Abu al-A’la al-Maududi, Pelopor Ideologi Jihad Radikal Islam
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Abu al-A’la Maududi merupakan figur penting dalam gerakan-gerakan keislaman di abad modern. Ia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) di Aurangabad, India Selatan, tepatnya pada 25 September 1903 M/3 Rajab 1321 H. Kedekatan keluarga ini dengan warisan pemerintahan Muslim India dan kebencian terhadap Inggris, memainkan peranan sentral dalam membentuk pandangan al-Maududi di kemudian hari.[1]
Sayyid Ahmad Hasan, ayah al-Maududi, sangat menyukai tasawuf. Karenanya ia berupaya menciptakan keadaan sangat religius dan asketik bagi pendidikan anak-anaknya. Ia membesarkan anak-anaknya dengan sistem pendidikan yang cenderung klasik. Dalam sistem ini tidak ada pelajaran bahasa Inggris dan modern, yang ada hanya bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Karena itu, al-Maududi menjadi ahli bahasa Arab pada usia muda.[2]
Pada usia 11 tahun al-Maududi masuk sekolah formal di Aurangabad. Di sini ia mendapatkan pelajaran modern. Namun, lima tahun kemudian ia terpaksa meninggalkan sekolah formalnya itu setelah ayahnya sakit keras dan kemudian wafat. Saat itu ia kurang meminati persoalan agama, ia hanya suka politik. Karenanya, ia tidak pernah mengakui dirinya sebagai ulama. Kebanyakan biografi tentangnya hanya menyebut dirinya sebagai jurnalis yang belajar agama secara otodidak. Semangat nasionalisme Indianya tumbuh subur. Dalam beberapa tulisannya, ia memuji pimpinan Partai Kongres, khususnya Mahatma Gandhi dan Madan Muhan Malaviya.
Pada 1919 al-Maududi pergi ke Jubalpur dan bekerja di koran mingguan Partai Kongres yang bernama Taj. Di sini ia sepenuhnya aktif dalam gerakan khilafah, serta aktif memobilisasi umat Muslim untuk mendukung Partai Kongres.
Kemudian al-Maududi kembali ke Delhi dan berkenalan dengan pemimpin penting khilafah, Muhammad Ali. Bersamanya, al-Maududi menerbitkan surat kabar nasionalis, Hamdard. Selama itulah pandangan politiknya kian religius. Ia bergabung dengan gerakan hijrah yang mendorong umat Muslim India untuk meninggalkan India menuju Afganistan yang dianggap sebagai Dar al-Islam (negara Islam).
Pada 1921 al-Maududi berkenalan dengan pemimpin Jam’iyah Ulama Hind (masyarakat ulama India). Ulama Jam’iyah yang terkesan dengan bakat al-Maududi kemudian mengangkatnya sebagai editor surat kabar resmi mereka, Muslim, hingga tahun 1924. Di sinilah ia menjadi lebih mengetahui kesadaran politik umat Muslim dan jadi aktif dalam urusan agamanya.
Di Delhi al-Maududi memiliki peluang untuk terus belajar dan menumbuhkan minat intelektualnya. Ia belajar bahasa Inggris dan membaca karya-karya Barat. Jam’iyah mendorongnya untuk mengenyam pendidikan formal agama. Ia pun memulai mengenyam pendidikan formal agama. Pada 1926, ia menerima sertifikat pendidikan agama dan menjadi ulama.
Runtuhnya khilafah pada 1924 membawa perubahan besar dalam kehidupan al-Maududi. Ia begitu sinis memandang nasionalisme yang menurutnya hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka merongrong kesatuan umat Muslim dengan cara menolak Dinasti Utsmaniyah dan kekhalifahan muslim. Ia bahkan tak percaya lagi pada nasionalisme India. Ia beranggapan bahwa Partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan umat Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Ia mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap nasionalisme dan sekutu-sekutunya dari kalangan umat Muslim. Sebagai upaya menentang imperialisme, ia menyerukan aksi Islami, bukan nasionalis. Ia percaya aksi yang ia serukan akan melindungi kepentingan umat Muslim.
Pada 1925, seorang muslim membunuh Swami Shradhnand, pemimpin kebangkitan Hindu, yang dinilai telah meremehkan keyakinan umat Muslim. Kematian Swami menimbulkan kritik media massa bahwa Islam adalah agama kekerasan. Al-Maududi tidak tinggal diam, ia menulis buku “al-Jihâd fî al-Islâm” yang menjelaskan sikap muslim mengenai jihad, sekaligus sebagai tanggapan atas kritik terhadap Islam. Buku ini mendapat sambutan hangat dari umat Muslim.
Pada masa itu keadaan pemerintahan muslim semakin tidak pasti. Dalam pengamatan al-Maududi, selama berabad-abad Islam telah dirusak oleh masuknya adat istiadat lokal dan kultur asing yang mengaburkan ajaran murninya. Karenanya ia mengusulkan pembaharuan Islam, namun tidak digubris oleh pemerintahan saat itu. Hal ini mendorongnya mencari solusi sosio-politik menyeluruh yang baru untuk melindungi umat Muslim. Ia mendirikan Jama’at Islamiyah (partai Islam), tepatnya pada Agustus 1941, bersama sejumlah aktivis Islam dan ulama muda. Segera setelah berdiri, Jama’ati Islamiyah pindah ke Pathankot, tempat di mana Jama’at mengembangkan struktur partai, sikap politik, ideologi, dan rencana aksi.[3]
Al-Maududi berkonsentrasi memimpin Jama’at Islamiyah, dan ia menulis banyak karya. Ketika India pecah, Jama’at juga terpecah. Ia, bersama 385 anggota Jama’at Islamiyah memilih Pakistan. Markasnya berpindah ke Lahore, dan ia didapuk sebagai pemimpin tertinggi. Sejak itu karier politik dan intelektualnya terkait erat dengan perkembangan Jama’at Islamiyah yang pengaruhnya terus berlangsung hingga saat ini. Ia meninggal pada September 1979 karena penyakit yang menimpanya.[4]
POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL-MAUDUDI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KELOMPOK-KELOMPOK KEAGAMAAN RADIKAL KONTEMPORER
Meskipun munculnya kelompok-kelompok keagamaan tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi, hanya saja faktor-faktor pemikiran atau akidah/keyakinan tidak kalah penting, karena telah memberikan dasar-dasar teoritis bagi setiap gerakan keagamaan, sehingga menjadi pendorong utama bagi kelompok-kelompok tersebut untuk bergerak dan beraktivitas.
Al-Maududi bisa dianggap sebagai tokoh pertama penggagas negara Islam. Ia merintis gerakan Jama’at Islamiyah 13 tahun setelah munculnya kelompok Ikhawanul Muslimin di Mesir. Pemikiran keagamaannya memiliki ciri khas tersendiri dengan bangunan yang sangat eksklusif, sebagaimana yang tampak pada berbagai aksi kelompok-kelompok radikal keagamaan kontemporer. Bangunan pemikiran keagamaan al-Maududi bisa digambarkan sebagai berikut:
Al-Hâkimîyyah al-Ilâhîyyah (Pemerintahan Allah)
Al-Hâkimîyyah al-Ilâhîyyah (pemerintahaan/kekuasaan Allah di muka bumi) merupakan salah satu gagasan pokok dari pemikiran al-Maududi yang melambangkan sentralitas Tuhan bagi alam semesta. Allah adalah ‘puncak’ alam semesta, Dia menciptakannya, mengaturnya, dan mengendalikannya.[5] Para nabi diutus untuk mendeklarasikan al-Hâkimîyyah al-Ilâhîyyah. Kendali atas alam semesta muncul disertai segala batasan di mana tidak ada seorang pun yang dapat keluar darinya; manusia bukanlah apa-apa selain sebagai hamba Allah, tidak tunduk kecuali hanya pada perintah-Nya, tidak sujud kecuali hanya kepada-Nya, hukum yang berlaku adalah hukum-Nya.[6] Tidak ada peletak syariat selain Dia, tidak ada penolong selain Dia, tidak ada yang mendengar dan mengabulkan permohonan manusia selain Dia. Seluruh makhluk baik di langit dan di bumi adalah hamba-Nya, dan Dia-lah yang mengatur segalanya. Jika pemerintahan hanya milik Allah, maka memilih pemimpin tidak bisa dilakukan kecuali di dalam negara yang menganut hukum Allah.[7]
Seluruh nabi meneguhkan al-Hâkimîyyah al-Ilâhîyyah dengan menekankan tiga hal pokok: pertama, otoritas tertinggi (al-sulthah al-‘ulyâ) yang kepadanya manusia wajib tunduk dan mengakui penghambaannya, yang mana ketaatan terhadapnya dibangun di atas sistem akhlak, kemasyarakatan, dan peradaban paripurna, adalah otoritas Allah. Manusia wajib berserah diri dan menerimanya berdasarkan asas tersebut. Kedua, keharusan mentaati nabi dan keputusan beliau sebagai pelaksana dan wakil otoritas tertinggi (pemimpin yang mutlak, Allah). Ketiga, bahwa hukum yang berisi ketetapan halal dan haram di seluruh bidang kehidupan adalah hukum Allah, yang menghapus seluruh hukum dunia yang dibuat manusia. Manusia sebagai hamba tidak punya hak bertanya dan berdialog mengenai hukum-hukum Allah; apa yang diharamkan-Nya menjadi haram, apa yang dihalalkan-Nya menjadi halal, karena Dia adalah Penguasa segala sesuatu, dan Dia melakukan apapun yang dikehendaki-Nya. Al-Qur`an telah menjelaskan mengenai kewajiban manusia untuk taat kepada Allah, Rasul, dan pemegang urusan mereka (ulîy al-amr), dengan penegasan bahwa “orang-orang yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir, zhalim, dan fasik”.[8] Tidak benar jika dikatakan bahwa ayat tersebut turun untuk Ahl al-Kitab dalam konteks-konteks khusus, tetapi itu merupakan hukum-hukum umum yang melampaui asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turunnya) dan relevan bagi setiap umat berdasarkan kitab sucinya masing-masing di seluruh tempat dan zaman.[9]
Al-Hâkimîyyah al-Ilâhîyyah mengandung penolakan dan pentingnya melakukan revolusi terhadap al-Hâkimîyyah al-Basyarîyyah (pemerintahan manusia), seolah-olah pembangkangan terhadapnya adalah perintah Tuhan, seperti penolakan Ahl al-Bayt di bawah pimpinan Ali dan al-Husain serta sebagian imam untuk bergabung dengan otoritas Negara Umayyah yang telah merampas hak kepemimpinan, atau mengambilnya dengan paksa, ancaman, suap, dan penipuan.[10] Artinya, teori politik di dalam Islam berpijak pada sebuah prinsip dasar, yaitu “mencabut seluruh kekuasaan dan pembuatan undang-undang dari tangan manusia, baik individu maupun kelompok. Tidak ada seorang pun yang boleh memaksakan perintah kepada sekelompok manusia sepertinya agar mereka patuh kepadanya, atau menetapkan undang-undang agar mereka tunduk dan mengikutinya, hanya Allah yang berhak melakukannya, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu. Karenanya, negara Islam punya tiga ciri khas, yaitu: pertama, bahwa baik individu, kelompok, keluarga, kelas, atau golongan tidak punya bagian apapun dari al-Hâkimîyyah al-Ilâhîyyah, karena hâkim (pemimpin) yang sesungguhnya adalah Allah. Kedua, selain Allah tidak ada seorang pun yang punya hak dalam pembuatan undang-undang (al-tasyrî’). Ketiga, bangunan negara Islam tidak didasarkan kecuali hanya kepada hukum Allah yang dibawa oleh Rasulullah dari sisi-Nya, yaitu hukum yang tetap, tidak berubah, meskipun keadaan dan zaman berubah. Selain itu, negara tidak boleh dipatuhi kecuali jika menerapkan hukum Allah dan melaksanakan seluruh perintah-Nya atas makhluk-makhluk-Nya.[11]
Menurut al-Maududi, pemerintahan manusia tergambar dalam tiga sistem: sekularisme, nasionalisme, dan demokrasi—semuanya adalah sistem yang mendominasi kehidupan politik di Barat. Sekularisme berarti pelepasan agama dari kehidupan sosial individu dan membatasinya hanya antara hamba dan Tuhannya. Sementara nasionalisme merupakan sistem yang berpijak pada maslahat suatu umat dan keinginan-keinginannya tanpa melihat maslahat umat-umat yang lain, akibatnya perang antarbangsa tidak bisa dielakkan, kehancuran bagi bangsa yang kalah, tidak ada tempat bagi bangsa yang lemah. Sedangkan demokrasi adalah sistem negara modern yang merepresentasikan ‘pemerintahan manusia’ di Barat, dan saat ini banyak diikuti oleh umat Muslim. Sistem-sistem ini, menurut al-Maududi, seluruhnya menolak pemerintahan Allah, yang membuat manusia tunduk kepada syahwat dan keinginan duniawinya, juga membuat masyarakat tunduk kepada hawa nafsu dan kepentingannya. Ketiadaan ‘pemerintahan Allah’ telah menyediakan ruang bagi setan untuk lebih leluasa menyebarkan kekufuran, kesesatan, dan kekerasan.
Seruan al-Maududi kepada ‘pemerintahan Allah’ dan penolakan terhadap ‘pemerintahan manusia’ itulah yang kemudian mendorong kelompok-kelompok keagamaan radikal untuk membentuk ‘masyarakat eksklusif’ di dalam masyarakat besar di suatu negara, tujuannya adalah untuk mendirikan negara Islam (al-dawlah al-islâmîyyah), merebut kekuasaan dari sistem-sistem yang ada, menolak bekerjasama dengan negara-negara non-agama, menolak tunduk kepada negara yang tidak menerapkan hukum Allah, menolak terlibat di dalam pasukan bersenjata/militer di negara tersebut, dan menolak menduduki jabatan di pemerintahan, bahkan menolak melaksanakan shalat di masjid-masjid masyarakat yang tunduk pada sistem negara tersebut.
Al-Tanzîl (Wahyu)
Dalam pemikiran al-Maududi, al-tanzîl al-ilâhîy (wahyu Tuhan) adalah perintah-perintah Allah yang harus diketahui dan diterapkan secara langsung dengan membaca teks-teks agama dan memahaminya secara harfiyah berlandaskan hanya pada otoritas teks yang terepresentasikan dalam “Allah berfirman” dan “Rasulullah bersabda”. Di sini argumen naqlîyyah (tekstual) lebih dominan daripada argumen ‘aqlîyyah (rasional). Karena argumen naqlîyyah bersifat qath’îy (pasti), tidak mengandung dua kemungkinan, maka seluruh perintah Tuhan juga bersifat muhkam (pasti), sama sekali tidak ada keraguan di dalamnya. Makanya salah satu karya terpenting al-Maududi adalah “Turjumân al-Qur`ân” yang mirip dengan “Fi Zhilâl al-Qur`ân” karya Sayyid Quthb. “Turjumân al-Qur`ân” merupakan tafsir komperhensif al-Qur`an surat demi surat dan ayat demi ayat yang berupaya menyingkap makna-makna wahyu tanpa pentakwilan atau penggabungan sejumlah tema yang terpisah-pisah untuk disajikan dalam metode terpadu.
Bahaya metode al-tanzîl (yaitu menyimpulkan hukum Tuhan langsung dari al-Qur`an tanpa bersandar kepada akal dan pengamatan inderawi) ini adalah: pertama, mengeluarkan teks dari konteksnya, menggunakannya tidak pada tempatnya, dan mentakwilkannya dengan makna menyimpang, sehingga yang menonjol adalah literalitas/tekstualitasnya tanpa pengamatan inderawi dan argumentasi rasional. Kedua, mengambil sebagian teks dan mengabaikan sebagian teks yang lain, memilih ayat-ayat yang mendukung al-Hâkimîyyah al-Ilâhîyyah dan mengabaikan ayat-ayat lain yang menunjukkan kontekstualitas syariat, sehingga seakan-akan al-Hâkimîyyah al-Ilâhîyyah sangat sesuai dengan wahyu Allah. Ketiga, tidak adanya penggunaan akal atau bukti-bukti rasional (al-burhân), yang ada hanya keberpijakan pada otoritas teks semata, sehingga kelompok-kelompok keagamaan radikal tidak mungkin melakukan dialog dengan non-muslim sebagaimana mereka tidak mungkin berdialog dengan menggunakan akal mengenai makna-makna teks. Bagi mereka, teks bukan untuk diperdebatkan dan didialogkan, tetapi untuk diterapkan dan dilaksanakan. Keempat, ketidakmungkinan akal melawan otoritas teks, juga ketidakmungkinan melakukan interpretasi-interpretasi berbeda yang berlandaskan pada argumen rasional dan pengamatan inderawi. Kelima, mengubah pendapat menjadi fanatisme yang tak mudah goyah meskipun di hadapannya terdapat puluhan argumen rasional yang berlawanan, sehingga dialog yang dilakukan berubah menjadi perdebatan emosional yang mengedepankan pandangan-pandangan subyektif dan asumtif.
Hal-hal tersebut kita lihat tampak begitu kuat tertanam dalam kelompok-kelompok radikal di kalangan masyarakat Muslim, mereka masih hidup dalam fase teks, bersandar pada otoritas tradisi, pengetahuan mereka hanya bergulir dari satu ayat ke ayat yang lain, sejak kecil anak-anak mereka sudah diajarkan, “Mana lebih utama, aturan Allah atau aturan pemerintah? Kitab Allah atau kitab undang-undang pemerintah?” Dari sini bisa dipahami alasan al-Maududi menolak kontekstualitas syariat, maksudnya pandangan bahwa syariat mempunyai dasar-dasar kontekstual (al-usus al-wadh’îyyah), padahal di antara keistimewaan syariat Islam adalah kontekstualitasnya. Meskipun hukum Islam merupakan kehendak Ilahiyah (al-irâdah al-ilâhîyyah), tetapi ia berlandaskan prinsip pembelaan terhadap maslahat-maslahat manusia. Hukum Islam adalah hukum positif yang berpijak pada dasar-dasar kontekstual dalam membela kepentingan masyarakat umum (al-mashâlih al-‘âmmah) yang oleh para ahli ushul fikih disebut dengan al-kullîyyât al-khams (lima prinsip universal), yaitu: al-dîn (agama), al-nafs (jiwa/kehidupan), al-‘irdh (kehormatan), al-‘aql (akal), dan al-mâl (harta). Seluruh kajian yang dilakukan para ahli ushul fikih mengenai hukum Islam dasarnya adalah kontekstualitas syariat dengan tujuan “mendatangkan manfaat dan menolak bahaya”.
Al-Tsunâ`îyyah al-Muta’âridhah (Dualisme Kontradiktif)
Di sini maksudnya adalah dualisme kontradiktif antara dua hal yang berlawanan: yang baik dan yang buruk, yang hak dan yang batil, yang benar dan yang salah, hidayah dan kesesatan, keimanan dan kekufuran, Islam dan Jahiliyah, Islam dan Barat, malaikat dan setan, surga dan neraka. Tidak ada celah untuk mencari jalan tengah di antara dua hal yang saling berlawanan itu, atau berpindah dari yang satu kepada yang lain secara bertahap: yang baik bersifat mutlak dan yang buruk bersifat mutlak, yang hak bersifat mutlak dan yang batil bersifat mutlak. Tidak ada tempat untuk sikap-sikap semu penuh keraguan. Ini adalah dualisme yang menegaskan hubungan antara ‘pemerintahan Allah’ dan ‘pemerintahan manusia’, antara ‘pemerintahan agama’ dan ‘pemerintahan non-agama’ di level aksi maupun praktik.
Hubungan antara keduanya adalah hubungan pertentangan tanpa penengah atau mediasi. Eksistensi salah satu pihak tergantung pada raibnya pihak yang lain. Tegaknya kebatilan adalah raibnya kebenaran. Karena itu, pertentangan antara kelompok-kelompok keagamaan dan otoritas negara yang berkuasa, masing-masing pihak menunggu kesempatan untuk menyerang pihak lainnya dan berupaya menggagalkan rencana-rencananya. Kalau otoritas negara lebih kuat, maka tekanan dan pemaksaan akan selalu datang darinya, sementara kelompok-kelompok keagamaan melakukan perlawanan spontan, parsial, dan deklaratif untuk menegakkan kebenaran. Pertentangan juga terjadi antara “Jahiliyah” dan “Islam”. Jahiliyah merupakan simbol jalan pemikiran alamiyah yang menjadikan alam sebagai sumber pengetahuan, yang dalam konteks politik dan sosial merupakan (1) sumber terbentuknya ‘pemerintahan manusia’ yang penuh dengan kecintaan terhadap diri sendiri dan syahwat, (2) sumber peralihan dari feodalisme kepada kapitalisme, (3) sumber pendidikan dengan orientasi pekerjaan, bukan pendidikan dengan basis agama dan keyakinan. Model pemikiran semacam inilah, menurut al-Maududi, yang telah melahirkan aliran-aliran politik di Barat, seperti nasionalisme, kolonialisme, imperialisme, dan seterusnya. Sedangkan Islam merupakan jalan kenabian dan pandangan para nabi terhadap manusia dan alam semesta yang menjadikan Allah sebagai Penguasa atas segala sesuatu. Al-Maududi menegaskan, tidak ada cara untuk mendamaikan dan menyatukan jalan Jahiliyah dan jalan Islam. Namun ia sama sekali tidak menyebutkan warisan-warisan keilmuan dari kedua pihak; bagaimana Barat mengalami kemajuan dengan pemikiran alamiyah (al-fikr al-thabî’iy), sedangkan Islam mengalami kemunduran dengan pemikiran ketuhanan (al-fikr al-ilâhîy).[12]
Pertentangan juga terjadi antara Islam dan Barat, spiritualisme dan materialisme, agama dan non-agama. Aliran-aliran yang ada di Eropa, baik filsafat, politik, sosial, dan ekonomi, seluruhnya adalah aliran-aliran Jahiliyah: materialisme, nasionalisme, demokrasi, sekularisme, sosialisme, fasisme, nazisme, dan lain sebagainya. Di Barat, setelah agama ditinggalkan karena kondisi Gereja di abad pertengangan, tidak ada yang tersisa kecuali dunia. Barat telah memulai ‘keberakhirannya’ secara akidah (keyakinan). Sains, atheisme, rasionalisme, naturalisme, dan sosialisme seluruhnya merupakan aliran yang berlandaskan penipuan dan penyesatan. Kemudian umat Muslim datang dan menjadi budak-budaknya. Di India peradaban Barat telah runtuh karena umat Muslim menyembahnya. Umat Muslim di negeri-negeri Islam harus mewaspadai penyakit tersebut. Al-Maududi berkeyakinan, bahwa walaupun peradaban Barat telah runtuh, namun Islam akan tetap hidup di hati manusia dan di dalam tradisi luhur mereka.
Manhaj al-Inqilâb (Metode Kudeta/Perebutan Kekuasaan)
Menurut al-Maududi, pertentangan antara dualisme kontradiktif itu bisa diakhiri dengan cara melakukan al-inqilâb. Di dalam bahasa Persia “al-inqilâb” dimaknai “al-tsawrah”, seolah-olah revolusi tidak bisa dilakukan kecuali dengan kudeta, dan seolah-olah kudeta merupakan jalan revolusi. Cara seperti ini banyak terjadi di dalam tradisi Asia, yang oleh al-Afghani disebut dengan “perubahan sosial dengan jalan kudeta kekuasaan politik”, perubahan yang menyeluruh di dalam masyarakat dengan jalan pendidikan dan mencakup beberapa generasi.[13]
Al-Maududi menolak cara-cara bertahap, reformasi, dan sistem demokrasi dalam melakukan perubahan menyeluruh itu. Upaya-upaya perbaikan dengan tahapan-tahapan dan sistem demokrasi seluruhnya ia anggap sebagai tipuan belaka, janji-janji manis untuk menipu rakyat, baik oleh kaum sekuler atau pun golongan pengikut demokrasi.
Al-inqilâb adalah jihad, kata al-Maududi, yaitu “upaya terus-menerus dan perjuangan berkelanjutan untuk menegakkan sistem kebenaran (nizhâm al-haqq),” yang merupakan rukun keenam Islam meskipun tidak disebutkan. Walaupun tidak termasuk rukun Islam, tetapi oleh sebagian orang jihad dianggap sebagai kewajiban (farîdhah) untuk melindungi Islam. Jihad bukanlah seperti anggapan orang-orang Eropa sebagai “perang suci”, tetapi merupakan al-fikrah al-inqilâbîyyah (gagasan revolusi dan kudeta).
Golongan al-inqilâb adalah golongan Allah, golongan kebenaran dan keadilan untuk menjadi saksi bagi manusia. Tugasnya adalah “melenyapkan sumber-sumber keburukan dan permusuhan, memangkas akar kelaliman dan kerusakan di muka bumi serta investasi menjijikkan, mengekang nafsu ‘tuhan-tuhan’ pendusta yang menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak, mereka menjadikan diri mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, membasmi akar ‘ketuhanan’ mereka, serta menegakkan sistem hukum dan peradaban”. Golongan al-inqilâb adalah satu-satunya kandidat terpilih yang ditugaskan mengambil alih kekuasaan untuk membasmi kerusakan. Untuk itu, tidak membagi jihad menjadi “jihad ofensif” dan “jihad defensif”, sebab dua istilah ini hanya cocok dipakai untuk perang-perang patriotik (nasionalisme). Jihad di dalam Islam tidaklah demikian, tetapi bersifat “ofensif” dan “defensif” sekaligus. “Ofensif berarti bahwa partai Islam menentang penguasa-penguasa yang memegang teguh prinsip-prinsip yang berlawanan dengan Islam, melenyapkan akarnya, dan tidak ragu menggunakan kekuatan perang untuk itu”.
Al-Maududi membagi aksi besar tersebut (jihad) ke dalam empat hal: pertama, menyucikan pemikiran dan mengikatnya dengan penanaman dan pengembangan. Di sini perhatian al-Maududi terfokus kepada pengajaran, pendidikan, dan penyucian peradaban. Kedua, menyeleksi individu-individu yang saleh dan menggabungkan mereka dalam satu sistem dan mendidik mereka untuk membentuk kelompok kepemimpinan pilihan. Ketiga, berupaya melakukan perubahan sosial menyeluruh dalam agama dan dunia, tidak hanya memberikan bimbingan dan arahan. Keempat, memperbaiki hukum dan manajemen, karena perubahan sistem hukum merupakan cara untuk mencegah kerusakan di muka bumi.
Al-inqilâb bisa terjadi dengan cara membentuk kelompok pilihan yang mengembang tugas untuk melakukannya, karena “negara Islam tidak muncul di luar kebiasaan (mendadak), akan tetapi untuk memunculkan dan merealisasikannya pertama-tama harus dilakukan gerakan menyeluruh berlandaskan pada pandangan hidup Islam dan pemikirannya, juga pada kaidah-kaidah dan nilai-nilai moral yang sesuai dengan ruh Islam dan kekuatan karakternya, yang demi itu semua sekelompok orang menunjukkan persiapan mereka untuk memberikan warna kepada kemanusiaan, mereka berusaha menyebarkan mentalitas Islam dan mengerahkan seluruh daya untuk menyiarkan ruh dan akhlak Islam di masyarakat”. Kemudian kelompok pilihan tersebut sedikit demi sedikit akan berubah menjadi gerakan rakyat menyeluruh. Gerakan ini sangat kuat dan kukuh sehingga dengan upayanya yang terus-menerus dan keras mampu merubah dasar-dasar kehidupan Jahiliyah.[14]
Mereka, kelompok pilihan itu, adalah pemimpin sesungguhnya yang tidak berharap pamrih yang bersifat sementara dan tidak memikirkan kepentingan-kepentingan kaumnya, tetapi mereka adalah pemimpin yang merealisasikan hukum Allah. Al-Maududi menekankan dakwah Islamiyah dalam tiga prinsip, yaitu: menyembah Allah, menyucikan jiwa, dan revolusi menyeluruh. Ia menjelaskan mengenai prinsip ketiga, “Seruan kami kepada seluruh penduduk bumi untuk (1) melakukan revolusi menyeluruh terhadap dasar-dasar hukum masa kini, yang dengan itu para pemimpin thagut dan lalim melakukan ketidakadilan dan memenuhi bumi dengan kerusakan, (2) mencabut kepemimpinan fikrîyyah dan ‘amalîyyah dari mereka hingga diambil alih oleh sekelompok orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Mereka memegang teguh agama yang benar, tidak congkak dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi”.[15]
Al-Maududi menekankan peranan para pelajar untuk membangun masa depan dunia Islam. Hal ini mengindikasikan anjuran bagi kelompok-kelompok keagamaan untuk merekrut dan melibatkan para pelajar. Para pelajar adalah pelopor kesadaran, mereka punya kemampuan untuk berpikir dan keahlian untuk memimpin. Para pelajar di negeri-negeri Islam, dalam kondisi-kondisi yang memperihatinkan, melihat perpecahan umat akibat imperialisme dan pengaruh peradaban Barat di dalam kebudayaan mereka. Untuk itu, di pundak mereka terdapat tanggung jawab transformasi warisan peradaban kepada generasi-generasi mendatang. Hal ini bisa dilakukan dengan dua jalan: pertama, khusus untuk pelajar; kedua, khusus untuk pemerintah. Khusus untuk pelajar, adalah (1) mendidik mereka berlandaskan tiga prinsip Islam; prinsip tauhid, prinsip kerasulan, dan prinsip kebangkitan setelah mati, (2) pentingnya memfokuskan upaya untuk menjaga prinsip-prinsip tersebut dengan memegang teguh akhlak dan peradaban Islam dalam menghadapi kejahatan orang-orang yang menyebarkan budaya-budaya pelacuran di tengah-tengah para pemuda muslim. Khusus untuk pemerintah, pentingnya melakukan pendidikan militer atas dasar prinsip-prinsip Islam sehingga para pemuda mampu merealisasikan tujuan-tujuan Islam.[16]
Al-Îmân (Keimanan) dan al-Thâ’ah (Ketaatan)
Bagi mayoritas umat Muslim agama adalah keimanan dan penerimaan ajaran-ajarannya tanpa rasionalisasi dan argumentasi atas kebenaran keimanan tersebut. Di dalam keimanan peran perasaan dan emosi lebih dominan, sementara rasio terabaikan. Karenanya tidak ada dialog, tidak ada diskusi, yang kian menguatkan fanatisme agama.[17]
Ketika al-Maududi berbicara mengenai prinsip-prinsip Islam, ia tidak bicara mengenai keimanan terhadap realitas dengan jalan indera dan pengamatan, juga dengan jalan rasio dan konklusi, akan tetapi berbicara mengenai keimanan dengan jalan kenabian, kenabian para rasul. Akal manusia kerap tersesat dalam perjalanannya, pengetahuannya cacat dan tidak sempurna. Manusia hakikatnya adalah makhluk yang bodoh karena cenderung kepada hawa nafsu. Sementara para rasul merupakan manusia paling sempurna, makhluk paling utama, karenanya mereka menjadi sumber ilmu dan pengetahuan.
Jadi, kenabian merupakan jalan meraih ilmu yang benar, bukan dengan upaya keras manusiawi, tetapi dengan jalan wahyu dan ilham. Bukti kebenaran nabi adalah mukjizat. Kenabian sangat penting bagi manusia, karena manusia tidak cukup dengan dirinya sendiri. Meskipun ia mampu mengetahui dunia, tetapi ia tidak mampu mengetahui akhiratnya.[18]
Kenabian mengandung keagamaan murni, yaitu keimanan kepada Allah, malaikat, kitab suci, rasul, dan hari akhir, terutama wujud Tuhan beserta sifat-sifat-Nya. Di dalamnya tidak ada kandungan sosial yang mengikat keimanan dengan problem-problem realitas agar jiwa tidak tertutup.
Menurut al-Maududi, keimanan berhubungan erat dengan ketaatan, karena dengan keimanan orang akan taat. Setiap organisasi sosial harus berpijak pada kepercayaan kuat para anggotanya dan kepatuhan mereka terhadap pemimpin. Banyak masyarakat Islam yang ‘runtuh’ karena ketiadaan dua pilar tersebut. Dalam menjalankan perintah Allah, adanya ketaatan adalah mutlak dan tanpa memperdebatkannya.
Definisi al-Maududi mengenai Islam sesuai dengan definisi yang dikenal secara umum, yaitu ketundukan dan kepasrahan.[19] Alam semesta tunduk kepada kaidah tertentu, demikian juga kehidupan manusia. Kekafiran, dalam pandangan al-Maududi, adalah pembangkangan, kebodohan, kezhaliman, dan kerugian yang nyata. Keimanan menjadikan manusia taat menjalankan perintah dan hukum. Orang yang tidak beriman berarti ia menolak, membangkang, dan keluar dari agama. Ketaatan kepada nabi adalah wajib, baik terkait dengan apa yang kita pahami ataupun yang tidak kita pahami. Sedangkan ibadah juga berarti ketundukan hamba kepada Tuhannya. Hukum-hukum syariat menuntut manusia untuk memenuhi hak Allah berupa ketaatan, keimanan, dan ketundukan kepada-Nya.[20]
Al-Mahârim (Larangan) dan al-Thuqûs (Ritual)
Hijab, kerudung, dan mahram merupakan ciri khas kelompok-kelompok radikal keagamaan yang membedakannya dengan kelompok-kelompok lainnya sebagai bentuk penegasan identitas keagamaan dan pemisahan diri masyarakat. Pada tubuh manusia terdapat bagian-bagian yang muharramah (dilarang untuk dilihat) sehingga harus ditutup. Pada hubungan-hubungan kemanusiaan juga terdapat sisi-sisi muharramah yang tidak boleh didekati. Singkatnya, alam ini penuh dengan hal-hal yang dilarang (muharramât) yang kemudian menjadi hal-hal yang dusucikan (muqaddasât) sebagaimana banyak terjadi di berbagai masyarakat di belahan dunia dewasa ini.
Oleh karena itu, masalah hijab muncul seolah-olah merupakan masalah subtansial di dalam Islam dan di dalam kelompok-kelompok keagamaan. Masalah-masalah seks, menundukkan pandangan, memegang tangan perempuan, menghadiri pesta, antara mahasiswa dan mahasiswi duduk bersama di universitas, semua ini bisa menjadi fitnah dan syubhat! Manusia adalah makhluk yang penuh dengan keinginan, hasrat, dan kecenderungan sehingga harus dikekang dengan larangan-larangan, yaitu menutupi sisi-sisi tertentu pada manusia yang tidak mungkin didekati, dilihat, dan disentuh.
Dari situ kemudian lahir ekstrimisme agama yang hanya memperhatikan syiar, ritual, dan penampilan luar. Agama berubah menjadi hanya sebatas aktivitas ragawi, kurang lebih seperti mengiklankan diri agar dilihat oleh banyak orang. Begitu mudah mengklaim bahwa memanjangkan jenggot adalah sunnah, mengklaim bahwa memegang tasbih merupakan aktivitas berdzikir, mengklaim bahwa jilbab putih adalah pakaian islami, dan seterusnya.
Islam menjadi agama yang penuh dengan hukuman (sanksi), hukuman berat bagi orang yang melanggar al-muharramât (larangan). Syariat telah menggariskan ikatan-ikatan untuk mengontrol jiwa dan mengekang hawa nafsu serta menghukumnya, sehingga alam seluruhnya dikuasai oleh syariat, segala sesuatu ada aturannya.
AL-MAUDUDI DAN TAKFIR (PENGKAFIRAN)
Sebagaimana al-Maududi telah menciptakan istilah “al-hâkimîyyah”, ia juga merupakan tokoh utama yang membawa gagasan “al-takfîr” (pengkafiran) dan “al-tajhîl” (penjahiliyahan) terhadap masyarakat-masyarakat yang tidak berpijak pada ‘pemerintahan Allah’. Seluruh masyarakat kontemporer yang tidak menerapkan syariat Islam dan sistem-sistem sosial yang sesuai dengan pandangan al-Maududi dianggap sebagai “Jahiliyah”. Artinya, ia menafikan keislaman dari mayoritas umat Muslim.[21]
Al-Maududi menggunakan konsep “Jahiliyah” sebagai senjata epistemologis untuk menolak pemikiran dan filsafat Barat yang menurutnya dibangun untuk meneguhkan konsep negara dan sistem yang jauh dari agama. Ia juga menggunakan konsep “Jahiliyah” sebagai sarana untuk menolak pola-pola hidup dan sistem-sistem yang ada di India, bahkan dunia secara keseluruhan—seolah-olah ia memaksakan pengalaman pribadinya di wilayah geografis India atas seluruh dunia. Hal ini terlihat dari pernyataannya di dalam buku “Nazharîyyah al-Islâm al-Siyâsîyyah” mengenai kondisi umat Muslim, “Pemikiran umat Muslim saat ini adalah pemikiran warisan Jahiliyah. Pemikiran yang mereka ambil dari peradaban Barat adalah pemikiran Jahiliyah baru di masa kontemporer.”
Al-Maududi tidak hanya mengkafirkan masyarakat Barat yang jelas-jelas berada di luar ruang lingkup pemikiran dan keyakinannya saja, tetapi ia juga mengingatkan kembali tentang hubungan hegemoni Barat dan runtuhnya Dinasti Utsmaniyah yang diyakininya sebagai khilafah bagi seluruh umat Muslim di dunia. Ia mengajak untuk memikirkan kembali peperangan dengan menggabungkan seluruh bangsa dan budaya dalam ‘negara Islam murni’ guna melawan ‘kekafiran murni’.
Al-Maududi menggambarkan negara Islam sebagai negara berbasis akidah, terbentuk bukan karena kesatuan iklim, kebangsaan, ras, dan kelas, tetapi karena kesatuan akidah spiritual murni, yaitu negara menyeluruh yang hegemonik dan absolut dengan berlandaskan al-qânûn al-ilâhîy (hukum Tuhan) yang diwakilkan kepada seorang hâkim (pemimpin) untuk melaksanakannya terhadap manusia.[22]
Mengenai hak dan kewajiban masyarakat yang berafiliasi kepada negara Islam tersebut, di dalam sejumlah karyanya al-Maududi menegaskan pemisahan antara umat Muslim dan non-Muslim di satu sisi, dan pemisahan di antara umat Muslim sendiri di sisi lain. Ia mengatakan, “Orang yang tidak menerima aturan jama’ah (aturan yang ditetapkan negara Islam), maka selamanya ia tidak berhak untuk turut serta dalam persoalan-persoalan kenegaraan, dan di dalam hukum ia hidup sebagai ahl al-dzimmah. Dalam berbagai keadaan ia tidak mendapatkan keuntungan apapun di pemerintahan, karena negara ini adalah negara partai khusus bagi orang mukmin dengan akidah khusus dan dengan pemikiran yang khusus pula.” Di sini metode al-Maududi dalam memahami Islam dijadikan sebagai standar kewarganegaraan; ia memisahkan manusia di negera tersebut menjadi “muslim” dan “ahl al-dzimmah”.
Orang muslim mendapatkan hak politiknya secara penuh, sedangkan orang non-muslim tidak mendapatkan jaminan apapun kecuali hak hidup, hak milik, dan kehormatannya. Adapun orang yang menentang peraturan di kalangan umat Muslim, maka hak-haknya akan dicabut dan ia dianggap sebagai bagian dari ahl al-dzimmah—atau bisa saja ia dikafirkan dan difatwakan bahwa darahnya halal.[23]
Gagasan takfir yang didengungkan oleh al-Maududi pada masanya belakangan ini dipakai oleh kelompok-kelompok radikal untuk membunuh orang-orang di negeri-negeri mereka dan memusuhi sistem-sistem politik serta komunitas-komunitas pemikiran dan filsafat. Gagasan takfir ini membagi manusia menjadi dua golongan: (1). Kelompok pengikut yang berafiliasi kepada golongan agama dan Allah; (2). Kelompok musuh yang tunduk kepada dunia dan manusia.[]
_______________________________
[1] Khalid al-Najjar, Abû al-A’lâ al-Mawdûdîy, 1979, hal. 2
[2] Ibid.
[3] http://www.islamist-movements.com/2941
[4] Ibid.
[5] Al-Maududi, Minhâj al-Inqilâb al-Islâmîy, Jiddah: al-Dar el-Sa’udiyyah, Cet. III, 1988, hal. 17
[6] Al-Maududi, al-Khilâfah wa al-Mulk, Kuwait: Dar el-Qalam, Cet. I, 1978, hal. 13 – 14
[7] Al-Maududi, Nazhrîyyah al-Islâm al-Siyâsîyyah, Cairo: Dar el-Fikr, Cet. I, 1967, hal. 49 – 50
[8] QS. al-Ma`idah: 44, 45, dan 47
[9] Al-Maududi, al-Khilâfah wa al-Mulk, Kuwait: Dar el-Qalam, Cet. I, 1978, hal. 18
[10] Ibid., hal. 229
[11] Al-Maududi, Nazhrîyyah al-Islâm al-Siyâsîyyah, Cairo: Dar el-Fikr, Cet. I, 1967, hal. 49
[12] Al-Maududi, Nazhrîyyah al-Islâm al-Siyâsîyyah, Cairo: Dar el-Fikr, Cet. I, 1967, hal. 51 – 52
[13] Al-Maududi, Minhâj al-Inqilâb al-Islâmîy, Jiddah: al-Dar el-Sa’udiyyah, Cet. III, 1988, hal. 9 – 13
[14] www.tourathtripoli.org%2Fphocadownload%2Fmakalete_motanoui3a%2Fassar%2520abi%2520al3ala%2520almawdoudi.pdf&usg
[15] Al-Maududi, al-Islâm wa Mu’dhilât al-Iqtishâd, Beirut: Muassasah al-Risalah, Cet. I, 1981, hal. 89
[16] Hassan Hanafi dalam “Atsar Abîy al-A’lâ al-Mawdûdîy ‘alâ al-Jamâ’ât al-Dînîyyah al-Mu’âshirah”.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Al-Maududi, Mabâdi` al-Islâm, tanpa penerbit, tanpa tahun, hal. 2
[20] Ibid., hal. 69
[21] http://www.islamist-movements.com/2941
[22] Dalam hal ini al-Maududi tidak menyebutkan karakter dan kepribadian pemimpin tersebut, juga syarat-syarat pemilihannya. Ia juga tidak menyebutkan apakah pemimpin tersebut disukai oleh rakyatnya atau tidak.
[23] Shalih Zahruddin, al-Harakât wa al-Ahzâb al-Islâmîyyah wa Fahm al-Âkhar, hal. 36
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!