Kembali Fitrah

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

Idul Fitri merupakan “peristiwa besar” yang dirayakan umat Muslim se-dunia. Keduanya dilaksanakan setelah menjalankan rukun Islam ke tiga.

Secara bahasa “Idul Fitri” artinya “kembali berbuka” setelah satu bulan penuh berpuasa. Juga bisa bermakna tunas kurma yang baru tumbuh (al-fithr habbah al-inab awwala ma tabdu). Masih dalam rumpun kata yang sama, al-fithrah, artinya “asal penciptaan”, sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw.: “Kullu maulud yuladu ‘ala al-fithrah” atau pada Q.S. al-Rum: 30-31.

Puasa Ramadhan menjadikan setiap muslim terlahir kembali seperti tunas kurma yang baru menyembul ke permukaan tanah (al-fithr) atau seperti bayi-bayi yang baru dilahirkan (al-fithrah).

“Barangsiapa berpuasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka dosa-dosanya akan diampuni,” ujar Nabi Muhammad Saw.

Di bulan Ramadhan setiap muslim belajar mengolah batin, memenej dan mengorganisir nafsu, juga meningkatkan spiritualitas di hadapan Allah Swt. Puasa melatih dan mendidik manusia agar tidak semata menjadi “mesin hasrat”.

Berdasarkan potensinya, manusia bisa lebih tinggi derajatnya dari malaikat. Juga bisa lebih rendah dan lebih hina dari iblis. Potensi itu sangat terbuka mengingat manusia diberikan nafsu. Nafsulah yang bisa menurunkan atau menaikkan derajat seseorang. Inilah yang tidak dimiliki malaikat maupun iblis.

Agar bisa meningkatkan kualitas kemanusiaannya di hadapan Tuhan, manusia harus bisa mengatasi, membatasi, menjaga sekaligu mengontrol pergerakan nafsu agar tidak liar. Semua hasrat menuju kepuasan dan kesenangan tidak semua harus dituruti dan dipenuhi. Agama hadir untuk mengontrol dan membatasi.

Orang yang bisa mengendalikan segala hasrat kebinatangannya, jiwanya akan tenang menuju dan selalu dekat pada Allah Swt. (al-nafs al-muthmainnah). Ada juga orang yang masih terus belajar dan berusaha keras melawan impuls-impuls hasratnya yang setiap saat bergejolak dan menuntut untuk dipuaskan (al-nafs al-lawwamah). Sebaliknya tidak sedikit orang yang menjadi budak nafsunya sendiri dengan menuruti seluruh keinginan dan kesenangan hasrat tubuhnya (al-nafs al-lawwamah).

Hasrat berpusat pada perut dan alat kelamin. Karena itu, dalam satu bulan penuh umat Muslim berpuasa (menahan diri) dari hasrat-hasrat yang bersumber dari dua wilayah itu (tidak makan, minum, dan bersetubuh).

Berperang melawan hawa nafsu sendiri, menurut Kanjeng Nabi Muhammad Saw., adalah perang sejati: Jihad Besar! “Musuh terbesarmu adalah nafsumu sendiri yang bersemayam di balik kedua pinggangmu,” kata Nabi.

Jadi, sebelum menilai dan menghakimi orang lain, sebaiknya kita nilai dan kita hakimi dulu diri kita sendiri. “Tengoklah dirimu sebelum bicara,” kata Ebit G Ade. Wallahu a’lam bi al-shawab.[]

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.