Ru`yah dan Hisab, Kenapa Diributkan?

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

MENGAPA NU dan Muhamadiyah berbeda dalam menetapkan awal bulan Syawal (Hari Raya Idul Fitri)?

Setidaknya, untuk saat ini ada dua metode dalam menentukan awal bulan, yaitu metode ru`yah dan metode hisab. Dalam filsafat dua metode ini dikenal dengan empirisme (mahsusat) dan rasionalisme (‘aqliyyat). Yang pertama menggunakan pengalaman panca indra, melihat langsung (ru`yah) hilal menggunakan mata telanjang dibantu teleskop, sementara pendekatan kedua melalui penghitungan (hisab).

Kedua pendekatan ini seringkali tidak ketemu bahkan bisa saling membelakangi. Imam al-Ghazali dalam “al-Munqidz min al-Dhalal” mengkritik dua metode pendekatan ini. Katanya, keduanya sama-sama masih menyisakan keragu-raguan. Tidak seperti cahaya pengetahuan yang dipantulkan Allah Swt. ke lubuk hati. Ia membuat semua pengetahuan membuka diri dan menghampiri subjek. Inilah yang disebut pengetahuan intuitif (‘irfaniy). Pengetahuan jenis ini tak didapat melalui spekulasi akal maupun pengalaman indrawi dan hanya bisa disaksikan melalui mata batin (bashirah).

Jika pengetahuan akal dan pengalaman indrawi didapat melalui proses pembuktian (istidlal) dengan cara mendekati dan mengambil jarak dengan objek pengetahuan, pengetahuan intuitif tidak perlu melalui proses pencarian dan pembuktian (iktisabiy) melainkan datang dan menampakkan sendiri (hushuliy/hudhuriy), subjek-objek melebur menjadi satu.

Rasionalisme (‘aqliyyat) dan empirisme (mahsusat) masih dalam tingkat syariat, sedangkan intuitif sudah mencapai hakikat. Jika untuk mendapat uang kita masih harus bekerja membanting tulang, berarti kita masih berada di maqam syariat. Jika rezeki menghampiri kita berarti kita sudah sampai maqam hakikat.

Jadi, perbedaan Hari Raya antara NU dan Muhamadiyah adalah keniscayaan, karena metode yang digunakan keduanya berbeda. Ru`yah dan hisab hanyalah alat (wasilah) berijtihad untuk memperoleh “kebenaran”. Sementara kebenaran ijtihad hanya mencapai tingkat zhanniy, tidak sampai level qath’iy.

Dalam Ushul Fiqh dikenal 4 kualitas kebenaran. Pertama, qath’iy atau yakin. Kebenaran pada tingkat ini mencapai 100%. Kedua, zhanniy, yang sedikit berada di bawah qath’iy, karena masih menyisakan kemungkinan salah sebesar 10%. Ketiga, syakk, bersifat fifty-fifty: 50% benar 50% salah. Dan keempat, wahm, hanya menyisakan 10% kebenaran, sisanya salah.

Dalam ijtihad salah-benar tetap mendapat pahala. Sebagaimana disebut dalam hadits Nabi Saw.: “Barangsiapa berijtihad dan ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala. Dan banrangsiapa berijtihad dan ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala.”

Oleh karena itu kita tidak perlu meributkan perbedaan Hari Raya, karena NU dan Muhamadiyyah sama-sama sedang berijtihad. Wallahu a’lam.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.