Site icon Rumah KitaB

Femisida, Moralitas dan Beban Berlipat Menjadi Perempuan

Mengerikan sekali, ketika membaca berita seorang perempuan yang dibunuh oleh kekasihnya, dipotong menjadi beberapa bagian dan potongan tubuhnya dibuang ke Pacet, Mojokerto. Sebagai tambahan informasi, polisi menemukan 239 pecahan tulang korban di kamar kos tersangka. Alvi Maulana, tersangka dari pembunuhan paling sadis abad ini, mengaku bahwa keduanya tinggal bersama selama beberapa kurun waktu terakhir dan sudah menikah siri.

Membaca berbagai informasi yang tersebar di media sosial ataupun di media massa lainnya, membuat saya merinding. Tidak kuat menahan rasa sakit, dibunuh dan dipotong-potong layaknya hewan. Bahkan, perilaku bejat tersebut tidak bisa disampaikan dengan kalimat apa pun selain menghukum dengan setimpal.

Namun, duka tersebut tidak akan pernah selesai dirasakan oleh orang tuanya. Betapa berat menjadi korban dari pembunuhan. Tiara Angelina, adalah satu dari sekian banyak korban femisida yang masih harus terus memperjuangan keadilan di negara yang belum ramah terhadap perempuan.

Tidak hanya Tiara, kasus serupa juga dialami oleh beberapa perempuan lainnya seperti: Remy Yuliana Putri (36), seorang perempuan yang berprofesi sebagai driver taksi online, jasadnya ditemukan di dalam mobil Jalan Kerta Dalem, Desa Sidakarya, Denpasar pada Jumat (2/05/25). Ia dibunuh oleh pacarnya sendiri, Galuh Widiasmoro. Selain Remy, Kesia Irena Yola Lestaluhu, korban pembunuhan anggota TNI AL Kelasi Satu Suyono Wahyudi Ponidi. Sebelum dibunuh, Irena sempat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pelaku.

Kisah naas juga terjadi pada perempuan yang berisinial EDK, 23 tahun yang dibunuh oleh pacarnya, MRR. Pembunuhan tersebut dilakukan lantaran korban marah-marah dan memukul pelaku dengan gagang sapu sebanyak lima kali. Peristiwa tersebut menjadikan pelaku geram, sehingga mencekik leher korban dan membuat korban lemas kemudian meninggal. Kita pasti masih ingat peristiwa sadis yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di Bangkalan, Jawa Timur. Seorang mahasiswa yang membunuh pacarnya dan membakar karena diketahui hamil dan si laki-laki tidak mau bertanggung jawab.

Dari sekian banyak kasus sadis yang dialami oleh perempuan, bagaimana tanggung jawab negara untuk memberikan keamanan bagi perempuan? Sudahkah negara melindungi perempuan dan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku femisida? Sebab Komisi Nasional-Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan bahwa terjadi 290 kasus pembunuhan terhadap perempuan pada periode Oktober 2023-Oktober 2024. Angka tersebut meningkat setiap tahun, ditambah dengan kasus 2025 yang peristiwanya semakin sadis.

Moralitas dan Empati Masyarakat

Salah satu persoalan yang tidak habis pikir dari peristiwa bejat yang dilakukan oleh Alvi Maulana atau kasus femisida lainnya adalah penghakiman masyarakat terhadap korban, seperti tinggal bersama dengan pacar, hamil, ataupun lainnya. Fenomena tersebut semacam menjadi justifikasi secara sosial untuk menormalkan perilaku. Bukankah ini menggambarkan kebiadaban sejati? Na’udzubillah.

Mengapa masyarakat kerapkali menghukumi perempuan lebih berat dibandingkan dengan kasus kejahatan yang dialami. Jangan hanya karena perempuan memilih untuk hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, lalu seolah-olah pembunuhan tersebut menjadi halal. Jika kita adalah orang yang memberikan hukuman sosial kepada korban, lalu apa bedanya kita dengan pelaku?

Dalam budaya masyarakat, terutama di banyak daerah konservatif, norma tentu memandang tinggal bersama sebelum menikah sebagai sesuatu yang tabu atau “melanggar norma agama/keluarga/sosial”. Bila korban adalah perempuan, stigma sering jauh lebih berat. Ini bisa membuat orang menilai korban “boleh disalahkan sedikit” karena dalam perspektif mereka, korban sudah mengambil risiko moral atau risiko sosial.

Perempuan memiliki tanggung jawab lebih untuk menjaga nama baik, dan dianggap menyimpang apabila hidup bersama sebelum menikah. Kondisi ini berbeda dengan laki-laki yang tidak memiliki beban moral seperti itu.  Tidak hanya itu, media turut mendukung argumen masyarakat dengan mengulik kehidupan pribadi korban terus menerus seperti status pacaran, tinggal bersama dan dugaan kehamilan.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Kalimat tersebut adalah ungkapan yang cocok bagi korban femisida. Bayangkan saja, sudah menjadi korban, keluarga korban merasa kehilangan karena anak yang sudah diberi kehidupan layak, mulai dari pendidikan dan kebutuhan sehari-hari, dibunuh dengan sadis oleh laki-laki biadab, namun begitu deras mendapatkan penghakiman sosial.

Jika kita merasa bahwa dunia ini juga diperuntukkan bagi perempuan, maka jangan sekali-kali turut berkomentar buruk atau memberikan penghakiman kepada korban. Empati kita benar-benar diuji dalam melihat kasus ini. Dukungan keluarga serta upaya untuk menghormati korban dan keluarga adalah hal dasar yang perlu terus kita upayakan.

Barangkali kita tidak mengenal korban, namun bisa jadi besok, lusa atau di hari-hari selanjutnya, orang terdekat kita bisa menjadi korban femisida. Setiap perempuan berpotensi menjadi korban femisida, karena pelakunya adalah orang terdekat. Bisa jadi berasal dari anggota keluarga, ataupun pasangan.

Exit mobile version