Diskursus Perempuan Bekerja dalam Pandangan Ulama Klasik – Islam Tidak Melarang Perempuan Bekerja (2)

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

Argumen Suami Kepala Keluarga

 

Qiwâmah (otoritas suami atas istri) berakar dari Q.S. al-Nisa: 34:

 

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara [mereka]. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar,” [Q.S. al-Nisa: 34].

 

Sebelum masuk pada bagaimana ragam penjelasan ulama terhadap ayat ini, sangatlah penting untuk ditelusuri dulu konteks diturunkannya ayat ini (asbab al-nuzul). Dengan mengetahui asbab al-nuzulnya, setidaknya kita bisa mengetahui pesan dan makna apa yang sesungguhnya ingin disampaikan ayat ini.

Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Habibah binti Zaid bin Abi Zhahir, istri Sa’ad bin Rubai. Ia dikabarkan ia telah melakukan nusyuz dan karenanya ia mendapatkan kekerasan dari suaminya. Ia ditampar oleh Sa’ad. Habibah tidak menerima perlakuan kasar suaminya itu. Ia dan ayahnya  kemudian mengadu kepada Rasulullah Saw. Rasulullah kemudian mempersilahkan Habibah untuk membalas (qishash) tamparan itu kepada suaminya. Namun, sebelum keduanya pergi meninggalkan rumah Rasulullah, Rasulullah memanggil kembali mereka berdua. “Tunggu! Baru saja Jibril datang membawa ayat ini [Q.S. al-Nisa: 32].”[1]

Terdapat perbedaan narasi di antara para ulama klasik atas peristiwa itu. Menurut Abu Rauq, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, peristiwanya memang seperti itu, tetapi tidak berkaitan dengan rumah tangga Sa’ad dan Habibah, melainkan rumah tangga Jamilah binti Abdillah bin Ubay dan Tsabit bin Qays bin Syammasy. Sementara menurut al-Kallabi, turunnya ayat ini berkaitan dengan rumah tangga Umairah binti Muhammad bin Maslamah dan Sa’ad bin Rubai’. Dari berbagai riwayat, mayoritas ulama mengacu pada riwayat versi pertama.

Menurut versi yang lain, asbab al-nuzul ayat ini tidak ada hubungannya dengan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) seperti yang dipaparkan dalam banyak riwayat. Ayat ini justru masih kelanjutan dan memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu Q.S. al-Nisa: 32[2]

 

وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ وَسۡ‍َٔلُواْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. [Karena] bagi para laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan [pun] ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,” [Q.S. al-Nisa: 32].

 

Asbab al-nuzul ayat ini menjawab pertanyaan Umi Salamah: kenapa bagian waris perempuan dibedakan dengan bagian waris laki-laki? Menurut ayat ini pembedaan itu didasarkan pada perbedaan fungsi dan tugas antara laki-laki dan perempuan. Q.S. al-Nisa: 34 mempertegas kembali alasan dibedakannya laki-laki dan perempuan dalam banyak hal karena laki-laki adalah “pemimpin” (qawwâm) bagi perempuan.  Dalam versi ini, melalui ayat ini Allah Swt. memberikan alasan kenapa laki-laki dijadikan pemimpin, karena ia memiliki banyak keutamaan (fadhl) dan keistimewaan. Juga bertanggungjawab terhadap perekonomian keluarga (kewajiban nafkah). Menurut al-Razi di dalam al-Tafsîr al-Kabîr, laki-laki dan perempuan hakikatnya memiliki beban yang sama. Meskipun perempuan mendapat waris setengah dari laki-laki, perempuan tidak terkena kewajiban menafkahi dan kewajiban membayar mahar.

Ibnu Katsir (W. 671 H.), seorang mufassir kenamaan dari Mesir, di dalam Tafsîr Ibn Katsîr, salah satu rujukan utama kalangan pesantren, menjelaskan bahwa “qawwâm” dalam ayat ini artinya pemimpin (ra`îs), pembesar (kabîr), hakim serta pendidik (muaddib) bagi istri-istinya. Laki-laki, menurut Ibnu Katsir, lebih mulia dan lebih utama dibanding perempuan.[3] Menurut Wahbah al-Zuhaili (1932 M – 2015 M), seorang ulama kontemporer dari Suriah, ada dua hal yang menjadikan laki-laki berhak menjadi pemimpin keluarga. Pertama, secara fisik, akal, dan emosi, laki-laki lebih unggul dibanding perempuan. Karena memiliki keunggulan dan kekuatan inilah sehingga nabi dan rasul hanya dikhususkan bagi laki-laki, lebih banyak berperan dalam ruang publik, seperti menjadi pemimpin, hakim, dll. Kedua, karena laki-laki punya kewajiban menafkahi keluarga dan laki-laki terbebani membayar mas kawin. Dua hal inilah yang menjadikan laki-laki berhak menjadi kepala keluarga. Sebagai pemimpin keluarga, suami berkewajiban menjaga dan memelihara keharmonisan dan kerukunan keluarga.[4]

Al-Zamakhsyari (1075 M – 1144 M), ulama besar Muktazilah, menambahkan, suami memiliki otoritas penuh terhadap istrinya, baik menyuruh atau mencegah sesuatu, sebagaimana seorang pemimpin kepada rakyatnya. Dalam mendidik istri, suami boleh memukul asalkan tidak melukai dan membahayakan nyawa istrinya.[5] Asbab al-Nuzul ayat ini yang berkaitan dengan kasus KDRT yang menimpa Habibah seolah menegaskan bahwa laki-laki bebas memperlakukan istrinya meskipun dengan cara-cara kasar dan menggunakan kekerasan.

Menurut al-Thabari (839 M.-1144 M.), sejarawan dan pemikir besar dari Persia, sebagai bentuk otoritas suami, suami boleh mengambil alih urusan, kepentingan dan tanggung jawab istri. Istri harus taat kepada suami sebagaimana ketaatan kepada Allah Swt. Bentuk ketaatan istri kepada suami adalah berbuat dan berprilaku baik kepada keluarga, serta menjaga harta milik suami. Ketaatan itu sepenuhnya milik istri. Sedangkan keutamaan suami pada istrinya adalah dengan memberi nafkah dan mencukupi semua kebutuhan istri.[6]

Meskipun istri memiliki kewajiban mentaati suami, kata Muhammad Abduh (1846 M – 1905 M), pemikir Muslim modern dari Mesir, bukan berarti suami bebas memaksa istri untuk melakukan apapun keinginanan suami. Qiwâmah, dalam pandangan Abduh, adalah memberi petunjuk (irsyâd), mengarahkan, serta melakukan kerjasama dalam urusan keluarga, seperti mengurus rumah, tidak keluar tanpa izin dan ridha suami.[7] Meskipun begitu Abduh masih tetap meyakini laki-laki memiliki keistimewaan dan keunggulan dibanding perempuan, sehingga otoritas tetap pada laki-laki.

Al-Razi menyimpulkan Q.S. al-Nisa: 34 ini. Pertama, suami adalah kepala keluarga, karena lelaki memiliki banyak keutamaan, baik keutamaan dari segai hakikatnya maupun keutamaan dari segi syariat. Secara hakikat, kata al-Razi, laki-laki memiliki keunggulan baik fisik maupun mental (emosional maupun intelektual). Keutamaan laki-laki juga disebabkan karena laki-laki memiliki tanggungjawab berat menjaga perekonomian keluarga. Laki-laki wajib menafkahi istri dan anak-anaknya sehingga ia pantas  dan sudah seharusnya menjadi kepala keluarga.

Kedua, ayat ini menyampaikan pesan bahwa istri wajib taat dan patuh (qânitât) pada suaminya, dan ketika suami tidak ada di rumah istri wajib menjaga harta milik suami. Inilah ciri-ciri istri yang baik (shâlihât) menurut al-Qur`an sebagaimana ditegsakan pula di dalam sebuah hadits:

 

خير النساء إن نظرت اليها سرتك وإن أمرتها أطاعتك وإن غبت عنها حفظتك في مالك ونفسها

Sebaik-baik perempuan adalah ketika engkau melihatnya ia membuatmu bahagia, ketika engkau menyuruhnya ia mentaati, dan ketika engkau pergi ia menjaga harta dan harga dirinya.”

 

Dalam Q.S. al-Nisa`: 32 disebutkan bahwa salah satu alasan kenapa suami menjadi kepala keluarga karena ia berkewajiban menafkahi istrinya. Juga bertanggungjawab penuh menjaga perekonomian keluarga. Seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya. Nafkah ini tidak hanya makanan tetapi juga pakaian. Besar-kecilnya nafkah, menurut al-Mawardi, tergantung kemampuan suami. Namun menurut Abu Hanifah dan Malik dikembalikan pada kebutuhan istri.[8]

Menurut para ulama, ada dua alasan kenapa suami berkewajiban menafkahi istrinya. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa suami wajib menafkahi istrinya karena telah “mengurung” istrinya (mendomestikasi) di dalam rumah. Karena itu, sebagai imbalan/kompensasinya, suami wajib memenuhi kebutuhan istrinya, terutama kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan). Jika suami tidak bisa memenuhi tanggungjawabnya, maka istri boleh keluar rumah untuk bekerja sebatas untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

Pendapat kedua, suami wajib menafkahi istrinya sebagai imbalan atas pelayanan seksual istrinya. Sama seperti pendapat pertama, selagi suami masih bisa memenuhi tanggungjawabnya, maka istri tidak boleh keluar rumah. Tugas istri yang paling utama adalah melayani kebutuhan suami di rumah.

Pendapat pertama dan kedua sama-sama berangkat dari pengandaian bahwa laki-laki (suami) adalah kepala keluarga. Laki-laki memiliki kekuasaan dan otoritas penuh atas istri dan anak-anaknya. Hal ini kemudian berpengaruh pada pola pembagian kerja di dalam keluarga. Kedua pendapat di atas, meskipun sama-sama membolehkan perempuan bekerja di luar rumah, tetapi bukan didasarkan pada hak dan kebebasan perempuan, melainkan karena kondisi darurat ketika suami tidak mampu memenuhi tugas dan tanggung jawabnya.

Perdebatan dan silang pendapat di kalangan ulama klasik tentang ayat (Q.S. al-Nisa: 34) yang mengandaikan laki-laki sebagai kepala keluarga, memperlihatkan bahwa pandangan mengenai itu tidaklah mutlak, tunggal dan mengikat. Perdebatan di kalangan ulama klasik itu memberi pembelajaran kepada kita di masa kini untuk membuka kemungkinan tafsir baru atas relasi gender laki-laki dan perempuan baik dalam pembagian kerja maupun dalam hak dan kewajiban. Perdebatan ini juga mengantarkan kita untuk memahami metodologi dalam mendekati teks. Para ulama klasik memberi petunjuk bahwa teks tidak dapat didekati secara literal sebagaimana yang tertulis.

 

Wali

Jika dalam “qiwamah” seorang istri terikat dan di bawah kekuasaaan laki-laki, dalam konsep “wilâyah” seorang anak, terutama anak perempuan, akan terikat dengan bapak/kakeknya. Wilâyah sendiri secara bahasa bisa bermakna “cinta’ (al-hub) atau “pertolongan” (al-nusrah) seperti pada Q.S. al-Maidah: 56 dan Q.S. al-Taubah: 71. Juga bisa bermakna “kekuasaan” (al-sulthah) atau “kemampuan” (al-qudrah). Secara istilah wilâyah artinya “kemampuan atau kekuasaan dalam melakukan tasharruf (membelanjakan harta milik) tanpa tergantung pada orang lain”.[9]

Abu Hanifah (699 – 1905 M), salah satu ulama pendiri empat mazhab fikih, membagi wilâyah dalam tiga bentuk. Pertama, kekuasaan atas individu (wilâyah alâ al-nafs), yaitu membimbing atau mengawasi anak-anak baik dalam urusan pernikahan, pendidikan, maupun kesehatan. Kekuasaan seperti ini dimiliki orangtua atau kakek. Kedua, kekuasaan atas harta (wilâyah alâ al-mâl) dalam mengolah, mengatur dan mendistribusikan harta. Kekuasaan seperti ini bisa dimiliki orangtua, hakim, atau penerima wasiat (washiy). Ketiga, kekuasaan atas harta dan individu. Kekuasaan seperti ini dimiliki orangtua atas anak-anaknya. Orangtua memiliki kekuasaan terhadap individu dan harta milik anak.

Karena memiliki tiga bentuk kekuasaan ini, maka seorang anak selama belum menikah masih berada di bawah kekuasaan dan pengawasan ayahnya, terlebih anak perempuan.[]

 

_________________________

[1]. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurtubi, al-Jami li Ahkam al-Qur`an, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2006) Vol. 6, hal. 278

[2]. Muhammad al-Razi, Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Vol. 10, hal. 90

[3]. Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, (Beirut: Dar al-Tayyibah, tt.), Vol. 2, hal. 393

[4]. Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Vol. 3, hal. 737

[5]. Abu al-Qasim Muhammad bin Umar al-Zamakhsyari, al-Kasyaf, (Riyadh: Maktaba al-Abikan, 1998), Vol. 2, hal. 71

[6]. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsîr al-Thabarîy, (Kairo: Dar al-Hijr, 2001), Vol. 6, hal. 688

[7]. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manar, (Kairo: Dar al-Manar, 1947), Vol. 5, hal. 67

[8]. Abi Hasan al-Mawardi, al-Hâwîy al-Kabîr, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994) Vol. 21, hal. 413

[9]. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), Vol 9. hal. 186

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.