), Vol. 6, hal. 409

[4]. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati, 2011), Cet. IV, Vol. 10, hal. 469

 

 

Diskursus Perempuan Bekerja dalam Pandangan Ulama Klasik – Islam Tidak Melarang Perempuan Bekerja (2)

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

Argumen Suami Kepala Keluarga

 

Qiwâmah (otoritas suami atas istri) berakar dari Q.S. al-Nisa: 34:

 

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara [mereka]. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar,” [Q.S. al-Nisa: 34].

 

Sebelum masuk pada bagaimana ragam penjelasan ulama terhadap ayat ini, sangatlah penting untuk ditelusuri dulu konteks diturunkannya ayat ini (asbab al-nuzul). Dengan mengetahui asbab al-nuzulnya, setidaknya kita bisa mengetahui pesan dan makna apa yang sesungguhnya ingin disampaikan ayat ini.

Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Habibah binti Zaid bin Abi Zhahir, istri Sa’ad bin Rubai. Ia dikabarkan ia telah melakukan nusyuz dan karenanya ia mendapatkan kekerasan dari suaminya. Ia ditampar oleh Sa’ad. Habibah tidak menerima perlakuan kasar suaminya itu. Ia dan ayahnya  kemudian mengadu kepada Rasulullah Saw. Rasulullah kemudian mempersilahkan Habibah untuk membalas (qishash) tamparan itu kepada suaminya. Namun, sebelum keduanya pergi meninggalkan rumah Rasulullah, Rasulullah memanggil kembali mereka berdua. “Tunggu! Baru saja Jibril datang membawa ayat ini [Q.S. al-Nisa: 32].”[1]

Terdapat perbedaan narasi di antara para ulama klasik atas peristiwa itu. Menurut Abu Rauq, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, peristiwanya memang seperti itu, tetapi tidak berkaitan dengan rumah tangga Sa’ad dan Habibah, melainkan rumah tangga Jamilah binti Abdillah bin Ubay dan Tsabit bin Qays bin Syammasy. Sementara menurut al-Kallabi, turunnya ayat ini berkaitan dengan rumah tangga Umairah binti Muhammad bin Maslamah dan Sa’ad bin Rubai’. Dari berbagai riwayat, mayoritas ulama mengacu pada riwayat versi pertama.

Menurut versi yang lain, asbab al-nuzul ayat ini tidak ada hubungannya dengan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) seperti yang dipaparkan dalam banyak riwayat. Ayat ini justru masih kelanjutan dan memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu Q.S. al-Nisa: 32[2]

 

وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ وَسۡ‍َٔلُواْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. [Karena] bagi para laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan [pun] ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,” [Q.S. al-Nisa: 32].

 

Asbab al-nuzul ayat ini menjawab pertanyaan Umi Salamah: kenapa bagian waris perempuan dibedakan dengan bagian waris laki-laki? Menurut ayat ini pembedaan itu didasarkan pada perbedaan fungsi dan tugas antara laki-laki dan perempuan. Q.S. al-Nisa: 34 mempertegas kembali alasan dibedakannya laki-laki dan perempuan dalam banyak hal karena laki-laki adalah “pemimpin” (qawwâm) bagi perempuan.  Dalam versi ini, melalui ayat ini Allah Swt. memberikan alasan kenapa laki-laki dijadikan pemimpin, karena ia memiliki banyak keutamaan (fadhl) dan keistimewaan. Juga bertanggungjawab terhadap perekonomian keluarga (kewajiban nafkah). Menurut al-Razi di dalam al-Tafsîr al-Kabîr, laki-laki dan perempuan hakikatnya memiliki beban yang sama. Meskipun perempuan mendapat waris setengah dari laki-laki, perempuan tidak terkena kewajiban menafkahi dan kewajiban membayar mahar.

Ibnu Katsir (W. 671 H.), seorang mufassir kenamaan dari Mesir, di dalam Tafsîr Ibn Katsîr, salah satu rujukan utama kalangan pesantren, menjelaskan bahwa “qawwâm” dalam ayat ini artinya pemimpin (ra`îs), pembesar (kabîr), hakim serta pendidik (muaddib) bagi istri-istinya. Laki-laki, menurut Ibnu Katsir, lebih mulia dan lebih utama dibanding perempuan.[3] Menurut Wahbah al-Zuhaili (1932 M – 2015 M), seorang ulama kontemporer dari Suriah, ada dua hal yang menjadikan laki-laki berhak menjadi pemimpin keluarga. Pertama, secara fisik, akal, dan emosi, laki-laki lebih unggul dibanding perempuan. Karena memiliki keunggulan dan kekuatan inilah sehingga nabi dan rasul hanya dikhususkan bagi laki-laki, lebih banyak berperan dalam ruang publik, seperti menjadi pemimpin, hakim, dll. Kedua, karena laki-laki punya kewajiban menafkahi keluarga dan laki-laki terbebani membayar mas kawin. Dua hal inilah yang menjadikan laki-laki berhak menjadi kepala keluarga. Sebagai pemimpin keluarga, suami berkewajiban menjaga dan memelihara keharmonisan dan kerukunan keluarga.[4]

Al-Zamakhsyari (1075 M – 1144 M), ulama besar Muktazilah, menambahkan, suami memiliki otoritas penuh terhadap istrinya, baik menyuruh atau mencegah sesuatu, sebagaimana seorang pemimpin kepada rakyatnya. Dalam mendidik istri, suami boleh memukul asalkan tidak melukai dan membahayakan nyawa istrinya.[5] Asbab al-Nuzul ayat ini yang berkaitan dengan kasus KDRT yang menimpa Habibah seolah menegaskan bahwa laki-laki bebas memperlakukan istrinya meskipun dengan cara-cara kasar dan menggunakan kekerasan.

Menurut al-Thabari (839 M.-1144 M.), sejarawan dan pemikir besar dari Persia, sebagai bentuk otoritas suami, suami boleh mengambil alih urusan, kepentingan dan tanggung jawab istri. Istri harus taat kepada suami sebagaimana ketaatan kepada Allah Swt. Bentuk ketaatan istri kepada suami adalah berbuat dan berprilaku baik kepada keluarga, serta menjaga harta milik suami. Ketaatan itu sepenuhnya milik istri. Sedangkan keutamaan suami pada istrinya adalah dengan memberi nafkah dan mencukupi semua kebutuhan istri.[6]

Meskipun istri memiliki kewajiban mentaati suami, kata Muhammad Abduh (1846 M – 1905 M), pemikir Muslim modern dari Mesir, bukan berarti suami bebas memaksa istri untuk melakukan apapun keinginanan suami. Qiwâmah, dalam pandangan Abduh, adalah memberi petunjuk (irsyâd), mengarahkan, serta melakukan kerjasama dalam urusan keluarga, seperti mengurus rumah, tidak keluar tanpa izin dan ridha suami.[7] Meskipun begitu Abduh masih tetap meyakini laki-laki memiliki keistimewaan dan keunggulan dibanding perempuan, sehingga otoritas tetap pada laki-laki.

Al-Razi menyimpulkan Q.S. al-Nisa: 34 ini. Pertama, suami adalah kepala keluarga, karena lelaki memiliki banyak keutamaan, baik keutamaan dari segai hakikatnya maupun keutamaan dari segi syariat. Secara hakikat, kata al-Razi, laki-laki memiliki keunggulan baik fisik maupun mental (emosional maupun intelektual). Keutamaan laki-laki juga disebabkan karena laki-laki memiliki tanggungjawab berat menjaga perekonomian keluarga. Laki-laki wajib menafkahi istri dan anak-anaknya sehingga ia pantas  dan sudah seharusnya menjadi kepala keluarga.

Kedua, ayat ini menyampaikan pesan bahwa istri wajib taat dan patuh (qânitât) pada suaminya, dan ketika suami tidak ada di rumah istri wajib menjaga harta milik suami. Inilah ciri-ciri istri yang baik (shâlihât) menurut al-Qur`an sebagaimana ditegsakan pula di dalam sebuah hadits:

 

خير النساء إن نظرت اليها سرتك وإن أمرتها أطاعتك وإن غبت عنها حفظتك في مالك ونفسها

Sebaik-baik perempuan adalah ketika engkau melihatnya ia membuatmu bahagia, ketika engkau menyuruhnya ia mentaati, dan ketika engkau pergi ia menjaga harta dan harga dirinya.”

 

Dalam Q.S. al-Nisa`: 32 disebutkan bahwa salah satu alasan kenapa suami menjadi kepala keluarga karena ia berkewajiban menafkahi istrinya. Juga bertanggungjawab penuh menjaga perekonomian keluarga. Seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya. Nafkah ini tidak hanya makanan tetapi juga pakaian. Besar-kecilnya nafkah, menurut al-Mawardi, tergantung kemampuan suami. Namun menurut Abu Hanifah dan Malik dikembalikan pada kebutuhan istri.[8]

Menurut para ulama, ada dua alasan kenapa suami berkewajiban menafkahi istrinya. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa suami wajib menafkahi istrinya karena telah “mengurung” istrinya (mendomestikasi) di dalam rumah. Karena itu, sebagai imbalan/kompensasinya, suami wajib memenuhi kebutuhan istrinya, terutama kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan). Jika suami tidak bisa memenuhi tanggungjawabnya, maka istri boleh keluar rumah untuk bekerja sebatas untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

Pendapat kedua, suami wajib menafkahi istrinya sebagai imbalan atas pelayanan seksual istrinya. Sama seperti pendapat pertama, selagi suami masih bisa memenuhi tanggungjawabnya, maka istri tidak boleh keluar rumah. Tugas istri yang paling utama adalah melayani kebutuhan suami di rumah.

Pendapat pertama dan kedua sama-sama berangkat dari pengandaian bahwa laki-laki (suami) adalah kepala keluarga. Laki-laki memiliki kekuasaan dan otoritas penuh atas istri dan anak-anaknya. Hal ini kemudian berpengaruh pada pola pembagian kerja di dalam keluarga. Kedua pendapat di atas, meskipun sama-sama membolehkan perempuan bekerja di luar rumah, tetapi bukan didasarkan pada hak dan kebebasan perempuan, melainkan karena kondisi darurat ketika suami tidak mampu memenuhi tugas dan tanggung jawabnya.

Perdebatan dan silang pendapat di kalangan ulama klasik tentang ayat (Q.S. al-Nisa: 34) yang mengandaikan laki-laki sebagai kepala keluarga, memperlihatkan bahwa pandangan mengenai itu tidaklah mutlak, tunggal dan mengikat. Perdebatan di kalangan ulama klasik itu memberi pembelajaran kepada kita di masa kini untuk membuka kemungkinan tafsir baru atas relasi gender laki-laki dan perempuan baik dalam pembagian kerja maupun dalam hak dan kewajiban. Perdebatan ini juga mengantarkan kita untuk memahami metodologi dalam mendekati teks. Para ulama klasik memberi petunjuk bahwa teks tidak dapat didekati secara literal sebagaimana yang tertulis.

 

Wali

Jika dalam “qiwamah” seorang istri terikat dan di bawah kekuasaaan laki-laki, dalam konsep “wilâyah” seorang anak, terutama anak perempuan, akan terikat dengan bapak/kakeknya. Wilâyah sendiri secara bahasa bisa bermakna “cinta’ (al-hub) atau “pertolongan” (al-nusrah) seperti pada Q.S. al-Maidah: 56 dan Q.S. al-Taubah: 71. Juga bisa bermakna “kekuasaan” (al-sulthah) atau “kemampuan” (al-qudrah). Secara istilah wilâyah artinya “kemampuan atau kekuasaan dalam melakukan tasharruf (membelanjakan harta milik) tanpa tergantung pada orang lain”.[9]

Abu Hanifah (699 – 1905 M), salah satu ulama pendiri empat mazhab fikih, membagi wilâyah dalam tiga bentuk. Pertama, kekuasaan atas individu (wilâyah alâ al-nafs), yaitu membimbing atau mengawasi anak-anak baik dalam urusan pernikahan, pendidikan, maupun kesehatan. Kekuasaan seperti ini dimiliki orangtua atau kakek. Kedua, kekuasaan atas harta (wilâyah alâ al-mâl) dalam mengolah, mengatur dan mendistribusikan harta. Kekuasaan seperti ini bisa dimiliki orangtua, hakim, atau penerima wasiat (washiy). Ketiga, kekuasaan atas harta dan individu. Kekuasaan seperti ini dimiliki orangtua atas anak-anaknya. Orangtua memiliki kekuasaan terhadap individu dan harta milik anak.

Karena memiliki tiga bentuk kekuasaan ini, maka seorang anak selama belum menikah masih berada di bawah kekuasaan dan pengawasan ayahnya, terlebih anak perempuan.[]

 

_________________________

[1]. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurtubi, al-Jami li Ahkam al-Qur`an, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2006) Vol. 6, hal. 278

[2]. Muhammad al-Razi, Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Vol. 10, hal. 90

[3]. Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, (Beirut: Dar al-Tayyibah, tt.), Vol. 2, hal. 393

[4]. Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Vol. 3, hal. 737

[5]. Abu al-Qasim Muhammad bin Umar al-Zamakhsyari, al-Kasyaf, (Riyadh: Maktaba al-Abikan, 1998), Vol. 2, hal. 71

[6]. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsîr al-Thabarîy, (Kairo: Dar al-Hijr, 2001), Vol. 6, hal. 688

[7]. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manar, (Kairo: Dar al-Manar, 1947), Vol. 5, hal. 67

[8]. Abi Hasan al-Mawardi, al-Hâwîy al-Kabîr, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994) Vol. 21, hal. 413

[9]. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), Vol 9. hal. 186