Urgensi Maqashid Syariah Lin Nisa’

YAYASAN Rumah Kita Bersama Indonesia selanjutnya disingkat Rumah KitaB bekerjasama dengan Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Kajen, Kabupaten Pati, Jawa tengah, telah rampung menyelenggarakan acara “Seminar Nasional Maqasid Syariah Lin Nisa; Sebuah Perspektif dan Metodologi Hukum Islam yang Berpihak Kepada Perempuan dan Kelompok-Kelompok Rentan” dalam rangkaian kegiatan uji materi draft buku Maqashid Syariah Lin Nisa’, pada hari Kamis, 16 Februari 2023, pukul 13.00 – 16.30 WIB, berlokasi di Aula Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA), Kajen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Acara ini menghadirkan narasumber ahli Prof. Dr. Abdul Mustaqim, M.Ag., Guru Besar Bidang Ulumul Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Umdah El-Baroroh, dosen IPMAFA dan pengasuh Pondok Pesantren Mansajul Ulum, Cibolek, Pati. Mewakili penulis buku Achmat Hilmi dan Jamaluddin Mohammad. Acara ini dihadiri 30 perwakilan  kiyai/bu nyai, ustadz/ustadzah, dosen, peneliti dan mahasiswa.

Achmat Hilmi menjelaskan kronologi dan konteks kelahiran buku Maqashid Syariah Lin Nisa’. Menurutnya, buku ini diharapkan bisa menjawab problem-problem kontemporer yang tidak bisa dijawab oleh pandangan keagamaan mainstream yang hanya mengandalkan pendapat ulama-ulama masa lalu tanpa melalui analisis yang dalam. Belum lagi watak dasar pandangan dan pendapat para ulama itu kebanyakan masih bias gender. Buku ini menggunakan dua pnedekatan sekaligus, pendekatan Maqashid Syariah dan keadilan gender.

“Selama ini Maqashid Syariah masih dipahami, baik secara perspektif maupun metodologi, secara netral gender. Maka diperlukan cara pandang gender untuk memastikan bahwa tujuan syariat juga membela dan berpihak kepada kaum perempuan,” ujarnya.

Hal senada dikatakan Jamaluddin Mohammad sebagai salah satu penulis buku ini. Menurutnya, buku MSLN mencoba mengawinkan Maqashid Syariah dan perspektif serta analisis gender. Secara metodologis, MSLN menawarkan pembacaan teks melalui kerangka triangulasi yang menghubungkan teks, realitas, dan Maqashid Syariah yang dibaca menggunakan perspektif keadilan jender (al-‘adâlah wa al-musâwâh bayna al-nisâ` wa al-rijâl). Cara kerjanya melalui tiga langkah, yaitu tahlîl an-nushûsh (analisis teks), tahlîl al-wâqi’ (analisi realitas) dan analisis Maqashid Syariah menggunakan perspektif gender. Dari sinilah penting menjadikan pengalaman perempuan sebagai salah satu rujukan dan pertimbangan hukum (mashdar min mashâdir al-hukum) yang selama ini seringkali diabakan para perumus dan pembuat hukum.

Karena itu, kata Umdah el-Baroroh, sangat penting memasukkan pengalaman perempuan sebagai bagian dari pertimbangan dan rujukan perumusan. Pengasuh Pesantren Mansajul Ulum ini mengutip pernyataan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang menyebut bahwa tujuan syariat adalah hikmah (kebijksanaan), kemaslahatan dan keadilan. Tujuan syariat ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, keadilan gender merupakan Maqashid Syariah yang harus diwujudkan.

Pernyataan Umdah ditegaskan kembali oleh Prof. Abdul Mustaqim. Ia mengatakan, mengingat peran perempuan yang sangat besar bersama laki-laki dalam membangun masyarakat dan peradaban, maka pelibatan pengalaman perempuan bukan hanya penting tetapi wajib. Karena itu, ia mengapresiasi hadirnya konsep Maqashid Syariah Lin Nisa’ guna menunjukkan adanya aksentuasi bahwa konsep-konsep keagamaan yang diproduksi melalui tafsir dan fikih terkait perempuan masih menyisakan problem.

“Beberapa produk ijtihad masa lalu jika dilihat pada masa sekarang maka bisa dinilai sebagai sebuah pengetahuan yang sudah kedaluwarsa sehingga perlu pemikiran ulang atau pembaharuan. Beberapa konstruksi hasil ijtihad cukup rentan menimpa perempuan,” tegasnya.

Menurutnya, secara ontologi Maqashid Syariah bisa dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, Maqashid Syariah sebagai filsafat dalam berijtihad (maqashid syariah as philosophy). Fungsi Maqashid Syariah sebagai filsafat adalah sebagai kritik terhadap produk-produk ijtihad yang dinilai tidak maqashidiyyah, terutama terhadap perempuan, dan sebagai ruh dalam ijtihad karena pintu ijtihad terbuka selamanya—menutup pintu ijtihad berarti menutup kemajuan peradaban umat Muslim.

Kedua, Maqashid sebagai sebuah metodologi (maqashid as methodology). Metodologi terkait dengan proses dan prosedur mengenai kaidah-kaidah (al-qawâ’id wa al-dhawâbidh) yang harus dijaga, di antaranya menghargai teks (ihtirâm al-nushûsh) sebagai sesuatu yang bersifat konstan dan tidak perlu lagi untuk didiskusikan. Sementara hal-hal yang berubah, tidak konstan, terkait putusan masa kini, dan terkait isu-isu kekinian membuka ruang baru untuk dilakukan ijtihad dengan basis Maqashid Syariah.

Ketiga, al-ijtihâd al-maqâshidîy, yaitu hasil ijtihad berbasis Maqashid yang diharapkan bisa meretas kebuntuan problem-problem keperempuanan dalam memahami teks-teks keagamaan.[JM]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.